Syubhat Syi’ah Jama’ Tanpa Udzur : Kejahilan Luar Biasa Toyib Mutaqin

Syubhat Syi’ah Jama’ Tanpa Udzur : Kejahilan Luar Biasa Toyib Mutaqin

Kami membaca bantahan yang luar biasa jahil atas tulisan kami tentang shalat jama’ dari seorang jahil yang bernama Toyib Mutaqin. Dalam bantahannya ia sok bergaya ulama sok menuduh orang curang menterjemahkan padahal ia sendiri yang jahil. Orang ini tong kosong nyaring bunyinya dan ya kami juga cukup sering melihat kejahilannya ketika ia berdiskusi di forum facebook Multaqa Ahlalhdeeth Indonesia.

Salah satu kejahilannya dalam forum tersebut adalah ketika ia berhujjah dengan hadis atau riwayat dalam kitab Musnad Zaid bin Aliy bin Husain, padahal orang yang memang membaca kitab tersebut dari awal maka akan mengetahui kalau kitab tersebut tidak layak dijadikan hujjah di sisi Ahlus Sunnah karena salah satu perawi kitab tersebut adalah seorang pendusta pemalsu hadis. Dan puncak kejahilannya adalah ketika ia mengatakan bahwa “hukum asal suatu hadis itu shahih”. Kami sampai terkejut melihat kejahilan yang luar biasa seperti ini. Orang yang baru belajar ilmu hadis saja kami yakin tidak akan mengatakan hukum asal suatu hadis adalah shahih.


jahil toyib muttaqin

Kami nukilkan disini contoh kejahilannya agar para pembaca melihat jangan tertipu dengan kesombongannya dalam membantah, menuduh orang lain curang padahal justru akalnya yang sudah kelewat rusak tidak mampu dengan baik memahami apa yang ia baca.

Toyib Syubhat Jamak

.

.

.

Kami akan membahas bantahan orang ini dan menganalisisnya secara objektif agar terungkap bagi para pembaca kejahilan-kejahilannya. Tulisan jahil tersebut dapat para pembaca lihat disini

http://muttaqi89.blogspot.com/2015/03/syubhat-syiah-jama-tanpa-udzur.html

Berikut bantahan Toyib Mutaqin yang kami quote dan kami tunjukkan betapa jahilnya manusia satu ini

Komentar : iya memakai kaca mata syariat bukan kaca mata syiah pelaknat.hukum syariat berputar sesuai ‘illat,memang susah dialog dg pembenci ulama’ dan kaidah ulama’,malah berpegang tafsir hawa nafsu belaka.kalau tafsir tidak dalam bimbingan ulama’ udah pasti dalam bimbingan syetan laknatulloh.

Tidak usah sok wahai jahil, bagian mana dalam tulisan kami yang anda tuduh memakai kacamata Syi’ah pelaknat. Kejahilan anda wahai Toyib tidak paham bahwa pandangan yang anda tuduh kacamata Syi’ah itu juga berasal dari segelintir ulama ahlus sunnah dan hadis-hadis ahlus sunnah. Kalau akal sudah kelewat rusak memang begitulah adanya. Dan apa buktinya anda menuduh kami pembenci ulama?. Kalau tidak ada bukti maaf tolong akui kalau anda sedang berdusta.

Komentar : dimana nabi membolehkan,itu Cuma dari kantong ente sendiri.justru ente menyelisihi petunjuk nabi,kalau tanpa udzur boleh,untuk apa menunjukkan adanya udzur syar’i.Cuma logika syiah yg sakit yg bisa menerima

Cuma orang jahil yang bertanya padahal jawaban sudah ada di depan matanya. Tidak diragukan kalau kantong anda sudah penuh dengan ilmu-ilmu rusak dan ilmu agama setengah jadi sehingga anda tidak bisa melihat kebenaran dalam hujjah orang lain. Hadis shahih Ibnu ‘Abbas [yaitu riwayat Abdullah bin Syaqiiq] adalah hujjah pemutus dalam perkara ini dimana Ibnu ‘Abbas sendiri melakukan shalat jamak padahal ia tidak memiliki udzur saat itu. Beliau sedang berkhutbah dan ingin tetap meneruskan khutbahnya. Dimana letak udzurnya wahai Toyib?. Maaf anda paham atau tidak artinya udzur. Atau anda pikir berkhutbah itu termasuk udzur syar’i yang anda maksud?. Coba sebutkan ulama mana yang mengatakan khutbah itu termasuk udzur?

Perkataan anda “cuma logika syi’ah yang sakit yang bisa menerima” hanya menunjukkan kejahilan anda. Anda mau kemanakan para ulama yang masih masuk dalam lingkup ahlus sunnah dimana mereka membolehkan shalat jamak tanpa adanya udzur. Tolong kalau berbicara itu hati-hati jangan membantah sampai kebablasan. Maaf, anda ini seperti katak dalam tempurung jelmaan tong kosong nyaring bunyinya. Berbicara terlalu banyak dan nyaring tetapi ilmunya terjun bebas ke dasar laut.

