Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis Kepemimpinan Imam Ali)

Beliau Saudara Ja’far mengawali tulisannya dengan masalah Imamah yang diyakini oleh Syiah sebagai rukun iman. Berangkat dari sini beliau mempermasalahkan bagaimana dengan umat Islam yang tidak mempercayai Imamah dengan kata lain Islam Sunni. Sebenarnya pandangan Syiah terhadap keislaman Sunni ini sudah ditetapkan oleh ulama Syiah bahwa Sunni adalah sah keislamannya. Ini adalah pendapat yang muktabar di sisi Syiah seperti dalam tulisan saya. Tidak hanya Muhammad Husain Kasyif Al-Githa yang menyatakan seperti itu, Sayyid Abdul Husain Syarafudin Al Musawi dan Murtadha Muthahhari juga berpandangan demikian. Dan pandangan ini memiliki landasan dari hadis-hadis Imam Ahlul Bait as di sisi Syiah.

Beliau kemudian melanjutkan

Jika seandainya Imamah termasuk rukun iman maka seharusnya ada dalil-dalil yang jelas dan tegas dari Al-Qur’an maupun hadis nabi Muhammad SAW tentang hal ini.

Maka jawab saya di sisi Syiah masalah ini jelas memiliki landasan yang kuat dari Al Quran(ini masalah penafsiran) walaupun tidak bersifat tegas(karena memerlukan hadis) tetapi masalah ini memiliki nash yang tegas dalam hadis-hadis Imam Ahlul Bait as di sisi Syiah. Kemudian saudara Ja’far menulis

Setahu saya tidak ada dalil (dari Qur’an maupun hadis) yang mengatakan secara jelas dan tegas bahwa Ali bin Abi Thalib r.a berikut keturunan-keturunannya adalah pengganti rasulullah SAW.

Jawab saya, saya setuju kalau dalam Al Quran tidak ada penunjukkan jelas masalah ini tetapi bagi Syiah banyak sekali hadis-hadis Imam Ahlul Bait as yang bersifat jelas tentang ini.

Sepertinya yang beliau maksud hadis itu hanyalah hadis-hadis dari golongan Sunni saja sedangkan di sisi Syiah maka itu tidak disebut hadis. Pandangan seperti ini adalah tidak benar dan berat sebelah, Syiah mempunyai dasar yang kuat untuk berpegang pada hadis-hadis Imam Ahlul Bait as. Mari kita perjelas

• Syiah berpegang pada hadis-hadis Imam Ahlul Bait as adalah sesuai dengan landasan mereka yaitu Hadis Tsaqalain yang tidak hanya shahih dan mutawatir di sisi Syiah tetapi juga shahih di sisi Sunni.
• Sunni sering mendakwa Syiah membuat-buat hadis dengan mengatasnamakan Ahlul Bait as. Pernyataan ini adalah pernyataan sepihak dan maaf sangat subjektif. Ulama Sunni seringkali menuduh perawi-perawi hadis Syiah sebagai pemalsu hadis. Hal ini tidak bisa diterima karena Syiah memiliki bukti yang jelas dari kitab Rijal mereka tentang perawi-perawi hadis Syiah. Dengan kata lain mengapa Ulama Syiah harus menghukum perawi-perawi hadis mereka dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh Ulama Sunni. Bukankah Ulama Sunni sendiri menetapkan ukuran perawi-perawi hadis mereka(sunni) dengan sumber mereka sendiri tidak dari sumber Syiah.

Baiklah mari kita ikuti kehendak penulis(beliau) dengan berlandaskan hadis-hadis di sisi Sunni saja. Beliau berkata

Adapun dalil-dalil yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a adalah khalifah / imam setelah Rasulullah SAW adalah hadis maudhu’ (palsu) dan dha’if (lemah).

Sekali lagi yang dimaksud hadis di sini maksudnya hadis di sisi Sunni. Mari kita lihat hadis yang beliau maksud,

. “Barangsiapa yang ingin hidup seperti hidupku, ingin meninggal seperti aku meninggal, dan bertempat di surga yang telah dijanjikan Allah SWT kepadaku dan pohon-pohon ditanam oleh kedua tangan-Nya maka dia harus menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin, sebab dia tidak akan mengeluarkan kamu dari kebenaran dan tidak akan memasukkan kamu ke dalam kesesatan” (Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Ath-Thabrani(bukan At Thabari seperti yang dikutip penulis) dalam Al-Mu’jamal Kabir, Ibnu Syahin dalam Syarah as-Sunnah).
Albani berkata : Hadis ini maudhu’ (lihat kitabnya Silsilah al-Ahadits al-dah’ifah wa Mawdhu’ah karya Nashiruddin Albani).

