Hadis Tsaqalain : Membantah Syubhat Nashibi Terhadap Lafaz “Bihi”

Hadis Tsaqalain : Membantah Syubhat Nashibi Terhadap Lafaz “Bihi”

Pembahasan ini bukan hal yang baru tetapi kami berinisiatif membahasnya secara khusus karena semakin lama kami melihat banyak “para pengingkar” menjadikan syubhat ini untuk menyimpangkan makna hadis Tsaqalain. Pada dasarnya mereka cuma mengekor atau taklid pada syubhat yang disebarkan oleh orang yang mereka anggap “ustadz”. Orang yang menurut mereka “berilmu ala salafus salih” tetapi maaf saja cara berhujjahnya dalam perkara ini seperti “orang yang tidak paham bahasa Arab”.

Diantara mereka yang pernah berhujjah dengan syubhat “bihi” adalah Efendi, seorang antisyiah yang kebablasan kemudian diikuti oleh para muqallidnya di forum-forum diskusi [baik yang Arabic or English]. Syubhat ini juga dilontarkan oleh orang yang menyebut dirinya Abul-Jauzaa’ dalam salah satu artikel ngawurnya yang diikuti dan dikopipaste oleh para muqallidnya [seperti alfanarku dkk].

حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah  dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536]

Mereka mengatakan bahwa lafaz “bihi” [dengan-nya] pada “maa in tamassaktum bihi” [apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya] hanya merujuk pada Kitab Allah saja karena kalau merujuk pada keduanya [kitab Allah dan Ahlul Bait] maka lafaz yang dipakai adalah “bihima” [dengan keduanya]. Intinya mereka mau menyimpangkan hadis Tsaqalain agar bermakna perintah berpegang teguh kepada kitab Allah saja dan tidak kepada Ahlul Bait.

Syubhat ini bisa dibilang “murahan” atau “rendahan”. Kata “bihi” [dengan-nya] merujuk pada kata “maa” [apa] yaitu sesuatu yang dinyatakan harus dipegang teguh. Jadi “nya” itu kembali pada sesuatu. Sesuatu ini jumlahnya bisa berapa saja tergantung dengan lafaz selanjutnya, dalam hadis Tsaqalain di atas disebutkan kalau sesuatu yang harus dipegang teguh itu ada dua yaitu Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi disini sifat berpegang teguh itu berlaku pada masing-masing yang disebutkan Nabi SAW yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait.

Penggunaan lafaz seperti ini adalah sesuatu yang ma’ruf dari segi bahasa arab. Mereka yang mempermasalahkannya hanya menunjukkan “kelemahan akal” dalam berhujjah, anehnya hal itu dilontarkan oleh orang yang alim di sisi mereka. Silakan perhatikan hadis berikut

حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر جميعا عن إسماعيل بن جعفر قال ابن أيوب حدثنا إسماعيل أخبرني العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات ؟ قالوا بلى يا رسول الله قال إسباغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطا إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayub, Qutaibah dan Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja’far. Ibnu Ayub berkata telah menceritakan kepada kami Ismail yang berkata telah mengabarkan kepadaku Al Alaa’ dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan kesalahan dan dengannya Allah mengangkat derajat?. Mereka berkata “tentu wahai Rasulullah”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Menyempurnakan wudhu di saat kesukaran, banyak berjalan menuju masjid dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat maka itulah ribath [Shahih Muslim 1/219 no 251]

Perhatikan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “maa yamhullaahu bihi khathaayaa” dan “wa yarfa’u bihi darajaat”. Lafaz “bihi” ini kembali pada “maa” atau sesuatu yang disifati oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa dengannya bisa menghapus kesalahan dan mengangkat derajat. Sesuatu itu ternyata tidak tunggal atau satu melainkan ada tiga hal yaitu

  1. Menyempurnakan wudhu’ saat keadaan sukar
  2. Banyak berjalan menuju masjid
  3. Menunggu shalat berikutnya setelah shalat.

Tiga hal inilah yang dimaksud oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan lafaz “bihi”. Lafaz ini dimengerti bahwa pada ketiga hal itu masing-masing berlaku dengannya Allah SWT menghapus kesalahan dan mengangkat derajat. Hadis shahih Muslim di atas jelas membantah syubhat konyol salafy dalam mendistorsi hadis Tsaqalain.

Penggunaan lafaz “bihi” seperti yang nampak dalam hadis Tsaqalain juga banyak ditemukan dalam Al Qur’an yaitu merujuk pada sesuatu yang ternyata sesuatu itu adalah objek yang jamak sehingga yang dimaksud “nya” itu berlaku pada masing-masing objek yang disebutkan.

قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Katakanlah [hai orang-orang mukmin]`Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya`. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan [dengan kamu]. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [QS Al Baqarah ; 136-137]

Perhatikan lafaz “maa amantum bihi” yaitu “apa yang kamu telah beriman kepadanya”. Lafaz “bihi” kembali pada kata “maa” dimana dalam ayat sebelumnya apa yang diimani itu adalah beriman kepada Allah SWT, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan beriman kepada apa yang diturunkan pada Nabi-Nabi sebelum kami.

وَلاَ تَتَّخِذُوَاْ آيَاتِ اللّهِ هُزُواً وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa yang telah Allah turunkan kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dengannya [apa yang diturunkan kepadamu]. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS Al Baqarah ; 231]

Perhatikan lafaz “ya’izhukum bihi” yaitu “memberikan pengajaran kepadamu dengannya”. Lafaz “bihi” atau “dengan-nya” itu merujuk pada “ma anzala ‘alaikum” yaitu apa yang diturunkan Allah SWT kepadamu dan disebutkan bahwa itu adalah Al Kitab dan Al Hikmah.

Masih banyak contoh-contoh lain tetapi apa yang telah kami sebutkan telah cukup sebagai hujjah bagi mereka yang tunduk kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Memang sangat mengherankan jika seorang yang punya keilmuan seperti Efendi dan Abul-Jauzaa’ berhujjah dengan cara yang menyedihkan. Jika yang bersangkutan bodoh ada baiknya ia belajar dan jika yang bersangkutan pura-pura bodoh maka itu lebih celaka lagi karena telah sengaja memelintir hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan membodohi orang lain [setidaknya di kalangan pengikutnya]. Semoga para pengikut salafy nashibi itu bisa merenungkan betapa “menjijikkannya” hujjah mereka. Kepada Allah SWT kami berlindung dan memohon ampun.

31 Tanggapan

  1. Sekali lagi…”inkonsistensi dalam berhujjah” dan sikap “taklid buta” oleh kalangan salafy nashibi dalam masalah ini sangat layak untuk tidak ditiru oleh yg mendaku dirinya sebagai insan pencari kebenaran….salam damai.

  2. Semua persoalan hadith Tsaqalain telah ditanggapi disini

    Explanation Of Hadith Ath-Thaqalayn

  3. @Ahmaq…ente tanggapi saja tulisan @sp dari literatur ente itu,,,jadi nyambung,,,, ceritanya…..gitu..

  4. @ Ahmad

    Ibn Ahmad al-hindi itu bukan menanggapi hadits tsaqolain tetapi menolak!

    Ibn Ahmad al-hindi dan Effendy itu sama saja (Nashibi)

  5. @Ahmad… lawaknya hujah link y ko bg tu… mcm tu pun ley jadi hujah ker.. Hubungan Ali dgn Rasulullah saw pun dia xtahu.. nk citer lebih apa… ha3…

  6. Silalah bantah secara ilimiah dalam bahasa inggeris ya, jangan konyol, hehe

  7. @ahmad

    maaf Mas, link yang anda sampaikan itu justru sangat konyol, judulnya mau jelasin hadis tsaqalain tetapi malah ngeributin istilah. Kalau soal hadis Tsaqalain, saya sudah banyak membuat tulisan dan tanggapan [lihat di daftar artikel]. Jadi silakan tuh merujuk ke tulisan saya mana saja tentang hadis Tsaqalain dan berikan tanggapan anda. Jangan kerja anda cuma mengkopi pikiran orang lain, silakan sekali-sekali sampaikan pikiran anda sendiri 🙂

  8. Salam bro

    Minal aidin wal faizin ma’af lahir dan batin…
    Saya haturkan banyak terima kasih atas usaha anda membela kebenaran (Ahlulbait)…. dan pencerahannya!

    tentang tipu menipu salafy model diatas yg anda bongkar, memang itu modal mereka untuk mengelabuhi dan membodohi para awam maklum mazhab mereka pangsa pasarnya adalah mereka-mereka yang awam terhadap bahasa arab dan literaratur Islam dan yang lebih parah lagi mereka yang tidak memberdayakan akalnya, jadi apa kata ustad dan syekh nya di telan bulat-bulat!