Komentar : kalau Cuma bermodalkan hadits ini lalu menyimpulkan boleh tanpa udzur???lafadz yg mana yg menunjukkan? kalau gak ada qorinah ya kembali ke hukum asal,kan begitu?bukan ditafsiri tanpa udzur.sungguh lucunya..

Maaf kalau akal anda rusak tolong diperbaiki dahulu. Qarinah dalam hadis Ibnu Abbas itu sangat jelas sekali sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Abdullah bin Syaqiiq. Yang lucu justru anda wahai Toyib asal bantah tapi tak ada isinya alias tong kosong nyaring bunyinya.

.

.

.

Komentar : itu bukan syubhat, tapi pendapat ulama’ mu’tabar.justru pendapat ente yg ngawur yg kena syubhat syiah suka melaknat  akhirnya terlaknat.

Pendapat ulama siapa yang anda maksud Asy Syaukaniy kah? Lha itu sudah dibuktikan bahwa ia telah keliru dalam berhujjah dengan hadis yang mengandung idraaj. Zhahir riwayat-riwayat Ibnu ‘Abbas [terutama riwayat Abdullah bin Syaqiiq] telah menafikan pendapat jama’ shuuriy. Kami yakin anda tidak mampu memahaminya karena akal anda sudah kelewat rusak.

Silakan tuh anda baca An Nawawiy dalam Syarh Shahih Muslim dimana Ia telah melemahkan dan menganggap bathil penakwilan jamak shuuriy tersebut berdasarkan zhahir riwayat Ibnu ‘Abbaas [Syarh Shahih Muslim An Nawawiy 5/218]. Atau silakan anda lihat Ibnu Hajar yang berhujjah dengan lafaz hadis ketika ditanya mengapa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukannya, dijawab bahwa Beliau menginginkan tidak menyulitkan umatnya. Ibnu Hajar melanjutkan bahwa lafaz ini menafikan penakwilan jama’ shuriy karena jamak shuuriy justru tidak melepaskan dari kesulitan [Fath Al Bariy 2/31].

Sebagai informasi tambahan kami nukilkan apa yang dikatakan Syaikh Ahmad Syakiir dalam catatannya terhadap hadis riwayat Ahmad [Musnad Ahmad hadis no 1918] yang terkait dengan jamak shuuriy ini.

Syaikh Ahmad Syakiir Jamak Shuuriy

Oh iya apa tadi yang anda katakan tentang pendapat kami “terkena syubhat Syi’ah suka melaknat akhirnya terlaknat”. Kalau begitu ulama seperti An Nawawiy, Ibnu Hajar dan Syaikh Ahmad Syakiir yang membantah jamak shuuriy di atas mau anda sebut juga “kena syubhat Syi’ah suka melaknat akhirnya terlaknat”?. Please deh mulutnya itu [uups tangannya yang ngetik kali ya], kayaknya andalah yang lebih pantas disebut pembenci ulama. Maaf sepertinya kami lebih bisa menjaga lisan kami terhadap para ulama, kalau sebagian ulama salah kami cukup katakan salah atau kami katakan pendapat mereka mengandung syubhat. Lucunya sikap kami tersebut anda katakan membenci ulama sedangkan tingkah anda apa mau anda sebut pembela ulama. Seperti inilah hakikat orang jahil ketika ia berbicara melampaui batas ilmunya.

.

.

.

Komentar : he..sok gak pernah salah ketik,padahal ente jelas lebih parah,ente salah jelas terjemahan,tapi gak nyadar..kasihaan..lihat ente artikan وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ “. Dan mengakhirkan shalat ashar”ini jelas kesalahan yg nyata.

Maaf justru anda yang tidak tahu malu, tidak sadar bahwa akal anda sudah rusak. Silakan baca baik-baik yang menerjemahkan perkataan Asy Syaukaniy itu adalah Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy, kami langsung kopipaste itu dari tulisannya. Perhatikan baik-baik apa yang kami tulis sebelumnya wahai jahil

https://secondprince.wordpress.com/2015/02/24/shalat-tiga-waktu-dengan-alasan-jama-kritik-untuk-muhammad-abdurrahman-al-amiry/

Nukilan SP Dari Amiry

Bukankah kami menuliskan disana kalimat “Oleh karena itu nampak jelas kekeliruan Asy Syaukaniy yaitu ulama yang dikutip oleh Al Amiriy perkataannya”. Kami sedang menanggapi nukilan Asy Syaukaniy yang ditulis oleh Al Amiriy. Jadi terjemahan perkataan Asy Syaukaniy adalah tulisan Al Amiriy bukan terjemahan dari kami, paham anda wahai jahil.

Silakan boleh dicek langsung ke situs Al Amiry mengenai terjemahan nukilan Asy Syaukaniy tersebut. Para pembaca bisa melihatnya disini

http://www.alamiry.net/2015/02/shalat-3-waktu-sehari-hari-dengan.html

Terjemahan Amiriy

Kami tampilkan disini agar jika nanti Al Amiriy mengedit situsnya kami tetap memiliki bukti. Yah hal ini sebagaimana ketika Al Amiriy salah menukil hadis Nasa’iy yang ia sebut hadis Bukhariy dan Muslim. Memang sudah diedit oleh Al Amiry tapi kami tetap memiliki bukti bahwa sebelumnya ia memang menulis riwayat Bukhariy dan Muslim.

