Kekeliruan Ibnu Taimiyyah Terhadap Hadis Tsaqalain

Kekeliruan Ibnu Taimiyyah Terhadap Hadis Tsaqalain

Ibnu Taimiyyah dalam kitab Minhaj As Sunnah mengkritik hadis Tsaqalain berikut “… dan ‘ltrah Ahlul Baitku. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menemuiku di telaga”, Ibnu Taimiyyah berkata

“Sesungguhnya hadis ini diriwayatkan oleh Turmudzi. dan, Ahmad telah ditanya tentang hadis ini, serta tidak hanya seorang dari ahli ilmu yang mendhaifkan hadis ini. Mereka mengatakan bahwa hadis ini tidak sahih.”

Selain itu Ibnu Taimiyyah juga menolak hadis ini karena didalam sanadnya terdapat Qasim bin Hishan, Ibnu Taimiyyah berkata

”Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang Qasim maka ia menyatakan orang itu dhaif”.

Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, hadis ini tidak menunjukkan kepada wajibnya berpegang teguh kepada Ahlul Bait melainkan hanya menunjukan kepada wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an saja. Hadis yang dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyyah dan lebih shahih menurutnya ialah, “Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sesudahnya, yaitu Kitab Allah.” (tanpa tambahan Ahlul BaitKu)

Tanggapan Terhadap Ibnu Taimiyyah

Hadis Tsaqalain salah satunya memang diriwayatkan oleh Turmudzi dalam Sunan Turmudzi, tetapi hadis ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, Mustadrak Al Hakim, Mu’jam Ath Thabrani, Jamius Shaghir, Majmu Az Zawaid, Musnad Abu Ya’la, Shahih Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Jadi pernyataan Ibnu Taimiyyah bahwa hadis ini diriwayatkan Tirmidzi terkesan janggal, karena itu menunjukkan seolah-olah hanya Tirmidzi yang meriwayatkan hadis Tsaqalain dan ini jelas tidak benar.

Anehnya Ibnu Taimiyyah juga mengatakan bahwa banyak yang mengatakan hadis ini tidak shahih, tetapi beliau tidak menyebutkan siapa-siapa yang dimaksud. Imam Turmudzi tidak menyatakan hadis ini dhaif, beliau menyatakan hadis dalam Sunannya hasan gharib, Al Hakim menyatakan hadis ini shahih dalam Mustadraknya dan dibenarkan oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Abu Ya’la meriwayatkan dalam Musnadnya seraya mengatakan bahwa sanad hadis ini tidak mengapa, beliau tidak menyatakan dhaif. Al Haitsami dalam Majmu az Zawaid menyatakan bahwa semua perawi hadis ini adalah tsiqah. Hadis ini juga dishahihkan oleh Jalaludin Al Suyuthi dalam Jamius Shaghir. Jadi dakwaan Ibnu Taimiyyah itu tidak jelas dan meragukan karena cukup banyak yang menguatkan hadis ini dan tidak menyatakan dhaif atau tidak shahih seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyyah.

Ibnu Taimiyyah juga mengisyaratkan bahwa Imam Ahmad mendhaifkan hadis ini, seraya mengatakan bahwa Imam Ahmad menganggap Qasim bin Hishan adalah dhaif. Anehnya Ibnu Taimiyyah tidak menyebutkan dari mana sumber penukilannya dari Imam Ahmad. Qasim bin Hishan adalah salah satu perawi dalam Musnad Ahmad, bukankah Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kesempatan lain menyatakan bahwa Imam Ahmad tidak meriwayatkan hadis kecuali dari perawi yang tsiqah menurut pandangan Imam Ahmad. Seperti yang telah dinukil oleh Ibnu Subki dalam Syifâ al-Asqâm, jilid. 10 hal 11 tentang perawi-perawi Ahmad bin Hanbal

“Ahmad(semoga Allah merahmatinya) tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat dipercaya (ats-tsiqah). Ibnu Taimiyyah telah berterus terang tentang hal itu di dalam kitab yang dikarangnya untuk menjawab al-Bakri, setelah sepuluh kitab lainnya. Ibnu Taimiyyah berkata, ‘Sesungguhnya para ulama hadis yang mempercayai ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil ada dua kelompok. Sebagian dari mereka tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat dipercaya dalam pandangan mereka, seperti Malik, Ahmad bin Hanbal dan lainnya.”.

Jadi sebenarnya Qasim bin Hishan itu adalah tsiqah dalam pandangan Imam Ahmad. Hal ini juga dibenarkan oleh Syaikh Ahmad Syakir pentahqiq dan pensyarh Musnad Ahmad(lihat komentar syaikh Ahmad Syakir hadis no 3605), beliau justru dengan jelas menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Oleh karena itu dakwaan Ibnu Taimiyyah tentang Qasim dan pernyataannya bahwa Imam Ahmad telah mendhaifkan hadis Tsaqalain adalah tidak benar.

Pernyataan Ibnu Taimiyyah bahwa hadis ini tidak menunjukkan keharusan berpegang kepada Ahlul Bait melainkan keharusan berpegang kepada Kitabullah saja juga tidak benar karena zhahir hadis justru menyatakan harus berpegang kepada keduanya. Pernyataan Ibnu Taimiyyah ini jelas dilandasi oleh dugaannya bahwa hadis Tsaqalain dhaif dan yang shahih justru adalah hadis dengan riwayat berpegang kepada Kitabullah saja tanpa tambahan Ahlul Bait. Hadis yang dimaksud diriwayatkan dalam Shahih Muslim no 1218 juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abu Dawud

Berkata Jabir bin ‘Abd Allah radiallahu ‘anhu, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam telah berkhutbah: Demi sesungguhnya aku telah tinggalkan kalian sesuatu yang jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan sesat yaitu Kitab Allah (al-Qur’an).