  9. Salam,
    Saya mengumpulkan tulisan tentang Hadits Tsaqalain ust @SP dalam bentuk e-book. Isinya:

    1. Hadis-Hadis Tsaqalain

    2. Hadis Tsaqalain Riwayat Yaqub bin Sufyan Al Fasawi

    3. Sanad Hadits Tsaqalain

    4. Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”

    5. Kritik Terhadap Distorsi Hadis Tsaqalain

    6. Kekeliruan Ibnu Jauzi

    7. Kekeliruan Ibnu Taimiyyah

    8. Kekeliruan Ali As Salus

    9. Kekeliruan Hafiz Firdaus

    Yang membutuhkan silakan unduh di sini:
    http://www.ziddu.com/download/16317094/HaditsTsaqalain.exe.html

  10. @ahmad

    Silakan sanggah tulisan SP. Gunakan bhs indonesia saja. Dan ingat jangan konyol spt salafiyun lain 🙂

    Salam

  11. Haa.. saya bolak balik kesini tapi sudah gak pernah lagi ketemu artikel yang bisa buat nimbrung. :mrgreen:

  12. @jensen99
    waduh bener juga ya, sudah lama gak cerita dan ngobrol, ok deh ntar dibuat btw saya sempat shock juga lihat komentar anda di thread ini :mrgreen:

  13. sepertinya Mas Shogun SP udah mulai emosi ya??

  14. rancananya sih nanti kalo anakku lahir aku akan memberikan namanya EFENDI…tapi setelah membaca keterangan diatas nggak jadi deh..image EFENDI udah jelek di mindaku semenjak Mas SP menjelaskan si Nshibi itu..

  15. makasich SP telah meluruskan syubhat salafi satu ini, bner2 gila banget itu salafi ==a. setelah ini apalagi yang mereka pkirkan, knapa sich susah banget nerima, bener2 gak habis pkir. yang salah dibela mati2an sedangkan yang sudah jelas diputarkan sampai2 orang2 yang mencari kebenaran jadi bingung >_<

  16. @almundtazar: udah membuatkan ebooknya, siap saya download ^_^

  17. thanx bgt buat @almuntadzar.
    buat para nashibi… go to hell…

  18. cool man.. maksud kita kan baik..! mengajak mereka ke jalan yang benar..perkara masih juga belum faham ya kita doakan agar suatu saat mereka menerima jalan kebenaran.. menumpang “bahtera nuh” yang penuh rahamat Alloh dan jaminan keselamatan bersama para ahlul bait.. amin

  19. Ada orang Syi’ah membantah artikel di atas. Katanya, lafadh bihi pada riwayat Abudl-Dluhaa bisa kembali kepada Al-Qur’an dan Ahlul-Bait. Katanya, dalam bahasa Arab itu bisa terjadi dengan bukti semisal hadits :

    حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر جميعا عن إسماعيل بن جعفر قال ابن أيوب حدثنا إسماعيل أخبرني العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات ؟ قالوا بلى يا رسول الله قال إسباغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطا إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط

    Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayub, Qutaibah dan Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja’far. Ibnu Ayub berkata telah menceritakan kepada kami Ismail yang berkata telah mengabarkan kepadaku Al Alaa’ dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan kesalahan dan dengannya Allah mengangkat derajat?. Mereka berkata “tentu wahai Rasulullah”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Menyempurnakan wudhu di saat kesukaran, banyak berjalan menuju masjid dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat maka itulah ribath [Shahih Muslim 1/219 no 251].

    Dan yang semisalnya.

    SAYA JAWAB :

    Ini adalah jawaban yang sok tahu. Ia tidak melihat keseluruhan riwayat dan bentuk kalimat yang ada, padahal saya telah membawakan qarinahnya dalam artikel di atas. Saya sebutkan :

    1. Dalam lafadh-lafadh lain sangat jelas disebutkan bahwa hanyalah Al-Qur’an yang kita diwajibkan berpegang-teguh dengannya.

    Apalagi dalam riwayat Muslim, Ahmad, dan yang lainnya sangat jelas disebutkan setelah menyebutkan ats-tsaqalain, maka beliau mewajibkan berpegang teguh dengan dengan Al-Qur’an saja. Dan ketika menyebutkan ‘Ithrah/ahlul-baitnya, beliau memperingatkan tentang hak-hak mereka yang wajib ditunaikan.

    2. Ahlul-Bait tidak ma’shum, sehingga sangat musykil kita diwajibakan berpegang teguh dengannya dengan ‘athaf kepada Al-Qur’an yang merupakan jaminan tidak tersesat. Buktinya telah saya paparkan.

    3. Dalam lafadh At-Tirmidziy (no. 3788), ketika menyebut Al-Qur’an dan ‘ithrah, disebutkan dengan bentuk mutsannaa :

    Walay-yatafarraqaa hattaa yaridaa ‘alayyal-haudl. Fandhuruu kaifa takhlufuunii fiihimaa.

    وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا

    ……dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku” [no. 3788].

    Dan juga beberapa lafadh lain yang tidak disebutkan dalam artikel di atas seperti itu.

    Seandainya yang dimaksud untuk berpegang teguh dengannya adalah Al-Qur’an dan ‘Ithrah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya yang lebih fasih menggunakan bentuk mutsnannaa juga, yaitu bihimaa sesuatu dengan kalimat yang lainnya. Namun di situ menggunakan bihi, sehingga dipahami merujuk pada satu hal saja (yaitu Al-Qur’an).

    4. Kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتي) mansub kepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah” (أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang dibawakan Muslim dan Ahmad.

    Selebihnya,… telah saya sebutkan dalam artikel di atas.

    Qarinah-qarinah yang saya sebutkan merupakan satu kesatuan sebab.

    —–

    Tidak ada hubungannya artikel ini dengan nama ‘Efendi’ yang disebut orang Syi’ah itu. Saya mendapatkan penjelasan dalam artikel di atas dari Dr. Su’uud Ash-Shaa’idiy dalam Al-Ahaadiitsul-Waaridah fii Fadlaailush-Shahaabah (2/59-dst.). Dan beliau (2/66-67) menisbatkan penjelasan tersebut pada kitab Fathul-Bariy 7/98, Syarh An-Nawawiy 15/180, Hujiyyatus-Sunnah lis-Suyuuthiy, Haasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Musnad Ahmad (17/175), dan Al-Qur’aaniyyuun li-Khaadim Husain.

  20. @dede

    Sepertinya itu bantahan dari Abul-Jauzaa’, bantahan yang “ngeyel” dan bantahan yang lahir dari orang yang tidak mau menerima kebenaran dari orang yang ia tuduh Syiah. Berikut bantahan terhadapnya

    Ini adalah jawaban yang sok tahu. Ia tidak melihat keseluruhan riwayat dan bentuk kalimat yang ada, padahal saya telah membawakan qarinahnya dalam artikel di atas. Saya sebutkan :

    Ternyata setelah ditunjukkan kekeliruannya, ia masih saja “ngeyel” dengan berbagai hujjah dusta. Qarinah yang ia sebutkan hanya mengada-ada dan menunjukkan bahwa yang bersangkutan benar-benar tidak paham bahasa arab.

    1. Dalam lafadh-lafadh lain sangat jelas disebutkan bahwa hanyalah Al-Qur’an yang kita diwajibkan berpegang-teguh dengannya.

    Dalam lafaz hadis mana yang menyebutkan “hanyalah Al Qur’an”. Selain itu telah jelas pada hadis-hadis lain bahwa keduanya yang diwajibkan berpegang teguh. Telah kami katakan hadis Muslim tidaklah menafikan berpegang teguh pada Ahlul Bait justru sebaliknya hadis Muslim harus dijelaskan bersandar pada hadis yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait juga harus dipegang teguh

    Apalagi dalam riwayat Muslim, Ahmad, dan yang lainnya sangat jelas disebutkan setelah menyebutkan ats-tsaqalain, maka beliau mewajibkan berpegang teguh dengan dengan Al-Qur’an saja. Dan ketika menyebutkan ‘Ithrah/ahlul-baitnya, beliau memperingatkan tentang hak-hak mereka yang wajib ditunaikan.

    Perkataan akhir nashibi ini “memperingatkan tentang hak-hak mereka yang wajib ditunaikan” adalah ucapan dusta. Tidak ada dalam lafaz hadis riwayat Muslim dan Ahmad, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyebutkan “hak-hak mereka yang wajib ditunaikan”. Silakan wahai nashibi tunjukkan lafaz tersebut dan hak-hak apa yang disbeutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu dalam hadis Muslim dan Ahmad. Jika tidak bisa silakan akui kalau anda sedang berdusta :mrgreen:

    2. Ahlul-Bait tidak ma’shum, sehingga sangat musykil kita diwajibakan berpegang teguh dengannya dengan ‘athaf kepada Al-Qur’an yang merupakan jaminan tidak tersesat. Buktinya telah saya paparkan.

