Shahih Hadis Malik Ad Daar, Menyingkap Kerapuhan Hujjah Salafy Inqitha’ Abu Shalih Dari Malik Ad Daar

Shahih Hadis Malik Ad Daar, Menyingkap Kerapuhan Hujjah Salafy Inqitha’ Abu Shalih Dari Malik Ad Daar

Segala puji bagi Allah SWT, akhirnya saya bisa menyempatkan diri meneruskan pembahasan tentang kedudukan Hadis Malik Ad Daar. Telah sampai kepada saya jawaban dari saudara yang terhormat yaitu Kelemahan Riwayat Malik Ad Daar Dialog IV sebagai tanggapan atas tulisan saya sebelumnya Shahih Hadis Malik Ad Daar : Menjawab Syubhat Inqitha’ Abu Shalih dari Malik. Pernyataan saudara penulis yang saya tanggapi akan saya cetak biru.

Semakin saya baca, semakin tidak mengena dan mengada-ada dalam pembelaan terhadap tashhiih riwayat Maalik Ad-Daar ini.

Silakan saja mempersepsi begitu, padahal sebenarnya jika anda adil menilai diri anda seperti anda menilai saya maka andapun juga akan mendapati bahwa anda lebih mengada-ada dalam mendhaifkan hadis Malik Ad Daar. Mari saya ingatkan kembali, pembahasan saya yang panjang-panjang itu adalah untuk menunjukkan kepada anda bahwa kemungkinan yang paling rajih adalah Tidak ada Inqitha’ antara Abu Shalih dan Malik Ad Daar. Bukankah dari awal yang kita bicarakan ini adalah kemungkinan yang rajih tetapi anehnya semakin jauh kesan yang saya dapat adalah anda menekan saya agar menunjukkan kepastian penyimakan Abu Shalih dari Malik. Kalau anda maunya yang pasti-pasti maka diskusi kita cukupkan saja, karena saya pribadi tidak bisa memastikan apa yang anda kehendaki. Tetapi jika yang dimaksud adalah kemungkinan yang rajih maka kembali akan saya tunjukkan bahwa Abu Shalih mendengar hadis dari Malik Ad Daar.
.

.

Penjelasan Atas Syarat Imam Muslim

Memang Anda telah memberikan penjelasan yang cukup ‘panjang’ terhadap riwayat Maalik Ad-Daar, tapi penjelasan Anda adalah salah alamat. Kesalahan fatal yang Anda lakukan adalah tentang penerapan syarat mu’asharah (sejaman) dari Al-Imam Muslim. Memang benar beliau (Al-Imam Muslim) menetapkan syarat tersebut – yang merupakan syarat lebih ringan daripada syarat yang ditetapkan oleh Al-Imam Al-Bukhari – , namun ternyata di sini Anda berbeda di sisi dalam penerapannya. Anda telah menerapkan secara membabi buta dalam kaitannya terhadap kalimat “kemungkinan bertemu”.

Aneh sekali, hujjah yang saya tunjukkan sebenarnya adalah bukti yang cukup untuk menunjukkan kemungkinan bertemunya Abu Shalih dan Malik. Bagaimana bisa anda mengatakan kalau saya menerapkannya dengan membabi-buta. Imam Muslim tidak pernah mensyaratkan seperti yang anda katakan, kepastian kemungkinan pertemuan dengan meniadakan kemungkinan sebaliknya. Saya rasa andalah yang membabi-buta menambahkan sesuatu yang tidak dikatakan Imam Muslim.

Imam Muslim dalam Shahih Muslim 1/12 berkata

أن القول الشائع المتفق عليه بين أهل العلم بالأخبار والروايات قديما وحديثا أن كل رجل ثقة روى عن مثله حديثا وجائز ممكن له لقاؤه والسماع منه لكونهما جميعا كانا في عصر واحد وإن لم يأت في خبر قط أنهما اجتمعا ولا تشافها بكلام فالرواية ثابتة والحجة بها لازمة إلا أن يكون هناك دلالة بينة أن هذا الراوي لم يلق من روى عنه أو لم يسمع منه شيئا فأما والأمر مبهم على الإمكان الذي فسرنا فالرواية على السماع أبدا حتى تكون الدلالة التي بيناا

Bahwa telah disepakati oleh para ulama setiap perawi tsiqat yang meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an maka itu berarti dimungkinkan untuk perawi tersebut bertemu dan mendengar hadis darinya. Hal ini mungkin terjadi kalau keduanya hidup dalam satu masa. Sebenarnya sekalipun tidak ada kabar yang menyebutkan bahwa keduanya pernah berkumpul dan saling bertatap muka maka hadis mu’an’an tetap diterima dan bisa dijadikan hujjah kecuali apabila ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa perawi tersebut tidak pernah bertemu atau tidak pernah mendengarkan riwayat darinya. Adapun apabila tidak ada bukti yang menunjukkan kemustahilan mereka untuk saling bertemu maka dianggap telah terjadi periwayatan atau penyimakan antara kedua orang tersebut sampai ada bukti yang membatalkan hal tersebut.

Yang saya pahami dari perkataan Imam Muslim adalah jika perawi tsiqat meriwayatkan dengan lafal ‘an maka disitu sudah ada indikasi ke arah penyimakan dan ini bisa terjadi kalau perawi tersebut berada dalam satu masa. Berangkat dari sini, saya telah menunjukan bahwa Abu Shalih adalah perawi tsiqat dan berada satu masa dengan Malik dan tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa Abu Shalih tidak mendengar dari Malik dan tidak ada satupun bukti atau data yang menunjukkan kalau Abu Shalih dan Malik tidak bisa bertemu. Saya menerapkan metode Imam Muslim apa adanya dan maaf tidak membabi-buta.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 1/127-128 mengutip dengan jelas apa sebenarnya pendapat Imam Muslim, An Nawawi berkata

ونقل مسلم عن بعض أهل عصره أنه قال لا تقوم الحجة بها ولا يحمل على الاتصال حتى يثبت أنهما التقيا فى عمرهما مرة فأكثر ولا يكفى امكان تلاقيهما قال مسلم وهذا قول ساقط مخترع مستحدث لم يسبق قائله إليه ولا مساعد له من أهل العلم عليه وان القول به بدعة باطلة وأطنب مسلم رحمه الله فى الشناعة على قائله واحتج مسلم رحمه الله بكلام مختصره ان المعنعن عند أهل العلم محمول على الاتصال اذا ثبت التلاقى مع احتمال الارسال وكذا اذا امكن التلاقى وهذا الذى صار إليه مسلم قد أنكره المحققون وقالوا هذا الذى صار إليه ضعيف والذى رده هو المختار الصحيح الذى عليه أئمة هذا الفن على بن المدينى والبخارى وغيرهما وقد زاد جماعة من المتأخرين على هذا فاشترط القابسى أن يكون قد أدركه ادراكا بينا وزاد أبو المظفر السمعانى الفقيه الشافعى فاشترط طول الصحبة بينهما وزاد أبوعمرو الدانى المقرئ فاشترط معرفته بالرواية عنه ودليل هذا المذهب المختار الذى ذهب إليه بن المدينى والبخارى وموافقوهما ان المعنعن عند ثبوت التلاقى

Apa yang dinukil Imam Muslim bahwa ada ulama yang mengatakan hal dibuat-buat tentang sanad mu’an’an dimana ia mengatakan tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dianggap sebagai hadis muttashil sampai antara kedua perawi dipastikan pernah bertemu di masa hidupnya baik sekali atau lebih bukan hanya disyaratkan bahwa keduanya diperkirakan mungkin saja bertemu. Menurut Imam Muslim pendapat ini adalah pendapat baru yang tidak pernah didukung oleh seorang ulamapun bahkan tergolong bid’ah yang batil. Imam Muslim mencela orang yang berpendapat demikian. Imam Muslim dengan jelas mengatakan bahwa Sesungguhnya menurut para Ulama hadis mu’an’an dianggap sebagai hadis muttashil jika kedua perawinya dipastikan pernah bertemu walaupun tetap ada kemungkinan irsal, begitu pula dianggap muttashil jika keduanya dimungkinkan untuk saling bertemu. Demikianlah pendapat yang dipegang Imam Muslim dan diingkari oleh para peneliti. Mereka mengatakan pendapat tersebut dhaif dan yang shahih dan dipilih adalah pendapat Ali bin Madini, Imam Bukhari dan yang lainnya. Beberapa ulama mutaakhirin menambahkan persyaratan baru diantaranya Al Qabisi yang mensyaratkan bahwa perawi hadis mu’an’an harus jelas-jelas hidup dalam satu masa. Abu Muzhaffar As Sam’any al Faqih Asy Syafii mensyaratkan adanya persahabatan yang lama, Abu Amr Ad Dani Al Muqri mensyaratkan bahwa perawi tersebut benar-benar diketahui meriwayatkan dari perawi yang dimaksud. Sedangkan mahzab yang dianut Ibnu Madini dan Bukhari dan ulama yang sepakat dengan mereka adalah hadis mu’an’an dianggap muttashil jika diantara para perawinya dipastikan pernah saling bertemu.

Dan di sini, syarat sejaman antara Abu Shaalih dan Maalik Ad-Daar yang Anda bela mati-matian itu tidak cukup menetapkan pertemuan antara keduanya karena masih bersifat kemungkinan.

Kemungkinan untuk terjadinya pertemuan adalah syarat yang cukup menurut Imam Muslim, tidak mesti harus bersifat pasti seperti yang anda inginkan

Oleh karena itu perkataan Anda : Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar dan Malik Ad Daar ternyata masih hidup pada masa khalifah Usman yang Anda kira sebagai satu hujjah ‘mematikan’ pun tidak bernilai apapun ketika masih ada kemungkinan lain yang cukup kuat bahwa Abu Shaalih lahir di akhir masa kekhalifahan ‘Umar dan Maalik Ad-Daar meninggal pada awal masa kekhalifahan ‘Utsman, sehingga dari segi usia (Abu Shaalih) tidak memungkinkan menerima periwayatan dari Maalik Ad-Daar.