Kembali pada anda wahai Toyib, wajar sekali kalau anda semakin banyak membaca semakin jahil karena anda tidak mengerti dengan baik apa yang anda baca. Sehingga ilmu yang didapat rusak atau setengah jadi. Kami sarankan tolong jangan mempermalukan diri anda lagi, sudah cukuplah anda mempertontonkan kejahilan yang luar biasa. Jangan merendahkan diri anda lebih rendah lagi. Ck ck ck kasihan alangkah memalukannya ulah anda, ingin menyalahkan orang padahal justru menunjukkan kejahilan diri sendiri.

Seandainya pun kami melakukan salah ketik ya itu tidak masalah. Hal seperti itu sering terjadi pada kami, kapan kami mengatakan kepada anda wahai jahil dengan sok bahwa kami tidak pernah salah ketik. Begitulah memang pengidap waham sering menisbatkan kedustaan kepada orang lain. Ketika ditanya bukti maka tidak ada yang bisa ia tunjukkan kecuali waham khayalnya.

.

.

.

Komentar : sungguh lucunya,sejak kapan menukil idroj berarti pendapatnya keliru, perawi hadits tentu lebih mengerti pake bangeet daripada kesimpulan ente yg konyol itu.

Alangkah memalukannya ocehan anda itu. Asy Syaukaniy tidak menyebutkan tentang idraaj wahai jahil, Ia justru tidak tahu kalau lafaz tersebut adalah idraaj. Ia mengira bahwa lafaz itu adalah perkataan Ibnu ‘Abbaas kemudian ia berhujjah dengannya. Nah disitulah letak kekeliruannya.

Coba anda lihat apa yang dikatakan Asy Syaukaniy [sebagaimana dinukil Al Amiry]. Asy Syaukaniy menjadikan lafaz idraaj tersebut sebagai perkataan Ibnu Abbas dimana Ibnu Abbas adalah perawi hadis tersebut. Yang ingin ditunjukkan Asy Syaukaniy adalah Ibnu Abbaas sebagai perawi hadis tersebut menjelaskan bahwa itu adalah jamak shuuriy. Sayang sekali hujah ini mandul karena lafaz yang disangkakan sebagai lafaz Ibnu Abbaas adalah idraaj dari perawi setelahnya yaitu dari kalangan tabiin.

Kalau anda katakan seorang tabiin lebih mengetahui atau lebih mengerti hadis yang ia riwayatkan lantas mengapa ia tidak konsisten malah di saat lain ia menyatakan zhan yang lain. Dari situ saja dapat dilihat bahwa zhan tersebut tidak menjadi hujjah, kecuali maaf jika memang akal anda tidak nyampe kesana. Dan kesimpulan kami menolak penakwilan jamak shuuriy justru berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhu] selaku sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.

Apakah kalau itu terbukti idraj terus serta merta bukan hujjah alias bukan bahan pertimbangan sama sekali,jelas ini pembodohan yg nyata.

Imam alfasawi dalam fathul mughits hal 224 menjelaskan jika dalam hal tafsir matan maka itu hujjah,tentu jauh lebih dipertimbangkan daripada ucapan ente yg ngawur versi syiah yg tidak peduli ucapan sahabat bahkan memaki mereka.apalagi jika ucapan sahabat itu tidak bertentangan dg sahabat lain walaupun berbeda penafsiran namun berujung sama yaitu udzur syar’I bukan tanpa alasan kayak syiah sesat.dan itu bukan medan akal/ijtihad serta berkesesuaian dg ushul syariat.

Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 )

Sok berhujjah dengan penjelasan ulama padahal hakikatnya jahil. Anda ini mengerti apa tidak apa yang anda baca?. apa yang anda kutip itu sebagaimana anda tulis sendiri adalah tentang penafsiran sahabat, lha sekarang yang dipermasalahkan disini adalah zhan [dugaan] perawi setelah shahabat yaitu dari kalangan tabiin. Perhatikan juga wahai jahil bahwa itu adalah “zhan [dugaan]” tabiin itu tidak memastikan, oleh karena itu di saat lain ia menyebutkan zhan [dugaan] yang lain.

Kemudian telah kami tunjukkan bahwa zhan [dugaan] perawi tersebut tidak menjadi hujjah. Mengapa? Karena disaat lain ia menduga bahwa itu karena hujan. Jadi mana yang benar jamak shuuriy atau karena hujan?. Dan yang lebih menguatkan bahwa zhan perawi tersebut tidak menjadi hujjah adalah hadis Ibnu ‘Abbaas [riwayat ‘Abdullah bin Syaqiiq] bahwa itu memang betul-betul shalat jamak bukannya jamak shuuriy. Jadi Ibnu Abbaas selaku perawi hadis tersebut telah menjelaskan bahwa itu memang betul shalat jamak. Oh iya kami sudah menunjukkan sebagian ulama yang membantah jamak shuuriy, silakan tuh diperhatikan.