    Bweh kalau menuruti bukti yang anda paparkan dan pemahaman anda terhadap bukti itu maka jangan-jangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak maksum dalam pandangan anda. Nashibi ini pernah mengatakan Imam Hasan tidak taat pada orang tua, seperti dalam judul tulisannya yang lain Imam ma’shum tidak taat pada orang tua, Imam ma’shum yang dimaksud adalah Imam Hasan. Artinya nashibi itu mau mengatakan Hasan radiallahu ‘anhu tidak taat pada orang tua dan ini menjadi bukti bahwa ia tidak ma’shum. Kalau begitu maka bagaimana dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang diyakini nashibi itu bermuka masam dan berpaling ketika ada yang meminta petunjuk kepada Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam], apa itu menjadi bukti kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak ma’shum?. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] salah atau benar ketika ia bermuka masam dan berpaling wahai nashibi?. Jika anda katakan benar maka mengapa Allah SWT menurunkan teguran untuk sesuatu yang benar dan jika anda katakan salah maka itu berarti dalam keyakinan anda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bisa salah dan seharusnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak ma’shum menurut pandangan anda. Itu berarti menurut anda juga, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak layak dipegang teguh.

    Dalam tulisannya, nashibi itu menyalahkan Imam Ali yang membakar kaum zindiq dan menjadikan ini bukti kalau ia tidak ma’shum. [terlepas dari berbagai bantahan kami soal ini] kami katakan kalau begitu Nabi pun ternyata tidak ma’shum karena ada seorang Nabi yang pernah membakar kaum yang bertasbih kepada Allah SWT [silakan lihat dalam hadis shahih bahwa ada Nabi yang membakar semut kaum yang bertasbih kepada Allah]. Berarti Nabi pun juga tidak maksum.

    Dan satu lagi bukankah anda termasuk yang meyakini bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bisa lupa sebagaimana dalam hadis-hadis shahih. Apakah lupanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ini menjadi bukti bahwa Beliau tidak ma’shum, wahai nashibi?. Sepertinya anda dan mazhab anda itu tidak konsisten dalam masalah “ma’shum”

    Permasalahan disini bukan soal ma’shum karena kami sendiri lebih suka dengan lafaz “orang yang layak dipegang teguh”. Jika Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan Ahlul Bait harus dipegang teguh bersama Al Qur’an maka kami menerima. Kami tidak peduli dengan penolakan nashibi itu terhadap hadis shahih dengan syubhat yang murahan.

    3. Dalam lafadh At-Tirmidziy (no. 3788), ketika menyebut Al-Qur’an dan ‘ithrah, disebutkan dengan bentuk mutsannaa :

    Walay-yatafarraqaa hattaa yaridaa ‘alayyal-haudl. Fandhuruu kaifa takhlufuunii fiihimaa.

    وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا

    ……dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku” [no. 3788].

    Dan juga beberapa lafadh lain yang tidak disebutkan dalam artikel di atas seperti itu.

    Seandainya yang dimaksud untuk berpegang teguh dengannya adalah Al-Qur’an dan ‘Ithrah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya yang lebih fasih menggunakan bentuk mutsnannaa juga, yaitu bihimaa sesuatu dengan kalimat yang lainnya. Namun di situ menggunakan bihi, sehingga dipahami merujuk pada satu hal saja (yaitu Al-Qur’an).

    Ucapannya yang lebih fasih hanyalah mengada-ada. Wahai nashibi silakan perhatikan lafaz “fiihima” itu kembali kepada apa dan silakan cek lafaz “bihi” kembali kepada apa dalam kalimat tersebut. Lucu sekali cara berhujjah orang yang kalau bicara soal hadis seolah ia telah banyak membaca kitab berbahasa arab tetapi kaidah sederhana bahasa arab saja ia pura-pura tidak paham. Dan btw hadis Tirmidzi itu sendiri anda dhaifkan, kalau anda bisa berhujjah dengan hadis Tirmidzi maka mengapa kami tidak bisa berhujjah dengan hadis Tsaqalain riwayat Hakim yang memuat lafaz “bihiima”.

    4. Kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتي) mansub kepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah” (أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang dibawakan Muslim dan Ahmad.

    Terus apa hubungannya, bagian mana dari lafaz yang anda kutip “aku ingatkan kalian akan Allah” diartikan bahwa Ahlul Bait tidak layak dipegang teguh. Apa maksud “aku ingatkan kalian kepada Allah”. Jangan menambah waham disini, dimana anda memasukkan kata-kata “memperingatkan tentang hak-hak Ahlul Bait”. Justru dalam hadis Tsaqalain lain riwayat Yaqub dan Thahawi bahwa Al Qur’an dan Ahlul Bait harus dipegang teguh maka kata “aku ingatkan kalian akan Allah” maksudnya mengingatkan mereka bahwa Ahlul Bait juga harus dipegang teguh.

    Tidak ada hubungannya artikel ini dengan nama ‘Efendi’ yang disebut orang Syi’ah itu. Saya mendapatkan penjelasan dalam artikel di atas dari Dr. Su’uud Ash-Shaa’idiy dalam Al-Ahaadiitsul-Waaridah fii Fadlaailush-Shahaabah (2/59-dst.). Dan beliau (2/66-67) menisbatkan penjelasan tersebut pada kitab Fathul-Bariy 7/98, Syarh An-Nawawiy 15/180, Hujiyyatus-Sunnah lis-Suyuuthiy, Haasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Musnad Ahmad (17/175), dan Al-Qur’aaniyyuun li-Khaadim Husain.

    Maaf kami tidak pernah menyebut anda taklid pada si effendi. Kami cuma bilang kalau pada dasarnya kalian berdua itu sama saja, terlepas dari mana anda mengutip toh telah kami tunjukkan kalau orang yang berhujjah lafaz “bihi” dalam hadis Tsaqalain merujuk pada satu hal saja adalah orang yang tidak bisa bahasa arab atau berniat membodohi orang awam. [aneh, kami tidak menemukan hujjah soal lafaz “bihi” dalam penjelasan Ibnu Hajar dan Nawawi].

    Banyak tuh para ulama dan silakan anda buka kitab apa saja yang membahas hadis kitabullah wa sunnati dengan lafaz “bihi” tidak ada satupun dari mereka menyatakan “bihi” hanya merujuk pada Kitab Allah saja. Mereka semua berkata bahwa kitab Allah dan Sunnah Rasul keduanya harus dipegang teguh dan mereka berhujjah dengan hadis lafaz “bihi”. Maka dari segi struktur bahasa arab, hadis Tsaqalain itu tidak bermasalah sedikitpun. Qarinah yang anda maksud cuma akal-akalan untuk membodohi orang awam. Sungguh menyedihkan

    Tujuan utama artikel di atas adalah untuk membuktikan bahwa lafaz “bihi” pada hadis Tsaqalain secara bahasa arab itu memiliki konsekuensi bahwa Al Qur’an dan Ahlul Bait keduanya harus dipegang teguh. Itulah inti penjelasan hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi”. Sedangkan qarinah qarinah yang disebutkan nashibi itu adalah syubhatnya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan struktur bahasa arab baik lafaz tersebut “bihi” atau “bihiima” karena penggunaan kedua lafaz tersebut disesuaikan dengan struktur kalimat. Lafaz “bihi” kembali pada kata “ma” yang berarti “apa atau sesuatu” dan ini bisa berjumlah berapa saja sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis tersebut [lihat penjelasan dalam artikel di atas].Terkait dengan hadis Tsaqalain maka “ma” itu adalah dua hal yaitu Al Qur’an dan Ahlul Bait. Sedangkan lafaz “Bihima” kembali kepada “amrain” atau “tsaqalain” dimana lafaz ini mengandung jumlah “dua” jadi kata ganti yang digunakan adalah “bihima” bukan “bihi” karena dari awal sudah disebutkan jumlahnya ada dua maka kata ganti yang digunakan merujuk pada “keduanya”.

  21. @dede

    Dalam lafadh-lafadh lain sangat jelas disebutkan bahwa hanyalah Al-Qur’an yang kita diwajibkan berpegang-teguh dengannya

    Wahai dede, lalu bagaimana dengan hadits2 yang mengharuskan mengikuti sahabat, mengikuti sunnah Nabi saw? Bagaimana dengan hadits “Wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan hidayah sesudahku. Pegang teguh sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian”.

    Bukankah ini hanya akal-akalan kalian saja utk menolak mengikuti itrah ahlulbait? Huh…!

    Salam

  22. Salah seorang nashibi [alfanarku] berusaha menjawab tulisan di atas, dan setelah kami baca tulisannya “aneh bin ajaib” ia tidak mengerti apa yang kami tulis dan mengikuti kesesatan berpikir yang dikatakan Ustadnya si Abul Jauzaa. Alfanarku berkata

    Yang pada intinya berdasarkan keseluruhan riwayat hadits tsaqalain, Tsaqal pertama yang wajib dipegang teguh agar tidak sesat adalah Kitabullah sedangkan Tsaqal berikut-nya yaitu Ahlul Bait yang diperingatkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dengan tekanan agar kaum muslimin memperhatikan-nya.