Kemungkinan anda tidak memiliki bukti apapun, silakan buktikan atau paling tidak petunjuk yang mengindikasikan bahwa Abu Shalih lahir di akhir masa kekhalifahan Usman dan Malik Ad Daar meninggal pada awal masa kekhalifahan Usman. Saya yakin anda tidak akan mampu membuktikannya, jadi kemungkinan anda sekali lagi adalah kemungkinan yang tidak berdasarkan hujjah apapun. Inilah yang terus berulang kali saya katakan. Sejauh ini saya terus menunjukkan bukti dan petunjuk bahwa semasa Abu Shalih dan Malik memungkinkan untuk menerima periwayatan.
.
.

Tarikh Malik Ad Daar
Saya menyampaikan petunjuk bahwa Malik Ad Daar hidup cukup lama pada zaman kekhalifahan Usman dengan berhujjah dengan pernyataan Ibnu Ma’in yang mengatakan Malik Ad Daar adalah tabiin Madinah dan Muhaddis mereka. Kemudian anda menanggapi dengan berkata

Saya katakan : Ini adalah satu kekeliruan. Makna muhaddits yang disebutkan para ulama hadits terdahulu tidaklah selalu bermakna orang yang memberikan pengajaran dalam halaqah-halaqah. Tapi ia lebih ke makna umum, yaitu orang yang mempunyai riwayat-riwayat hadits.

Sungguh mengagumkan, makna umum anda bahwa Muhaddis adalah orang yang mempunyai riwayat-riwayat hadis merupakan hal yang sangat asing bagi saya. Kalau memang begitu maka makna Muhaddis tidaklah memiliki pujian atau kehormatan apapun karena hampir semua perawi hadis memiliki riwayat-riwayat hadis, itu berarti hampir semua perawi hadis adalah seorang muhaddis. Apalagi ternyata para perawi yang dhaif juga memiliki riwayat-riwayat hadis, menurut pengertian anda maka mereka juga seorang Muhaddis. Mengapa sekarang anda tidak merujuk pada pengertian Muhaddis seperti yang dikatakan oleh para Ulama, misalnya pengertian Muhaddis menurut Al Hafiz As Sakhawi. Bukankah merujuk pada kaidah ulama adalah sesuatu yang sering anda lakukan.

Kalau Anda ingin mengarahkan pada makna bahwa Maalik ini setelah meletakkan jabatannya melakukan pengajaran hadits dalam bentuk halaqah-halaqah, tentu sudah lazim hal ini akan berkonsekuensi akan ternukil banyak darinya riwayat-riwayat hadits yang disampaikan oleh murid-muridnya. Contoh ulama yang membuka halaqah di sini adalah ‘Atha’ bin Abi Rabbah, Sufyan Ats-Tsauri, Maalik bin Anas, dan yang semisalnya; dimana dari mereka ternukil banyak riwayat. Namun hal itu tidak terjadi pada diri Maalik. Maalik Ad-Daar ini – sebagaimana Anda ketahui, semoga – termasuk perawi yang tidak banyak meriwayatkan dan diriwayatkan darinya hadits. Lalu, kemana murid-murid yang menghadiri halaqahnya pada waktu itu ? Atau memang hanya Abu Shaalih, Ibnu Yarbu’, dan dua orang anaknya saja yang meriwayatkan hadits darinya ? Kalau kenyataan hanya sejumlah orang ini, maka logika yang cepat diterima bahwa Maalik ini tidak mempunyai halaqah penyampaian hadits seperti ‘Atha’ atau Sufyan Ats-Tsauri sebagaimana yang Anda klaim. Atau Anda nanti ingin menyebutkan riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Maalik ? silakan, dengan senang hati saya akan memperhatikannya……

Logika anda berkesan benar tetapi menyimpan banyak kerancuan, ia hanya akan tampak benar bagi orang yang tidak pernah belajar ilmu hadis. Pernyataan bahwa Malik Muhaddis Madinah adalah pernyataan yang saya kutip dari Ibnu Ma’in. Tentu seorang Muhaddis akan banyak meriwayatkan hadis, kalau seseorang hanya meriwayatkan satu atau dua buah hadis apakah orang tersebut pantas untuk disebut Muhaddis. Mungkin saja Malik ini memiliki banyak murid dan mungkin saja ia memiliki cukup banyak hadis walaupun pada akhirnya hadis yang sampai kepada kita memang sedikit. Hujjah saya bersandar pada pernyataan Ibnu Ma’in bahwa Malik Ad Daar Tabiin Ahlul Madinah dan Muhaddis Mereka, Hal ini menunjukkan bahwa Malik dikenal di kalangan tabiin madinah sebagai Muhaddis mereka, apakah tabiin madinah itu hanya terbatas pada Abu Shaalih, Ibnu Yarbu’, dan dua orang anak Malik?. Bagi saya pernyataan bahwa Malik adalah Muhaddis bagi tabiin Madinah itu memiliki faedah bahwa banyak tabiin madinah yang belajar hadis dari Malik, mengenai siapa mereka dan mana hadis-hadis mereka maka itu adalah soal lain dan tidak menafikan kalau Malik adalah Muhaddis bagi tabiin Madinah.
.

Analogi yang pas untuk menjawab logika anda ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat dengan redaksi “Rasulullah SAW menyampaikan kepada kami” atau “kami mendengar Rasulullah SAW bersabda” atau “Rasulullah SAW berkata kepada orang-orang”. Redaksi seperti ini menyiratkan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan hadis tersebut kepada banyak sahabat sehingga logikanya sudah pasti hadis tersebut akan sampai kepada kita dengan jalur yang banyak. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu, cukup banyak hadis dengan redaksi demikian yang disampaikan dengan jalur satu atau dua sahabat. Bukankah dengan cara berpikir anda maka dapat dikatakan akan ternukil banyak sekali jalan hadis tesebut dari berbagai sahabat yang mendengar langsung hadis tersebut, seandainya kita hanya menemukan satu sahabat saja yang meriwayatkan hadis tersebut maka apakah dengan mudahnya kita akan meragukan hadis tersebut?. Apakah dengan tidak ditemukannya jalur sahabat-sahabat yang lain maka kesaksian satu sahabat ini gugur?. Bagi saya tidak ditemukannya jalur sahabat-sahabat yang lain itu tidak menafikan bahwa hadis tersebut telah disampaikan Rasul SAW kepada banyak sahabat. Camkanlah itu, walaupun saya tidak bisa menunjukkan siapa-siapa yang belajar hadis kepada Malik atau hadis-hadis Malik yang lain maka itu tidaklah menafikan kenyataan bahwa Malik Ad Daar adalah Muhaddis Madinah.

Oleh karena itu, muhaddits di sini maknanya adalah umum sebagaimana yang telah saya tegaskan. Tidak perlu ia seorang yang membuka halaqah-halaqah khusus, sehingga harus ‘lengser’ dulu dari jabatan khaazin. Kalaupun toh hal itu tetap ‘dipaksa’ untuk dipahami bahwa Maalik seorang ahli hadits yang mempunyai halaqah tersendiri di masjid, itupun tidak mesti ia harus tidak menjabat sebagai khaazin.

Saya hanya menunjukkan kemungkinan yang lebih rajih sedangkan klaim seenaknya anda bahwa Muhaddis itu berarti orang yang mempunyai hadis-hadis adalah ngawur karena itu berarti semua periwayat hadis baik tsiqat ataupun dhaif, baik masyhur ataupun tidak adalah Muhaddis. Bukankah setiap perawi hadis memiliki hadis-hadis?. Gelar Muhaddis tidak diberikan kepada sembarang orang, apalagi jika dikatakan Malik Ad Daar Muhaddis bagi tabiin Madinah maka dapat dikatakan bahwa banyak tabiin Madinah yang belajar hadis kepada Malik dan saat itulah Malik menyampaikan hadis-hadisnya. Hal ini lebih mungkin terjadi pada masa Khalifah Usman karena telah cukup dikenal bahwa Masa khalifah Umar adalah Masa pembatasan dalam periwayatan hadis karena Umar melarang para sahabat untuk meriwayatkan banyak hadis, Bukankah Malik termasuk orang dekat Umar dalam pemerintahan sehingga jika para tabiin Madinah belajar hadis dari Malik maka itu lebih mungkin terjadi pada zaman khalifah Usman atau setelahnya. Disinilah saya mengatakan bahwa Malik Ad Daar sudah cukup lama mengajar hadis kepada tabiin Madinah sehingga ia dikatakan sebagai Muhaddis mereka, hal ini menyiratkan bahwa lebih mungkin Malik Ad Daar masih hidup sampai pertengahan atau akhir kekhalifahan Usman.

Logika-logika yang Anda bangun atas taariikh Maalik Ad-Daar ini hanyalah berdasarkan ilmu kirologi (alias kira-kira saja) karena hasrat besar untuk men-tashhih-kan riwayat, namun tanpa landasan yang kokoh.

Sungguh betapa naifnya, bukankah anda sendiri tidak memiliki landasan yang kokoh dalam mendhaifkan hadis Malik Ad Daar?. Bukankah anda tidak memiliki hujjah yang cukup untuk membuktikan kekeliruan pentashihan Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir?. Bukankah illat yang anda pertahankan mati-matian itu hanyalah kira-kira saja alias kirologi?. Ini hanyalah hasrat besar untuk mendhaifkan hadis tanpa ada landasan yang kokoh. Padahal ahli hadis sekelas Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir telah menshahihkan hadis tersebut. Hadis apapun atau seshahih apapun memang bisa saja dicari kemungkinan-kemungkinan untuk mendhaifkannya.

Apakah maksud kalimat Anda : sesuatu yang berlangsung dalam waktu lama alias tidak terjadi dengan sekejap hanya Anda khususkan untuk masa ‘Utsman saja, tidak meliputi masa ‘Umar ? Sungguh tanaqudl hujjah Anda ! Sekali lagi saya katakan : Penamaan Maalik ‘Ad-Daar’ ketika ‘Utsman naik tahta itu karena ia telah menjabat hal yang sama semenjak jaman ‘Umar.

Sudah jelas bahwa anda tidak mengerti apa yang saya katakan atau dimana letak hujjah saya. Saya jelaskan dengan lebih rinci

  • Penamaan Malik Ad Daar itu dikarenakan ia dipercaya oleh Kedua khalifah yaitu Khalifah Umar dan Usman.
  • Sebuah gelar menjadi terkenal atau masyhur dikalangan orang-orang, itu tidak berlangsung dalam sekejap tetapi butuh waktu yang lama karena melibatkan pembicaraan yang terus-menerus di kalangan orang-orang tersebut.