Jama’ shuri dan jama’ beneran tidaklah bertentangan dan kedua cara itu haq,tidak perlu dipertentangkan kecuali bagi orang yg gagal faham kayak syiah rusak logika ini.ibnu abbas pun tidak pernah melarang jama’ shuri, jadi walaupun beliau jama’ beneran tidak lantas membatalkan pembolehan jama’ shuri karena ada hadits yg menjelaskan hal itu,serta rukhsoh atau kesulitan seseorang bertingkat-tingkat.oleh karenanya ada kaidah yg masyhur : hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya)

Jahil ooh jahil, Silakan bawakan dalil shahih wahai jahil bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melakukan jamak shuuriy, insya Allah itu akan jadi tambahan ilmu bagi kami. Lucunya anda mengatakan Jamak shuuriy dan Jama’ beneran tidaklah bertentangan?. Ini perkataan orang jahil, Jamak shuuriy hakikatnya bukan Jamak beneran, itu sudah ma’ruf di kalangan ulama. Yang dipermasalahkan disini adalah shalat Jamak yang dibicarakan oleh Ibnu Abbaas itu apakah Jamak shuuriy atau apakah itu Jamak yang sebenarnya?. Jadi gak perlu ngalor ngidul tidak karuan bicara ini itu, padahal hakikat permasalahan saja tidak paham.

Jawab saja pertanyaan ini?. Shalat Jamak yang dimaksudkan Ibnu Abbas dalam hadisnya itu apakah Jamak shuuriy atau Jamak sebenarnya?. Jawabannya cuma satu gak bisa dua-duanya dan sudah kami bawakan bukti hadis Ibnu Abbaas [riwayat Abdullah bin Syaqiiq] kalau shalat Jamak itu adalah Jamak sebenarnya. Kalau anda sok mengatakan dua-duanya tidak bertentangan maka silakan bawakan bukti hadis shahih yang menunjukkan bahwa Ibnu Abbaas mengatakan shalat jamak itu adalah Jamak shuuriy. Jangan berhujjah dengan zhan [dugaan] perawi justru Ibnu Abbaas sebagai sahabat yang menyaksikan jauh lebih paham dibanding perawi setelahnya. Mengerti anda wahai jahil.

Jadi mempertentangkan sesuatu yg sama2 ada nashnya adalah kejahilan yg rusak

Imam Syafii mengatakan, “Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Di antaranya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah dengan tujuan memberi kelonggaran untuk umatnya sehingga tidak ada seorangpun yang berat hati untuk menjamak shalat pada satu kondisi”. Setelah itu beliau mengatakan,

” وليس لأحد أن يتأوّل في الحديث ما ليس فيه “

“Tidak boleh bagi seorangpun untuk mengotak atik hadits dengan hal yang tidak terdapat di dalamnya” (Al Umm 7/205).

Halah cuma bisa menukil doang tapi tidak paham apa yang dinukil. Mana nash dari Ibnu Abbaas bahwa itu adalah Jamak Shuuriy. Buktikan dulu ini baru sok bicara “sesuatu yang sama-sama ada nash-nya”.

Apa yang anda kutip itu menentang anda sendiri. Tidak boleh bagi seorangpun mengotak atik hadis dengan hal yang tidak terdapat di dalamnya. Maka silakan tuh lihat mana ada dalam hadis Ibnu Abbaas bahwa yang dimaksud adalah Jamaak Shuuriy bahkan dalam hadis Ibnu Abbas, shalat Jamak yang dimaksud adalah jamak sebenarnya. Jadi sangat tidak pantas ketika zhahir hadis telah jelas maka anda berhujjah dengan zhan [dugaan] perawi padahal justru zhan perawi tersebut yang sedang mengotak atik hadisnya. Buktinya perawi tersebut tidak konsisten sekedar menduga-duga kadang berkata jamak shuuriy kadang berkata jamak karena udzur hujan.

.

.

.

Komentar : inilah ente selalu membuat kesimpulan yg dipaksakan,mana kata-kata boleh tanpa udzur???gak ada,itu Cuma dari kantong ente sendiri.justru menunjukkan bahwa al haroj / kesulitan adalah termasuk udzur syar’I dalam menjama’ sholat,bukan dibawa tanpa udzur.

Wahai jahil, sebelum banyak bicara tolong jawab mana contoh hadis yang mengandung lafaz “jamak shuuriy”. Silakan bawakan hadis Ibnu Abbaas dengan lafaz “jamaak shuuriy”. Jadi bukan cuma anda kok yang bisa berhujjah kepada kami mana kata-katanya?. Kami juga bisa bertanya pada anda mana kata-katanya “jamak shuuriy” yang anda jadikan hujjah sebelumnya. Jangan sok berhujjah mana lafaz atau mana kata-katanya kalau anda sendiri tidak paham.