Hadis ini memang shahih tetapi bukan berarti hadis ini bertentangan dengan hadis Tsaqalain, tetapi justru hadis Tsaqalain melengkapi hadis ini apalagi terdapat hadis Tsaqalain riwayat Jabir dalam Sunan Turmudzi dengan tambahan Ahlul Bait dan Turmudzi menyatakan hadisnya hasan gharib dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Turmudzi no 3786.

Bercerita kepada kami Nashr bin Abdurrahman Al Kufi dari Zaid bin Hasan Al Anmathi dari Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Jabir bin Abdullah,ia berkata’saya melihat Rasulullah SAW pada saat menunaikan ibadah haji pada hari Arafah, Beliau SAW menunggangi untanya al Qashwa dan saya mendengar Beliau SAW berkata ”wahai manusia,sesungguhnya Aku meninggalkan sesuatu bagimu yang jika kamu berpedoman kepadanya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Itrati Ahlul BaitKu”.

Jadi hadis riwayat Jabir dalam Shahih Muslim itu tidak menafikan hadis Tsaqalain, justru hadis tersebut harus digabungkan dengan hadis Tsaqalain karena keduanya adalah shahih apalagi hadis Tsaqalain memiliki banyak jalan yang menguatkannya. Kesimpulannya semua pernyataan Ibnu Taimiyyah tentang penolakannya terhadap hadis Tsaqalain adalah tidak benar dan hanya berdasarkan dugaan semata. Beliau sama halnya dengan Ibnul Jauzi tidak mengumpulkan semua riwayat hadis Tsaqalain yang terdapat dalam kitab-kitab hadis.

32 Tanggapan

  1. katanya ibnu taymiyah itu qoulnya dhoif,pa benar..??

  2. @ faris
    hiduuup

  3. @farish
    wah itu kan tergantung dari apa yang dikatakannya
    Setiap ulama karyanya layak dipelajari tapi tetap saja yang terbaik adalah berpegang teguh pada dalil yang benar

    @bara
    🙂

  4. apakah benar fiqh Kontemporer Ibnu Taimyyah banyak yang berbeda dengan fiq-fiqh terdahulu…?

  5. Bismillah… Imam As Subki rahimahullah berkata “Demi Allah, Hai Fulan…tidaklah ada yang membenci Ibnu Taimiyyah kecuali ORANG YANG JAHIL atau PENGIKUT HAWA NAFSU. Adapun orang yang jahil, ia tidak tahu apa yang dikatakannya. Sedangkan pengikut hawa nafsu, ia dihalangi oleh hawa nafsunya dari al haq setelah ia mengetahuinya.”
    Sepertinya anda ini salah satu diantara dua diatas… tapi yg mana? wallahu a’lam.

  6. Semoga Allah memberi anda hidayah menjadi seorang salafy sunni sejati. Banyak belajar saudara muslimku….. suatu kebodohan bertingkat jika seseorang menyandarkan syariat ini pada ustadz atau org alim… sebab akan banyak perselisihannya antara ucapan dan amalannya. Sandarkanlah agama ini kepada manusia yang ma’sum (Rasululllah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam) baarakallahu fiikum.

  7. @nyong.
    Dari tulisan diatas sepertinya jelas bahwa sipenulis tau kog apa yang dikatakannya, malah kayanya ibnu Taimiyyah yg kurang lengkap dasar penolakannya. Maaf saya ga bepegang sm Imam As Subki, rujukan sumber kebenaran saya Ahlul bait As.

    @mslm salafy papua
    anda menyarankan penulis untuk belajar, tp jgn bersandar ke ustadz dan orang alim blh info mas tempat belajar yg langsung besandar ke Nabi… Setau saya kita wajib belajar ke orang yg paling pinter (biar jd pinter) dan org alim (biar ga berani merekayasa ilmunya u/ kepentingan penguasa dll) coba deh mas MS Papua mengenal Ahlul bait As (yang Allah telah sucikan) dan mas pelajari tidak ada ijtihad Ahlul bait As yg berbeda dengan Nabi Saww. Maaf mas kalimat anda susah di mengerti terutama kata ‘sandarkanlah agama ini … Pokoknya yg memakai kata dasar ‘Sandar’ mohon di jelasin lg mas.
    Dari pembelaan ibn Taimiyyah kepd muawiyah sudah jelas mencerminkan siapa dia.
    salam damai.
    itu beda arti lho mas

  8. @Nyong & Muslim Salafy Papua (Insya Allah)

    Berpegang teguhlah kepada Rasulullah dan para Ahlul Baytnya, jangan berpegang teguh pada Ibn Taimiyyah atau Imam As Subki.

    Agama bukan untuk disandarkan, akan tetapi dipahami, dilaksanakan dan dijadikan tuntunan dalam hidup.