Gelar yang masyhur di kalangan tabiin bahwa Malik bin Iyadh adalah Malik Ad Daar bukanlah sesuatu yang otomatis langsung saja terjadi tepat ketika Malik diangkat oleh Khalifah Usman. Untuk menjadi masyhur maka membutuhkan pembicaraan yang berulang-ulang di kalangan orang-orang pada masa khalifah Usman. Oleh karena itulah waktu lama yang saya maksudkan dimulai dari masa kekhalifahan Usman karena tepat pada saat itu orang-orang mengetahui bahwa Malik telah dipercaya oleh khalifah Umar dan Usman. Disinilah saya membuat kemungkinan yang lebih rajih bahwa Malik Ad Daar masih hidup pada pertengahan atau akhir masa ke khalifahan Usman. Dimana letak sulitnya memahami itu, justru yang sulit jika tiba-tiba ketika Usman diangkat oleh khalifah Usman maka saat itu juga ia berubah menjadi Malik Ad Daar, bagi saya butuh waktu agar gelar tersebut menjadi masyhur di kalangan orang-orang.

Bayangkan saja jika pada awal-awal kekhalifahan Usman, Malik Ad Daar ini wafat maka apakah saat itu orang-orang akan memanggilnya Malik Ad Daar?, saya rasa tidak karena jika memang ia telah wafat maka tidak ada kebutuhan untuk memanggil namanya atau berhubungan dan membicarakan namanya sehingga gelar tersebut tidak akan masyhur di kalangan tabiin, berbeda halnya jika ia menjabat lama sampai pertengahan atau akhir kekhalifahan Usman karena terdapat waktu yang lama bagi orang-orang untuk berhubungan dengan Malik atau membicarakan Malik sehingga gelar tersebut menjadi masyhur di kalangan tabiin.
.
.

Tarikh Abu Shalih As Saman
Dalam pembahasan Abu Shalih sebelumnya, saya mengutip perkataan Adz Dzahabi dalam As Siyar bahwa Abu Shalih menyaksikan peristiwa Pengepungan Usman. Dalam kitab tersebut Adz Dzahabi menggunakan lafal “disampaikan kepada kami”. Kemudian anda menanggapi

Di sini ternyata Anda tidak konsisten dalam berhujjah. Ketika Anda mengkritik saya ketika menggunakan perkataan Al-Khaliliy – dalam bahasan bahwa ada dua pendapat tentang riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar – dengan menggunakan shighah : yuqaalau (dikatakan), dimana Anda mengatakan : Al Khalili tidak menyebutkan dengan jelas siapa yang mengatakan. Namun anehnya di sini Anda menggunakan pernyataan Adz-Dzahabi yang menggunakan shighah yang serupa : “dari apa yang sampai kepada kami”. Apakah Anda pikir perkataan Adz-Dzahabi ini jelas siapa yang mengatakan, sedangkan perkataan Al-Khaliliy itu tidak jelas siapa yang mengatakannya ? Sebuah inkonsistensi yang sangat nyata.

Saya katakan : Anda terburu-buru sekali dalam mengambil kesimpulan. Secara pribadi saya tidak menolak apa yang dikatakan Al Khalili tetapi tidak begitu saja diterima dengan mutlak karena Penukilan Al Khalili menyebutkan dua hal yang berbeda yaitu sebagian mengatakan Abu Shalih mendengar langsung dari Malik dan sebagian lagi mengatakan Abu Shalih mengirsalkannya. Tentu saja untuk menentukan yang lebih rajih maka diperlukan mengetahui siapa-siapa yang berpendapat demikian, sehingga kita dapat membandingkan yang mana merupakan pendapat Ulama mu’tabar. Sedangkan inkonsistensi yang anda tuduhkan pada saya jelas berbeda dengan kutipan Al Khalili karena disana Adz Dzahabi tidak menukil pendapat yang menyelisihi kutipan sebelumnya “Abu Shalih menyaksikan Pengepungan Usman”. Jadi boleh-boleh saja saya berhujjah dengan kutipan Adz Dzahabi tersebut. So, siapa yang tanaqudh? :mrgreen:

Lagipula apa sebenarnya yang anda permasalahkan, kalau anda mau sedikit rajin membuka kitab-kitab lain seperti Tadzkirah Al Huffaz Adz Dzahabi 1/69 no 78 maka akan anda temukan kalau Adz Dzahabi menetapkan bahwa Abu Shalih menyaksikan pengepungan Usman tanpa memakai sighat “apa yang sampai kepada kami”.

Begitu pula jika anda membuka kitab At Tahdzib Ibnu Hajar 3/189 no 417, beliau berkata

ذكوان أبو صالح السمان الزيات المدني مولى جويرية بنت الأحمس الغطفاني شهد الدار زمن عثمان

Dzakwan Abu Shalih As Saman Az Zayat Al Madani Mawla Juwairiyah binti Al Ahmas Al Ghatfani menyaksikan pengepungan Utsman.

Kemudian berdasarkan keterangan ini yaitu Abu Shalih menyaksikan pengepungan Usman, saya membuat perkiraan waktu lahirnya Abu Shalih. Setelah itu anda membantah saya dengan berbagai pengertian baligh beserta kemungkinannya. Pengertian baligh yang anda kutip adalah

  1. Ihtilam yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau yang lainnya
  2. Tumbuhnya rambut kemaluan
  3. Usia lima belas tahun

Dari ketiga kemungkinan itu seharusnya sudah bisa dipilih yang mana yang lebih rajih. Ihtilam dan tumbuhnya rambut kemaluan jelas tidak dapat digunakan sebagai hujjah disini karena kedua pengertian ini justru membutuhkan data baru kapan tepatnya Abu Shalih mengalami ihtilam atau tumbuhnya rambut kemaluan, dan saya yakin anda tidak akan pernah menemukan data itu. Jadi kemungkinan yang lebih rajih adalah yang ketiga yaitu Usia lima belas tahun. Dan seperti kata anda sendiri

Taruhlah kita gunakan usia 15 tahun. Bukankah dengan batasan ini berarti bisa jadi Abu Shaalih lahir pada tahun 20 H ? Jika Maalik wafat di awal-awal pemerintahan ‘Utsman, maka bisa jadi Abu Shaalih ketika itu baru berusia 4 atau 5 tahun. Ini satu kemungkinan.

Kalau memang saya harus menuruti anda maka saya tanya bisakah anak usia 4 atau 5 tahun menerima hadis?. Bukankah sebelumnya anda berkata

“Apakah ada ketentuan umur tertentu bagi seorang anak untuk mendengarkan hadits ?
a)    Sebagian ulama menentukan usia adalah mulai 5 tahun. Inilah yang ditetapkan oleh oleh para ahli hadits.
b)    Sebagian di antara mereka berkata : Yang benar adalah usia mumayyiz. Jika seorang anak telah mengerti satu seruan dan bisa menjawabnya, maka ia sudah mumayyiz dan dibenarkan untuk mendengarkan hadits. Jika hal itu tidak dijumpai pada seorang anak, maka tidak diperkenankan untuk mendengarkan hadits” [Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan, hal. 122].

Anak usia 4 tahun atau 5 tahun biasanya telah mengerti satu seruan dan bisa menjawabnya, maka ia sudah mumayyiz dan dibenarkan untuk mendengarkan hadits. Jadi dengan hujjah anda sendiri maka tidak ada halangan Abu Shalih mendengar dari Malik.

Maka, sangat terbuka kemungkinan dalam hal ini bahwa Abu Shaalih saat menyaksikan peristiwa pengepungan di rumah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu masih berusia 13-14 tahun. Tidak harus selalu dibawa kepada kecondongan 17 tahun ke atas (agar sesuai dengan otak-atik Anda).

Tentu karena saya sendiri tidak memiliki data pasti maka saya katakan kemungkinan tersebut bisa saja terjadi tetapi bagi saya kemungkinan tersebut jauh dan tidak menjadi illat yang menjatuhkan. Oleh karena itu kembali saya tunjukkan kemungkinan lain

Dzakwan Abu Shalih As Saman dikatakan oleh Ibnu Jauzi dalam Al Muntazam Fi Tarikh 7/69 bahwa ia telah mendengar langsung dari Ka’ab Al Akhbar

ذكوان أبو صالح السمان‏ سمع من كعب الأحبار

Dzakwan Abu Shalih As Saman mendengar dari Ka’ab Al Akhbar

Ka’ab Al Akhbar adalah orang Yaman yang pindah dan menetap di Syam, beliau datang ke Madinah pada masa Umar dalam perjalanannya dari Yaman ke Syam. Ka’ab wafat di Syam tepatnya di Hims pada masa pemerintahan Usman . Sedangkan Abu Shalih adalah orang Madinah. Jadi jika dikatakan bahwa Abu Shalih mendengar dari Ka’ab maka lebih mungkin kalau Abu Shalih mendengar dari Ka’ab ketika Ka’ab berada di Madinah yaitu pada masa pemerintahan Umar.

Dengan kata lain pada masa pemerintahan Umar, Abu Shalih sudah dapat mendengar hadis dari Ka’ab maka diasumsikan pada masa Umar, Abu Shalih sudah memenuhi syarat untuk menerima atau mendengar hadis. Berdasarkan hal ini maka tidak ada halangan bagi Abu Shalih mendengar hadis dari Malik Ad Daar yang juga merupakan orang Madinah dan hidup pada masa pemerintahan Umar.

Terkait dengan hal tersebut, maka di sini persoalannya menjadi musykil, karena tidak diketahui secara pasti apakah Abu Shaalih benar-benar semasa dan bertemu dengan Maalik Ad-Daar. Adapun teori-teori dan logika-logika Anda di atas sama sekali tidak berdasar apapun kecuali hanya kecondongan yang telah ada pada diri Anda sebelumnya. Padahal kemungkinan antara bertemu dan tidak bertemu di sini sama kuatnya, tidak bisa ditarjih. Ini satu ‘illat dalam hadits, sama halnya ‘illat yang diisyaratkan oleh Ibnu Shalaah mengenai para perawi mukhtalithiin.

