Studi Kritis Buku “Hitam Di Balik Putih” Bantahan Terhadap Buku Putih Mazhab Syi’ah

Studi Kritis Buku “Hitam Di Balik Putih” Bantahan Terhadap Buku Putih Mazhab Syi’ah

.

Pendahuluan

Sebelum membaca tulisan ini, ada baiknya kami sarankan agar pembaca memiliki atau membaca langsung Buku Putih Mazhab Syi’ah karya tim ABI [Ahlul Bait Indonesia] dan bantahannya yaitu buku Hitam Di Balik Putih karya Amin Muchtar. Hal ini penting agar pembaca memahami secara utuh keseluruhan tulisan yang ingin kami sampaikan.

.

Hitam Di Balik Putih

.

Disini kami tidak akan membela secara buta Buku Putih Mazhab Syi’ah karena bisa dibilang buku ini sudah cukup baik sebagai usaha mengenalkan mazhab Syi’ah secara umum kepada orang awam. Walaupun tentu saja buku ini tidak lepas dari kekeliruan. Hal ini adalah perkara yang lumrah dalam dunia ilmiah.

Oleh karena itu kemunculan bantahan terhadap Buku Putih Mazhab Syi’ah yaitu Buku “Hitam Di Balik Putih” bukanlah perkara yang mengherankan. Penulis buku ini Amin Muchtar mengklaim bahwa apa yang tertulis dalam Buku Putih Mazhab Syi’ah bukan gambaran yang akurat tentang mazhab Syi’ah. Pandangan ini sah-sah saja tinggal dievaluasi siapa yang sebenarnya lebih akurat dalam masalah ini atau justru keduanya sama-sama tidak akurat.

Hitam Di Balik Putih Hal 11

Hitam Di Balik Putih Hal 11

Ada fenomena aneh yang diam-diam menjangkiti orang awam atau para pengkaji yang levelnya sedikit di atas orang awam yaitu

  1. Sebagian mereka memiliki kecenderungan lebih membenarkan Buku bantahan dibanding Buku yang dibantah.
  2. Sebagian mereka mudah terpolarisasi tergantung dengan mazhab dan kepentingan. Seolah-olah benar dan salah itu ya kalau bukan Buku bantahan berarti Buku yang dibantah

Padahal bisa jadi kebenaran itu ada baik pada buku bantahan maupun buku yang dibantah sebagaimana kekeliruan itu ada baik pada buku bantahan maupun buku yang dibantah. Bahkan bisa jadi dalam perkara tertentu buku bantahan dan buku yang dibantah sama-sama keliru. Maka prinsip dasar dalam mengkaji dan mengevaluasi adalah jangan mudah percaya sampai membuktikannya sendiri dan menganalisis hujjah-hujjah yang ada baik pada buku bantahan maupun buku yang dibantah.

Pembahasan dalam tulisan ini kami fokuskan pada bagian tertentu yang dibahas  Buku “Hitam Di Balik Putih” dimana ia berusaha menunjukkan penyimpangan “Buku Putih Mazhab Syi’ah” padahal justru ia sendiri yang menyimpang. Semoga untuk kedepannya kami diberikan kemudahan untuk membahas tema-tema lainnya.

Yang menarik dari Buku “Hitam Di Balik Putih” adalah penulisnya dalam membantah bergaya seolah ia paling paham Ilmu Hadis dan Ilmu Rijal mazhab Syi’ah dan mengesankan seolah tim ABI penulis Buku Putih Mazhab Syi’ah tidak paham Ilmu Hadis dan Ilmu Rijal mazhab mereka [Syi’ah].

Kami tidak mengenal tim ABI dan Buku Putih Mazhab Syi’ah karya mereka tidak banyak mengupas secara mendalam Ilmu Hadis dan Ilmu Rijal mazhab Syi’ah. Jadi kami tidak tahu apakah mereka paham Ilmu Hadis dan Ilmu Rijal mazhab mereka [Syi’ah]. Berbeda dengan Buku “Hitam Di Balik Putih” walaupun kami tidak mengenal Amin Muchtar [sang penulisnya] tetapi ia terlalu banyak bicara mengenai ilmu Hadis dan ilmu Rijal mazhab Syi’ah [hanya saja tidak jelas arahnya]. Banyak mengutip referensi ini dan itu tetapi tidak diimbangi dengan analisis yang mendalam.

Orang yang berbicara hal-hal umum kemudian ia melakukan kesalahan maka kita mudah memahaminya karena gambarannya umumnya cukup jelas tetapi orang yang banyak bicara [sampai ke hal-hal kecil] dan tidak punya gambaran umum yang jelas kemudian ia salah maka kita yang bingung “ada apa dengan orang ini”. Jadi ada apa sebenarnya?. Pengalaman kami menunjukkan orang yang suka bicara hal-hal umum tetapi sering salah adalah orang yang banyak berpikir tetapi tidak banyak membaca. Intinya ia mungkin banyak berpikir tetapi data awalnya sedikit maka kemungkinan salahnya besar. Sedangkan orang yang tadi bikin kita bingung adalah orang yang banyak membaca tetapi sedikit berpikir atau tidak mahir berpikir. Data-data awalnya sudah banyak tetapi kesimpulan akhirnya ngawur. Orang ini nampak seperti orang pintar tetapi hakikatnya jahil.

.

.

.

Pembahasan

Tema yang berkaitan dengan pembahasan disini adalah mengenai kitab Al Kafiy. Menurut Tim ABI dalam Buku Putih Mazhab Syi’ah kitab Al Kafiy termasuk dalam empat kitab Rujukan Syi’ah dimana jumhur ulama Syi’ah tidak meyakini semua hadis dalam empat kitab rujukan tersebut shahih. Hal ini dibantah Amin Muchtar bahwa justru para ulama Syi’ah meyakini keshahihan empat kitab rujukan tersebut khususnya Al Kafiy.

Kami sudah pernah meneliti sendiri mengenai hal ini dan kebenarannya [menurut kami] adalah berdasarkan pendapat yang rajih, tidak semua hadis dalam empat kitab rujukan mazhab Syi’ah khususnya Al Kafiy shahih. Kekeliruan tim ABI adalah mereka menisbatkan hal itu sebagai keyakinan jumhur ulama Syi’ah sedangkan kekeliruan Amin Muchtar adalah ia berpanjang-panjang mengutip para ulama Syi’ah yang meyakini keshahihan kitab Al Kafiy kemudian berpegang dengannya padahal ia tahu ada sebagian ulama Syi’ah yang tidak meyakininya. Amin Muchtar bergaya seolah ia tahu duduk persoalannya tetapi ia tidak melakukan analisis yang berkualitas mengenai mana yang rajih dari perbedaan kedua pendapat tersebut.

Kalau Amin Muchtar cuma sekedar ingin membantah apa yang ditulis tim ABI ya hal ini tidak masalah tetapi jika ia ingin sok menyatakan gambaran akurat tentang mazhab Syi’ah maka ia kekurangan analisis. Ia sok membahas perbedaan konsep ilmu hadis mutaqaddimin dan muta’akhirin dalam mazhab Syi’ah tetapi ia tidak punya analisis secara mendalam mengenai mana konsep yang lebih akurat secara ilmiah. Kalau sendainya tim ABI lebih berpegang pada konsep muta’akhirin maka apa gunanya Amin Muchtar berbusa sana sini padahal ia tidak bisa menunjukkan kekeliruan konsep muta’akhirin tersebut.