    Madzhab/paham disini adalah baik semua. Tidak ada yg merasa benar disini, anda semua berjalan dengan keyakinan anda, dan saya, kami berjalan dengan keyakinan kami sesuai ajaran Rasulullah dan Ahlul Baytnya . BUKAN DENGAN YANG LAINNYA. Salam damai…yuk dadah

  9. @Nyong

    “Sepertinya anda ini salah satu diantara dua diatas… ”

    …dan sepertinya anda telah yakin (pe-de) bahwa anda tidak salah memilih…. salam, yuk dadah

  10. Utk menerima kata2 Ibnu Taimyiah kita hrs kenal melalui sejarah siapa dia sebenarnya. Sejarah mengatakan bahwa ibnu Taimyiah adalah pencita/pengikut Muawiyah yg membenci Ahlul Bait. Jadi tdk heran apabila ada hadits2 mengenai keutamaan Ahlulbait pasti akan ditolak dgn cara apapun walaupun berbohong.
    Sebagai contoh mengenai Hadits Tsagalain. Ia menolak adanya nama Ahlulbait sebagai penggandeng Alqur’an dgn alasan Bukhari tdk mencantumkan dlm Shahihnya. Ibnu Qayyim mengatakan: Apabila ada yg mengatakan bahwa hadits dari para Muhadits selain Bukhari tdk Shahih maka orang tsb picik. Sebab banyak hadits Shahih yg tdk ada dlm Shahih Bukhari.
    Dan apabila Bukhari mengatakan “setiap hadits yg ada diluar kitab Shahihku adalah batil maka ini sangat betentangan dgn ucapan para ulama lain dan para Huffadz yg telah menshahihkan banyak hadits.
    Jadi saya yakin Hadits Tsagalain adalah Shahih. Dan apabila BENAR Ibnu Taimyiah mengatakan Hadits Tsagalain tdk Shahih maka ia seorang nawashib dn tdk boleh dipercaya. Wasalam

  11. @Nyong

    Bismillah… Imam As Subki rahimahullah berkata “Demi Allah, Hai Fulan…tidaklah ada yang membenci Ibnu Taimiyyah kecuali ORANG YANG JAHIL atau PENGIKUT HAWA NAFSU.

    Wahh.. anda sedang membuat hukum baru ini (bid’ah).
    1. Sejak kapan (Imam?) As Subki pasti benar?
    2. Sejak kapan derajat Ibnu Taimiyyah sebegitu tinggi sehingga bisa menjadi pembeda mrk yg jahil & pengikut hawa nafsu?
    3. Sebegitu mudahnya kah anda (dan mazhab anda) membuat hukum? Karena setiap orangpun akan sama mudahnya membuat pernyataan2 sebagaimana yg dilakukan oleh As Subki.
    4. HARAP TUNJUKKAN DIMANA KEBENCIAN KEPADA IBN TAIMIYYAH YANG ANDA SEBUTKAN DILAKUKAN DI BLOG INI? Yang saya temukandalam tulisan hanyalah bahwa penulis Menganalisa logika Ibn Taimiyyah, menemukan kontradiksi2 dalam cara pikir beliau khusus ttg topik ini, menampilkan dalil2 & ulama2 yang punya pikiran berbeda dg Ibn Taimiyyah,
    5. Jika anda mengklasifikasikan meriwayatkan mengkritisi kekurangan/kelemahan Ibn Taimiyyah sebagai kebencian, maka saya juga bisa mengatakan bahwa mazhab anda, ulama2 anda adalah pembenci Rasulullah dan Ahlul Bayt, karena anda melakukan hal yg sama kepada Beliau SAAW. Harap anda perhatikan ini adalah kalimat pengandaian yang mengikuti logika yang anda usung sendiri.

    Jadi anda harus bisa membedakan mana kebencian dan mana yg proporsional. Kecuali anda mengklaim Ibn Taimiyyah maksum, sekaligus anda menghujat ulama2 yg mengkritik

    Wassalam

  12. @Abelardo
    @Abu Syahzanan

    Banyak belajar saudara muslimku….. suatu kebodohan bertingkat jika seseorang menyandarkan syariat ini pada ustadz atau org alim… sebab akan banyak perselisihannya antara ucapan dan amalannya.

    Jika kita baca dg hati2 komentar dari MSP tidaklah dinisbahkan kepada SP (penulis), sebaliknya komentar beliau dinsibahkan kepada Nyong. Karena isi komentar MSP sangat mengena ketika ditujukan kepada Nyong…. 🙂

    Wassalam

  13. ente syiah ya….
    gak usah nyangkal….
    udah baca al-ahzab : 40 ? kalimat pertama…..?
    yang ada juga, al Quran dan as Sunnah. bukannya dan ahlul bait.

  14. @iwen
    memang bukan 🙂
    Al Ahzab ayat 40 kagak ada tuh Mas “Al Qur’an dan Sunnah” , aneh juga Mas ini :mrgreen:

  15. @SP jangan sok tahu ya di Quran-nya Iwen memang kata kata itu ada kok, maklum agak beda sih qurannya dia dengan Quran umat Islam yg ada sekarang ini..

  16. @iwen dan A_Lee, kok ga ada, bisa dituliskan huruf Arabic nya ga? aneh, kok quran bisa beda ya

  17. مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا {40}
    [Yusufali 33:40] Muhammad is not the father of any of your men, but (he is) the Messenger of Allah, and the Seal of the Prophets: and Allah has full knowledge of all things.

    nih quran nya…
    Yusuf ali..

    dimana ada kata itu…heheheh huakakakak

  18. @Bob

    Yang antum post-kan itu sih Qurannya Umat Islam, sedangkan Qurannya para Tammiyun kan beda

    @qarrabin, have you ever heard one of the way’s we are talking named sarcasm

  19. Ada banyak kekeliruan-kekeliruan,
    Ada banyak maaf-maafan,
    Sampai kapan pun.

    Apakah aku keluru bila ngucapin,
    “Selamat Hari Raya”, maafin luar dalam,
    Di sini?