    Ucapan ini dusta, jika seseorang memperhatikan dengan baik keseluruhan riwayat hadis Tsaqalain. Maka ada dua hal yang harus dipegang teguh yaitu Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sedangkan lafaz riwayat Muslim dan Ahmad yaitu “aku ingatkan kalian akan Allah tentang ahlul baitku” bermakna Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengingatkan kepada kaum muslimin agar mereka juga berpegang teguh pada Ahlul Bait.

    Nashibi memiliki penafsiran tersendiri hanya saja penafsiran mereka itu berdasar pada angan-angan mereka sendiri tidak bersandar pada teks hadis Tsaqalain

      Memperingatkan agar kaum muslimin memperhatikannya. Apa maksudnya? Diperhatikan seperti apa. Adakah lafaz “memperhatikan mereka” dalam hadis Tsaqalain riwayat Muslim dan Ahmad.

      Memperingatkan agar kaum muslimin memenuhi hak-hak ahlul bait. Apa maksudnya? Hak-hak apa. Adakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyebutkan hak-hak ahlul bait yang dimaksud dalam hadis Tsaqalain. Adakah lafaz “memenuhi hak-haknya” dalam hadis Tsaqalain riwayat Muslim dan Ahmad.

    Jadi penafsiran lafaz “aku ingatkan kalian akan Allah tentang Ahlul Baitku” yang dikemukakan para nashibi tidak bersandar pada teks hadis Tsaqalain tetapi pada “konsepsi” mereka sendiri. Berbeda halnya ketika kami menafsirkan bahwa lafaz “aku ingatkan kalian akan Allah tentang Ahlul Baitku” itu bermakna peringatan agar kaum muslimin berpegang teguh. Qarinahnya terletak pada lafaz hadis Tsaqalain.

      Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewasiatkan dua hal pada hadis Tsaqalain. Pertama tentang kitab Allah agar berpegang teguh dengannya kedua tentang ahlul bait, Rasulullah mengingatkan tentang ahlul bait. Tetapi tidak disebutkan dengan jelas pada riwayat Muslim apa peringatan yang dimaksud. Sangat tidak mungkin jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berwasiat memperingatkan tetapi tidak menyebutkan dengan jelas apa maksud peringatan tersebut. Maka tidak lain peringatan ini mengandung pesan yang sama dengan kitab Allah yaitu peringatan untuk berpegang teguh dengannya. Apalagi dalam hadis Tsaqalain, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan bahwa Kitab Allah dan Ahlul Bait akan selalu bersama tidak terpisah sampai keduanya kembali kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Al Haudh. Makna “selalu bersama dan tidak akan berpisah” menunjukkan kalau pesan tentang keduanya adalah sama yaitu sama-sama harus dipegang teguh.

      Hadis Tsaqalain selain riwayat Muslim yaitu riwayat Tirmidzi, Yaqub Al Fasawi dan Ath Thahawi jelas menyatakan bahwa kitab Allah dan ahlul bait keduanya harus dipegang teguh. Lafaz “bihi” dalam hadis-hadis tersebut bermakna keduanya harus dipegang teguh karena “bihi” dalam kalimat tersebut kembali pada kata “ma” yaitu “apa atau sesuatu” yang belum disebutkan jumlahnya. Setelah disebutkan kalau “ma” itu ada dua yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait maka itu bermakna keduanya Kitab Allah dan Ahlul Bait harus dipegang teguh. Itulah makna hadis Tsaqalain. Nashibi yang membuat syubhat kalau “bihi” disini bermakna satu saja yaitu Kitab Allah jelas bertentangan dengan struktur kalimat tata bahasa arab, karena struktur kalimat seperti yang ditunjukkan hadis Tsaqalain sama persis dengan ayat Al Quran dan hadis yang kami tunjukkan di atas.

    Pada sisi ini kami telah membuktikan bahwa hadis Tsaqalain riwayat Muslim, lafaznya tidaklah bertentangan dengan hadis Tsaqalain yang lain [riwayat Tirmidzi, Thahawi danyang lainnya] melainkan memiliki makna yang sama yaitu berpegang teguh pada kitab Allah dan ahlul bait.

    Mengapa kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam hadits Tsaqalain, Tsaqal yang wajib kita pegang teguh agar tidak sesat adalah Kitabullah saja dan tidak termasuk ahlul bait? Ada beberapa qarinah dan argumentasi yang kuat :

    Qarinah dan argumentasi yang ia katakan kuat adalah sok tahu, omong kosong tong kosong nyaring bunyinya. Silakan perhatikan, kalau memang argumentasi mereka kuat maka silakan mereka menjawab dengan benar tanggapan berikut

    1. Di dalam riwayat-riwayat tsaqalain yang shahih terdapat penjelasan yang sangat gamblang bahwa yang wajib dipegang teguh agar tidak sesat adalah Kitabullah, sebagai contoh dalam shahih Muslim :

    Apakah ini argumentasi kuat? Jawabannya tidak. Karena tidak ada satupun pada lafaz ini yang menentang perintah berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Apakah ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh kaum muslimin berpegang teguh pada kitab Allah itu bermakna “hanya Kitab Allah”?. Nashibi sendiri masih berpegang pada hadis [sunnah] jadi seharusnya ia tidak menafsirkan bahwa pada riwayat Muslim itu hanya kitab Allah yang harus dipegang teguh dan tidak selainnya. Jadi cara penafsiran nashibi itu sendiri adalah kontradiktif. Kami sebelumnya telah menafsirkan dengan baik hadis Tsaqalain riwayat Muslim dimana hadis riwayat Muslim menguatkan hujjah kami.

    2. Sebagian besar riwayat-riwayat tsaqalain menggunakan lafaz “Bihi” yang merujuk pada pada satu hal dan bukan dua hal, “Bihi” di sini adalah Kitabullah

    Ini adalah ucapan dusta yang tidak paham bahasa arab dan menunjukkan kebodohan nyata terhadap struktur bahasa arab. Hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi” dipandang dari struktur kalimat secara tata bahasa arab bermakna “bihi” itu merujuk pada kata “ma” dan “ma” disana ada dua yaitu Kitab Allah dan ahlul bait maka itu berarti keduanya harus dipegang teguh. Sekali lagi secara bahasa arab lafaz “bihi” dalam hadis Tsaqalain bermakna keduanya harus dipegang teguh. Kami telah menunjukkan penggunaan lafaz “bihi” yang persis dalam hadis Tsaqalain dari Al Quran dan hadis shahih yang lain [silakan lihat tulisan di atas] dan menunjukkan bahwa “bihi” dalam kalimat-kalimat itu berlaku pada masing-masing item yang disebutkan atau terlingkup dalam kata “ma”.

    3. Wasiat Rasulullah yang terbesar yang disampaikan pada saat haji Wada’ kepada seluruh kaum muslimin adalah berpegang kepada kitabullah tanpa ada tambahan itrati ahlul bait.

    Ini bukan argumentasi yang kuat wahai nashibi. Jika ada hadis shahih lain yang memuat tambahan itrati ahlul bait maka tambahan itu diterima dan tidak bertentangan dengan hadis yang tidak menyebutkan tambahan tersebut. Inilah logika yang benar dan hal ini sangat sering terjadi pada berbagai riwayat hadis shahih.

    4. Ahlul bait sebagaimana para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam adalah orang-orang yang tidak ma’shum, maka wajib berpegang kepada mereka selama mereka berpegang kepada Kitabullah dan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam.

    Ini ucapan tanaqudh. Kami tanya pada ana wahai nashibi, apa dasar anda menyatakan ahlul bait tidak ma’shum?. Kalau anda ingin menunjukkan berbagai riwayat yang menurut anda menunjukkan kesalahan ahlul bait atau teguran Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap Ahlul Bait maka bagaimana anda bersikap terhadap riwayat tentang salah atau lupanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan teguran Allah SWT terhadap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Seharusnya dengan cara berpikir anda itu wahai nashibi maka anda juga harus berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak ma’shum.

    Kalau anda mau menyatakan Rasulullah ma’shum dengan dalil baik Al Qur’an maupun hadis maka anda juga harus berkata ahlul bait pun juga ma’shum dengan dalil hadis Tsaqalain di atas. Kami pribadi tidak akan sibuk dengan kata “mas’hum” karena kata itu sendiri sering disalah artikan terutama oleh kaum nashibi. Kalau nashibi mengartikan “ma’shum” sebagai tidak pernah salah sedikitpun atau sekalipun maka kami akan lemparkan pada muka mereka berbagai riwayat shahih dimana mereka sendiri mengakui kalau para Nabi pernah berbuat salah termasuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi argumentasi anda wahai nashibi pada poin ini berbalik menyerang anda sendiri.