.

Landasan utama Amin Muchtar dalam buku Hitam Di Balik Putih, ia berusaha menunjukkan kerancuan metodologis ilmu hadis Syi’ah yaitu konsep ilmu hadis muta’akhirin. Amin Muchtar membawakan contoh para ulama seperti Al Majlisiy dan Al Bahbuudiy yang menurutnya mengalami kerancuan dan kekacauan dalam penerapan konsep tersebut ketika keduanya melakukan penilaian terhadap hadis Al Kafiy. Kemudian Amin Muchtar berbusa-busa mengutip konsep mutaqaddimin dan sebagian ulama Syi’ah yang berpegang dengannya.

Perkara ini termasuk syubhat halus yang terbungkus secara ilmiah. Orang-orang awam mungkin akan manggut manggut membaca penjelasan Amin Muchtar yang penuh dengan referensi ini itu tetapi mereka yang paham dengan ilmu hadis Syi’ah akan kebingungan membaca apa yang ditulis Amin Muchtar. Tidaklah mungkin menyalahkan atau mencela suatu metode atau kaidah ilmu berdasarkan kekacauan sebagian ulama yang menerapkannya. Ambil contoh kitab Musnad Ahmad bin Hanbal dalam mazhab Ahlus Sunnah bukankah Syaikh Ahmad Syakiir dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth banyak menunjukkan perbedaan mereka dalam penilaian hadis-hadis Musnad Ahmad. Lantas apakah bisa begitu saja dikatakan bahwa mazhab Ahlus Sunnah mengalami kerancuan metode ilmu hadis karena kekacauan para ulama mereka yang menerapkannya.

Al Majlisiy dan Al Bahbuudiy bisa saja keliru dalam penerapannya dan untuk mengetahui kekeliruan itu ya justru dengan kembali pada kaidah ilmu atau metode ilmu hadis dalam mazhab Syi’ah. Kegunaan suatu metode atau kaidah ilmu adalah menjadi alat untuk menganalisis dan memverifikasi pendapat ulama. Jika suatu metode tidak bisa digunakan untuk memverifikasi maka metode itu hanya bernilai historis.

Konsep mutaqaddimin pada dasarnya berpijak pada taklid dengan penshahihan ulama terdahulu. Konsep ini hanya bersifat historis dan tidak implementatif. Amin Muchtar boleh saja sok membenarkan atau berpegang pada konsep ini tetapi justru rancu sekali kalau ia menyalahkan konsep muta’akhirin. Silakan jika ia mampu atau mengutip ulama Syi’ah yang mampu memverifikasi kitab hadis Al Kafiy dengan metode mutaqaddimin?. Coba bawakan satu hadis Al Kafiy dan silakan Amin Muchtar membuktikan dengan metode mutaqaddimin kalau hadis tersebut memang shahih [seperti klaim Amin Muchtar bahwa Al Kulainiy menshahihkan seluruh hadis dalam Al Kafiy]. Kami yakin Amin Muchtar tidak akan bisa dan ujung-ujungnya dia akan berkata Al Kulainiy sudah menshahihkannya dan cukup taklid saja pada penilaian shahihnya. Terus kalau misalnya Al Kulainiy keliru maka metode verifikasinya bagaimana?. Apa mau pergi ke masa lalu untuk mengecek langsung hadisnya dari empat ratus ushul?.

Kami tidak mencela metode mutaqaddimin dan ulama Syi’ah yang berpegang dengannya tetapi sungguh keliru sekali jika mereka yang berpegang pada metode mutaqaddimin menyalahkan mereka yang berpegang pada konsep muta’akhirin. Bagi kami metode mutaqaddimin dijelaskan panjang lebar oleh sebagian ulama Syi’ah untuk membenarkan sikap taklid mereka akan keshahihan kitab rujukan mazhab Syi’ah. Metode mutaqaddimin sebagian besar tidak memiliki batasan yang jelas mengenai qarinah-qarinah penshahihan dan sulit diverifikasi seperti empat ratus ushul tidak bisa dijadikan panduan karena empat ratus ushul sudah tidak ada lagi di zaman ini. Oleh karena itu kami katakan metode mutaqaddimin bernilai historis dan tidak implementatif dalam memverifikasi suatu hadis apakah shahih atau tidak.

Makanya kami katakan bagi mereka yang berpegang pada metode mutaqaddimin mereka hanya sekedar taklid dan tidak bisa memverifikasi benar atau tidak taklid mereka tetapi bagi mereka yang berpegang pada konsep muta’akhirin itu perkara yang mudah untuk dilakukan. Jadi bagaimana mungkin orang bernama Amin Muchtar ini sok mengatakan konsep muta’akhirin itu rancu kemudian dengan mudahnya berpegang pada konsep mutaqaddimin.

Memang pembahasan tentang mutaqaddimin versus muta’akhirin dalam ilmu hadis mazhab Syi’ah bukan perkara yang bisa selesai dengan tulisan sederhana. Hal itu membutuhkan tempat yang khusus dan pembahasan yang terperinci [insya Allah jika diberikan kemudahan hal ini akan dibahas secara khusus dalam tulisan lain].

.

.

Pada tulisan ini kami hanya ingin menunjukkan salah satu contoh kekacauan bantahan Amin Muchtar kepada tim ABI. Salah satu pernyataan tim ABI untuk membuktikan dakwaan mereka [tidak semua hadis Al Kafiy adalah shahih] adalah dengan membawakan contoh perawi hadis Al Kafiy yang lemah dan tertolak riwayatnya diantaranya Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy.

Buku Putih Mazhab Syi'ah Hal 31

Buku Putih Mazhab Syi’ah Hal 31

Hal ini sudah benar karena dasar tim ABI disini adalah mereka berpegang pada konsep shahih muta’akhirin yang salah satu kriteria shahihnya berdasarkan kedudukan atau kredibilitas perawi hadis.

Sedikit catatan dari nama-nama yang disebutkan tim ABI di atas ada satu nama yang keliru sebagai contoh perawi lemah dan tertolak riwayatnya yaitu Aliy bin Asbath Abu Hasan Al Muqriy. Aliy bin Asbath seorang yang tsiqat sebagaimana dikatakan An Najasyiy [Rijal An Najasyiy hal 252 no 663].

Amin Muchtar berpanjang-panjang membantah tim ABI tetapi bantahannya tidak memiliki konsep yang jelas. Amin Muchtar membawakan bantahan yang intinya adalah

  1. Bantahan pertama menyatakan tim ABI tersebut hathib lail [mengigau bicara]
  2. Bantahan kedua menyatakan tim ABI tersebut belum khatam kitab Rijal Al Hadits

Amin Muchtar menyatakan tim ABI hathib lail [mengigau bicara] dengan dasar mengutip dua ulama Syi’ah yang berpandangan bahwa sudah tidak perlu meneliti keadaan perawi hadis Al Kafiy atau pembahasan sanad-sanad riwayat Al Kafiy adalah pekerjaan orang lemah.