Pernyataan anda bahwa kemungkinan tersebut sama kuatnya adalah pernyataan yang tidak benar, itu adalah klaim anda semata. Abu Shalih benar-benar semasa dengan Malik. Anda mengutip Ibnu Shalah tetapi anda menerapkannya dengan cara membabibuta. Ibnu Shalah sendiri sedang membicarakan perawi mukhtalith, dimana hal tersebut menjadi musykil jika tidak diketahui apakah diriwayatkan sebelum atau sesudah tercampur hafalan. Sayangnya saya tidak melihat kata-kata bahwa Ibnu Shalah menganggap hal yang musykil itu menjadi dhaif. Pendapat yang benar dalam hal ini adalah kedudukan hadis tersebut ditawaqufkan sampai ada dalil lain yang menguatkannya.

Anda menganalogikan perkataan Ibnu Shalah dengan hadis Malik Ad Daar dimana anda mengatakan tidak diketahui secara pasti apakah Abu Shaalih benar-benar semasa dan bertemu dengan Maalik Ad-Daar. Mari saya perjelas rusaknya cara berpikir anda dengan contoh-contoh yang sudah saya sebutkan sebelumnya tetapi tidak anda tanggapi karena menurut anda tidak relevan.

.

.

.

Hadis ‘Amasy dari Abu Shalih
Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy adalah seorang mudallis. Kedudukannya sebagai mudallis berarti memiliki kemungkinan ketika ‘Amasy meriwayatkan hadis dari Abu Shalih dengan lafal ‘an bisa saja sebenarnya ia mendapatkan hadis tersebut dari orang lain yang mendengarnya dari Abu Shalih, Ini sebuah kemungkinan. Tetapi kita ketahui bahwa Abu Shalih adalah guru ‘Amasy sehingga kita dapat menemukan hadis-hadis ‘Amasy dari Abu Shalih yang menggunakan sighat sama’ langsung. Berdasarkan hal ini maka hadis ‘Amasy dari Abu Shalih dengan lafal ‘an juga memiliki kemungkinan bahwa ia mendengar langsung hadis tersebut dari Abu Shalih, Ini kemungkinan yang lain. Berkenaan dengan hadis ‘Amasy dengan lafal ‘an kita dapatkan dua kemungkinan

  1. ‘Amasy tidak mendengar hadis tersebut dari Abu Shalih
  2. ‘Amasy mendengar hadis tersebut dari Abu Shalih

Kedua kemungkinan ini bisa saja terjadi dan satu-satunya cara mentarjihkan kedua kemungkinan tersebut adalah dengan melihat pada kitab-kitab lain apakah hadis tersebut diriwayatkan ‘Amasy dengan sighat sama’ langsung sehingga dengan pasti kita dapat mengatakan ‘Amasy mendengar hadis tersebut dari Abu Shalih. Tetapi jika tidak ada maka hal ini menjadi musykil apakah benar ‘Amasy mentadliskan hadis tersebut atau mendengar langsung hadis tersebut. Oleh karena kita tidak dapat menentukan kemungkinan yang lebih rajih atau kita tidak mengetahui secara pasti apakah dalam hadis ini ‘Amasy mendengar langsung dari Abu Shalih maka hadis tersebut terhukum munqathi dan dhaif.

Penjelasan saya di atas adalah cara berpikir anda yang saya terapkan pada hadis lafal ‘an ‘Amasy. Saya rasa anda mengetahui bahwa hadis lafal ‘an ‘Amasy yang tidak memiliki bukti adanya sanad lain dengan sima’ langsung terdapat pada kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Apakah anda akan mendhaifkan hadis-hadis tersebut?. Ah mungkin tidak karena dari diskusi sebelumnya anda menerima hadis lafal ‘an ‘Amasy dari Abu Shalih. Silakan renungkan

Para ulama tidak menerapkan dengan ketat teori ulumul hadis salah satunya soal mudallis di atas sehingga mereka membuat aksioma baru seperti Ibnu Hajar yang membagi Mudallis dalam kelima tingkatan dan menyatakan bahwa mudallis tingkat pertama dan kedua bisa diterima hadisnya. ‘Amasy dimasukkan Ibnu Hajar dalam mudallis martabat kedua sehingga hadisnya dengan lafal ‘an bisa diterima. Begitu pula Adz Dzahabi dalam Al Mizan juga menyatakan aksioma bahwa hadis-hadis ‘Amasy dengan lafal ‘an dari para Syaikhnya dianggap muttashil. Padahal aksioma-aksioma ulama tersebut lebih merupakan aksi penyelamatan dibandingkan pembuktian. Teori-teori mereka baik Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi tidak menafikan atau memustahilkan kemungkinan ‘Amasy mentadliskan hadis Abu Shalih. Kemungkinan ini tetap ada sehingga tidak bisa dipastikan kalau hadis tersebut muttashil. Disinilah saya lebih mengikuti aksioma Ibnu Hajar atau Adz Dzahabi dibanding teori ulumul hadis yang justru berkembang jauh setelah periwayatan hadis karena implikasinya yang cukup besar yaitu “Mendhaifkan banyak hadis shahih”.

.

.

Hadis Abu Zubair dari Jabir
Abu Zubair adalah perawi tsiqah yang meriwayatkan hadis dari Jabir RA. Hadis-hadisnya dari Jabir ada yang diriwayatkan dengan sima’ langsung dan ada juga yang dengan lafal ‘an. Abu Zubair adalah mudallis martabat ketiga seperti yang dikatakan Ibnu Hajar. Mari kita bicarakan hadis Abu Zubair dari Jabir dengan lafal ‘an. Sama seperti sebelumnya ada dua kemungkinan

  1. Abu Zubair mentadliskan hadis tersebut dari Jabir
  2. Abu Zubair mendengarkan hadis tersebut langsung dari Jabir

Kedua kemungkinan ini bisa saja terjadi pada hadis lafal ‘an Abu Zubair dari Jabir. Cara mentarjihkan dua kemungkinan ini adalah mencari sanad lain hadis tersebut dimana Abu Zubair menegaskan sima’nya dari Jabir. Jika tidak ada maka hal ini menjadi musykil apakah Abu Zubair mentadliskan hadis tersebut atau mendengar langsung hadis tersebut. Oleh karena kita tidak dapat menentukan kemungkinan yang lebih rajih atau kita tidak bisa mengetahui secara pasti apakah dalam hadis ini Abu Zubair mendengar langsung dari Jabir maka hadis tersebut terhukum munqathi atau dhaif.

Penjelasan saya di atas adalah cara berpikir anda yang saya terapkan pada hadis lafal ‘an Abu Zubair dari Jabir. Saya rasa anda mengetahui bahwa hadis Abu Zubair dengan lafal ‘an dari Jabir yang tidak memiliki bukti sanad lain dengan sima’ langsung benar-benar terdapat pada kitab Shahih Muslim. Artinya Imam Muslim sendiri mengakui kalau hadis tersebut shahih.

Para Ulama tidak menerapkan dengan ketat teori ulumul hadis soal mudallis di atas bahkan Ibnu Hajar sendiri tidak menerapkan dengan ketat kaidah yang ia buat mengenai tingkatan mudallis yang hadisnya diterima. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa mudallis martabat ketiga diterima hadisnya jika menyebutkan sima’ langsung tidak dengan lafal ‘an. Tentu saja jika kaidah ini diterapkan maka akan banyak sekali hadis Shahih Muslim yang jatuh ke dalam derajat dhaif. Dalam hal ini saya lebih mengikuti Imam Muslim yang menshahihkan hadis lafal ‘an Abu Zubair dari Jabir karena jika tidak implikasinya akan sangat besar yaitu “Mendhaifkan banyak hadis shahih”.

.

.

Hadis Mu’an’an Perawi Tsiqat Bukan Mudallis
Jika seorang perawi tsiqat meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an dari perawi tsiqat lain dimana kedua perawi tersebut berada dalam satu masa maka memiliki dua kemungkinan

  1. Perawi tersebut mendengar langsung hadis tersebut dari perawi yang satunya
  2. Perawi tersebut memursalkan hadis tersebut dari perawi yang satunya karena sudah sangat dikenal bahwa banyak perawi tsiqat telah mengirsalkan hadis dari perawi tsiqat walaupun berada dalam satu masa

Maka disini kita dapati dua kemungkinan yang bisa saja terjadi dan kita tidak dapat memastikan tidak ada irsal kecuali dengan memastikan bahwa kedua perawi tersebut pernah bertemu atau mencari sanad lain yang menunjukkan sima’ langsung antara kedua perawi tersebut. Jika tidak bisa maka hal ini menjadi musykil apakah benar perawi tersebut mengirsalkan hadis atau mendengar hadis tersebut secara langsung dari perawi yang satunya. Oleh karena kita tidak bisa mengetahui secara pasti apakah perawi tersebut mendengar langsung hadis tersebut dari perawi satunya maka kemungkinan mursal tetap ada sehingga hadis tersebut terhukum munqathi atau dhaif.

Penjelasan saya di atas adalah cara berpikir anda yang saya terapkan pada hadis Muanan perawi tsiqat bukan mudallis. Saya rasa anda tahu bahwa pada zaman Imam Muslim terdapat Ulama hadis yang berpikir dengan gaya anda ini. Ulama tersebut telah mendapat bantahan yang keras oleh Imam Muslim dimana beliau mengatakan kalau pendapat ulama tersebut adalah bid’ah dan batil serta bertentangan dengan ijma’ ulama. Dari sinilah muncul apa yang dinamakan Persyaratan Imam Muslim yang bagi saya jauh lebih tepat diterapkan dibandingkan Ulama hadis tersebut karena jika kaidah ulama tersebut diterapkan akan banyak sekali hadis shahih yang menjadi dhaif.

Persyaratan Imam Muslim berdiri atas dasar kemungkinan pertemuan atau kemungkinan untuk penyimakan hadis. Sedangkan kaidah ulama dengan cara berpikir anda diatas berdiri atas dasar kepastian penyimakan. Jadi sebenarnya dengan cara berpikir anda maka persyaratan Imam Muslim itu berarti “mungkin muttashil” karena tidak memustahilkan terjadinya irsal. Anehnya anda menganggap mungkin muttashil sebagai sesuatu yang menggelikan.