    Dari qarinah-qarinah di atas sangat jelas bahwa yang wajib dipegang teguh oleh kaum Muslimin adalah Kitabullah, sekaligus menjelaskan “bihi” yang dimaksud adalah Kitabullah dan hal tersebut sudah sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

    Ini ucapan orang yang tidak mengerti apa yang ia katakan. Qarinah yang ia maksud tidak ada sedikitpun kaitannya dengan kaidah bahasa arab. Itu Cuma syubhat murahan “asal Jawab” atau “basa-basi” biar kelihatan sudah membantah padahal “tidak bernilai hujjah”. Lafaz “Bihi” harus dimengerti sesuai dengan struktur kalimatnya bukan dengan qarinah yang dibuat-buat, itulah kaidah bahasa arab. Kalau nashibi itu mau memahami hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi” maka yang ia lakukan harus merujuk pada hadis Tsaqalain yang dimaksud.

    Kemudian orang syi’ah rafidhah ini berusaha mencari-cari bukti dalam ayat maupun hadits bahwa “bihi” bisa juga merujuk pada lebih dari satu hal, saya pikir boleh-boleh saja dan saya tidak akan membahasnya satu-per satu dari contoh-contoh yang dia sampaikan, tetapi hal yang terpenting adalah contoh-contoh tersebut tidak bisa diberlakukan untuk hadits tsaqalain ini, karena qarinah-qarinah di atas dengan jelas telah menjelaskan bahwa yang dimaksud “bihi” pada hadits tsaqalain adalah Kitabullah saja tidak termasuk ahlul bait.

    Ini bukti nyata kalau nashibi itu tidak mengerti tulisan kami di atas. Perkaranya bukan hanya kami sedang menunjukkan lafaz “bihi” bisa merujuk pada lebih dari satu sehingga ia bisa berkata dalam hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi” ada dua kemungkinan itu merujuk pada satu saja atau merujuk pada keduanya sehingga harus melihat qarinah-qarinah lain. Maaf bukan seperti itu wahai nashibi, yang ingin kami tunjukkan dari tulisan di atas adalah lafaz “bihi” harus dimengerti sesuai dengan kalimat yang digunakan. “bihi” itu adalah kata ganti dan sebagai kata ganti ia harus dimengerti dengan melihat kata ganti itu kembali atau merujuk kepada apa. Untuk mengetahuinya ya dilihat dari kalimat yang dimaksud.

    Hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi” secara kaidah bahasa arab sama persis dengan ayat Al Qur’an dan hadis yang kami tulis di atas bahwa itu kembali pada kata “ma” yaitu “apa atau sesuatu” dimana “ma” itu sendiri telah disebutkan ada berbagai item.

    Dalam hadis Tsaqalain “ma” itu adalah Kitab Allah dan ahlul bait. Jadi hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi” secara bahasa arab mutlak bermakna keduanya harus dipegang teguh. Nashibi yang mengartikan hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi” bermakna berpegang teguh pada kitab Allah saja dan tidak ahlul bait jelas bertentangan dengan kaidah bahasa arab yang digunakan dalam kalimat tersebut. Ucapan nashibi itu “contoh-contoh tersebut tidak bisa diberlakukan untuk hadis Tsaqalain ini” menunjukkan kalau nashibi itu tidak paham kaidah bahasa arab bahkan setelah kami tunjukkan ayat Al Qur’an dan hadis shahih dalam tulisan di atas. Bagaimana bisa ia berkata “tidak bisa diberlakukan” padahal secara struktur kalimat penggunaaan lafaz bihi dalam hadis Tsaqalain jelas sama dengan contoh contoh yang kami tulis di atas

    So bagaimana ini wahai nashibi, argumentasi mana yang anda nilai kuat. Apa karena jika anda nashibi dan kami anda tuduh syiah maka anda sudah pasti benar dan kami sudah pasti salah?. Kalau begitu silakan anda hidup dalam dunia khayalan anda sendiri. Salam

  23. 4. Ahlul bait sebagaimana para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam adalah orang-orang yang tidak ma’shum, maka wajib berpegang kepada mereka selama mereka berpegang kepada Kitabullah dan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam

    Huh…Ini juga gamblang termasuk akal-akalan!

    (1) Kalau tidak ma’sum dan tidak dijamin ma’sum bagaimana bisa kita wajib berpegang kepada mereka wahai nashibi?

    Bagaimana kita bisa mentaati seseorang jika orang tsb bermasalah? Bagaimana mungkin berpegang kepada orang-orang yang sering melakukan kekeliruan, tdk mengerti hukum dan yg berbuat zalim?

    Agama apa yg mengajarkan demikian? Siapa sih yang mengatakan seperti ini? 🙄

    (2) Siapa yg menentukan bahwa seseorang telah berpegang kepada Kitabullah dan sunnah Nabi saw? Anda? Ulama Wahabi? Bagaimana jika ulama Sunni dan ulama Syiah berbeda pendapat dengan ulama Wahabi sahabat2 mana yang telah melaksanakan Kitabullah dan sunnah Nabi saw?

    Emang ulama nashibi derajatnya begitu tinggi hampir menyamai Nabi saw sehingga bisa menilai seseorang telah mengikuti Kitabullah dan sunnahnya?

    Ketahuilah wahai nashibi, Penilai itu harus berderajat lebih tinggi dari Yang Dinilai. Apakah ulama anda itu kedudukannya lebih tinggi dari para sahabat. Apatah lagi ahlulbait Nabi saw?

    Siapa wahai nashibi yang berhak menetapkan seseorang telah berpegang kepada Kitabullah dan sunnah? Siapa?

    Gunakan mulut kalau berbicara, gunakan otak kalau berfikir.

    Salam

  24. Berikut balasan dari alfanarku [yang di blockquote] dan tanggapaan dari kami

    Terdapat bantahan dari si rafidhi nashibi (SP) berkaitan dengan artikel di atas, saya tidak akan terlalu banyak menanggapi karena bantahan-bantahan tersebut hanya kesesatan berpikir yang diulang-ulang olehnya.

    Kalau cuma mengklaim maaf semua orang juga bisa, sekarang mari berbicara atas dasar fakta dan ilmu logika. Jika anda wahai nashibi berani berbicara “kesesatan berpikir” maka silakan tunjukkan dahulu dasar pikir yang benar baru anda katakan kami sesat darinya. Jangan hanya mampu berbahasa tetapi kosong maknanya.

    Sudah sangat jelas pada riwayat Muslim bahwa hanya Al-Qur’an yang diperintahkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam untuk berpegang teguh kepadanya agar tidak sesat, disamping itu hanya Al-Qur’an yang ma’shum (terjaga) setiap huruf dan lafaz-nya sedangkan ahlul bait tidak.

    Lihatlah baik-baik anda ini tidak mengerti perkataan orang lain. Pertama bagian mana dalam riwayat Muslim yang mengandung lafaz “hanya Al Qur’an”. Kalau anda mengartikan riwayat Muslim bahwa hanya Al Qur’an yang dipegang teguh dan tidak untuk selainnya maka anda pun tidak layak berkata sunnah Rasul harus dipegang teguh karena itu tidak disebutkan dalam riwayat Muslim wahai nashibi. Jika anda berpegang pada sunnah Rasul dengan mengandalkan hadis lain maka begitu pula yang kami lakukan kami berpegang teguh pada ahlul bait berdasarkan hadis Tsaqalain yang dengan jelas menyebutkan lafaz berpegang teguh pada Al Qur’an dan Ahlul Bait. Pandangan kami sendiri soal hadis Tsaqalain riwayat Muslim jelas sudah kami sebutkan. Lafaz “aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlul baitku” mengandung makna Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengingatkan umatnya untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait

    Kalau si rafidhi nashibi ini tidak mengerti apa maksud Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam memperingatkan kaum muslimin atas ahlul baitnya?

    Wahai nashibi kami tidak seperti anda yang jika berhujjah tidak bisa membedakan mana lafaz hadisnya dan mana asumsi anda sendiri. Kebiasaan anda yang suka mencampuradukkan asumsi anda pada hadis-hadis membuat anda mengalami kesesatan berpikir yang nyata dalam menarik kesimpulan. Kalau memang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berwasiat memperingatkan kaum muslim tentang ahlul bait maka sudah pasti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyebutkan isi peringatan tersebut. Mana mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memperingatkan sesuatu tetapi isi peringatan itu tidak disebutkan dan dipersilakan isi peringatan itu terserah pikiran umatnya. Anda ini sedang melucu ya :mrgreen:

    ya silahkan pikir sendiri dengan logikanya yang sehat (jika dia punya) tidak usah memaksakan bahwa maksud Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam adalah memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada ahlul bait agar tidak sesat, karena pada kenyataannya hanya Al-Qur’an saja yang diperintahkan seperti itu.

    Wahai nashibi, mana logika yang sehat?. Nabi memperingatkan sesuatu tetapi isi peringatannya terserah pikiran umatnya atau Nabi memperingatkan sesuatu sekaligus menyebutkan isi peringatannya. Kalau anda katakan yang pertama maka jelas anda tidak punya logika yang sehat kalau anda katakan yang kedua maka apa isi peringatan tentang ahlul bait dalam hadis Tsaqalain.