Hitam Di Balik Putih Hal 241

Hitam Di Balik Putih Hal 241

Apakah ini hujjah yang kuat?. Jawabannya tidak, karena pada dasarnya hal ini terbentur dengan fakta bahwa sebagian ulama Syi’ah lain tetap berpegang pada konsep ilmu hadis muta’akhirin yang salah satunya mengandalkan kredibilitas dan kedudukan perawi. Dan nampaknya disinilah tim ABI berdiri. Kalau Amin Muchtar lebih berpegang pada konsep ilmu hadis mutaqaddimin dan itupun sebenarnya hanya mengandalkan cukup percaya dan taklid saja pada keshahihan Al Kafiy ya itu tidak menunjukkan kalau tim ABI hathib lail [mengigau bicara].

Amin Muchtar boleh saja menyalahkan tim ABI dalam hal ini kalau ia sudah melakukan analisis dan menunjukkan bahwa konsep ala mutaqaddimin itu yang valid dan ala muta’akahirin itu yang keliru. Cuma asal main kutip qaul ulama ya tidak ada gunanya. Harusnya ia melangkah lebih maju dengan berpikir “qaul ulama itu berdiri atas dasar apa” dan dimana letak kekeliruan ulama lain yang bertentangan dengan qaul tersebut.

Semakin tidak jelas ketika Amin Muchtar memberikan contoh Al Bahbudiy yang dikecam sebagian ulama Syi’ah atas hasil ijtihadnya yang memilah-milah hadis Al Kafiy. Contoh ini tidak tepat sasaran dan tidak ada nilai hujjahnya. Apakah ketika Al Bahbuudiy keliru dalam sebagian ijtihadnya terhadap hadis-hadis Al Kafiy maka “usaha ijtihad penilaian hadis berdasarkan kaidah ilmu” dianggap sesuatu yang keliru?. Syaikh Al Albaniy misalnya pernah dikecam ketika ia mendhaifkan hadis dalam kitab Shahih atau ketika ia memilah-milah hadis dalam kutubus sittah dan ternyata keliru dalam hasil ijtihadnya. Apakah hal itu berarti “usaha ijtihad penilaian hadis berdasarkan kaidah ilmu” yang dilakukan Syaikh Al Albaniy itu sebenarnya tidak perlu atau pekerjaan orang lemah?

Al Bahbuudiy bisa saja keliru dalam sebagian metodenya sehingga sebagian ulama mengecamnya. Misalnya seperti yang dinukil Amin Muchtar mengenai perkataan Sayyid Murtadha bahwa Al Bahbuudiy berpegang pada kitab Rijal Ibnu Ghadhairiy dimana kitab ini diingkari sebagian ulama hadis sebagai karya Ibnu Ghadairiy. Artinya kitab itu tidak mu’tamad [sebagai pegangan] dalam kitab Rijal [dalam pandangan sebagian ulama Syi’ah walaupun sebagian ulama lain tetap berpegang dengannya] maka tidak bisa dijadikan dasar dalam menilai perawi hadis Al Kafiy. Apakah dengan fakta ini maka “usaha penilaian hadis dengan metode berpegang pada kitab Rijal” dianggap perkara yang keliru?.

Bagaimana jika seseorang berpegang pada kitab Rijal yang mu’tabar seperti Rijal An Najasyiy dan Rijal Ath Thuusiy dalam menilai hadis Al Kafiy?. Mau dikatakan Amin Muchtar keliru juga sambil mencari-cari alasan atau mengutip qaul ulama Syi’ah lain. Atau ia akan kembali pada perkataan ulama Syi’ah yang menganggap meneliti perawi sanad Al Kafiy adalah tidak perlu dan pekerjaan orang lemah. Silakan lihat wahai pembaca bukankah ini yang kami katakan Amin Muchtar ini terlalu banyak bicara tetapi tidak jelas arahnya. Mengutip qaul ulama ini itu tetapi tidak jelas arah bantahannya.

Hal yang sederhana dan sepertinya tidak terpikirkan oleh Amin Muchtar adalah apa gunanya berbagai kitab Ilmu Hadis dan kitab Ilmu Rijal dalam mazhab Syi’ah kalau ujung-ujungnya yang benar itu ya berpegang saja pada empat kitab rujukan toh semua riwayatnya shahih dan mu’tabar. Ilmu hadis dan ilmu Rijal mazhab Syi’ah justru berkembang karena konsep muta’akhirin [dimana tim ABI berdiri].

.

.

.

Bantahan kedua Amin Muchtar menyatakan tim ABI belum khatam kitab Rijal. Amin Muchtar berpanjang-panjang membantah salah satu contoh perawi hadis Al Kafiy yang dikatakan lemah oleh tim ABI yaitu Muhammad bin Muusa Al Hamdaniy. Menurut Amin Muchtar, para ulama Syi’ah menerima periwayatan Muhammad bin Muusa Al Hamdaniy khususnya dalam kitab Al Kafiy.

Hitam Di Balik Putih Hal 245

Hitam Di Balik Putih Hal 245

Amin Muchtar juga disini menunjukkan ketidakjelasan dalam arah bantahannya. Pembahasan tentang kedudukan perawi hadis dalam ilmu Rijal adalah pembahasan yang ada dalam konsep ilmu hadis muta’akhirin mazhab Syi’ah. Anggap saja benar bantahan Amin Muchtar mengenai perawi Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy, terus bagaimana dengan para perawi lain dalam kitab Al Kafiy yang dalam kitab Rijal dikatakan dhaif atau pendusta tanpa ada penyelisihan?. Apakah ini akan dimentahkan lagi oleh Amin Muchtar dengan qaul ulama yang ia kutip sebelumnya bahwa pembahasan perawi dan sanad Al Kafiy itu tidak perlu atau hanya pekerjaan orang lemah. Seakan-akan qaul ulama yang ia kutip adalah kebenaran mutlak yang tidak bisa dipertanyakan.

Apa gunanya ia berpanjang-panjang membahasnya kalau ia sendiri dari awal menyalahkan metode menilai hadis berdasarkan kedudukan perawi dalam kitab Rijal?. Apakah sekedar ingin menunjukkan kalau ia ahli dalam hal ini dan sudah khatam sedangkan tim ABI belum khatam?. Kalau benar begitu maka mari kami tunjukkan penyimpangan Amin Muchtar mengenai perawi Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy. Siapa sebenarnya yang belum khatam kitab Rijal dalam perkara ini?.