Kemudian berikut yang saya pahami. Hadis-hadis yang memenuhi persyaratan Imam Muslim dianggap sebagai hadis yang muttashil karena jika kedua perawi tsiqat berada dalam satu masa dan meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an maka sudah terdapat petunjuk yang menegaskan bahwa kedua perawi tersebut telah bertemu atau telah terjadi penyimakan hadis. Petunjuk tersebut adalah Kesaksian perawi tsiqat atau kata-kata perawi tsiqat dimana ia mengatakan hadis tersebut dengan lafal ‘an atau dari. Inilah yang saya pahami dari kata-kata Imam Muslim yaitu telah disepakati oleh para ulama setiap perawi tsiqat yang meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an maka itu berarti dimungkinkan untuk perawi tersebut bertemu dan mendengar hadis darinya. Secara umum ini memang bisa diterima karena perkataan orang yang tsiqat adalah perkataan yang dapat diterima.
.
.

Ini bukan persoalan sok ketat atau sok longgar. Tapi bagaimana memahami kaidah-kaidah ilmu hadits yang pada kenyataannya Anda telah banyak melakukan kekeliruan di dalamnya. Menerapkan secara membabi-buta persyaratan ‘sejaman’ dari Al-Imam Muslim.

Maaf saya tidak tertarik dengan pernyataan sok anda soal kaidah ilmu hadis yang anda pikir saya telah melakukan banyak kekeliruan. Lihat kembali contoh-contoh yang saya ajukan di atas, semua itu sangat relevan dengan cara berpikir anda yaitu adanya dua kemungkinan yang tidak bisa dirajihkan. Kenyataannya terdapat kesenjangan antara kaidah ilmu hadis dan penerapannya, kesenjangan yang dialami oleh banyak ulama dari masa ke masa. Silakan saja kalau anda mau menafikan dengan alasan kaidah emas ilmu hadis yang pada kenyataannya tidak secara konsisten diterapkan oleh para Ulama.

Perajihan yang tanpa dasar. Ingat,… satu sanad riwayat hadits itu pada asalnya dihukumi munqathi’. Ia baru dihukumi muttashil jika memenuhi syarat yang telah ditetapkan, termasuk persyaratan sejaman.

Hukum munqathi dengan cara seperti ini hanyalah bentuk kehati-hatian dan bukan bagian dari metode ulumul hadis. Hal ini dikarenakan cara-cara untuk menetapkan suatu sanad sebagai muttashil telah berkembang dengan baik. Dari yang mensyaratkan sima’ langsung sampai dengan yang cukup mensyaratkan sezaman. Padahal persyaratan sezaman agar dapat dianggap muttashil justru memiliki dasar dari kesaksian perawi tsiqat dengan kata lain tidak ada alasan bagi anda untuk mengatakan bahwa hadis para perawi tsiqat dihukum munqathi sampai bisa dibuktikan penyimakannya. Bagi saya hadis para perawi tsiqat adalah shahih sampai bisa ditunjukkan kalau ia munqathi.

Kaidah ini jangan dibolak-balik, bahwa saya yang harus membuktikan bahwa itu adalah munqathi’/mursal. Logika argumen Anda ini cukup aneh. Oleh karena itu, ketika para ulama menetapkan beberapa persyaratan satu hadits dikatakan shahih, maka kewajiban bagi para peneliti untuk membuktikan persyaratan tersebut pada hadits dimaksud.

Apanya yang aneh?. Buka pikiran anda baik-baik, saya tanya apakah jika kedua perawi tsiqat sezaman maka itu pasti muttashil?. Saya yakin anda akan menjawab tidak berdasarkan kenyataan bahwa perawi semasa juga mengirsalkan hadis, lantas mengapa para ulama menganggap sezaman sebagai muttashil, apa dasarnya?. Itu berdasarkan kesaksian atau perkataan perawi tsiqat tersebut yang diterima selagi tidak ada bukti yang menunjukkan kalau perawi tersebut telah mengirsalkan. Bukan berarti saya mengatakan bahwa jika suatu hadis semua para perawinya tsiqat maka sudah pasti shahih. Disinilah tugas kita untuk melihat apakah ada yang menyangkal kesaksian perawi tsiqat tersebut dimulai dari melihat sejarah hidup mereka apakah mereka hidup semasa sehingga mungkin bertemu atau tidak sampai dengan pernyataan ulama mu’tabar yang menetapkan adanya inqitha’.

Jika tidak memenuhi syarat, maka kembali ke hukum asal : dla’if. Jika berhubungan dengan kebersambungan sanad, hukum asalnya : munqathi’ (jika tidak bisa dibuktikan bersambungnya sanad). Anda harus banyak memperhatikan para perkataan para muhaqqiq tentang ini.

Saya setuju dengan kata-kata anda hanya saja saya terkadang melihat selip pada pembicaraan anda. Pembahasan saya yang panjang soal Abu Shalih yang semasa dengan Malik dan Penegasan para Ulama mu’tabar bahwa Abu Shalih meriwayatkan dari Malik tanpa adanya mereka menyebutkan inqitha’ adalah usaha saya untuk menunjukkan bahwa sanad tersebut muttashil. Lagipula bukankah ulama seperti Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir telah menshahihkan hadis tersebut. Kalau anda menyetujui kaidah yang mengatakan bahwa Penshahihan suatu hadis berarti tautsiq terhadap para perawinya maka tidak salah untuk dikatakan bahwa Penshahihan suatu hadis juga berarti penegasan akan bersambungnya sanad tersebut. Pada posisi ini sebenarnya tugas andalah untuk membuktikan kalau memang hadis tersebut munqathi atau dhaif.

Al-Khaliliy telah mengatakan bahwa para ulama di masanya mengatakan bahwa Abu Shaalih telah mengirsalkan hadits dari Maalik dan yang lain mengatakan sima’-nya. Tugas Anda adalah membuktikan bahwa Abu Shaalih benar-benar mendapatkan sima’-nya dari Maalik Ad-Daar.

Aneh sekali, kalau saya berhujjah dengan Al Khalili maka saya katakan

  1. Al Khalili menyebutkan kalau sebagian ulama semasanya menyatakan Abu Shalih telah mendengar langsung hadis tersebut dari Malik
  2. Kemudian saya dapati ternyata para ulama mu’tabar seperti Bukhari, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Saad, Imam Ahmad, Ibnu Hajar, Ibnu Asakir, Adz Dzahabi tidak ada satupun yang menegaskan inqitha’ Abu Shalih dari Malik bahkan mereka menegaskan periwayatannya.
  3. Kemudian saya tidak menemukan keterangan dari Tarikh Abu Shalih maupun Malik yang menunjukkan adanya inqitha’ dan yang terakhir
  4. Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir telah menshahihkan hadis tersebut.

Jadi disini tugas andalah untuk menunjukkan kalau hadis tersebut munqathi. Kalau anda dengan berani mengatakan Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir keliru maka tunjukkan dimana letak kekeliruannya. Tidak hanya membuat dugaan mencari-cari cara untuk mendhaifkan dengan dalih illat.

Pada keterangan di atas, juga pada keterangan sebelumnya, alasan-alasan Anda itu gak ada yang ‘kena’. Perkiraan di atas perkiraan. Pengandai-andaian di atas pengandai-andaian.

Aneh sekali, justru anda yang berandai-andai. Saya lihat tidak satupun anda membawakan petunjuk adanya inqitha’ Abu Shalih dari Malik. Sejauh ini hujjah anda hanya sebatas dugaan inqitha’ yang menurut saya hanya dicari-cari saja. Lucunya anda dengan semangat mengatakan kalau itu adalah illat yang masyhur. Padahal syaikh Al Albani sendiri sedikitpun tidak menyinggung soal inqitha’ ketika ia mendhaifkan hadis Malik Ad Daar. Syaikh malah berhujjah dengan majhulnya Malik Ad Daar yang menurut anda adalah hujjah yang lemah. Ditambah lagi Syaikh telah menghasankan hadis Malik Ad Daar dari Ibnu Yarbu’ padahal kedudukannya tidak jauh berbeda dengan hadis Abu Shalih dari Malik, Silakan lihat Ibnu Yarbu’ juga tidak dikenal penyimakannya dari Malik Ad Daar sama seperti halnya Abu Shalih.

sudah saya katakan berulang kali – sampai bosan – bahwa irsal itu tidak hanya berasal dari perkataan ulama mu’tabar, melainkan juga pada penelitian taariikh. Tidak ada orang yang ngotot dengan pernyataan ini kecuali mereka yang memang malas untuk menelaah kitab para ulama.

Dan sudah saya katakan berulang-ulang sampai bosan mana penelitian Tarikh yang membuktikan bahwa Abu Shalih mengirsalkan hadis dari Malik Ad Daar. Buktikan dong, jangan sekedar klaim. Tidak ada orang yang ngotot dengan pernyataan ini kecuali orang yang terpengaruh kecenderungan mahzabnya untuk mendhaifkan hadis tawasul.

Kritik Anda saya terima, karena setelah saya cek ulang, memang ada kalimat yang keliru dalam tulisan saya tersebut. Di situ saya menulis :
Sekarang saya tanya ulang kepada Anda : “Adakah kemungkinan bahwa Abu Shaalih tidak bertemu dengan Maalik Ad-Daar dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan ?”.
Seharusnya, kata “tidak” dalam kalimat di atas tidak ada. Sehingga kalimat yang benar adalah :
“Sekarang saya tanya ulang kepada Anda : Adakah kemungkinan bahwa Abu Shaalih bertemu dengan Maalik Ad-Daar dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan ?”.
Sudah saya ubah. Perubahan ini tidak terlalu esensial dalam inti sanggahan, karena ini murni karena adanya kekeliruan dalam penambahan sisipan kata “tidak”.

Lucu, lucu sekali. Maaf anda bahkan tidak paham bagian mana yang saya kritik. Yang saya kritik adalah cara berpikir anda yang keliru dan dengan mudahnya anda mencari pembenaran dari pernyataan Abu Umar Utaibiy yang anda kutip. Perhatikan baik-baik penjelasan saya

.

.

Pernyataan Abu Umar Utaibiy

Apabila seorang perawi sejaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila diketahui ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqathi’.