    Setelah itu mari kita lanjut, mana logika yang benar. Menafsirkan peringatan itu berdasarkan lafaz hadis Tsaqalain atau menafsirkan peringatan itu berdasarkan asumsi pribadi misalnya dengan berkata “menghormati hak-hak ahlul bait”. Jelas menafsirkan berdasarkan hadis Tsaqalain adalah logika yang benar dan maaf banyak hadis Tsaqalain yang menyebutkan dengan jelas kalau Al Quran dan Ahlul Bait keduanya sama-sama dipegang teguh.

    jangan samakan donk kedudukan dan fungsi sesuatu yang jelas berbeda. ini kengawuran (kesesatan berpikir) yang sangat nyata!

    Maaf wahai nashibi tetapi andalah yang sedang mengalami kesesatan berpikir yang nyata. Mana dasar anda menyatakan kedudukan dan fungsi Al Qur’an dan ahlul bait berbeda. Apa kedudukan yang anda maksud?. Apa pada lafaz Al Qur’an lebih besar dari Ahlul Bait? Hal ini tidak ada bedanya dengan aqidah “taat pada Allah dan Rasul-Nya”. Apa anda pikir Allah SWT itu kedudukannya sama dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]? Hati-hati bisa syirik anda. Lantas apa karena kedudukannya berbeda jadi keduanya tidak layak dipegang teguh. Tundukkan hati anda pada dalil bukannya sok menilai mana yang sesuai nafsu anda. Hadi Tsaqalain walaupun menyebutkan bahwa yang satu lebih besar dari yang lain tetap menyatakan bahwa keduanya harus dipegang teguh. Jadi jangan mengambil sebagian hadis untuk mendustkan sebagian hadis yang lain.

    Saya tidak mempermasalahkan bahwa bihi bisa merujuk pada lebih dari satu hal yang sepadan, tetapi untuk hadits tsaqalain jelas terdapat qarinah bahwa yang dimaksud bihi adalah Kitabullah, shahih Muslim telah menunjukkan hal tersebut dengan sangat jelas :

    Aduhai nashibi betapa buruknya kemampuan kognitif anda dalam memahami tulisan orang lain. Silakan baca baik-baik, masalahnya bukan terletak pada “bihi” bisa bermakna satu atau lebih dari satu. Tetapi masalahnya dalam hadis Tsaqalain, lafaz “bihi” itu bermakna apa. Apa itu merujuk pada salah satu saja atau keduanya?. Ya caranya dengan melihat kalimat hadis Tsaqalain dengan lafaz “bihi”. Hadis shahih Muslim tidak pernah menafikan “berpegang teguh pada ahlul bait” justru peringatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang ahlul bait tidak lain adalah berpegang teguh seperti yang dinyatakan dengan jelas pada hadis Tsaqalain selain riwayat Muslim.

    Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah
    Jadi apapun penafsiran anda mengenai peringatan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengenai ahlul bait adalah bukan untuk dipegang teguh sebagaimana kedudukan Kitabullah,

    Lho bagian pertama itu bercerita tentang Kitab Allah. Apa ada pada bagian pertama yang anda kutip itu terdapat lafaz yang menyebutkan kalau Ahlul Bait tidak dipegang teguh. Apa karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sudah menyebutkan Kitab Allah yang harus dipegang teguh maka tidak boleh ada lagi yang lain yang harus dipegang teguh. Kalau begitu pemahaman anda maka anda adalah orang yang ingkar sunnah. Penafsiran “ngeyel” anda hanya menunjukkan kalau anda seorang yang ingkar sunnah. Bagian pertama itu tidak pernah dipahami sebagai pembatas mutlak bahwa selain Kitab Allah tidak boleh ada yang dipegang teguh.

    Kalau anda tidak bisa memahami maka kami bisa memberikan analogi sederhana. Seorang guru berkata kepada muridnya “nak Ibu guru nasehatkan kalian akan dua hal, pertama Ibumu taatlah padanya dan jangan menyaikitinya kedua ayahmu, ibu guru peringatkan engkau akan ayahmu”. Apa perkataan Ibu guru tentang Ibu menafikan anak tersebut harus taat pada ayahnya juga?. Di saat yang lain ibu guru itu berkata begini “nak ibu guru nasehatkan kalian apa yang jika kalian taat kepadanya maka kalian akan selamat yaitu ibu dan ayahmu”. Orang yang punya logika waras akan paham maksud nasehat guru adalah keduanya ayah dan ibu harus ditaati oleh anak tersebut. Cuma orang “sedeng” yang bilang ayah tidak perlu ditaati karena pada perkataan ibu guru yang pertama hanya Ibu yang harus ditaati sedangkan ayah hanya berupa peringatan saja.

    Justru ini adalah qarinah yang sangat kuat wahai rafidhi nashibi, dimana wasiat beliau ini beliau sampaikan di tengah-tengah haji wada’, jika ahlul bait adalah sesuatu yang harus dipegang teguh agar tidak sesat selain Kitabullah, tentu beliau sudah sampaikan di moment yang sangat penting tersebut, dimana beliau berdiri di hadapan kaum muslimin dari berbagai daerah, bukan di saat beliau kembali dari Haji Wada’

    Wah justru kalau begitu perkataan anda menyerang aqidah anda sendiri wahai nashibi. Kalau memang sunnah Rasul harus dipegang teguh oleh umat islam selain Kitab Allah maka tentu beliau sudah sampaikan di momen yang sangat penting dimana Beliau berdiri di hadapan kaum muslimin dari berbagai daerah saat Haji wada. Jadi jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak menyampaikan wasiat berpegang teguh pada sunnah Nabi saat Haji wada maka sunnah Rasul tidak wajib dipegang teguh cukup kitab Allah saja. Bukankah begitu wahai nashibi yang ternyata ingkar sunnah :mrgreen:

    Inilah kesalahan berpikir rafidhi nashibi ini dalam memahami konsep kema’shuman, jaminan kema’shuman (keterjagaan) hanya untuk para Nabi tidak untuk selainnya.

    Tergantung bagaimana anda membuat batasan soal “kema’shuman” yang anda bicarakan. Jika yang anda sebut ma’shum adalah tidak pernah salah maka seharusnya Nabi pun tidak ma’shum dalam pandangan anda. Jika batasan “ma’shum” atau tidak bukan dengan melihat “pernah salah” maka apa gunanya anda mengaitkan riwayat yang menurut anda adalah kesalahan ahlul bait dengan kema’shuman mereka.

    Kekeliruan para Nabi yang ditegur oleh Allah adalah masuk dalam proses penjagaan Allah atas mereka dimana dalam proses tersebut terdapat hikmah didalamnya sehingga kekeliruan tersebut tidaklah menodai kema’shuman mereka, sedangkan hal ini tidak berlaku buat selain para Nabi dan Rasul.

    Kekeliruan ahlul bait yang anda persepsikan sendiri jelas termasuk dalam proses penjagaan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atas mereka. Kekeliruan mereka di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah bagian dari pendidikan khusus Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] atas mereka dan ketika Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan wafat Beliau mewasiatkan agar umat islam berpegang teguh pada ahlul bait.

    Contoh Allah pernah menegur Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dalam Al-Qur’an karena beliau tidak menyebut Insya Allah ketika menjanjikan sesuatu, ini adalah suatu hal yang dikehendaki oleh Allah dan salah satu bentuk penjagaan Allah terhadap beliau yang terdapat banyak hikmah di dalam-nya, diantaranya :
    1. Syari’at untuk mengucapkan Insya Allah jika menjanjikan sesuatu kepada orang
    2. Menunjukkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam adalah manusia biasa
    3. Bukti Allah selalu menjaga Nabi-Nya atas perbuatan beliau yang belum atau sudah beliau lakukan, ini justru bukti kema’shuman (keterjagaan) Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, karena jika kekeliruan tersebut telah dilakukan oleh beliau, maka akan langsung ditegur dan diluruskan oleh Allah. sedangkan yang lain tidak ada jaminan penjagaan dari Allah atas kekeliruan yang mereka lakukan.
    4. Membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah Kitabullah bukan datang dari Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam
    5. Dll

    Jangan bicara kepanjangan wahai nashibi, pahami duduk persoalan yang sedang didiskusikan. Anda dari awal mengaitkan kesalahan ahlul bait sebagai bukti tidak ma’shumnya mereka maka seharusnya dengan kesalahan Nabi maka itu bukti Nabi juga tidak ma’shum. Itulah konsekuensi ucapan anda.

    Nah sekarang setelah anda merasa dilematis maka anda bermain kata-kata kalau ma’shum itu maksudnya keterjagaan dari Allah SWT jadi walaupun Nabi berbuat salah ya tetap ma’shum. Toh kami bisa juga berkata kesalahan ahlul bait yang anda tuduhkan itu bagian dari tarbiyah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jadi tidak ada alasan dengan menjadikan hal ini untuk menolak hadis Tsaqalain.

    Jadi wahai rafidhi nashibi, berfikirlah yang sehat, jangan biarkan virus syi’ah rafidhah menggerogoti akal sehat anda.