Jelas sekali hadis Ibnu ‘Abbaas tidak menyebutkan udzur yang terjadi pada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu. Pahami baik-baik wahai jahil namanya udzur itu sebabnya ada pada saat kejadian. Adapun yang dikatakan Ibnu ‘Abbaas adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ingin tidak menyulitkan umatnya. Ibnu Abbaas bukan sedang  menjelaskan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu sedang mengalami udzur kesulitan, ini namanya pemahaman orang jahil. Kalau memang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu mengalami udzur maka Ibnu Abaas akan menyebutkan udzur tersebut. Al Baghawiy setelah meriwayatkan hadis ini justru mengatakan hadis ini adalah dalil dibolehkan shalat jamak tanpa udzur. Bukankah perawi hadis dalam hal ini Al Baghawiy lebih paham hadis yang ia riwayatkan dibanding anda yang jahil.

Komentar : bukan syiah kalau tidak curang ilmiah, dari nukilan albaghowi jelas itu pendapat sedikit dari ahli hadits,adapun ibnu sirrin tidak berpendapat demikian,namun si syiah ini membuat seolah-olah ibnu sirrin juga mengakuinya dg menaruh koma di depan nama ibnu sirrin serta tidak mengartikan huruf  wawu yg itu menunjukkan bukan bagian kalimat sebelumnya,inilah kecurangan yg sering dilakukan syiah,yg harus diwaspadai.

Ternyata selain jahil anda memang pendusta. Dimana letak kecurangan kami?. Anda itu sudah terkena penyakit waham skizofrenik alias ngayal yang bukan-bukan tapi sok yakin betul. Padahal mana ada kami mengesankan macam-macam. Yang kami jadikan hujjah adalah Al Baghawiy memahami hadis tersebut sebagai dalil membolehkan shalat jamak tanpa udzur. Dan itu memang terbukti dari nukilan yang kami tuliskan. Dimana letak curangnya wahai jahil.

Jadi jangan bawa-bawa khayalan dusta anda terhadap kami. Mana perkataan kami yang curang? Mana perkataan kami yang anda tuduh membuat seolah-olah Ibnu Sirin mengakuinya?. Apalagi soal terjemahan koma dan huruf waw, maaf ya anda ini sok berlagak paling tahu menerjemahkan dan meganggap orang lain menerjemahkan dengan curang. Silakan tinggal tambahkan arti huruf waw dan lihat apakah beda maknanya dengan terjemahan kami. Tentu saja tidak, cuma orang yang menderita waham paranoid yang membeda-bedakannya. Ditunggu wahai pendusta, mana bukti tuduhan anda bahwa kami mengesankan Ibnu Sirin begini begitu?.

Apalagi kalau lanjutkan nukilannya akan semakin menyingkap kebusukannya yaitu :

وذهب أكثر العلماء إلى أن الجمع بغير عذر لا يجوز

Dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa jama’ tanpa udzur tidak boleh

Justru anda yang busuk wahai Toyib, apa pernah kami menafikan bahwa banyak ulama tidak membolehkan shalat jama’ tanpa udzur?. Kami lebih berpegang pada hadis shahih yang membolehkannya dan berpegang pada sedikit ulama yang membolehkan shalat jama’ tanpa adanya udzur jika memang memiliki hajat atau keperluan. Mengapa? Karena mereka memiliki dalil yang lebih kuat dan lebih rajih.

Bolehlah anda mengatakan busuk jika memang kami mengada-adakan sesuatu atau berdusta atas nukilan ulama misalnya jika kami mengatakan jumhur ulama membolehkan shalat jamak  tanpa udzur, kenyataannya tidak pernah kami mengatakan demikian. Lha ini dengan jelas kami menyatakan bahwa Al Baghawiy memahami hadis Ibnu Abbaas sebagai dalil boleh shalat jamak tanpa udzur dan itu terbukti dari nukilan yang kami tampilkan. Eeeh anda datang-datang menuduh kami curang busuk dengan mempermasalahkan Ibnu Sirin dan nukilan lain yang tidak ada hubungannya. Jaka sembung makan pepes ya gak nyambung keles. Maaf, akal anda itu sepertinya rusak cukup parah ya.

Ibnu Mundzir shalat jamak

Selain Al Baghawiy, Ibnu Mundzir juga memahami hadis Ibnu ‘Abbaas tersebut tanpa ada udzur. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa hadis Ibnu ‘Abbaas tersebut bukan bermakna adanya uzur karena dalam hadis tersebut telah dikabarkan oleh Ibnu Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ingin tidak menyulitkan umatnya. Hal ini sebagaimana dinukil dalam ‘Aun Al Ma’buud ‘Alaa Sunan Abu Daawud hal 578

.

Komentar : itu hadits ma’lul alias dho’if alias lemah.tentang Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy, imam ahmad telah melemahkannya :

ضعفه على كل حال ، من كتاب وغير كتاب ، وقال : ما أضعف حديثه

Beliau melemahkan atas segala keadaannya,baik dg kitab atau tana kitab,dan beliau berkata heran : apakah yg lebih lemah dari haditsnya.

Imam abu ja’far al uqoiliy memasukkannya dalam daftar barisan perawi – perawi lemah.

Imam abu hatim mengatakan : يخطئ  dia keliru

Imam annasai berkata : ليس بقوي في الحديث bukanlah perawi yg kuat dalam hadits

Imam ibnu hajar : صدوق يخطىء من حفظه shoduq sering keliru dari hafalannya

,begitu pula imam ibnu rojab dalam al fath 3/84 :

محمد بن مسلم ليس بذاك الحافظ

Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy bukanlah seorang yg hafidz.