Penulis(beliau) menyatakan hadis ini maudhu’ berdasarkan pernyataan Syaikh Al Albani di atas. Hadis ini dan hadis no 2 serta no 3 memiliki matan yang sama(dengan sedikit tambahan tentang keturunan Ali bin Abi Thalib), hadis ini dijadikan hujjah oleh Ulama Syiah Syaikh Syarafuddin Al Musawi dalam Al Muraja’at dan beliau menyatakan bahwa hadis tersebut shahih. Pernyataan ini ditolak oleh Syaikh Al Albani yang justru menyatakan hadis tersebut maudhu’. Yang perlu diperhatikan adalah hadis ini diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak jilid 3 hal 128 dan beliau menyatakan shahih. Paling tidak ini bisa dijadikan alasan dari pihak Syiah bahwa ada ulama sunni yang menshahihkan hadis ini. Walaupun begitu saya sendiri lebih cenderung untuk menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena dalam perawinya ada Yahya binYa’la Al Aslami yang dikenal dhaif. Oleh karena itu Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak menolak pernyataan shahihnya hadis ini oleh Al Hakim.

Kemudian saudara Ja’far melanjutkan dengan mengutip hadis “Sesungguhnya Ali bagian diriku dan aku bagian darinya. Dan dia adalah pemimpin setiap orang mukmin yang sesudahku” (Musnad Imam Ahmad, Sunan Tirmidzi, dari Ja’far bin Sulaiman). Anehnya beliau mencantumkan hadis ini dalam contoh hadis dhaif atau maudhu’ karena kredibilitas Ja’far bin Sulaiman Al Dhab’i.

Dalam Mizan Al Itidal Adz Dzahabi jilid 1 hal 408 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 2 hal 95 terdapat keterangan tentang Ja’far bin Sulaiman.

• Yahya bin Main menyatakan bahwa Ja’far bin Sulaiman tsiqat
• Ahmad bin Hanbal menilai Ja’far tidak tercela
• Ibnu Saad menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat tetapi tasyayyu
• Hammad bin Zaid berkata perihal Ja’far ”Tidak terlarang menerima riwayatnya meskipun dia Syiah dan banyak menceritakan tentang Ali dan orang Basrah berlebih-lebihan dalam memuji Ali”
• Ahmad bin Adiy menegaskan ”Ja’far itu orang Syiah tetapi itu bukan masalah. Dia juga meriwayatkan hadis-hadis yang menerangkan keutamaan Abu Bakar dan Umar dan hadis-hadisnya tidak ditolak. Menurut pendapatku dia termasuk orang yang pantas diterima riwayatnya”.
• Ibnu Hibban berkata ”Ja’far seorang tsiqat dalam meriwayatkanhadis”.

Berdasarkan ini maka Ja’far bin Sulaiman adalah tsiqat. Keraguan yang disampaikan penulis perihal Ja’far bin Sulaiman seperti dalam kata-kata Sedangkan dalam kitabnya, Ad-Dhu’afa’,bukhari berkata,”Dia diperselisihkan dalam sebagian hadisnya”. Ibnu Syahiin dan Ibnu Ammar mengatakan bahwa Ja’far bin Sulaiman dhaif. Keraguan seperti ini tidak tepat dan tidak bisa dijadikan hujjah karena

• Jika keadaan suatu perawi telah jelas ketsiqatannya maka setiap jarh yang dikemukakan harus disertai alasan yang kuat. Jadi tidak hanya sekedar jarh(celaan).
• Penulis(beliau) tidak menyampaikan apa alasan jarh terhadap Ja’far bin Sulaiman. Dari kitab Al Mizan memang beredar isu kalau Ja’far bin Sulaiman memaki Abu Bakar dan Umar(kemungkinan besar hal ini yang menyebabkan keraguan terhadap Ja’far bin Sulaiman). Saya tidak menemukan alasan yang lain tentang celaan terhadap Ja’far bin Sulaiman selain hal ini. Tetapi isu ini telah dibantah oleh Ulama hadis seperti Ibnu Adiy bahkan Al Dzahabi berkata ketika membenarkan pernyataan Ibnu Adiy ”terbukti bahwa Ja’far bin Sulaiman juga meriwayatkan hadis keutamaan Abu Bakar dan Umar. Jadi Ja’far itu jujur dan polos”.