    Insya Allah kami akan berpikir dengan sehat dan kami harap anda mulai belajar untuk berpikir sehat dan tidak perlu mengaitkan dengan “syiah rafidhah”. Semakin anda menuduh syiah hanya semakin menunjukkan kalau anda nashibi tulen.

  25. makasich SP telah meluruskan syubhat salafi satu ini, bner2 gila banget itu salafi ==a. setelah ini apalagi yang mereka pkirkan, knapa sich susah banget nerima, bener2 gak habis pkir. yang salah dibela mati2an sedangkan yang sudah jelas diputarkan sampai2 orang2 yang mencari kebenaran jadi bingung >_<
    (Mengulang perkataan dari sdr @Yupz1500 yang tampak nya mewakili apa yg saya rasakan tatkala membaca tanggapan anda di atas)….semoga Allah senantiasa menganugrahkan akal sehat kepada anda…dan teruslah berkarya.

  26. Alfanarku menganggap hebat dgn asumsi dan permainan kata-katanya. Prihatin.

    Dan semakin jelas ngawurnya dengan menuduh SP “rafidhi nashibi”. Apa ia ga tau apa arti rafidhi dan arti nashibi?

    Salam

  27. Ada bantahan ngeyel dari alfanarku yang semakin menunjukkan kualitas dirinya yang nashibi. seperti biasa komentarnya kami blockquote dan kami tanggapi

    Wahai Rafidhi Nashibi, kami berpegang kepada sunnah rasul dalam rangka berpegang kepada Al-Qur’an, terdapat begitu banyak ayat yang memerintahkan untuk ta’at kepada Allah dan kepada Rasul-Nya,

    Wahai nashibi yang ingkar sunnah, kalau dalam kitab Allah tertera jelas untuk taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya maka mengapa ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “aku tinggalkan apa yang jik kalian pegang teguh maka kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah SWT dan Itrah Ahlul Bait” maka mengapa anda mencari dalih untuk menolak dengan bantahan “ngeyelisme”.

    kalaupun ada riwayat hadits yang memerintahkan untuk berpegang kepada Sunnah Rasul, maka itu adalah penguat belaka, justru tidak ada di dalam Al-Qur’an diperintahkan untuk berpegang teguh kepada ahlul bait, satu ayat pun tidak ada, wahai rafidhi nashibi, berpikirlah sedikit panjang sebelum membantah, tidak usah pakai cara “Ngeyelisme”.

    Oh banyak sekali ayatnya wahai nashibi yang memerintahkan agar umat islam selalu mentaati apa yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memerintahkan untuk berpegang teguh pada ahlul bait maka kami dengar dan kami taat sedangkan anda wahai ingar sunnah malah menolak jadi hakikatnya anda juga ingkar kitab Allah. Astaghfirullah ternyata alangkah buruk hakikat anda.

    Itu pandangan anda mengenai hadits tersebut yang bagi kami adalah lemah, karena jelas dalam shahih Muslim yang diperintahkan untuk dipegang teguh merujuk kepada Kitabullah, dan itu sangat jelas.

    Hadis Tsaqalain dalam shahih Muslim memperingatkan umat islam agar berpegang teguh kepada Ahlul Bait, hal ini dilihat dari lafaz hadisnya dan berdasarkan hadis Tsaqalain lain yang semakna [riwayat Tirmidzi, Ya’qub Al Fasawi dan Thahawi]. Sudah menjadi kaidah dalam ilmu hadis, kita harus membahas suatu hadis dengan mengumpulkan hadis-hadis semakna agar dapat dipahami matan hadisnya dengan jelas.

    Sekali lagi silahkan bercermin, lihat diri anda sendiri, Sangat jelas kami dan para ulama kami dalam memahami peringatan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berkaitan dengan Ahlul Bait beliau, saya akan kasih contoh peringatan Nabi dengan kata-kata yang senada :
    أَنْذَرْتُكُمْ النَّارَ أَنْذَرْتُكُمْ النَّارَ أَنْذَرْتُكُمْ النَّارَ حَتَّى لَوْ أَنَّ رَجُلًا كَانَ بِالسُّوقِ لَسَمِعَهُ مِنْ مَقَامِي هَذَا قَالَ حَتَّى وَقَعَتْ خَمِيصَةٌ كَانَتْ عَلَى عَاتِقِهِ عِنْدَ رِجْلَيْهِ
    “Aku ingatkan kalian akan neraka, aku ingatkan kalian akan neraka, aku ingatkan kalian akan neraka.” Seandainya seseorang berada di pasar, niscaya ia akan mendengarnya dari tempatku ini.” Dia (An-Nu’man) berkata, “Sampai-sampai khamishah yang ada di pundak beliau jatuh ke kakinya.” (HR. Ahmad no. 17672)
    Sekali orang membaca sabda Nabi di atas, orang tersebut akan memahami bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sedang mengingatkan kaum muslimin akan dahsyatnya neraka, sehingga kita mesti berusaha agar kita jangan terjerumus ke dalamnya. Bagaimana kita bisa memahami perkataan beliau tersebut sepertiitu? walaupun beliau hanya mengingatkan tanpa ada penjelasan berikutnya? Karena hal-hal yang seperti ini sudah sangat jelas maknanya (bagi orang yang akalnya sehat tentunya

    Oh tentu hal ini sangat jelas sekali wahai nashibi karena Rasulullah [shalallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan peringatan tersebut dengan jelas

    يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبَلَالِهَا

    ‘Wahai Bani Ka’ab bin Luaiy, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai Bani Murrah bin Ka’ab, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai Bani Abdul Syams, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai Bani Abdul Manaf, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai Bani Hasyim, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai Bani Abdul Mutthalib, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai Fatimah, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Sesungguhnya aku tidak memiliki (kekuatan sedikit pun untuk) menolak siksaan Allah kepadamu sedikit pun, selain kalian adalah kerabatku, maka aku akan menyambung tali kerabat tersebut.” [HR. Muslim no. 303]

    Apalagi dalam kitab Allah SWT banyak sekali peringatakan akan neraka maka pesan tersebut akan sangat jelas sekali maknanya wahai nashibi. Tetapi bukankah anda beranggapan kalau dalam kitab Allah tidak ada keterangan tentang Ahlul Bait jadi bagaimana bisa anda sok merasa jelas soal peringatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang ahlul bait :mrgreen:

    Demikikian juga ketika Nabi mengingatkan akan ahlul bait-nya maka dengan cepat kita langsung bisa memahami-nya dan para ulama telah menjelaskannya apa yang dimaksud sabda beliau tersebut yaitu berkaitan dengan hak-hak Ahlul Bait.

    Kami memahami nash gak pakai akal-akalan seperti anda wahai nashibi. Peringatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang ahlul bait telah disebutkan jelas dalam hadis Tsaqalain itu sendiri. Seperti sebelumnya kami memahami hadis dengan hadis itu sendiri bukan dengan akal-akalan seperti yang anda lakukan.

    حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

    Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536]

    Cuma orang yang gak bisa bahasa arab yang menyatakan bahwa lafaz “bihi” dalam hadis Tsaqalain di atas hanya merujuk pada kitab Allah. Secara kaidah bahasa arab, penggunaan lafaz “bihi” ini sesuai dengan bahasa dalam Kitab Allah dan As Sunnah [silakan lihat kembali artikel di atas] maka orang yang mengartikan lafaz bihi pada kalimat di atas hanya berlaku untuk satu saja tidak untuk keduanya maka ia telah menantang kitab Allah dan As Sunnah. Sekali lagi ini menjadi bukti hakikat anda adalah ingkar kitab Allah dang ingkar sunnah, na’udzubillah.

    Itu menurut anda wahai rafidhi nashibi, bagi kami apa yang beliau sabdakan adalah sesuatu yang jelas, salah satu yang beliau tinggalkan adalah ahlul bait beliau, sehingga ketika beliau mengingatkan dengan tekanan yang kuat akan ahlul bait beliau sepeninggal beliau, maka kaum muslimin pun langsung mengerti maksud beliau sebagaimana kami memahami peringatan beliau akan neraka, kalau anda merasa ga jelas, itu bukan salah kami

    Wah kami sih gak tahu apa dasar anda wahai nashibi. Kalau dasar kami sudah jelas hadis Tsaqalain itu sendiri yang memang berbunyi untuk berpegang teguh pada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait.

    Btw ada yang aneh, anda berkata anda memahami peringatan tentang ahlul bait sama sebagaimana anda memahami peringatan tentang neraka. Lha bukankah anda bilang peringatan tentang neraka adalah akan dahsyatnya siksa neraka dan harus menjaga diri dari siksa neraka. Wah berarti anda sebenarnya memahami peringatan tentang ahlul bait adalah akan dahsyatnya siksa ahlul bait dan harus menjaga diri dari ahlul bait. [tinggal kata neraka diubah jadi ahlul bait]. Astaghfirullah, ini menjelaskan mengapa anda mati-matian menolak berpegang teguh kepada ahlul bait, kami berlindung kepada Allah SWT dari orang-orang seperti anda.