Maaf belajar dulu sana ilmu Musthalah hadis, baru sok bicara hadis dan jarh wat ta’dil. Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy memang diperselisihkan tetapi pendapat yang rajih ia seorang yang shaduq. Hadisnya hasan jika tidak ada penyelisihan.

Berikut keterangan rinci mengenai Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy. Ia adalah perawi Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. ‘Abdurrahman bin Mahdiy meriwayatkan darinya [dan telah dikenal bahwa ia hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat dalam pandangannya]. Ahmad mendhaifkannya. Yahya bin Ma’in menyatakan ia tsiqat jika meriwayatkan dari hafalannya terkadang keliru dan jika meriwayatkan dari kitabnya maka tidak ada masalah padanya. Ibnu Adiy berkata “ia memiliki hadis-hadis hasan gharib, ia hadisnya baik tidak ada masalah padanya, dan aku tidak melihat ia memiliki hadis mungkar”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “terkadang keliru”. Al Ijliy dan Abu Dawud berkata “tsiqat”. As Saajiy berkata “shaduq sering salah dalam hadis”. Yaqub bin Sufyaan berkata “ tsiqat tidak ada masalah padanya” [Tahdzib At Tahdzib 6/46 no 7434]

Dengan mengumpulkan perkataan para ulama jarh wat ta’dil maka disimpulkan bahwa kedudukannya adalah shaduq hasanul hadis. Adapun kesalahan atau kekeliruan yang dinisbatkan padanya tidak menjatuhkan hadisnya ke derajat dhaif. Ia seorang yang hadisnya hasan jika tidak ada penyelisihan. Penulis kitab Tahrir Taqrib At Tahdziib telah mengumpulkan jarh dan ta’dil terhadapnya dan menyimpulkan dia seorang yang shaduq hasanul hadis.

Muhammad bin Muslim Ath Thaifiy

Tidak seperti anda wahai Toyib yang seenaknya berpegang begitu saja pada ulama yang mendhaifkan. Silakan lihat kalau menuruti gaya dan cara berpikir anda maka bukankah diri anda lebih tepat dikatakan busuk, anda kemanakan para ulama yang menyatakan Muhammad bin Muslim tsiqat dan shaduq. Anda hanya menukil ulama yang mengkritiknya saja tetapi tidak menukil para ulama yang memujinya. Silakan katakan curang dan busuk kepada diri anda wahai jahil.

Kalaupun shohih bukan dalil jama’ tanpa udzur karena tanpa ‘illah bukan berarti tanpa udzur kayak tafsir ente yg ngawur.tapi maksudnya tanpa keadaan sakit dan semisalnya.itulah tafsir ulama’ yg membedakan ‘illah dan udzur.begitu pula nabi membedakan dalam hadits :

من ترك الجمعة ثلاث مرات من غير عذر ولا علة طبع الله على قلبه

Barangsiapa meninggalkan sholat jum’at tiga kali tanpa udzur dan ‘illah maka akan menstempel hatinya.

Imam azzarqoni dalam syarh azzarqoni ‘alal muwattho’ :

من مرض ونحوه ( ولا علة )

Dan tanpa ‘illah maksudnya tanpa keadaan sakit dan semisalnya

Subhanallah, apalagi komentar yang ini sungguh luar biasa jahil. Kejahilan pertama anda mengatakan tanpa illah [sebab] bukan berarti tanpa udzur. Dan anda mengatakan illah itu seperti sakit dan semisalnya. Kalau begitu wahai jahil yang anda maksud Udzur itu apa?. Apa anda mau mengatakan bahwa sakit bukan Udzur bagi shalat jamak?. Sakit bukan Udzur tapi Illah bagi shalat Jamak, begitukah yang anda maksud. Rasanya ingin tertawa tapi melihat anda seperti ini, disitu kadang kami merasa sedih. Please, tolong dipikir dulu dengan baik sebelum membantah. Siapapun tahu kalau yang namanya istilah Udzur adalah illah [sebab] yang menghalangi.

Kejahilan kedua, hadis yang anda jadikan hujjah mengenai lafaz Udzur bersamaan dengan lafaz Illat adalah hadis yang dhaif karena mursal

وحدثني عن مالك عن صفوان بن سليم قال مالك لا أدري أعن النبي صلى الله عليه وسلم أم لا أنه قال من ترك الجمعة ثلاث مرات من غير عذر ولا علة طبع الله على قلبه

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Shafwaan bin Sulaim, Malik berkata “aku tidak mengetahui apakah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau tidak bahwa Beliau berkata barang siapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali tanpa udzur dan tanpa sebab maka Allah SWT akan menutup hatinya [Al Muwatta Malik 1/168 no 297]

Sebagaimana disebutkan Az Zarqaniy bahwa Shafwaan bin Sulaim adalah tabiin tsiqat [Syarh Az Zarqaaniy ‘Alaa Al Muwatta 1/209]. Maka berdasarkan kaidah ilmu hadis, hadis tabiin langsung dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah mursal tidak shahih sanadnya.