Tidak ada keterangan kalau Abu Shalih tidak bertemu Malik maka tidak ada alasan untuk menyatakan munqathi

Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sejaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar

Tidak ada imam mu’tabar yang menegaskan ketiadaan sima’ maka hukum asal dua perawi sezaman adalah bertemu. Abu Shalih sezaman dengan Malik. Jadi tidak ada alasan mengatakan inqitha’

atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits)”

Abu Shalih dan Malik sama-sama penduduk Madinah dan sezaman. Jadi tidak ada alasan berhujjah dengan perbedaan negeri yang jauh atau rihlah. Sekarang tinggal yang anda cetak tebal. Perhatikan disitu dikatakan Tidak adanya kemungkinan bertemu. Nah Mengapa tidak ada kemungkinan bertemu? Kutipan di atas menyebutkan karena Usia belia perawi yang tidak memungkinkan menerima periwayatan. Disini sudah jelas kalau perawi tersebut memang usianya belia artinya dari kitab tarikh dapat ditentukan berapa usianya saat itu atau dengan kata lain usia belianya itu memang sudah pasti dan tidak sebatas kemungkinan. Hal ini berbeda dengan klaim anda yang hanya sebatas dugaan atau kemungkinan usia Abu Shalih belia. Anda sendiri tidak dapat memastikan kalau usia Abu Shalih masih belia sehingga tidak memungkinkan menerima periwayatan. Jadi pernyataan Abu Umar Utaibiy tidak  membuat hadis Malik Ad Daar menjadi dhaif dan anda seenaknya menyamakan hujjah anda dengan pernyataan Abu Umar Utaibiy padahal ada perbedaan signifikan antara penjelasan hujjah anda dengan kutipan Abu Umar Utaibiy yang anda kutip. Inilah kritik saya itu 😦

Jika demikian, apanya yang tidak nyambung ? Bukankah indikasi tidak bertemunya Abu Shaalih dengan Maalik itu ada ? Tepatnya : Ada kemungkinan Abu Shalih tidak mendengar dari Maalik

Justru indikasi bertemunya Abu Shalih dengan Malik jauh lebih rajih.

Secara global kita katakan bahwa ada dua kemungkinan : Mungkin bertemu, mungkin pula tidak bertemu. Ya karena dua kemungkinan ada, dan Anda tidak bisa memberikan tarjih yang valid akan kemuttashilannya, maka kembali ke hukum asal : munqathi’. Sangat sesuai dengan inti kaidah di atas. Inilah yang namanya ‘illat ketika dua kemungkinan tidak bisa ditarjih. Jangan Anda berlogika terbalik dengan mengatakan : Kembali ke hukum asal, yaitu muttashil. Dengan dasar apa Anda hukumi sanad tersebut adalah muttashil ? Maksimal yang dapat Anda katakan adalah : “Sanad hadits tersebut ‘mungkin’ muttashil”. Tapi apa ada ya penghukuman hadits : ‘mungkin’ mutattashil ? Jika ada, tentu cukup menggelikan.

Silakan baca sekali lagi, maaf saya rasa selera menggelikan anda itu buruk sekali bahkan sebenarnya hujjah anda sendiri menggelikan tetapi sayang sekali anda tidak menyadarinya.

Atau Anda ingin mengatakan bahwa hukum perawi tsiqah non-mudallis adalah muttashil (sebagaimana yang ingin Anda kesankan berulangkali) ? Sebagaimana perkataan Anda : “Karena dalam hal ini telah ditetapkan bahwa hadis lafal an dari perawi tsiqat bukan mudallis adalah muttasil jika tidak ada keterangan yang membatalkannya”. Dari mana Anda dapatkan kaidah ini ? Asli, saya pingin tahu itu…… Tsiqah dalam hadits shahih adalah satu persyaratan, dan muttashil adalah persyaratan yang lain.

Silakan baca kembali, pahami baik-baik pernyataan muttashil itu bersandar pada perkataan perawi tsiqat sendiri dimana lafal ‘an sudah menunjukkan adanya kemungkinan penyimakan.

Jadi gak ada hubungannya bahwa riwayat perawi tsiqah yang bukan mudallis itu hukum asalnya adalah muttashil.

Apanya yang gak ada hubungan, apa alasan anda mengatakan tidak berhubungan. Saya rasa anda tidak mengerti maksud saya dengan benar. Ini terbukti dari kata-kata anda berikutnya

Padahal lazim diketahui bahwa banyak perawi tsiqah yang bukan mudallis itu mengirsalkan hadits.

Oooh jadi karena banyak perawi tsiqah bukan mudallis mengirsalkan hadis maka anda katakan pernyataan saya hadis lafal an dari perawi tsiqat bukan mudallis adalah muttashil jika tidak ada keterangan yang membatalkannya itu mengada-ada. Apakah anda tidak memahami kata-kata saya jika tidak ada keterangan yang membatalkannya. Adanya irsal jelas termasuk yang membatalkan apa yang saya maksud dengan muttashil. Tetapi jika tidak ada irsal maka lafal an dianggap muttashil.

Saya tanya kepada anda, Apa dasarnya anda mengatakan kalau perawi tsiqat sezaman itu muttashil?. Padahal lazim diketahui bahwa banyak perawi tsiqah yang sezaman telah mengirsalkan hadis. Dengan cara berpikir anda maka persyaratan sezaman itu tidak cukup karena masih terdapat kemungkinan perawi tersebut mengirsalkan hadis. Jadi mungkin bertemu mungkin saja tidak. Kesimpulannya persyaratan Imam Muslim itu mungkin muttashil. Sesuatu yang anda katakan “menggelikan”

Mungkin ini saja yang dapat saya tuliskan, mohon maaf jika banyak terjadi pengulangan yang sudah pasti agak membosankan, karena tulisan Anda seringkali mengharuskan adanya pengulangan tersebut.
.

Salam damai

.

.

Catatan :

  • Maaf  kalau tanggapannya agak lama karena saya baru bisa update sekarang 🙂
  • Lamanya saya tidak menulis, Syukur akhirnya saya bisa memaksakan diri untuk update :mrgreen:
  • Sayang sekali, keadaan masih belum lebih baik 😦
  • Sebenarnya saya punya analisis tersendiri soal Mudallis tetapi saya rasa tulisan ini saja sudah terlalu panjang

12 Tanggapan

  1. Whuihhh…!

    Perdebatan berjilid-jilid dan menguras energi ini Abul-Jauzaa toh msh tidak bisa membuktikan tidak bertemunya Abu Shalih dan Malik. Padahal Imam Muslim sdh memberikan isyarat dibolehkannya menggunakan dalil syarat sejaman karena ada kemungkinan bertemu yang berarti tidak mengharuskan bertemu muka.

    Nanti kalau ada ditemukan riwayat bahwa mereka berdua pernah bertemu, saya tdk heran jika Abul-Jauzaa akan membantah lagi dengan mengatakan bahwa belum tentu Malik pernah menyampaikan hadits Rasul saw ke Abu Shalih. Harus ada riwayat shahih dulu yg menyatakan demikian. Waduh…!

    Tapi, saya kira pembaca sdh tau siapa yg berdalil dan siapa yang berdalih.

    Btw, semoga SP baik-baik, sehat-sehat dan bahagia saja selama ini.

    Salam

  2. si SP pun juga blm bisa membuktikan keshahihan riwayat tsb.. hanya ilmu kira2, kemungkinan etc… yg gw liat hanya jidal ajah.. lagian juga sudah dibahas oleh Tonggos kalo riwayat tsb tidak bisa dijadikan hujjah untuk bertawasul kepada org mati.. jadi ya useless dech pembelaan thd riwayat tsb.. wuakakakak…….

  3. @imem

    SP tidak sedang membuktikan apa-apa saya kira. Ia hanya memaparkan dan menunjukkan kedudukan riwayat Malik ini dimana keshahihan haditsnya sendiri sdh ditegaskan oleh Ibnu Katsir dan Ibun Hajar. SP sdh menukilnya di awal-awal tulisan mengenai Malik ini.

    Sementara cacat yg dipaksakan oleh Abul-Jauzaa mengenai Ingitha’ Abu Shalih jg sdh dimentahkan oleh argumen SP serta dengan dalil syarat sejaman oleh Imam Muslim.

    Salafusshalih sdh menguatkan hadits riwayat Malik ini. Lalu apa lagi? Ulama mana sih sebenarnya yg diberi prdikat Salafusshalih? Imam Muslim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir atau Syeikh Al-Albani?

    Saya perhatikan anda dan manhaj anda tdk pernah konsekuen dgn ucapan. Sering berubah sesuai selera saya rasa.

    Salam

  4. @armand
    saya nggak keberatan kok untuk diskusi panjang, yang penting diskusinya lebih substantif dan alhamdulillah saya suka diskusi dengan beliau 🙂

    Btw, semoga SP baik-baik, sehat-sehat dan bahagia saja selama ini.

    Salam

    Terimakasih tetapi kata-kata selama ini lebih baik dihilangkan aja, agak gimana gitu, lagian udah lewat kan 🙂

    @imem

    si SP pun juga blm bisa membuktikan keshahihan riwayat tsb.. hanya ilmu kira2, kemungkinan etc… yg gw liat hanya jidal ajah..

    ah silakan dibaca kembali sepertinya anda melewatkan banyak poin penting 🙂 . Ah ya kalau Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir yang menshahihkan apakah anda tidak menerima?

    lagian juga sudah dibahas oleh Tonggos kalo riwayat tsb tidak bisa dijadikan hujjah untuk bertawasul kepada org mati.. jadi ya useless dech pembelaan thd riwayat tsb.. wuakakakak…….

    Oooh udah dibahas oleh anda ya, kayaknya terlewat oleh saya, lagipula orang mau memahami hadis itu seperti apa tidak merubah kedudukan hadisnya yang memang shahih.
    salam

    @armand
    kurang lebih begitulah 🙂

  5. hahahah…si Imem…keliatan katroknya…
    baca belom langsung komentar…
    mulutnya lebih didepan dari otaknya…hihihi

    buat two tumb buat ente….
    itu yg jadi lawan diskusi anda jadi nara sumber di Myqur’an lho
    bahkan lama di saudi sana…
    tapi sayang nggak dipakai akal sehatnya…
    jadi logikanya…ancur2an….heheheh

  6. Ketika Anda mengatakan persyaratan Imam Muslim untuk mu’an’an, nampaknya Anda tidak memperhatikan kalimat yang tertulis setelah kalimat yang Anda bold :

    “Hal ini mungkin terjadi kalau keduanya hidup dalam satu masa.”.