Ja’far bin Sulaiman adalah perawi hadis Shahih Muslim dan Kitab Sunan serta beliau telah dikenal tsiqat. Oleh karena itu berdasarkan hal ini maka hadis yang dikemukakan saudara penulis itu adalah hadis yang shahih.. Hadis yang dipermasalahkan penulis itu adalah hadis Sunan Tirmidzi no 3712 yang dinyatakan hasan gharib oleh Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadis dengan matan seperti ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad jilid I hal 330 hadis no 3062 & 3063 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 134 dan beliau menyatakan hadis tersebut shahih. Pernyataan Al Hakim ini dibenarkan oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Jadi kesimpulannya hadis tersebut adalah shahih dan dalam hal ini saya menunjukkan keheranan saya terhadap pernyataan penulis yang memasukkan hadis ini dalam contoh hadis dhaif dan maudhu’.

Kemudian beliau penulis itu melanjutkan

Seandainya masalah imamah adalah masalah yang termasuk sangat-sangat penting (termasuk rukun iman / syarat kesempurnaan iman) maka harusnya Rasulullah SAW menyatakan keimamahan Ali dan keturunannya dengan tegas dan sering,

Pernyataan seperti ini sedikit kurang jelas menurut saya. Bagi Syiah keimamahan Ali dan keturunannya bersifat tegas, dan dalil-dalil tentang ini dapat ditemukan dalam kitab Sunni. Bukankah jika Rasulullah SAW menetapkan hal ini berapapun banyaknya mau sedikit atau sering maka itu sudah menjadi hujjah yang nyata.

Kemudian pernyataan beliau yang menyamakan rukun iman dan syarat kesempurnaan iman itu juga layak dikritisi maksudnya. Rukun iman adalah berkaitan dengan apa yang kita yakini. Apa salahnya jika Syiah meyakini setiap apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tentang Imamah(menurut mereka). Lalu apa hubungannya dengan syarat kesempurnaan iman, apakah penulis ingin menyatakan bahwa jika tidak meyakini Imamah maka imannya tidak sempurna. Disini perlu diperjelas keyakinan terhadap Imamah adalah keyakinan yang bersumber dari Rasulullah SAW(menurut Syiah). Tentu saja bagi mereka yang menganggap dalil syiah itu samar atau tidak benar jelas tidak akan mengimaninya. Jadi perbedaannya ada pada persepsi masing-masing.

Saudara Ja’far melanjutkan

sehingga dengan demikian akan dijumpai banyak hadis-hadis yang shahih yang diriwayatkan dari banyak jalur serta tidak ada/sangat sedikit perselihan dalam masalah sanadnya mengenai hal tsb.

Dalil disisi Syiah jelas sangat banyak oleh karena itu mereka mengimaninya. Sedangkan dalil di sisi Sunni maka Syiah lagi-lagi berkata juga banyak, contohnya adalah hadis Al Ghadir yang mutawatir di sisi Sunni. Hadis Al Ghadir ini dari sisi sanad tidak bisa ditolak tetapi Sunni memang mengartikan lain hadis ini. Yang perlu diingat kesalahan atau penolakan memang selalu saja bisa dicari-cari.

Seprti yang dikatakan saudara Ja’far

Akan tetapi kenyataan yang ada adalah sebaliknya; hadis-hadis tentang keimamahan Ali dan keturunannya adalah hadis yang maudhu’ atau dha’if atau jika tidak maudhu’/dhaif maka akan dijumpai banyak perselisihan dalam hal sanadnya atau sedikit jalur periwayatannya.

Jawab saya: cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar. Mari selanjutnya kita bahas ayat-ayat Al Quran yang dibicarakan oleh penulis tersebut.

4 Tanggapan

  1. yang jadi masalah???? kenapa kalian tidak pelajari keduanya????
    Kemudian Berijtihadlah, selanjutnya yuk….. berlomba-lomba membuat kebaikan??? buat bekal diakhirat sana.

    Gitu aja kok repot???

  2. Kalimat terakhir yang berbunyi :

    ” Jawab saya: cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar. ”

    Mari kita telaah…..

    Menurut Ali r.a. sendiri sebagai seseorang yang diakukan oleh syiah sebagai pemegang amanah keimamahan menyatakan bahwa beliau tidaklah merasa sebagai imam pengganti beliau saw.