    Salam Damai!

  20. islam bukan untuk diperdebatkan..ambil yang baik,buang yang buruk…banyak sholat istikhoro biar dapat petunjuk mana yg benar…kalau masalah kilafia terus diperdebatkan orang awam semakin pusing..apa yang mau dilakukan takut salah..

  21. @Rendo,

    Maksudnya orang awam semakin pusing itu apa yah ? apakah yang mas maksud orang awam itu ?
    Menurut saya belajar, berfikir dan mencari yang benar itu suatu kewajiban. apakah anda lebih setuju jika umat hanya menerima tanpa usaha apa-apa ??
    Jika anda menganggap masalah kilafia (*seperti yang anda tulis) tidak layak di bahas, lantas apa yang menjadi jaminan tidak ada orang yang pusing jika sejarah itu tidak dibahas ??

  22. Assalamualaikum,
    Allah SWT, Al-Qur’an dan Sunnah itu sudah pasti, ada disebutkan di dalam Al-Quran, 1 aja sebenarnya sudah 1 paketan ketika kita percaya Rasullullah berarti otomatis kita percaya apa saja yang dibawanya termasuk kitabullah (Perkataan Allah) . Sementara yang jadi masalah itu siapa2 yang jadi pemelihara Agama melalui ke 3 itu, Allah ga mungkin salah, Al-Qur’an terbebas dari penyesatan sementara yang ke tiga itu yang selalu di sesatkan, sampai-sampai pernah Nabi Melarang untuk menuliskan hal2 tersebut, nah sekarang masalahnya adalah sumber datangnya dan yang memelihara hadis tersebut siapa2 saja, silahkan anda mencara sendiri, kalo ada dari saudara2ku memilih dari 4 ulama salaf sebagai sumber nah silahkan saja, dan juga jikalau saudaraku memilh sumber melalui ahlul-bait juga silahkan saja , menurut hemat saya selama itu merujuk kepada Alquran dan Sunnah oke-oke, jangan mudah dihasut orang…. ISLAM HARUS BERSATU. Imam Safi’i aja dalam syairnya pernah mengatakan Jikalau mencintai keluarga Nabi dinggap Rafidah maka sesungguhnya aku adalah Rafidah. so whatt.. kita adalah Kaum Muslimin dan Muslimat, Bersaudara Mencintai Rasulullah beserta Keluarga dan Sahabatnya.

    Wassalam,
    Fajar

  23. Akh SP yang dirahmati Allah SWT
    Ana melihat antum cukup bijak dalam menanggapi setiap masalah dan tidak terlalu fanatis dan ini adalah baik, ana juga belajar untuk hal itu..
    So sebagai pencari kebenaran, untuk masalah ini ana mungkin ada sedikit analisa begini akh, yah memang tidak seorang pun terbebas dari kesalahn dan kekhilafan, namun apabila ia berpendapat dari pemahamannya terhadap Alqur’an dan hadits maka insyaAllah itu adalah ijtihad, begitu juga dengan sikap sahabat Abu Bakar ra, memang beliau ini mungkin bersikap ats pemahaman beliau terhadap hadits nabi tentang warisan itu, maka beliau bersikap demikian, coba ana kasih sedikit contoh agar semoga dapat menambah pemahaman kita :
    1. Seumpama si A mempunyai sebuah mobil, dan suatu ketika si A berpesan kepada antum bahwa jika si A meninggal maka mobil itu jangan diberikan kepada anaknya namun diberikan ke sosial untuk sedekah.
    2. Kemudian si A juga berpesan kepada antum untuk menjaga anaknya jika ia telah meninggal dan mengasihi, memelihara dan mperhatikannya dengan baik.
    3. Setelah si A meninggal si anak meminta agar mobil tersebut diberikan kepadanya..

    Dari sedikit contoh di atas, apa sikap yang antum ambil ya akh? terima kasih jawaban antum…
    Saya rasa mungkin sahabat Abu Bakar ra juga bingung pada waktu itu, dan beliau berijtihad atas apa yang beliau lakukan..
    Salam

  24. @ibnu saud

    Si A keliru sebab wasiat haruslah disampaikan kepada ahli warisnya bukan kepada orang lain, kecuali jika si A tidak mengenal hukum waris. Lebih keliru lagi jika sampai meninggalnya si A, ahli waris msh tdk mengetahui kemana mobil itu akan dilepas.

    Salam

  25. Maksudnya si A kemungkinan tdk mengerti hukum waris atau ia berbuat dhalim

  26. dan kalo si antum pasti tdk pernah keliru. salahpun dapat 1 pahala dan tdk pernah zolim…

  27. Mohon izin berkomentar.

    Hadith-hadith tsaqalain adalah salah satu akar perbedaan antara syiah dengan sunni. Yang dimaksud dengan hadith tsaqalain adalah hadith yang berisi sabda Nabi saw yang menyebutkan perihal tsaqalain (dua pusaka) yang beliau tinggalkan kepada ummat. Pada dasarnya hadith-hadith tsb menjadi kontroversi karena salah satu dari 2 pusaka yang dimaksud adalah “ahlul bayt”. Sedangkan mengenai salah satu pusaka yang lain, yaitu “Kitabullah”, dapat dikatakan tidak ada perselisihan atasnya bagi kedua pihak (syiah dan sunni). Atas dasar hadith inilah syiah menyandarkan doktrin kepatuhan mutlak kepada ahlul bayt (dan itrahnya). Didukung oleh hujjah lain yang diyakini oleh pihak syiah (surah 33:33 dan hadith kisa’), maka status ahlul bayt dan itrahnya sebagai petunjuk/pedoman juga menjadi ma’shum.