    Satu masa inilah yang kita permasalahkan. Satu masa yang seperti apa ? Satu masa ini adalah satu masa yang memungkinkan menerima periwayatan. Jadi sungguh keliru apabila Anda berteori bahwa lafadh ‘an dari perawi tsiqah ghair mudallis itu sudah pasti muttashil. Dan hal di atas yang sejak awal kita bahasan.

    Satu masa yang memungkinkan menerima periwayatan inilah yang harus dipastikan. Mafhum mukhalafahnya, harus ditiadakan kemungkinan tidak satu masa dan atau tidak memungkinkan menerima periwayatan (karena usia belia) – sebagaimana telah saya tuliskan penjelasannya dari Abu ‘Umar Al-‘Utabiy.
    Inilah namanya persyaratan. Untuk mengklaim hadits shahih, maka persyaratan ini harus ditegakkan. Pertama, Anda tidak bisa menegakkan persyaratannya. Kedua, Anda tidak bisa menafikkan kebalikannya sebagaimana di atas. Itu saja. Coba Anda baca ulang tulisan Anda…..

    Dan maaf, uraian panjang lebar Anda tidak membuktikan apa-apa selain kata : Kemungkinan – yang bersamaan dengan itu masih ada kemungkinan lain yang sama besar.

    Mengenai muhaddits, saya kira tidak perlu saya ulang, karena Anda sendiri tidak bisa membawakan bukti kepada saya murid-murid Maalik Ad-Daar selain dari Ibnu Yarbu’ dan dua orang anaknya. Tentu saja itu jika Anda asumsikan bahwa Maalik Ad-Daar disebut Muhaddits jika membuka halaqah-halaqah. Intinya, klaim Anda bahwa status Muhaddits bagi Maalik Ad-Daar harus dibawa pada kemungkinan setelah ia meletakkan jabatannya sebagai khaazin tidak mempunyai dasar yang kuat. Betapa banyak muhadiits yang tidak mempunyai halaqah pengajaran ? Inilah yang saya tekankan dalam tulisan saya. Tidak perlu Anda membahas melebar kemana-mana. Karena sebutan Muhaddits itu bukan khusus pada orang yang membuka halaqah. Justru jika Anda mengkhususkan tentang ini, inilah yang sangat baru bagi saya selama saya membaca buku2 hadits. Kalau boleh, bisa disebutkan rujukannya ?

    Mengenai bahasan inkonsistensi, maka sebenarnya yang menjadi penekanan adalah ketika Anda mengatakan mengenai perkataan Al-Khaliliy bahwa ia hanya dikatakan oleh orang yang tidak jelas – begitu menurut Anda. Hal yang sama dapat ditemui dalam banyak hal, termasuk perkataan Adz-Dzahabi yang Anda nukil. Jadi sebenarnya komentar Anda terhadap pernyataan Al-Khaliliy bukanlah satu hal patut ditunjukkan. So, tidak perlu Anda bersikap sinis terhadap perkatan Al-Khaliliy, karena dengan cara berpikir sama, menjadikan argumentasi Adz-Dzahabi adalah sama kedudukannya dengan Al-Khaliliy.

    Ada hal yang baru saya kira dalam argumentasi Anda. Yaitu penggunaan riwayat Abu Shaalih dari Ka’b Al-Ahbaar. Inti yang saya tangkap bahwa Anda ingin mengemukakan bahwa penerimaan riwayat Abu Shaalih dari Ka’b Al-Ahbaar terjadi di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab – yang kemudian Anda asumsikan Abu Shaalih ketika itu sudah layak menerima riwayat. Ada baiknya saya nukilkan beberapa ulasan mengenai Ka’b ini :

    – كعب الأحبار كعب بن ماتع الحميري (د، ت، س)
    هو: كعب بن ماتع الحميري، اليماني، العلامة، الحبر، الذي كان يهوديا، فأسلم بعد وفاة النبي -صلى الله عليه وسلم – وقدم المدينة من اليمن في أيام عمر -رضي الله عنه – فجالس أصحاب محمد -صلى الله عليه وسلم – فكان يحدثهم عن الكتب الإسرائيلية، ويحفظ عجائب، ويأخذ السنن عن الصحابة.
    وكان حسن الإسلام، متين الديانة، من نبلاء العلماء.
    حدث عن: عمر، وصهيب، وغير واحد.
    حدث عنه: أبو هريرة، ومعاوية، وابن عباس، وذلك من قبيل رواية الصحابي عن التابعي، وهو نادر عزيز.
    وحدث عنه أيضا: أسلم مولى عمر، وتبيع الحميري ابن امرأة كعب، وأبو سلام الأسود.
    وروى عنه: عدة من التابعين؛ كعطاء بن يسار، وغيره، مرسلا.
    وكان خبيرا بكتب اليهود، له ذوق في معرفة صحيحها من باطلها في الجملة.
    وقع له رواية في (سنن أبي داود)، و(الترمذي)، و(النسائي).
    سكن بالشام بأخرة، وكان يغزو مع الصحابة.
    روى: خالد بن معدان، عن كعب الأحبار، قال:
    لأن أبكي من خشية، أحب إلي من أن أتصدق بوزني ذهبا. ..اهـ

    Itu yang ada dalam kitab As-Siyar (5/488) – Terbitan Ar-Risalah.

    Coba Anda perhatikan kalimat : سكن بالشام بأخرة “tinggal di negeri Syams di akhir hayatnya”.
    Kapan ia meninggal ? Jawabnya : di akhir pemerintahan ‘Utsman. Sungguh aneh Anda membawa kecondongan (bahkan mengarah pada pemastian) bahwa Abu Shaalih menerima riwayat ketika di masa ‘Umar. Mengapa Anda menutup kemungkinan ia menerima riwayat di masa ‘Utsman ? Sangat mungkin sekali…. yaitu sebelum ia pindah dan menetap di Syam diakhir hayatnya (yaitu di akhir pemerintahan ‘Utsman). Taruhlah misal Abu Shaalih lahir tahun 21 atau 22 H (dan ini sangat mungkin ia lahir pada tahun tersebut) yang bertemu dengan Ka’b tahun 33 H – yang berarti usia Abu Shaalih waktu itu adalah di atas 10 tahun. Ini pun juga jelas sangat memungkinkan.
    Sungguh aneh Anda ini…….

    Akhirnya, karena bahasan Anda hanya menghasilkan dua kemungkinan antara menerima dan tidak menerima periwayatan antara Maalik Ad-Daar dan Abu Shaalih, kesimpulan akhir hadits tetap sebagai hadits ma’lul. ‘Illatnya adalah karena faktor irsal. Jadi Bukan termasuk hadits shahih.

    Silakan baca kembali tulisan saya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog_29.html

    Adapun bahasan baligh, silakan Anda lihat bahasan lebih lanjut di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/tanda-tanda-baligh-untuk-anak-laki-laki.html

    Walaahu a’lam.

  7. @ Abul Jauzaa

    Ketika Anda mengatakan persyaratan Imam Muslim untuk mu’an’an, nampaknya Anda tidak memperhatikan kalimat yang tertulis setelah kalimat yang Anda bold :

    “Hal ini mungkin terjadi kalau keduanya hidup dalam satu masa.”.

    Satu masa inilah yang kita permasalahkan. Satu masa yang seperti apa ? Satu masa ini adalah satu masa yang memungkinkan menerima periwayatan. Jadi sungguh keliru apabila Anda berteori bahwa lafadh ‘an dari perawi tsiqah ghair mudallis itu sudah pasti muttashil.

    Tentu saya memperhatikannya, satu hal yang perlu anda pahami ulang dari saya adalah saya tidak pernah memastikan bahwa lafadz ‘an perawi tsiqah ghair mudallis adalah muttashil. Saya mengatakan itu muttashil jika tidak ada yang membatalkannya, karena jika tidak ada yang membatalkannya maka lafadz ‘an menunjukkan penerimaan hadis. Inilah dasar persyaratan Imam Muslim.

    Satu masa yang memungkinkan menerima periwayatan inilah yang harus dipastikan. Mafhum mukhalafahnya, harus ditiadakan kemungkinan tidak satu masa dan atau tidak memungkinkan menerima periwayatan (karena usia belia) – sebagaimana telah saya tuliskan penjelasannya dari Abu ‘Umar Al-’Utabiy.

    kutipan Abu Umar Utaiby juga sudah saya bahas di atas

    Inilah namanya persyaratan. Untuk mengklaim hadits shahih, maka persyaratan ini harus ditegakkan. Pertama, Anda tidak bisa menegakkan persyaratannya. Kedua, Anda tidak bisa menafikkan kebalikannya sebagaimana di atas. Itu saja. Coba Anda baca ulang tulisan Anda…..

    Kita membicarakan kemungkinan yang paling rajih tidak membicarakan kepastian, justru menyatakan dhaif itu harus punya alasan yang kuat.

    Dan maaf, uraian panjang lebar Anda tidak membuktikan apa-apa selain kata : Kemungkinan – yang bersamaan dengan itu masih ada kemungkinan lain yang sama besar.

    Saya tidak keberatan dibilang kemungkinan, tetapi kemungkinan dhaif itu, jauh sekali bagi saya. Kalau anda merasa sama besar ya mau gimana lagi. Saya sudah berhujjah dan anda juga sudah, apa mau dikata 😉

    Mengenai muhaddits, saya kira tidak perlu saya ulang, karena Anda sendiri tidak bisa membawakan bukti kepada saya murid-murid Maalik Ad-Daar selain dari Ibnu Yarbu’ dan dua orang anaknya. Tentu saja itu jika Anda asumsikan bahwa Maalik Ad-Daar disebut Muhaddits jika membuka halaqah-halaqah.

    Saya kecewa karena anda tidak menangkap poin saya dengan tepat. Bukan masalah halaqahnya tetapi perkataan Muhaddis bagi tabiin madinah lebih mungkin menunjukkan banyak tabiin madinah yang belajar padanya.