    Hadits 2

    حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيُّ وَكَانَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ أَحَدَ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تِيبَ عَلَيْهِمْ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ أَنْتَ وَاللَّهِ بَعْدَ ثَلَاثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ يُتَوَفَّى مِنْ وَجَعِهِ هَذَا إِنِّي لَأَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ اذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الْأَمْرُ إِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا فَقَالَ عَلِيٌّ إِنَّا وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعَنَاهَا لَا يُعْطِينَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أَسْأَلُهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
    Telah menceritakan kepadaku Ishaaq : telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Syu’aib bin Abi Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Azhariy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Ka’b bin Maalik Al-Anshaariy – dan Ka’b bin Maalik adalah salah satu dari tiga orang yang diberikan ampunan (oleh Allah karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk) : Bahwasannya Abdullah bin ‘Abbaas telah menceritakan kepadanya : ‘Aliy bin Abi Thaalib keluar dari menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau, orang-orang bertanya : “Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab; “Alhamdulillah, beliau sudah sembuh”. Ibnu Abbas berkata : “’Abbaas bin Abdul Muththalib memegang tangannya dan berkata : ‘Demi Allah, tidakkah kamu lihat bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi, dan engkau akan diperintahkan dengannya ?. Sesungguhnya aku mengetahui wajah bani ‘Abdul-Muththallib ketika menghadapi kematiannya. Mari kita menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita tanyakan kepada siapa perkara (kepemimpinan) ini akan diserahkan? Jika kepada (orang) kita, maka kita mengetahuinya dan jika pada selain kita maka kita akan berbicara dengannya, sehingga ia bisa mewasiatkannya pada kita.” Lalu ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata; “Demi Allah, bila kita memintanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau menolak, maka selamanya orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Karena itu, demi Allah, aku tidak akan pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4447].

    Hadits 3
    حدثنا إسماعيل بن أبي حارث، ثنا شبابة بن سوَّار، ثنا شُعيب ابن ميمون، عن حصين بن عبد الرحمن، عن الشعبي عن شقيق، قال : قيل لعلي رضي الله عنه : ألا تَستخلف ؟ قال : ما استخلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فَستخلف، وإن يردِ الله تبارك وتعالى بالناس خيرًَا فَسيجمَعهم على خيرهم، كما جمعهم بعد نبيِّهم على خيرهم.
    Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Haarits : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimuun, dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dari Asy-Sya’biy, dari Syaqiiq, ia berkata : Dikatakan kepada ‘Aliy : “Tidakkah engkau mengangkat pengganti (khalifah) ?”. Ia menjawab : “Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat pengganti hingga aku harus mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 3/164 no. 2486]. http://musuhsyiah.blogspot.com/2013/04/takhrij-riwayat-tidak-adanya-khalifah.html

    Dari paparan di atas kita ketahui bahwa syiah mengklaim bahwa Ali ra adalah khalifah pengganti Rosululloh saw setelah wafat beliau, ini merupakan takwil yang salah, karena menurut hadits 1 di saat terakhir Rosululloh saw akan wafatpun Ali ra dan Abbas ra tidak merasa ditunjuk menjadi pengganti beliau. Dipertegas lagi hadits 2 di saat terakhirnya-pun Ali ra, beliau meneladani Rosululloh saw untuk tidak menunjuk pengganti.

    Mana yang benar…. syiah atau Ali ra.

  3. Jadi menurut ente Ali ra, beliau meneladani Rosululloh saw untuk TIDAK MENUNJUK pengganti.
    Trus kalau gitu kenapa Abu Bakar MENUNJUK Umar sebagai pengganti. Naah menurut ente gimana tuuuuh. Rosululloh saw sendiri menurut ente mencontohkan untuk gak menunjuk pengganti jadi menurut ente tindakan Abu Bakar menunjuk Umar itu harus dihukumi mencontoh siapa

  4. @abu azifah
    Saya sangat heran cara berpikir anda. Apakah masih sehat. Anda menegaskan sesuai hadits diatas bahwa sampai akhir hidup Rasulullah SAW tidak menunjuk pengganti. Jadi menurut anda setelah Rasulullah berjuang begitu lama menjalankan perintah Allah kemudian ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang melanjutkan untuk memberi petunjuk. Aneh. Sedangkan dalam Alqur’an begitu banyak Firman Allah yang menyatakan bahwa disetiap masa. setiap kaum akan ada orang2 yang akan Allah beri pentunjuk untuk memberi petunjuk pada kaumnya. Jadi kalau menurut anda Allah tidak memberi petunjuk pada Rasulullah untuk menunjuk orang/ penerus sesudah Rasulullah SAW. Wasalam

Tinggalkan komentar