    Realitas sejarah juga mencatat adanya upaya menyimpangkan hadith tsaqalain, termasuk yang dialami oleh saya sendiri, dimana dalam pelajaran agama Islam yang diajarkan sejak sekolah dasar, hadith tsaqalain yang diajarkan menyebutkan bahwa 2 pusaka yang dimaksud adalah: Kitabullah dan sunnah Nabi saw. Padahal hadith yang menyebutkan “sunnahku” ternyata derajatnya tidak sahih.

    Saya sudah dapati ada 11 hadith tsaqalain (ada yang pernah mendapatkan lebih?). Semua hadith bersumber dari seorang saksi/pelaku sejarah, yakni Zaid bin Arqam ra. Kecuali 1 hadith yang menyebutkan Ali ra sebagai saksi/pelaku sejarah yang menjadi sumbernya (dalam kitab Musykil Al Athar, karya Ath Thahawi). Sementara 1 hadith lagi menyebutkan Jabir bin Abdillah ra (dalam kitab Sunan Tirmidzi). Hadith yang bersumber dari Ali diatas juga menjadi kontroversi perihal kata “mawla” yang oleh syiah dipahami sebagai pelantikan Ali ra menjadi pemimpin.

    Sepemahaman saya, hadith-hadith tsaqalain awalnya dapat saya bagi menjadi setidaknya 3 kelompok:

    Kelompok pertama adalah hadith-hadith tsaqalain yang terkait dengan peristiwa khutbah Nabi saw di ghadir khumm, yang juga terkenal dengan hadith-hadith ghadir khumm. Kontroversi pemahaman antara syiah dengan sunni terkait hadith ghadir khumm setidaknya mencakup 3 hal:

    – 2 pusaka (Al Quran dan ahlul bayt)

    – siapakah ahlul bayt

    – serta pelantikan Ali ra sebagai pemimpin

    Namun fokus kali ini adalah khusus membahas tsaqalain (2 pusaka) saja. Dalam kelompok ini ada 7 hadith, yaitu:

    – 4 hadith dari Imam Muslim (nomor 5920-5923)

    Yazid bin Hayyan berkata: “Aku bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk di sisinya, Husain berkata kepadanya (Zaid bin Arqam): Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau berjumpa dengan Rasulullah (saw), engkau mendengar sabda beliau, engkau berperang bersama beliau, dan engkau shalat di belakang beliau. Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Wahai Zaid, sampaikanlah kepada kami apa yang engkau dengar dari Rasulullah (saw). Ia (Zaid bin Arqam) berkata: Aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah (saw). Maka terimalah apa yang bisa aku sampaikan kepadamu dan apa yang tidak aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya. Kemudian ia (Zaid bin Arqam) berkata: Pada suatu hari Rasulullah (saw) berdiri menyampaikan khutbah di suatu daerah perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, meninggikanNya, lalu beliau berkhutbah menasehati (kami) dan bersabda: Sekarang mengenai tujuan kita. Wahai manusia, aku adalah manusia (seperti kalian). Sebentar lagi utusan Rabb-ku (malaikat pencabut nyawa) akan datang, dan aku akan menyambut panggilan Allah. Tapi aku akan meninggalkan kepada kalian tsaqalain (2 pusaka), yaitu: Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu berpegang teguhlah kalian padanya dan taatilah. Beliau menasehati (kami) untuk (berpegang teguh kepada) Kitabullah. Kemudian beliau bersabda: Kedua adalah ahlul baytku. Aku ingatkan kalian (akan tanggung jawab kalian) kepada ahlul baytku. Ia (Husain) bertanya kepada Zaid: Wahai Zaid, siapakah ahlul bayt beliau (Rasulullah saw)? Apakah istri-istri beliau bukan ahlul baytnya?. Maka ia (Zaid bin Arqam) menjawab: Istri-istri beliau memang ahlul-baitnya, (namun) ahlul bayt beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat. Dan ia (Husain) bertanya: Siapakah mereka?. Maka ia (Zaid bin Arqam) menjawab: Ali dan keluarga Ali, Aqil dan keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Husain berkata: Mereka semua adalah yang diharamkan menerima zakat. Zaid berkata: Ya”. (Hadith #5920)

    Hadith #5921 memiliki redaksi yang sama dengan hadith #5920, namun berbeda sanad.

    Hadith #5922 juga berbeda sanad dengan hadith #5920, namun memiliki redaksi yang sama dengan tambahan: “Kitabullah berisi petunjuk yang lurus, cahaya, dan barang siapa yang menaatinya dan berpegang teguh padanya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barang siapa yang menyimpang, maka ia tersesat”.