محمد بن موسى بن عيسى أبو جعفر الهمداني السمان، ضعفه القميون بالغلو، وكان ابن الوليد يقول: إنه كان يضع الحديث، والله أعلم

Muhammad bin Muusa bin ‘Iisa Abu Ja’far Al Hamdaaniy As Samaan, orang-orang qum mendhaifkannya karena ghuluw, dan Ibnu Waalid mengatakan “sesungguhnya ia pemalsu hadis” wallahu a’laam [Rijal An Najaasyiy hal 338 no 904]

وأما خبر صلاة يوم غدير خم والثواب المذكور فيه لمن صامه فإن شيخنا محمد ابن الحسن – رضي الله عنه – كان لا يصححه ويقول: إنه من طريق محمد بن موسى الهمداني وكان كذابا غير ثقة

Adapun kabar shalat pada hari ghadir khum dan pahala yang disebutkan bagi yang berpuasa [pada hari itu], maka guru kami Muhammad bin Hasan [radiallahu ‘anhu] tidak menshahihkannya dan ia mengatakan sesungguhnya kabar itu dari jalan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy dan ia seorang pendusta tidak tsiqat [Man Laa Yahdhuruhu Al Faqiih Syaikh Ash Shaduuq 2/60]

محمد بن موسى بن عيسى أبو جعفر الهمداني ضعيف ، يروي عن الضعفاء،ويجوز أن يخرج شاهداً

Muhammad bin Muusa bin ‘Iisa Abu Ja’far Al Hamdaaniy seorang yang dhaif, ia meriwayatkan dari para perawi dhaif dan ia boleh diriwayatkan sebagai penguat [Rijal Ibnu Ghada’iriy hal 94-95 no 136].

Ibnu Daud Al Hilliy memasukkan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy ke dalam begian kedua dari kitabnya yang memuat daftar perawi majruh [tercela] dan majhul  [Rijal Ibnu Daud hal 511 no 471].

Allamah Al Hilliy memasukkan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy ke dalam bagian kedua kitabnya yang memuat daftar perawi dhaif dan perawi yang ia bertawaqquf atasnya. Allamah Al Hilliy menyatakan bahwa ia seorang yang dhaif [Khulaashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 401 no 1618].

Syaikh Muhammad Taqiy At Tusuturiy menyebutkan dalam biografi Muhammad bin Muusa bin ‘Iisa As Samaan

فضعفه اتفاقي، قال به ابن الوليد وابن بابويه وابن نوح والشيخ – في الفهرست – والنجاشي وابن الغضائري

Maka mendhaifkannya itu sudah menjadi kesepakatan, telah mengatakannya Ibnu Waalid, Ibnu Babawaih, Ibnu Nuuh, Syaikh [Ath Thuusiy] dalam Al Fahrasat, An Najaasyiy dan Ibnu Ghada’iriy [Qaamuus Ar Rijaal At Tusuturiy 9/612 no 7313]

Jadi berdasarkan keterangan dalam kitab-kitab mazhab Syi’ah di atas maka dapat disimpulkan bahwa Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy seorang yang dhaif pendusta dan pemalsu hadis.

.

.

Amin Muchtar dalam Buku Hitam Di Balik Putih menukil pendapat dua ulama Syi’ah yaitu Sayyid Al Khu’iy dan Sayyid Bahr Al ‘Ulum yang menurut Amin Muchtar mengevaluasi secara kritis penilaian dhaif terhadap Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy. Berikut akan kami bahas secara kritis apa yang dinukil Amin Muchtar tersebut.

Hitam Di Balik Putih Hal 248

Hitam Di Balik Putih Hal 248

Hitam Di Balik Putih Hal 249

Hitam Di Balik Putih Hal 249

.

Sayyid Al Khu’iy termasuk ulama yang menganggap bahwa Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy perawi yang dhaif. Hal ini nampak jelas dalam kitabnya Mu’jam Rijal Al Hadits pada biografi Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy dimana Sayyid Al Khu’iy berkata

الذي يظهر من مجموع الكلمات، أن الأساس في تضعيف الرجل هو ابن الوليد، وقد تبعه على ذلك الصدوق، وابن نوح وغيرهما، وهذا يكفي في الحكم بضعفه

Yang nampak jelas dari kumpulan perkataan tersebut adalah awal mula pendhaifan perawi tersebut [Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy] adalah Ibnu Waaliid, dan hal itu diikuti oleh Ash Shaduuq, Ibnu Nuuh dan selain keduanya. Hal ini cukup dalam menghukum kedhaifannya [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 18/298 no 11875]

Lafaz “hal ini cukup untuk menghukum kedhaifannya” adalah bukti kuat pendhaifan Sayyid Al Khu’iy terhadap Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy. Anehnya Amin Muchtar juga telah membaca tulisan Sayyid Al Khu’iy tetapi ia seolah tidak memahami apa yang ditulis Sayyid Al Khu’iy. Jadi Sayyid Al Khu’iy berada pada barisan ulama yang mendhaifkan Muhammad bin Muusa bukan pada pihak yang kontra sebagaimana dikatakan Amin Muchtar.

Sebenarnya yang dievaluasi secara kritis oleh Sayyid Al Khu’iy adalah anggapan bahwa Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy telah memalsukan kitab atau ushul Zaid Az Zarraad dan Zaid An Narsiy. Syaikh Ath Thuusiy dalam kitab Al Fahrasat-nya menyebutkan dalam biografi Zaid An Narsiy dan Zaid Az Zarraad

لهما أصلان، لم يروهما محمد بن علي بن الحسين بن بابويه، وقال في فهرسته: لم يروهما محمد بن الحسن بن الوليد، وكان يقول: هما موضوعان، وكذلك كتاب خالد بن عبد الله بن سدير، وكان يقول: وضع هذه الأصول محمد بن موسى الهمداني كتاب زيد النرسي رواه ابن أبي عمير عنه

Keduanya memiliki ashl [kitab], Muhammad bin ‘Aliy bin Husain bin Babawaih [Syaikh Shaduuq] tidak meriwayatkan keduanya, dan ia berkata dalam Al Fahrasatnya “Muhammad bin Hasan bin Waliid tidak meriwayatkan keduanya, ia mengatakan keduanya palsu dan begitu pula kitab Khaalid bin Abdullah bin Sadiir, ia mengatakan “ushul ini telah dipalsukan oleh Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy. Kitab Zaid An Narsiy telah diriwayatkan Ibnu Abi ‘Umair darinya [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 71 no 289 & 290]

Muhammad bin Hasan bin Waliid telah menuduh Muhammad bin Muusa memalsukan kitab Zaid An Narsiy dan Zaid Az Zarrad, kemudian hal ini diikuti oleh Syaikh Ash Shaduq. Ibnu Ghada’iriy yang menyebutkan dalam biografi Zaid An Narsiy dan Zaid Az Zarraad

قال أبو جعفر ابن بابويه: إن كتابهما موضوع، وضعه محمد بن موسى السمان وغلط أبو جعفر في هذا القول، فإني رأيت كتبهما مسموعة عن محمد بن أبي عمير.