    Intinya, klaim Anda bahwa status Muhaddits bagi Maalik Ad-Daar harus dibawa pada kemungkinan setelah ia meletakkan jabatannya sebagai khaazin tidak mempunyai dasar yang kuat

    Memangnya inti klaim saya adalah itu?, silakan baca kembali di atas, tidak harus meletakkan jabatan sebagai khazin kok, itu hanyalah kemungkinan yang saya tawarkan.

    Tidak perlu Anda membahas melebar kemana-mana. Karena sebutan Muhaddits itu bukan khusus pada orang yang membuka halaqah. Justru jika Anda mengkhususkan tentang ini, inilah yang sangat baru bagi saya selama saya membaca buku2 hadits. Kalau boleh, bisa disebutkan rujukannya ?

    Saya pribadi beranggapan pembahasan sudah melebar kemana-mana ketika anda mengatakan bahwa muhaddis berarti mereka yang memiliki hadis-hadis. Anda memperluas kriteria muhaddis kemana-mana. Perhatikan dengan tepat dimana poin saya dan bantahlah disitu, nah kalau sudah begitu akan lebih enak.

    Mengenai bahasan inkonsistensi, maka sebenarnya yang menjadi penekanan adalah ketika Anda mengatakan mengenai perkataan Al-Khaliliy bahwa ia hanya dikatakan oleh orang yang tidak jelas – begitu menurut Anda

    Lagi-lagi maaf, anda tidak menangkap poin saya dengan tepat. poin saya adalah ada dua penukilan yang bertentangan disitu dan untuk mencari kemungkinan yang rajih maka diperlukan penekanan siapa orang yang mengatakan perkataan tersebut dengan jelas. Lain ceritanya jika tidak ada penukilan yang bertentangan 😦

    Hal yang sama dapat ditemui dalam banyak hal, termasuk perkataan Adz-Dzahabi yang Anda nukil. Jadi sebenarnya komentar Anda terhadap pernyataan Al-Khaliliy bukanlah satu hal patut ditunjukkan. So, tidak perlu Anda bersikap sinis terhadap perkatan Al-Khaliliy, karena dengan cara berpikir sama, menjadikan argumentasi Adz-Dzahabi adalah sama kedudukannya dengan Al-Khaliliy.

    Saya rasa, saya telah menuliskan dengan jelas perbedaan kutipan Al Khalily dan Adz Dzahabi, satu mengandung pertentangan dan satunya tidak. Jika anda tidak menangkap poin yang saya maksud, maka maafkan mungkin tulisan saya kurang jelas, tetapi saya pribadi merasa poin saya ini sudah saya tekankan jelas di atas.

    Kapan ia meninggal ? Jawabnya : di akhir pemerintahan ‘Utsman. Sungguh aneh Anda membawa kecondongan (bahkan mengarah pada pemastian) bahwa Abu Shaalih menerima riwayat ketika di masa ‘Umar. Mengapa Anda menutup kemungkinan ia menerima riwayat di masa ‘Utsman ? Sangat mungkin sekali…

    Bahasa itu harus digunakan dengan tepat. Sedikit kemungkinan, mungkin terjadi dan sangat mungkin bukanlah sesuatu yang memiliki kedudukan yang sama. Saya sekali lagi menunjukkan kemungkinan yang paling rajih. Ka’ab Al Akhbar adalah orang Yaman yang melakukan perjalanan untuk menetap di Syam, dan sebelumnya dia mampir di Madinah, riwayat-riwayat yang ada memastikan bahwa ia singgah di Madinah pada masa Pemerintahan Umar. Pada masa pemerintahan Utsman kemungkinan besar ia sudah ada di Syam, nah disitulah saya membuat kemungkinan Abu Shalih mendengar Ka’ab pada masa Umar. Bukankah Abu Shalih itu orang Madinah? jadi lebih mungkin Abu Shalih mendengar Malik di Madinah bukan di Syam.

    yaitu sebelum ia pindah dan menetap di Syam diakhir hayatnya (yaitu di akhir pemerintahan ‘Utsman). Taruhlah misal Abu Shaalih lahir tahun 21 atau 22 H (dan ini sangat mungkin ia lahir pada tahun tersebut) yang bertemu dengan Ka’b tahun 33 H – yang berarti usia Abu Shaalih waktu itu adalah di atas 10 tahun. Ini pun juga jelas sangat memungkinkan.
    Sungguh aneh Anda ini…….

    Silakan periksa dengan baik, kondisi yang menurut anda sangat memungkinkan. Apakah mungkin Abu Shalih bertemu Ka’ab pada tahun 33 H?. Saya yakin anda tidak hanya punya kitab As Siyar saja.

    Akhirnya, karena bahasan Anda hanya menghasilkan dua kemungkinan antara menerima dan tidak menerima periwayatan antara Maalik Ad-Daar dan Abu Shaalih, kesimpulan akhir hadits tetap sebagai hadits ma’lul. ‘Illatnya adalah karena faktor irsal. Jadi Bukan termasuk hadits shahih.

    Sudah sejauh ini ternyata kita tidak maju-maju. Andapun tidak pernah menyadari bahwa saya tidak akan pernah menerima irsal dengan kata-kata kemungkinan atau dugaan. Jadi anda tidak pernah mau meyakinkan diri anda untuk membuktikan apakah irsal itu benar terjadi atau tidak?. sedangkan saya sudah berusaha sejauh ini mencoba menerima apa yang anda inginkan sebisa saya, dengan menunjukkan kemungkinan yang lebih rajih Abu Shalih mendengar dari Malik. Intinya semua kembali ke awal. Padahal kerusakan cara berpikir anda soal dua kemungkinan yang tidak bisa dipastikan itu juga sudah saya bahas dengan contoh-contohnya, kalau anda masih mau berkeras ya silakan. Setidaknya kalau anda berani berkata irsal maka anda harus punya petunjuk untuk itu bukan, nah itulah yang dari dulu tidak pernah saya lihat, kok bisa dikatakan irsal?.

    Silakan baca kembali tulisan saya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog_29.html

    Adapun bahasan baligh, silakan Anda lihat bahasan lebih lanjut di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/tanda-tanda-baligh-untuk-anak-laki-laki.html

    Terimakasih sarannya, soal bahasan baligh pun juga sudah saya bahas di atas, kenapa anda tidak pernah memikirkan kemungkinan mana yang bisa dipakai dalam kasus ini. ihtilam dan tumbuhnya rambut kemaluan tidak bisa kita gunakan disini karena saya pribadi tidak menemukan data tentang itu yang ada pada diri Abu Shalih. Bukankah dengan ini lebih mungkin kalau dipakai kaidah usia 15 tahun atau di atasnya. btw terimakasih komentarnya
    Salam

  8. @abul-jauzaa

    Apakah anda tdk nyadar bahwa anda memaksakan Abu Shalih tidak mungkin bertemu dengan Malik tanpa pernah menyodorkan bukti apa pun atas asumsi anda? Padahal Imam Muslim saja sudah memberikan kemudahannya?
    Usaha anda untuk menyanggah SP keliatannya sekedar untuk mempertahankan teori terlarangnya/syiriknya tawassul.

    Jika SP tak keberatan, saya ingin mengajak anda diskusi ke intinya pembicararaan ini mengenai kesyirikan tawassul.

    Benarkah menurut manhaj anda tawassul itu syirik? Atau syirikkah bertawassul kepada mereka yang telah mati dan tidak untuk mereka yang hidup? Mengapa untuk kepada yang mati ini dikatakan syirik?

    Salam

  9. Saya hanya akan sedikit menambah tentang Ka’b bin Al-Ahbar…..

    Mengenai Ka’b ada yang mengatakan ia wafat tahun 32 H (tiga tahun sebelum wafatnya ‘Utsman). Ada juga yang mengatakan 34 H (setahun sebelum wafatnya). Tahun 32 H ini lebih masyhur. Adapun saya mengambil tahun 33 sebagai permisalan tahun pertemuan, untuk gampangnya saja sebagai rata-rata orang awam. Namanya juga permisalan. Kalau mau ngambil tahun 29, 30, atau 31 juga tidak mengapa… no problemo.

    Bahasa Anda bahwa Ka’b hanya ‘singgah’ di Madinah itu nampaknya terlalu berlebihan. Singgah, tentu saja hanya membawa ke pengertian sebentar. Padahal dalam beberapa referensi disebutkan bahwa Ka’b pindah ke Syam di akhir hayatnya, dan ia meninggal di sana. Jadi,…. saat ‘Utsman menjabat,…. Ka’b itu belum pindah ke Syam…. Coba Anda baca kembali sumber-sumber biografi yang ada…..

  10. @abul-jauzaa

    Bahasa Anda bahwa Ka’b hanya ’singgah’ di Madinah itu nampaknya terlalu berlebihan.

    silakan lihat biografi lain soal Ka’ab, At Taqrib misalnya, bukankah disana disebutkan kalau Ka’ab awalnya tinggal di Yaman kemudian pindah ke Syam. Bukankah ini mengisyaratkan bahwa dari awal Ka’ab keluar ke Yaman karena ia mau ke Syam dan dalam perjalanan ia mampir ke Madinah.

    Padahal dalam beberapa referensi disebutkan bahwa Ka’b pindah ke Syam di akhir hayatnya, dan ia meninggal di sana.

    Umur Ka’ ab itu berapa? ada yang bilang hampir 100 tahun, dan bandingkan dengan berapa lama ia di Syam. Jadi pernyataan di akhir hayatnya Ka’ab pindah ke Syam, tidak berarti pada saat ia akan meninggal baru ke Syam. Jika Ka’ab sudah ke Syam sejak awal Utsman menjabat dan ia meninggal tahun 32 H maka tetap bisa dikatakan bahwa di akhir hayatnya ia tinggal di Syam..

  11. Pencari kebenaran mencoba menganalisis ?

    Biasanya orang yang dipercaya untuk menganalisis sesuatu hal adalah seorang yang faqih di bidangnya dan atau yang sudah tahu tentang kebenaran…

    Ini masih mencari kebenaran sudah berani menganalisis, dalam hal diin lagi…

    Kalau sdh begitu yang ada hanyalah akal yang bermain

Tinggalkan komentar