    Yazid bin Hayyan berkata: “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya: Sungguh kamu telah menemukan banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah (saw), shalat di belakang beliau – dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyan (#5920), hanya terdapat variasi kalimat: Rasulullah bersabda: Ketahuilah sesungguhnya aku meninggalkan kalian 2 pusaka. Salah satunya adalah Kitabullah, yang tinggi dan mulia, ialah tali Allah. Barang siapa yang berpegang teguh padanya akan berada dalam petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat. Juga di dalam hadith ini disebutkan perkataan: Lalu kami bertanya: Siapakah ahlul bayt beliau? Apakah istri-istri bukan ahlul bayt beliau?. Dia (Zaid) menjawab: Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita bisa saja mendampingi seorang pria (sebagai istrinya) untuk waktu tertentu. Tapi kemudian bisa saja ia (pria itu) menalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Ahlul bayt beliau adalah keluarga beliau dan keturunan beliau (yang berhubungan darah dengan beliau), yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat. (Hadith #5923)

    – 1 hadith dari Imam Ahmad bin Hambal (4/366)

    Yazid bin Hayyan At Taimiy berkata: “Aku, Husain bin Sabrah, dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Ketika kami duduk di sisinya, Husain berkata kepadanya: Sesungguhnya engkau telah mendapatkan kebaikan yang banyak, wahai Zaid. Engkau telah berjumpa dengan Rasulullah (saw) dan mendengar sabdanya. Engkau juga telah berperang bersamanya dan shalat bersamanya. Engkau sungguh telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Karena itu, ceritakanlah kepada kami apa yang telah engkau dengar dari beliau. Zaid berkata: Demi Allah, usiaku telah lanjut, masaku telah berlalu, dan aku telah lupa sebagian yang telah aku ingat dari Rasulullah (saw). Maka apa yang aku ceritakan pada kalian, terimalah. Dan apa yang tidak, maka janganlah kalian membebankan aku dengannya. Ia (Zaid) berkata: Pada suatu hari Rasulullah (saw) berdiri dan berkhutbah kepada kami di sebuah mata air yang disebut Khumm, yakni bertempat antara Ka’bah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan mengagungkan-Nya. Beliau memberi nasehat dan peringatan. Dan setelah itu beliau bersabda: Wahai manusia, aku hanyalah seorang manusia, hampir saja utusan Rabb-ku mendatangiku hingga aku pun memenuhinya. Sesungguhnya aku meninggalkan 2 pusaka di tengah-tengah kalian. Yang pertama adalah Kitabullah ‘azza wajalla. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, berpegang teguhlah kalian padanya dan taatilah. Beliau menasehati (kami untuk berpegang teguh) kepada Kitabullah. Kemudian beliau bersabda lagi: Dan (yang kedua adalah) ahlul baytku. Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baytku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baytku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul-baitku. Kemudian ia (Husain) bertanya kepadanya (Zaid): Siapakah ahlul baytnya, wahai Zaid? Apakah istri-istri beliau bukan termasuk ahlul bayt beliau? Zaid menjawab: Istri-istri beliau termasuk bagian dari ahlul bayt beliau. Akan tetapi, ahlul bayt beliau adalah mereka yang diharamkan untuk menerima sedekah. Husain bertanya lagi: Siapakah mereka? Zaid menjawab: Keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Husain bertanya lagi: Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah? Ia (Zaid) menjawab: Ya”.

    – 1 hadith dari kitab Mustadrak Al Hakim (Mustadrak ala Sahihain)

    Dari Abu Thufail bin Watsilah: Ia mendengar Zaid bin Arqam ra berkata: “Rasulullah (saw) berhenti di suatu tempat antara Makkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh, dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah (saw) mendirikan shalat. Setelah itu beliau (saw) berkhutbah kepada orang-orang. Beliau memuji dan meninggikan Allah ta’ala, mengingatkan dan menasehati (kami). Kemudian beliau (saw) bersabda: Wahai manusia, aku tinggalkan kepadamu 2 pusaka, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan ahlul baytku, itrahku. Kemudian beliau melanjutkan: Bukankah aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri? Orang-orang menjawab: Ya. Kemudian Rasulullah (saw) bersabda: Barangsiapa yang menganggap aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah juga mawlanya”.

    – 1 hadith dari kitab Musykil Al Athar karya Ath Thahawi (hanya ini yang bersumber dari Ali ra)

    Dari Ali: Nabi saw berteduh di Khum kemudian beliau keluar sambil memegang tangan Ali. Beliau bersabda: “Wahai manusia, bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian? Orang-orang berkata: Benar. Beliau kembali bersabda: Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri, serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata: Benar. Beliau (saw) kembali bersabda: Maka barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya – atau (Rasul saw bersabda): Maka Ali sebagai mawlanya (keraguan di bagian ini dari Ibnu Marzuq). Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah yang berada di tangan kalian, dan ahlul bayt-ku”.

    Kelompok kedua adalah hadith tsaqalain yang terkait dengan peristiwa khutbah Nabi saw di arafah pada saat haji wada, yaitu 1 hadith dari Sunan Tirmidzi nomor 3786. Saya berikan catatan bahwa khutbah Nabi saw di arafah ini sama sekali tidak menyinggung pelantikan Ali ra sebagai pemimpin. Dimana secara pribadi saya menganggap jika Nabi saw memang bermaksud mengumumkan Ali ra sebagai penerusnya, akan lebih tepat jika penyampaiannya pada saat di arafah ini, dimana ummat yang berkumpul jauh lebih banyak dan merepresentasikan berbagai wilayah di dunia Islam, dibanding di ghadir khumm yang hanya mewakili rombongan haji yang hendak pulang ke Madinah dan daerah utara lainnya.

    Dari Zaid bin Al Hasan, ia adalah Al Anmathiy, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah saw dalam hajinya ketika di Arafah, beliau sedang berkhutbah di atas untanya, Al Qahwa, dan aku mendengar beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya aku meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu Kitabullah, dan itrahku ahlul baytku”.