Abu Ja’far Ibnu Babawaih [Syaikh Shaduuq] berkata “kitab keduanya palsu, dan yang memalsukannya adalah Muhammad bin Muusa As Samaan”. Dan Abu Ja’far keliru dalam perkataan ini karena aku telah melihat kitab keduanya yang diterima secara sima’ oleh Muhammad bin Abi Umair [Rijal Ibnu Ghada’iriy hal 62 no 52 & 53]

Sayyid Al Khu’iy berkata dalam kitabnya Mu’jam Rijal Al Hadiits biografi Zaid bin Zarraad

ومن المطمأن به أنّ الكتاب لم يصل إلى ابن الوليد بطريق صحيح، وإنماوصل اليه من طريق محمد بن موسى الهمداني فبنى على أنه موضوع، ومع ذلك يؤخذ على ابن الوليد بأنّ محمد بن موسى وإن كان ضعيفاً إلاّ أنه من أين جزم ابن الوليدبأنه وضع هذا الكتاب، أفلا يمكن أن يصدق الضعيف؟ أفهل علم ابن الوليد بأنه لايصدق أبداً؟ وكيف كان فالصحيح أنّ الكتاب لزيد الزرّاد وليس بموضوع

Dan termasuk yang dapat dipercayai dengannya bahwa kitab itu tidak sampai kepada Ibnu Waliid melalui jalan yang shahih. Sesungguhnya kitab itu hanya sampai kepadanya melalui jalan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy, oleh karena itu ia menetapkan bahwasanya itu maudhu’ [palsu]. Bersamaan dengan itu dapat diajukan atas Ibnu Waalid bahwa Muhammad bin Muusa meskipun ia seorang yang dhaif dari mana Ibnu Waliid memastikan ia memalsukan kitab ini. Apakah tidak mungkin seorang yang dhaif itu benar?. Apakah Ibnu Waliid tahu bahwa ia tidak akan benar selamanya?. Bagaimanapun keadaanya maka yang shahih bahwasanya kitab Zaid Az Zarraad tidak maudhu’ [palsu] [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 8/379 no 4902]

Dapat dipahami disini bahwa Sayyid Al Khu’iy menyepakati penilaian dhaif atas Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy tetapi ia membantah kalau kitab Zaid Az Zarraad maudhu’. Sayyid Al Khu’iy benar karena kitab Zaid Az Zarraad telah diriwayatkan dengan sanad shahih melalui jalan Muhammad bin Abi Umair.

Kalau begitu mengapa Ibnu Waliid mengatakan kitab tersebut dipalsukan oleh Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy. Maka penjelasan yang paling mungkin adalah seperti yang dikatakan Sayyid Al Khu’iy bahwa kitab tersebut sampai kepada Ibnu Waliid melalui jalan Muhammad bin Muusa. Ibnu Waliid tidak mengetahui jalan shahih kitab tersebut melalui Muhammad bin Abi Umair.

Adapun kritikan Sayyid Al Khu’iy atas Ibnu Waliid yaitu bagaimana bisa Ibnu Waliid memastikan Muhammad bin Muusa memalsukan kitab tersebut, sebenarnya bisa dijawab dengan mudah bahwa bisa saja dalam kitab tersebut [dari jalur Muhammad bin Muusa] yang sampai kepada Ibnu Waliid terdapat hal-hal yang mungkar atau bertentangan dengan syari’at maka Ibnu Waliid menetapkan itu maudhu’ dan orang yang bertanggung jawab untuk itu adalah Muhammad bin Muusa yang disisi Ibnu Waliid dikenal sebagai perawi dhaif pendusta.

Memang seperti yang diisyaratkan Sayyid Al Khu’iy bisa saja perawi yang dhaif itu berkata benar atau perawi yang dhaif itu tidak selamanya salah. Tetapi harus ada qarinah atau bukti yang menguatkan bahwa perawi tersebut benar. Suatu hadis dengan matan tertentu yang diriwayatkan oleh seorang pendusta bisa saja hadis tersebut shahih jika terdapat jalur lain hadis dengan matan yang sama yang diriwayatkan oleh perawi tsiqat. Jadi perawi tsiqat ini sebagai bukti penguat akan kebenaran perawi pendusta tersebut. Hanya saja yang harus diperhatikan adalah kuncinya hadis dari perawi tsiqat tersebut memiliki matan yang sama dengan matan hadis perawi pendusta.

Adapun dalam perkara kitab Zaid bin Az Zarraad di atas, apakah jalur Muhammad bin Abi Umair menjadi bukti akan kebenaran jalur Muhammad bin Muusa?. Jawabannya belum tentu, karena belum terbukti bahwa kitab Zaid bin Az Zarraad melalui jalan Muhammad bin Umair memiliki matan [isi] kitab yang sama persis dengan kitab Zaid bin Az Zarraad melalui jalur Muhammad bin Muusa. Bisa saja Muhammad bin Muusa mengubah sebagian kitab tersebut atau menyisipkan riwayat-riwayat palsu dalam kitab tersebut kemudian sampailah kitab ini pada Ibnu Waliid maka Ibnu Waliid menyatakan kitab tersebut dipalsukan oleh Muhammad bin Muusa.

Perkara seperti ini ma’ruf bahkan Sayyid Al Khu’iy memahaminya. Sayyid Al Khu’iy dalam salah satu kitabnya pernah mencela kitab Zaid An Narsiy yang dinukil Al Majlisiy

والمجلسي (قده) انما رواها عن نسخة عتيقة وجدها بخط الشيخ منصور بن الحسن الآبي، ولم يصله الكتاب باسناد متصل صحيح، ولم ينقل طريقه الينا على تقدير ان الكتاب وصله باسناد معتبر فلا ندري ان الواسطة أي شخص ولعله وضاع أو مجهول، وأما الاخبار المروية – في غير تلك النسخة كتفسير علي بن ابراهيم القمي، وكامل الزيارة، وعدة الداعي وغيرها عن زيد النرسي بواسطة ابن أبى عمير – فلا يدل وجدانها في تلك النسخة على انها كتاب زيد المذكور وأصله، وذلك لانا نحتمل أن تكون النسخة موضوعة

Dan Al Majlisiy, sesungguhnya ia hanya meriwayatkannya dari naskah kuno dan ia menemukannya dengan tulisan tangan Syaikh Manshuur bin Hasan Al Abiy, tidaklah sampai kepadanya kitab tersebut dengan sanad bersambung shahih, dan tidaklah ia menukil jalannya kepada kita atas kitab tersebut dengan sanad yang mu’tabar. Maka tidak diketahui siapa perantaranya yaitu mungkin saja seseorang pemalsu hadis atau majhul. Dan adapun kabar-kabar yang diriwayatkan selain dalam naskah tersebut seperti dalam kitab tafsir Aliy bin Ibrahim Al Qummiy, Kaamil Az Ziyaarah, Uddah Ad Daa’iy dan selainnya dari Zaid An Narsiy melalui perantara Ibnu Abi ‘Umair, tidak menunjukkan ditemukannya dalam naskah tersebut bahwa itu adalah kitab Zaid yang dimaksud dan ashl-nya, hal ini karena mungkin saja itu adalah naskah maudhu’ [Tanqiih Fii Syarh Al Urwatul Wutsqaa 2/127]

Kalau Sayyid Al Khu’iy tidak ada masalah dalam mencela kitab Zaid An Narsiy yang dinukil Al Majlisiy [dalam Bihar Al Anwar] maka harusnya tidak ada masalah juga baginya mencela kitab Zaid yang dinyatakan Ibnu Waliid dipalsukan oleh Muhammad bin Muusa. Jadi seharusnya tidak ada masalah bagi Sayyid Al Khu’iy untuk memahami tuduhan Ibnu Waliid atas Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy.