Silakan cari dan buktikan sanad shahih hadis dengan lafaz riwayat Malik di atas yang mengandung kata illat dan udzur bersama-sama. Jika tidak bisa maaf kami khawatir anda termasuk orang yang dengan sengaja berdusta atas nama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah anda berkata “begitu pula Nabi membedakan dalam hadits”. Silakan buktikan, semoga anda sadar wahai jahil bahwa berbicara soal hadis itu tidak asbun dan tong kosong nyaring bunyinya.

.

.

.

Komentar : sekali ente curang ilmiah.ente ngacak terjemahan sehingga muncul kalimat : membolehkan secara mutlak,.padahal kata mutlak itu dibelakang setelah ada hajat ,inilah pengaburan makna.seharusnya dikatakan: membolehkan shalat jama’ ketika mukim untuk hajat secara mutlak .jadi yg mutlak itu jika ada hajat saja.

Maaf anda bilang kami ngacak terjemahan, silakan mari kita bandingkan wahai jahil

  1. Terjemahan kami : membolehkan secara mutlak shalat jama’ ketika mukim karena ada keperluan
  2. Terjemahan anda : membolehkan shalat jama’ ketika mukim untuk hajat secara mutlak

Lha intinya kan sama saja, lafaz secara mutlak itu memang tertuju pada ketika mukim dan ada keperluan. Nah intinya memang tidak perlu ada udzur, yang penting kalau memang ada hajat [keperluan] ya boleh dilakukan shalat jamak.

Itu cuma beda posisi kata saja, sama seperti kalimat “si jahil pergi ke pasar pada hari minggu” dan kalimat “pada hari minggu si jahil pergi ke pasar”. Atau dengan kalimat “kami menganalisis tulisan ini secara objektif” dan kalimat “kami menganalisis secara objektif tulisan ini”. Ya sami mawon maknanya sama saja. Maka orang yang meributkan hal ini adalah orang yang luar biasa jahil.

Jadi ijma’ itu tetap tegak berdiri kokoh dari mulut jahil syiah macam ente.

Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-Istidzkar:

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ لِغَيْرِ عُذْرِ الْمَطَرِ إِلَّا طَائِفَةً شَذَّتْ

“Dan para ulama telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok yang menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)

Apanya yang berdiri kokoh?. Tinggal diuji saja wahai jahil klaim ijma’ tersebut. Perhatikan ucapan ulama yang anda nukil bahwa telah ijma’ tidak diperbolehkan menjamak shalat tanpa ada udzur hujan. Uji dengan fakta berikut yaitu sebagian ulama membolehkan shalat jamak ketika mukim karena sakit. Kalau anda wahai jahil mau bilang “sakit” itu termasuk Udzur, ya kami jawab memang, terus ijma’ yang anda nukil itu kan Udzurnya hujan. Apa ada tuh disebut udzur sakit?. Fakta ini saja sudah membatalkan klaim ijma’ tersebut. Apalagi dengan fakta sebagian ulama membolehkan shalat jamak tanpa ada udzur, contohnya itu yang dikatakan Al Baghawiy dan ia nukil pula pendapat tersebut dari segelintir ahli hadis

هَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ بِلا عُذْرٍ ، لأَنَّهُ جَعَلَ الْعِلَّةَ أَنْ لا تَحْرَجَ أُمَّتُهُ ، وَقَدْ قَالَ بِهِ قَلِيلٌ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ

Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya menjama’ shalat tanpa adanya uzur, karena Beliau telah menjadikan sebabnya sebagai tidak menyulitkan umatnya, Dan sungguh telah berkata demikian sedikit dari ahlul hadis

Kemudian ditambah fakta yang dinukil Ibnu Hajar bahwa sebagian ulama telah membolehkan menjamak shalat ketika mukim jika ada hajat atau keperluan. Intinya bukan karena udzur hujan ataupun udzur yang lainnya. Apa anda mau katakan bahwa hajat atau keperluan adalah Udzur?. Lama-lama kambingpun bisa jadi sapi dalam akal jahil anda.

Gampangnya lihat saja hadis Abdullah bin ‘Abbaas dimana ia menjamak shalat karena ia sedang berkhutbah. Apakah Ibnu ‘Abbaas saat itu memiliki udzur?. Jelas saja tidak, udzur dari mana, khutbah itu tidak menghalangi dan membuat sulit bagi sahabat seperti Ibnu ‘Abbaas untuk melakukan shalat. Tetapi Beliau tetap melakukannya. Kalau dikatakan Ibnu ‘Abbaas ada hajat atau keperluan ya itu memang benar yaitu keperluan untuk berkhutbah tetapi keperluan itu tidak menjadi udzur yang menghalangi melakukan shalat. Lebih wajib mana shalat atau berkhutbah?. Ya jelas shalat maka kalau memang tidak diperbolehkan pasti Ibnu Abbaas akan berhenti khutbah kemudian shalat baru melanjutkan khutbah lagi tetapi fakta riwayat menunjukkan Ibnu ‘Abbaas lebih memilih melanjutkan khutbah dan menjamak shalat. Ini adalah dalil yang jelas dan terang benderang kebolehan shalat jamak tanpa ada udzur.

Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:

وَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ عُذْرٍ

“Dan kita telah berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya udzur” (Al-Mughni 2/204)

Berikut kami bawakan contoh lain pendapat yang membolehkan shalat jamak tanpa udzur sebagaimana dinukil Ibnu Rusyid

وأما الجمع في الحضر لغير عذر فإن مالكا وأكثر الفقهاء لا يجيزونه. وأجاز ذلك جماعة من أهل الظاهر وأشهب من أصحاب مالك.

Adapun shalat jamak ketika mukim tanpa adanya udzur maka sesungguhnya Malik dan banyak fuqaha tidak membolehkannya. Dan telah membolehkannya jamaah dari ahlu zhahir dan Asyhab dari sahabat Maalik [Bidaayatul Mujtahid Ibnu Rusyid 1/398]

Intinya adalah wahai jahil apa gunanya klaim Ijma’ jika ternyata sebagian ulama menyelisihinya. Apalagi telah berlalu pembahasannya bahwa pendapat yang rajih justru terletak pada ulama yang menyelisihi ijma’ tersebut.

Dan menyelisihinya adalah dosa besar.

وروى ابن أبي شيبة (2/346) عن أبي موسى الأشعري وعمر بن الخطاب رضي الله عنهما أنهما قالا : (الجمع بين الصلاتين من غير عذر من الكبائر) .

Dan imam ibn abi syaibah (2/346) dari abu musa al as’ariy dan umar ibn al khottob beliau berdua berkata : menjama’ dua sholat tanpa udzur termasuk DOSA BESAR

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf 3/449 [juz dan halaman ini berbeda dengan yang dinukil si jahil tersebut mungkin karena berbeda cetakan kitab yang dirujuk] kedua riwayat berikut

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ عَنْ حَنْظَلَةَ السَّدُوسِيِّ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مِنَ الْكَبَائِرِ

Telah menceritakan kepada kami Waaki’ yang berkata telah menceritakan kepad akami Abu Hilaal dari Hanzhalah As Saduusiy dari Abu Muusa yang berkata “menjamak dua shalat tanpa udzur termasuk dosa besar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/449 no 8336]

Riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas sanadnya dhaif karena Hanzhalah As Saduusiy, ia seorang yang dhaif [Taqriib At Tahdziib 1/250]. Adapun riwayat Umar dalam kitab Al Mushannaf adalah sebagai berikut

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ  قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ عُمَرَ  قَالَ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مِنَ الْكَبَائِرِ

Telah menceritakan kepada kami Wakii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari Hisyaam bin Hassaan dari seorang laki-laki dari Abu ‘Aaliyah dari Umar yang berkata menjamak dua shalat tanpa udzur termasuk dosa besar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/449 no 8337]

Riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi mubham. Kami mencantumkan riwayat lengkap beserta sanadnya sekedar untuk menunjukkan kepada pembaca betapa jahilnya si Toyib ini dalam berhujjah. Orang ini memang suka sembarangan comot sana comot sini dan berdalil sesuka hatinya tanpa memperhatikan kaidah ilmu. Sudah selayaknya jika ingin berhujjah maka telitilah terlebih dahulu riwayat yang akan dijadikan hujjah, berhujjahlah dengan riwayat yang memiliki sanad shahih atau hasan. Kalau memang riwayat tersebut sanadnya dhaif maka seharusnya dibawakan syahid atau penguat dari riwayat lain yang sanadnya baik.

Seandainyapun riwayat tersebut shahih [sebagaimana ditemukan ada riwayat lain dari Umar dengan sanad shahih] maka tetap saja hal itu tidak menjadi hujjah. Mengapa? Karena terbukti dalam hadis shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melakukan shalat jamak tanpa adanya udzur. Fenomena seperti ini bukan pertama kalinya. Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] juga pernah melarang haji tamattu dan akan menghukum siapa yang melakukannya padahal terbukti dalam hadis shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkannya sampai hari kiamat. Intinya ijtihad sahabat Umar bisa saja keliru dan tidak bisa dijadikan hujjah jika bertentangan dengan sunnah yang shahih.

.

.

.

Demikianlah penjelasan atas kejahilan luar biasa yang ditunjukkan oleh orang yang menyebut dirinya Toyib Mutaqin. Memang tidak ada yang bisa diharapkan dari orang yang mengatakan “hukum asal suatu hadis adalah shahih”. Ucapan ini hanya keluar dari orang yang luar biasa jahil dalam ilmu hadis. Jadi ada baiknya kami mulai memaklumi hakikat orang jahil ini. Walaupun memang kalau melihat orang yang ngakunya Ustadz tapi hakikatnya jahil, disitu kadang kami merasa sedih.

2 Tanggapan

  1. Alhamdulillah

  2. Bang @SP Mohon pencerahan apa benar Aisyah Istri Rasullullah di Bunuh Oleh yazid bin muawiyah bin abu sufyan?

Tinggalkan komentar