    Kelompok ketiga adalah hadith-hadith tsaqalain yang tidak memiliki penjelasan waktu terjadinya peristiwa. Hanya memberitakan bahwa Nabi saw pernah menyampaikan demikian-demikian. Ada 3 hadith, yaitu:

    – 1 hadith dari Imam Ahmad bin Hambal (3/26)

    Dari Abdul Malik, yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari Athiyyah, dari Abu Sa’id Al Khudriy, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: “Aku tinggalkan untuk kalian 2 pusaka, salah satunya lebih agung dari yang lain; Kitabullah, tali yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan itrahku ahlul bayt-ku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku”.

    – 1 hadith dari Sunan Tirmidzi nomor 3788

    Dari Al A’masy, dari Athiyyah, dari Abu Sa’id. Dan Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam ra, mereka berdua berkata: Telah bersabda Rasulullah (saw): “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh padanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, salah satu dari keduanya itu lebih agung dari yang lain, yaitu Kitabullah, tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telagaku, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sepeninggalku”.

    – 1 hadith dari kitab Al Ma’rifat wat Tarikh karya Al Fasawi (1/536)

    Dari Yahya, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al Hasan bin Ubaidillah, dari Abu Dhuha, dari Zaid bin Arqam, ia berkata: Telah bersabda Nabi (saw): “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan itrahku ahlul baytku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di telagaku”.

    Berdasarkan redaksi hadithnya, saya membagi hadith-hadith tsaqalain setidaknya ke dalam 2 kelompok:

    Kelompok pertama adalah hadith-hadith tsaqalain yang secara redaksional menyebutkan Kitabullah adalah petunjuk/pedoman dst – kemudian menyebutkan ahlul bayt tanpa keterangan ahlul bayt tsb menyertai Kitabullah sebagai petunjuk/pedoman. Ada 5 hadith, yaitu:

    – 4 hadith dari Imam Muslim (nomor 5920-5923)

    Salah satu contoh redaksinya adalah sbb:

    “Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu berpegang teguhlah kalian padanya dan taatilah. Beliau menasehati (kami) untuk (berpegang teguh kepada) Kitabullah. Kemudian beliau bersabda: Kedua adalah ahlul baytku”.

    – 1 hadith dari Imam Ahmad bin Hambal (4/366)

    Redaksinya sbb:

    “Yang pertama adalah Kitabullah ‘azza wajalla. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, berpegang teguhlah kalian dengannya dan taatilah”. Beliau menasehati (kami untuk berpegang teguh) kepada Kitabullah. Kemudian beliau bersabda lagi: “Dan (yang kedua adalah) ahlul baytku”.

    Kelompok kedua adalah hadith-hadith tsaqalain yang secara redaksional menyebutkan Kitabullah dan ahlul bayt “berdampingan sebagai petunjuk/pedoman”. Ada 6 hadith, yaitu:

    – 1 hadith dari Imam Ahmad bin Hambal (3/26)

    Redaksinya sbb:

    “Aku tinggalkan untuk kalian 2 pusaka, salah satunya lebih agung dari yang lain; Kitabullah, tali yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan itrahku ahlul bayt-ku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku”.

    Secara khusus saya hendak memberikan catatan untuk hadith dari Imam Ahmad bin Hambal diatas, bahwa redaksi hadith yang menyebutkan Kitabullah dan ahlul bayt berdampingan sebagai petunjuk/pedoman tidak sefrontal kelima hadith lainnya. Yang saya maksudkan adalah tidak adanya bagian serupa: “apabila kalian berpegang teguh padanya/pada keduanya“. Dapat disimak hadith-hadith selanjutnya.

    – 2 hadith dari Sunan Tirmidzi nomor 3786 dan 3788

    Salah satunya memiliki redaksi sbb:

    “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh padanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, salah satu dari keduanya itu lebih agung dari yang lain, yaitu Kitabullah, tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telagaku”.

    – 1 hadith dari kitab Al Ma’rifat wat Tarikh karya Al Fasawi (1/536)

    Redaksinya sbb:

    “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan itrahku ahlul baytku”.

    – 1 hadith dari kitab Mustadrak Al Hakim (Mustadrak ala Sahihain)

    Redaksinya sbb:

    “Wahai manusia, aku tinggalkan kepadamu 2 pusaka, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan ahlul baytku, itrahku”.

    – 1 hadith dari kitab Musykil Al Athar karya Ath Thahawi

    Redaksinya sbb:

    “Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah yang berada di tangan kalian, dan ahlul bayt-ku”.

    Catatan saya berikutnya adalah: dari 5 hadith terakhir yang redaksionalnya menyebutkan Kitabullah dan ahlul bayt “berdampingan sebagai petunjuk/pedoman”, 4 hadith menggunakan kata “bihi” yang menunjukkan kata ganti tunggal untuk menyebutkan “sesuatu” yang dinisbatkan sebagai petunjuk/pedoman (contoh: jika kalian berpegang teguh kepada“nya”; “nya” disini menggunakan kata “bihi”). Kondisi ini berlaku pula untuk hadith yang bersumber dari Ali ra dalam kitab Musykil Al Athar (yang ada kontroversi pelantikan Ali ra sebagai pemimpin). Jadi meski Kitabullah dan ahlul bayt secara redaksional seakan disebut berdampingan, namun yang hendak dinisbatkan sebagai petunjuk/pedoman hanya salah satu saja, karena penggunaan kata ganti tunggal tsb. Dalam bahasa Indonesia hal ini tidak terlihat karena bahasa Indonesia tidak mengenal kata ganti tunggal-jamak untuk konteks ini, sehingga hanya menggunakan sebutan “nya”. Jika menggunakan bahasa Inggris mungkin dapat terlihat karena seharusnya diterjemahkan sebagai “it” (bukan “them”).