Berikut kami tambahkan keterangan dari Sayyid Muhammad Baqir Ash Shadr mengenai naskah kitab Zaid An Narsiy yang dinukil Al Majlisiy dimana ia berkata

لو سلمنا تمامية سند الآبي إلى زيد يبقى أنه كيف نثبت أن النسخة التي وجدها المجلسي هي بخط الآبي وليس هناك شاهد على ذلك إلا وجود اسمه عليها وليس للمجلسي طريق متصل في مقام نقلها ومجردأن الروايات المنقولة في الكتب عن زيد موجودة في هذه النسخة لا يوجب الاطمئنان بعدم وقوع التحريف على الأقل بزيادة أو نقيصة خصوصا مع اشتمال النسخة على روايات غريبة ومعان مستنكرة من قبيل رؤية الله تعالى ومخاصرة المؤمن له يوم القيامة وقال هكذا يخاصره ( تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا ) وهذه يوجب احتمال أن هذه النسخة هي التي زورها محمد بن موسى ولعلها غير النسخة التي كان للنجاشي طريق صحيح لها إلى محمد بن أبي عمير

Seandainya kita menerima keseluruhan sanad Al Abiy sampai Zaid maka masih tersisa [keraguan] bahwasanya bagaimana menetapkan kalau naskah yang ada pada Al Majlisiy tersebut adalah tulisan tangan Al Abiy, tidak ada yang menguatkan hal itu kecuali adanya namanya [dalam naskah tersebut] dan Al Majlisiy tidaklah memiliki jalan bersambung dalam penukilannya. Adanya riwayat-riwayat yang ternukil dalam kitab dari Zaid dalam naskah ini tidak menimbulkan ketenangan dari ketiadaan tahrif setidaknya dalam hal penambahan atau pengurangan, apalagi bersamaan dengan adanya dalam naskah tersebut riwayat-riwayat gharib dan bermakna mungkar seperti “melihat Allah” dan Mukhasharah orang yang beriman pada hari kiamat dan berkata seperti inilah yukhashir [Maha tinggi Allah dengan ketinggian yang agung dari hal yang demikian]. Oleh karena itu wajib dianggap bahwa naskah ini adalah yang berasal dari pemalsuan Muhammad bin Muusa dan bukan naskah dari An Najasyiy dengan jalan shahih kepada Muhammad bin Abi Umair. [Buhuuts Fii Syarh Al ‘Urwah Al Wutsqaa Sayyid Muhammad Baaqir Ash Shadr 3/426-427]

Tentu saja kita bisa mengkritik apa yang dikatakan Sayyid Muhammad Baqir Ash Shadr mengenai anggapannya bahwa naskah itu adalah naskah yang dipalsukan Muhammad bin Muusa. Memang tidak ada bukti nyata untuk hal itu tetapi kemungkinan tersebut bisa saja terjadi. Perkara yang menjadi hujjah disini adalah kitab Zaid An Narsiy yang dinukil Al Majlisiy telah dianggap maudhu’ oleh sebagian ulama syi’ah dalam hal ini Sayyid Al Khu’iy dan Sayyid Muhammad Baaqir Ash Shadr. Mereka menyatakan bahwa naskah yang dinukil Al Majlisiy itu bukan kitab Zaid dengan jalan mu’tabar dan shahih dari Ibnu Abi Umair. Artinya walaupun kitab Zaid [baik Zaid Az Zarraad atau Zaid An Narsiy] yang sebenarnya itu dahulu ada maka tidak menutup kemungkinan pada zaman setelahnya kitab itu dipalsukan oleh seseorang.

Jadi sangat mungkin sekali dipahami walaupun kitab Zaid itu memiliki jalan yang shahih dari Ibnu Abi Umair maka pada zaman Ibnu Waliid kitab tersebut sampai kepadanya melalui jalan Muhammad bin Muusa dan mengandung berbagai riwayat palsu sehingga Ibnu Waliid menyatakan itu palsu.

.

.

.

Adapun penjelasan Sayyid Bahr Al ‘Uluum yang dinukil Amin Muchtar juga bisa dievaluasi secara kritis. Sayyid menukil apa yang ditulis Syaikh Ath Thusiy dalam Al Fahrasat kemudian Sayyid berkata

وفي هذا الكلام تخطئة ظاهرة للصدوق وشيخه في حكمهما بأن أصل زيد النرسي من موضوعات محمد بن موسى الهمداني، فإنه متى صحت رواية ابن أبي عمير إياه عن صاحبه امتنع إسناد وضعه إلى الهمداني المتأخر العصر عن زمن الراوي والمروي عنه

Pada perkataan [Syaikh Ath Thuusiy] ini dengan jelas menyalahkan Ash Shaduuq dan gurunya dalam menetapkan bahwa Ashl Zaid An Narsiy adalah buatan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy karena shahihnya riwayat Ibnu Abi Umair dari pemiliknya [kitab tersebut] menolak penetapan pemalsuannya kepada Al Hamdaaniy yang hidup pada masa terakhir dari zaman perawi dan yang meriwayatkan darinya [Fawaaid Ar Rijaaliyah, Sayyid Bahr Al ‘Uluum 2/370]

Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya kami sepakat bahwa Ibnu Waliid keliru ketika menetapkan kitab Zaid tersebut palsu karena kitab Zaid tersebut memang ada dan ternukil melalui riwayat shahih dari Ibnu Abi ‘Umair. Kekeliruan Ibnu Waliid karena ia tidak tahu ada kitab Zaid riwayat Ibnu Abi Umair, kitab Zaid yang sampai kepadanya adalah melalui jalur Muhammad bin Muusa dan kitab inilah yang dikatakan Ibnu Waliid sebagai maudhu’.

Hal ini tidak bisa dijadikan dasar pembelaan kepada Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy karena masih terdapat kemungkinan bahwa Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy justru mengubah atau menyisipkan riwayat-riwayat palsu pada kitab Zaid sehingga ketika kitab ini sampai pada Ibnu Waliid ia menganggapnya maudhu’.

Memang benar bahwa jarh seorang ulama terhadap seorang perawi sebagai “pemalsu hadis” bisa saja tertolak jika terbukti bahwa hadis yang dinyatakan palsu tersebut ternyata shahih. Tetapi ini berlaku dengan syarat-syarat sebagai berikut

  1. Hadis tersebut dengan matan yang diriwayatkan perawi itu memiliki matan yang sama dengan hadis shahih dari perawi tsiqat yang menjadi bukti shahihnya hadis yang dinyatakan palsu tersebut.
  2. Perawi tersebut tidak ternukil celaan lain terhadapnya kecuali celaan bahwa ia meriwayatkan hadis palsu tersebut

Mengenai poin pertama, dalam kasus Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy di atas belum ada bukti bahwa kitab Zaid melalui jalur Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy memiliki matan yang sama dengan kitab Zaid jalur Ibnu Abi Umair. Apalagi yang namanya kitab itu berisi banyak riwayat maka sangat mudah sekali memalsukannya dengan mengubah sebagian riwayat atau menyisipkan riwayat-riwayat palsu yang tidak ada dalam kitab aslinya.

Mengenai poin kedua mungkin sederhananya bisa dilihat analogi berikut. Secara akal sehat, yang namanya seseorang jika dikenakan tuduhan melakukan dua tindak kejahatan yaitu mencuri dan membunuh maka jika ia terbukti bukan pembunuh. Hal ini bukan berarti sudah pasti ia bukan pencuri, harus dibuktikan pula kalau ia bukan pencuri baru terangkatlah tuduhan tersebut.

Terkait dengan kasus perawi dengan jarh “pemalsu hadis”. Misalkan perawi tersebut ternyata selain ia dituduh memalsukan hadis tertentu [yang ternyata kemudian terbukti bahwa hadis itu shahih], ia dituduh pula memalsukan hadis lain maka jarh “pemalsu hadis” tersebut tidak bisa semata-mata hilang karena masih ada hadis lain dimana ia dituduh memalsukannya. Hadis lain ini harus dibuktikan juga bahwa itu shahih maka baru terangkatlah jarh “pemalsu hadis” tersebut.

Dalam kasus Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy diatas, tuduhan atasnya tidak hanya ia memalsukan kitab Zaid Az Zarraad dan kitab Zaid An Narsiy tetapi ia juga memalsukan kitab lain yaitu kitab Khalid bin Abdullah bin Sadiir sebagaimana disebutkan Syaikh Ath Thuusiy

خالد بن عبد الله بن سدير، له كتاب ذكر أبو جعفر محمد بن علي بن بابويه القمي، عن محمد بن الحسن بن الوليد أنه قال: لا أرويه لأنه موضوع وضعه محمد بن موسى الهمداني

Khaalid bin ‘Abdullah bin Sadiir, memiliki kitab. Abu Ja’far Muhammad bin ‘Aliy bin Baabawaih Al Qummiy [Syaikh Ash Shaduuq] menyebutkan dari Muhammad bin Hasan bin Waliid bahwasanya ia berkata “jangan meriwayatkannya karena itu maudhu’ [palsu], telah memalsukannya Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy” [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 66 no 259].

Tidak ada hujjah dari Sayyid Bahr Al ‘Ulum yang membantah perihal pemalsuan kitab Khalid bin ‘Abdullah bin Sadiir maka bagaimana bisa diangkat jarh [celaan] tersebut kepada Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy. Oleh karena itu dalam hal ini tuduhan Muhammad bin Hasan bin Waliid terhadap Muhammad bin Muusa dapat dijadikan pegangan.

Muhammad bin Hasan bin Waliid adalah gurunya Syaikh Shaduuq dan ia adalah Syaikh penduduk qum yang paling faqih, terdahulu dan terkemuka diantara mereka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042] dan ia juga termasuk pakar dalam ilmu Rijal sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikh Ath Thusiy

محمد بن الحسن بن الوليد القمي، جليل القدر، عارف بالرجال، موثوق به

Muhammad bin Hasan bin Waliid Al Qummiy ulama besar, arif dalam [ilmu] Rijal dan dipercaya dengannya [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 156 no 694]

Oleh karena itu sangat wajar kalau tuduhan Ibnu Waliid atas Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy bahwa ia pendusta tidak tsiqat dan pemalsu hadis dapat dijadikan pegangan sampai ada bukti kuat yang menentangnya. Dan sejauh ini tidak ada satupun ulama yang menta’dilkan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy bahkan Sayyid Bahr Al ‘Uluum yang mengkritik celaan terhadap Muhammad bin Muusa tidak bisa menunjukkan ta’dil terhadapnya.

.

.

.

Kesalahan Amin Muchtar disini adalah ia berpikir hanya dengan mengutip ulama Syi’ah yang sejalan dengan pendapatnya maka ia merasa benar padahal di dunia mazhab manapun perselisihan para ulama itu akan selalu ada. Kritik mengkritik dalam dunia ilmiah itu terjadi di mana saja maka yang jauh lebih penting adalah melakukan analisis mendalam untuk mentarjih mana pendapat yang benar diantara pendapat-pendapat yang berselisih tersebut.

Kesalahan lain Amin Muchtar adalah ia tidak memiliki metode yang jelas dalam memahami manhaj para penulis dan pentahqiq kitab dari kalangan ulama Syi’ah. Misalnya dalam buku Hitam Di Balik Putih, para pembaca akan menemukan kalimat yang serupa dengan kalimat ini “Syaikh Fulan pentahqiq kitab bla bla bla tidak menilai riwayat itu dhaif”.

Hitam Di Balik Putih Hal 264

Hitam Di Balik Putih Hal 264

Kalimat seperti ini tidak sedikitpun bernilai hujjah bahkan bernilai syubhat karena maksud dari kalimat “tidak menilainya dhaif” bukan berarti membantah dhaifnya tetapi menunjukkan diamnya ulama tersebut atas riwayat yang dimaksud. Kita tidak bisa menguatkan atau menshahihkan riwayat dengan diamnya ulama terhadap riwayat tersebut dalam kitabnya. Berapa banyak kitab hadis ahlus sunnah yang juga nampak seperti itu. Silakan lihat kitab Musnad Ahmad, Sunan Daruquthniy, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy dan lain-lain dimana para penulisnya atau pentahqiqinya mendiamkan riwayat-riwayat yang ada dalam kitab tersebut.

Lebih rusaknya lagi Amin Muchtar ini malah mempertentangkan pendapat seorang ulama yang mendhaifkan suatu hadis dalam salah satu kitabnya kemudian dalam kitabnya yang lain ulama itu mendiamkan hadis tersebut. Misalnya Amin Muchtar mengutip Al Majlisiy yang mendhaifkan suatu hadis dalam kitab Mir’atul ‘Uquul dan mendiamkan hadis itu dalam kitab Bihaar Al Anwaar [dimana Amin Muchtar menyebutkan dengan kalimat “Al Majlisi tidak menilainya dhaif”]. Hal ini tidaklah bertentangan karena tergantung dengan manhaj Al Majlisiy dalam kitabnya tersebut. Kitab Mir’atul ‘Uquul memang ditulis Al Majlisiy untuk memilah-milah riwayat Al Kafiy oleh karena itu ia menyatakan dalam kitab tersebut kedudukan riwayat-riwayatnya sedangkan dalam kitab Bihaar Al Anwaar Al Majlisiy hanya mengumpulkan hadis-hadis ahlul bait dari berbagai sumber [baik mu’tabar dan tidak mu’tabar] oleh karena itu wajar jika ia tidak menyatakan kedudukan setiap riwayat yang ia sebutkan dalam Bihaar Al Anwaar.

Ada lagi kalimat lain seperti “riwayat tersebut dijadikan hujjah oleh Syaikh fulan dalam kitab bla bla bla”. Hal ini banyak dikutip Amin Muchtar dalam menunjukkan pembelaan terhadap riwayat Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy.