    Jika Kitabullah dan ahlul bayt secara bersama-sama hendak dinisbatkan sebagai petunjuk/pedoman, maka yang digunakan adalah “bihima”.

    Hanya 1 hadith yang secara redaksional benar-benar “mendampingkan Kitabullah dan ahlul bayt sebagai petunjuk/pedoman” dengan menggunakan kata ganti jamak “huma”, (diterjemahkan menjadi “keduanya”; “Wahai manusia, aku tinggalkan kepadamu 2 pusaka, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan ahlul baytku, itrahku”) yaitu dalam kitab Mustadrak Al Hakim. Perlu diketahui, bahwa kitab Mustadrak ini direspons oleh Al Dzahabi dengan kitab Talkhis al Mustadrak yang bermaksud “merevisi” kekurangotentikan hadith-hadith Bukhari dan Muslim (sahihain) yang dibawakan oleh Al Hakim.

    Terakhir, sebagai pelengkap saja, saya hendak menambahkan pemakaian logika sederhana dalam memahami kontroversi tsaqalain, khususnya untuk peristiwa ghadir khumm (ini terlepas dari peristiwa khutbah haji wada di arafah). Bahwa peristiwa tsb terjadi hanya sekali, dan disitu Nabi saw tentu hanya mengatakannya sekali saja. Bagaimana redaksi perkataan Nabi tsb persisnya, wallahua’lam, yang jelas hanya 1 versi (1 pengertian) saja yang benar, tidak ambigu. Bahwa sumber hadith, baik dari tangan pertama maupun tangan berikutnya, hingga akhirnya sampai ke saya dan juga ke Anda, bisa saja menyampaikan redaksi kalimat berdasarkan persepsi/penangkapan/pemahaman si penyampai sendiri.

    Jika saya adalah seorang guru, kemudian di depan seisi kelas saya berseru: “Anak-anak, makanlah apel, buah yang bergizi dan berwarna merah, dan juga jeruk”. Disitu saya hendak menisbatkan apel saja sebagai buah yang bergizi dan berwarna merah. Sementara jeruk, bisa jadi ia bergizi, tapi ia tidak berwarna merah.

    Jika kemudian murid-murid saya bercerita kepada orang tuanya di rumah, mungkin mereka bisa menyampaikan persis seperti apa yang saya maksudkan; tapi mungkin pula mereka menyampaikan pengertian yang berbeda dengan redaksi sbb: Pak Guru berkata “Anak-anak, makanlah apel dan jeruk, buah yang bergizi dan berwarna merah”, atau “Anak-anak, makanlah buah yang bergizi dan berwarna merah, yaitu apel dan jeruk”.

    Barangkali tidaklah terlalu penting perkara apel-jeruk ini untuk mengetahui versi mana yang benar, namun jika terkait dengan perkara petunjuk/pedoman hidup, ia dapat menyebabkan seseorang mengambil jalan yang lurus atau jalan yang sesat.

    Wallahua’lam, silahkan menentukan keyakinan, seperti apa pemahaman Anda terhadap hadith-hadith tsaqalain.

    Kami mengundang Anda sekalian untuk berdiskusi di 1syahadat.wordpress.com

  28. Assalamulaikum wr wb
    Saya masuk ke sini bukan untuk mencaci saudara saya sesama muslim, tapi dari sekian yang saya bca dan pahami kelihatannya memang ada upaya sengaja untuk mejauhkan /mengurangi kemulaian ahlul bayt karena kepentingan politik
    (takut tidak jadi sultan dan sejenisnya), dalam banyak hal saya sepakat syiah, karena dengan aklamasi memilih ahlul bayt sebagai pimpinan maka peluang kita untuk bertengkar jadi lebih kecil, memang nanti jadi problem kalau diantara mereka bertengkar sendiri, tapi sekali lagi ini adalah jalan yang sudah di tunjukkan oleh rosulululloh,
    nah yang saya tidak sepakat adalah tindakan menghina abu bakr, umar dan utsman, buat saya kalau mereka berdosa, itu urusan mereka sendiri dan saya jelas tidak lebih baik daripada mereka apalagi dibanding sayidina ali
    bagi saya syiah hanyalah salah satu mazab ahlul sunnah selama tidak mengubah al-quran
    wassalam

  29. @wahyu

    Kata-kata anda di awal sdh sepantasnya. Namun yg terakhir ini bagi sy ga begitu jelas maksudnya apa.

    bagi saya syiah hanyalah salah satu mazab ahlul sunnah selama tidak mengubah al-quran

    ? 🙂

    Salam

  30. @wahyu

    yang saya tidak sepakat adalah tindakan menghina abu bakr, umar dan utsman, buat saya kalau mereka berdosa, itu urusan mereka sendiri dan saya jelas tidak lebih baik daripada mereka

    waduh kasian sekali yah anda sangat minder padahal
    Rasul pernah memuji Umat yg tdk pernah bertemu melebihi sahabat saat itu dari sisi kedudukannya.

  31. Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. (At-Hadid :10)

  32. […] SUMBER: Blog Analisis Pencari Kebenaran […]

Tinggalkan komentar