Hitam Di Balik Putih Hal 265

Hitam Di Balik Putih Hal 265

Orang awam sih boleh saja berhujjah dengan cara demikian tetapi bagi orang yang mengerti apa itu ilmiah maka hal ini sangat memalukan. Kita tidak bisa semata-mata mengandalkan anggapan ulama “riwayat tersebut dijadikan hujjah” untuk menguatkan perawi yang telah dijarh ulama rijal. Justru anggapan ulama tersebut “riwayat itu dijadikan hujjah” telah keliru dan menjadi tertolak jika terbukti dalam sanad riwayat terdapat perawi pendusta. Atau mungkin saja ulama yang berhujjah dengan riwayat tersebut tidak mengandalkan manhaj muta’akhirin dalam menilai keshahihan riwayat. Atau mungkin saja ulama itu mengakui bahwa riwayat itu dari segi sanad dhaif tetapi dikuatkan oleh riwayat lain atau qarinah lain. Atau ulama tersebut menganggap tidak masalah berhujjah dengan riwayat dhaif. Betapa banyak para ulama yang berhujjah dengan riwayat dhaif dalam kitab-kitabnya tidak hanya dalam kitab Syi’ah tetapi juga dalam kitab Ahlus Sunnah.

Hitam Di Balik Putih Hal 271

Hitam Di Balik Putih Hal 271

Justru pendapat yang benar adalah Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy seorang yang dhaif sedangkan adanya ulama Syi’ah yang menerima periwayatan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy tidak serta merta mengangkat kedhaifan Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy. Apa yang dikatakan Buku Putih Mazhab Syi’ah mengenai Muhammad bin Muusa Al Hamdaaniy bahwa ia perawi yang dhaif itu sudah benar sedangkan bantahan Amin Muchtar dalam hal ini justru mengandung syubhat dan talbis.

.

.

.

Penutup

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Amin Muchtar dalam membantah Buku Putih Mazhab Syi’ah sering tidak berdiri di atas kaidah-kaidah ilmu. Banyak mengutip referensi tetapi miskin analisis. Dan sebenarnya dengan cara yang sama seperti syubhat Amin Muchtar maka ilmu hadis mazhab Ahlus Sunnah pun bisa dibuat-buat agar menjadi nampak rancu. Dimulai dari mutaqaddimin versus muta’akhirin dalam ilmu hadis Ahlus Sunnah. Perbedaan para ulama dalam menilai hadis-hadis dalam suatu kitab baik kutubus sittah atau kitab hadis lainnya dapat dibuat-buat syubhatnya seolah-olah terjadi kekacauan dan kerancuan dalam penerapan kriteria keshahihan hadis.

Kalau kita ingin berbicara mengenai pensibatan yang akurat terhadap suatu mazhab maka kita harus berdiri pada kaidah ilmu yang dimulai dari menukil referensi mazhab tersebut dan menganalisisnya secara mendalam termasuk mentarjih jika terjadi perselisihan, baru kemudian kita menyimpulkan. Kalau cuma sekedar kutip-mengutip banjir referensi tetapi tidak jelas analisisnya maka hanya menimbulkan kebingungan dan kesesatan.

Akhir kata kami disini tidaklah sebagai pihak yang mewakili mazhab Syi’ah. Mungkin saja ada orang Syi’ah yang tidak sependapat dengan apa yang kami sampaikan dalam tulisan di atas. Kami disini hanya berusaha membahas dan meneliti mazhab Syi’ah secara objektif serta menyingkap penyimpangan yang dilakukan para pencela dan pendusta atas mazhab Syi’ah [yang biasanya mereka bungkus dengan syubhat ilmiah]. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan baik itu datangnya dari saudara kami yang bermazhab Syi’ah ataupun dari saudara kami yang bermazhab Ahlus Sunnah.

10 Tanggapan

  1. Masya Allah la quwwata illa billah! Akhirnya Mas SP angkat bicara soal tulisan(-tulisan) ‘Si(Ge)gabah’ Amin Muchtar.

    Tetap konsisten dgn kaidah ilmiah. Semoga Allah tetap memberi petunjuk pada kebenaran.

    Bismillah. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad.
    Allahumma rabba Jibraila wa Mikaila wa Israfila, fathira’s-samawati wa’l-ardh, ‘alima al-ghaibi wa’sy-syahadah, Anta tahkumu baina ‘abdiKa fi ma kanu fihi yakhtalifun. Ihdini li ma-khtulifa fihi mina’l-haqqi bi idzniKa. InnaKa tahdi man tasya’u ila shirathin mustaqim (Muslim, #770).

  2. Memang sangat lucu org2 spt Amin Mochtar yg secara ngotot menganggap pendapat sebagian (kecil) ulama hadis Syiah yg mensahihkan hadis2 tertentu sbg pendapat yg mutlak benar dan secara otomatis menjadi keyakinan/akidah dari ajaran Syiah itu sendiri ! Memangnya siapa ulama muhaddis itu ? Apa mereka maksum ? Padahal di situ ada AlQuran sebagai tolok ukur sahih atau dhaifnya suatu hadis.
    Kalau cara berpikir demikian diterapkan juga kpd hadis2 Sunni maka tdk kurang banyaknya hadis dhaif dlm Sahih Bukhari Muslim yg bertentangan AlQuran.
    Sehabat-hebatnya seorang muhaddis tetap saja dia seorang manusia biasa yg tdk luput dari khilaf dan salah dan pasti tdk lepas dari keyakinan politik/mazhabnya.
    Oleh krn itu menilai ajaran suatu mazhab/aliran beserta penjabarannya tdk boleh dari hadis2 yg dianggap dhaif/bertentangan dg Quran.

  3. Lagi nunggu balasannya si Amin Mochtar dkk.. Kira2 mereka mau ngeles dengan cara apa?

  4. Ketika seseorang membolehkan hatinya diliputi oleh kebencian mendalam atas suatu kaum maka saat itu juga secara perlahan tapi pasti hatinya sedikit demi sedikit akan keras “membatu” dan sifat adil memudar dari hati orang itu.

  5. Nashibi sll berkokok tpi kokoknya sumbang.

  6. saya pernah baca buku ini,
    mantappsss

  7. artikel kya gini musti cepet2 di share nihh
    biar josss

  8. Insyaallah, bahasannya bagus. Kebenaran itu memang harus digapai lewat sikap jujur dan ikhlas, tanpa didahului rasa benci dan pasangka buruk, benar atau salah itu tidak tergantung pada menang atau kalah, banyak atau sedikit peminat, suka-tidak sukanya penganut. Bukankah Qur’an tegas menyatakah, sedikit sekali yang percaya, sedikit sekali yang iman, sedikit sekali yang ikhlas, sedikit sekali yang sabar, sedikit sekali yang bersyukur, dan . . . . .

  9. Alhamdulillah, semoga tulisan ini menjadi pintu bagi orang-orang lain yang masih awam dan terjerumus hanya karena ini “bantahan” dan ini yang “dibantah”. Tapi nunggu balasan dari Amin Muchtar ini kapan bisa nya ya? saya harap tuan SP mengontak adminnya Sigabah untuk mengirimkan balasan atas tulisan ini, saya ingin tahu kelanjutannya bagaimana, kebetulan sepertinya karya tulis saya nanti akan membahas bab ini. Mohon bantuannya. hehehe. Terima kasih

  10. Gt to

Tinggalkan komentar