    Itu bukan asumsi pribadi wahai rafidhi nashibi, melainkan sebagian ulama ahlus sunnah menafsirkan seperti itu dan bagi saya penafsiran mereka mendekati kebenaran, sedangkan penafsiran anda berdasarkan qarinah-qarinah yang telah saya sampaikan adalah tidak benar alias keliru.

    Ah maaf penafsiran anda dan ulama yang anda catut keliru besar karena lafaz hadis Tsaqalain [selain riwayat Muslim] menyatakan dengan jelas keharusan berpegang teguh kepada ahlul bait sedangkan hadis Muslim walaupun tidak tegas juga mengisyaratkan peringatan agar berpegang teguh pada Ahlul Bait.Kami berpegang pada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ulama anda tidak jadi panutan jika bertentangan dengan hadis Rasulullah[shallallahu ‘alaihi wasallam]

    Wahai rafidhi Nashibi, pahami perkataan lawan diskusi anda dengan baik, kedudukan antara A-Qur’an dan ahlul bait sangat jauh berbeda dan yang wajib dipegang teguh adalah Al-Qur’an berdasarkan penjelasan dari hadits-hadits yang shahih, sedangkan ta’at kepada Allah dan rasul-Nya adalah memang perintah Allah yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an, keduanya harus dipegang teguh berdasarkan perintah yang Qath’i dari Allah jangan samakan dengan ahlul Bait.

    Wahai nashibi anda sungguh tidak paham perkataan yang sudah dan sedang anda ucapkan. Bukankah anda mempermasalhkan kedudukan Al Qur’an dan ahlul bait yang berbeda maka begitu pula kedudukan Allah dan Rasul-Nya itu berbeda. Walaupun kedudukan Al Quran dan Ahlul Bait berbeda tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah berpesan untuk berpegang teguh pada keduanya. Sama seperti walaupun kedudukan Allah dan Rasul-Nya berbeda tetap kita harus taat pada Allah dan Rasul-Nya karena itulah perintah Allah SWT. Jadi apa gunanya wahai nashibi anda sebelumnya mempermasalahkan kedudukan yang berbeda. Perkataan anda yang ini jelas menentang perkataan anda sebelumnya. Sungguh tak tahu malu atau anda tak paham ucapan anda sendiri.

    Tundukkan hati anda pada dalil jangan ikuti virus rafidhah dan sok menilai mana yang sesuai nafsu anda. Jelas bahwa yang dipegang teguh adalah Kitabullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dan hadits-hadits lain mengikuti uslub dari shahih Muslim ini.

    Tundukkan hati anda pada dalil wahai nashibi, kalau anda memang berpegang pada kitab Allah maka anda tidak akan mendustkan pesan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Tsaqalaian [riwayat Muslim dan yang lainnya] agar berpegang teguh pada Ahlul Bait. Itu kalau memang anda berpegang pada Kitab Allah tetapi pada hakikatnya anda mengakui secara tidak langsung bahwa anda ingkar kitab Allah dan ingkar sunnah.

    Riwayat Muslim uslub-nya harus dipahami secara keseluruhan dengan hadis Tsaqalain yang lain. Itulah kaidah yang benar. Sedangkan penafsiran anda dengan riwayat Muslim justru menentang kaidah bahasa arab yang jelas pada hadis Tsaqalain yang lain.

    Aduhai rafidhi nashibi betapa buruknya kemampuan kognitif anda dalam memahami tulisan orang lain. Silakan baca baik-baik, Hadits tershahih mengenai tsaqalain adalah hadits riwayat Muslim, sedangkan hadits-hadits lain adalah hadits-hadits ringkasan yang maknanya kembali seperti pada riwayat Muslim (hal seperti ini adalah suatu hal yang dimaklumi di mana para perawi sering meringkas matan dari suatu hadits),

    Aduhai wahai nashibi apa ingatan anda begitu buruk, kapan anda pernah bilang dalam komentar anda sebelumnya bahwa riwayat tershahih hadis Tsaqalain adalah riwayat Muslim. Wah maaf wahai nashibi silakan belajar lagi ilmu hadis dengan benar, hadis riwayat Muslim adalah riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam sedangkan hadis riwayat Ya’qub Al Fasawi [artikel di atas] adalah riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam. Abu Dhuha lebih tsiqat dan fadhl dari riwayat Yazid bin Hayyan. Buktinya dalam riwayat Muslim [Yazid bin Hayyan] terdapat tanaqudh soal perkataan Zaid apakah istri Nabi termasuk ahlul bait atau bukan. Riwayat satu bilang “termasuk” tetapi riwayat lain Zaid bin Arqam bersumpah istri Nabi bukan ahlul bait. Jangan sok yakin deh bilang tershahih :mrgreen:

    dalam riwayat Muslim dengan sangat jelas disebutkan hanya Kitabullah yang merupakan cahaya dan yang diperintahkan dan dihimbau kita untuk berpegang teguh padanya, sehingga “bihi” pada riwayat-riwayat tsaqalain yang lain adalah kitabullah, dan memang bihi di sini benar-benar merujuk pada satu hal bukan dua hal. Jadi tidak ada qiyas dalam hal ini.

    Komentar anda di atas lucu, bihi dalam hadis Muslim memang merujuk pada kitab Allah karena itulah yang terlihat dalam struktur kalimatnya tetapi bihi dalam hadis Tsaqalain yang lain merujuk pada kitab Allah dan Itrah Ahlul bait itulah yang dipahami dalam struktur kalimatnya.

    Hadis Muslim menyebutkan ada Tsaqalain [dua peninggalan] yang pertama Kitab Allah diharuskan berpegang teguh dengannya. Kata “nya” disini kembali pada kitab Allah, kemudian yang kedua adalah Ahlul Bait, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengingatkan tentang ahlul bait. Peringatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ini yaitu harus berpegang teguh pada ahlul bait, hal ini dipahami oleh hadis Tsaqalain lain yang menyebutkan dengan jelas bahwa ahlul bait juga harus dipegang teguh. Jadi intinya riwayat Muslim ya sama saja dengan hadis Tsaqalain riwayat lain.

    Anda mengatakan kalau hadis Tsaqalain yang lain adalah ringkasan hadis Tsaqalaian riwayat Muslim. Nah kalau begitu lebih baik anda memahami hadis Tsaqalain riwayat Muslim dengan hadis ringkasannya. Hadis ringkasannya justru menyatakan jelas keharusan berpegang teguh pada ahlul bait maka peringatan tentang ahlul bait dalam riwayat Muslim adalah peringatan agar umat islam berpegang teguh kepada ahlul bait. Jadi pahamilah hadis dengan hadis bukan dengan akal-akalan.

    Justru hadis Muslim adalah hadis ringkasan hadis lain yaitu hadis riwayat Imam Ali di ghadir khum silakan cek

    حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي

    Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Marzuq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amir Al Aqadiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Katsir bin Zaid dari Muhammad bin Umar bin Ali dari Ayahnya dari Ali bahwa Nabi SAW berteduh di Khum kemudian Beliau keluar sambil memegang tangan Ali. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya” atau [Rasul SAW berkata] “maka Ali sebagai mawlanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 3/56]

    Hadis Muslim itu kan disebutkan di Ghadir Khum tetapi kok tidak menyebutkan tentang penyebutan Imam Ali sebagai “mawla” maka sudah jelas hadis Muslim termasuk ringkasan hadis di atas dan harus dipahami sesuai uslub hadis di atas. Hadis di atas menyebutkan yang harus dipegang teguh ada dua yaitu kitab Allah dan Ahlul Bait.

    Btw sepertinya wahai nashibi anda sedang menggigau ketika berbicara “tidak ada qiyas disini”. Maaf siapa yang sedang berhujjah dengan qiyas, jelas-jelas kami berhujjah dengan hadis-nya justru anda yang malah berhujjah dengan syubhat murahan. Silakan belajar bahasa arab biar gak bingung antara qiyas dan hadis :mrgreen:

    Kalau sunnah Rasul ya harus kita pegang teguh dengan mutlak bersamaan dengan Kitabullah karena memang Allah memerintahkannya dalam Al-Qur’an demikian, tetapi tidak dan berbeda dengan Ahlul Bait.

    Ehem yang diperintahkan Allah dalam Al Qur’an adalah agar kita taat pada apa yang ditetapkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menetapkan berpegang teguh pada ahlul bait maka tidak boleh ada keputusan yang lain kita harus menerima dengan sepenuh hati, itulah yang disebutkan Kitab Allah.

    Perumpamaan yang sangat tidak tepat, ma’af ya… Ahlul Bait kok diperumpamakan dengan ayah

    Lho daripada analogi anda, ahlul bait diperumpamakan dengan neraka. Tolong berkaca wahai nashibi yang ingkar Kitab Allah dan ingkar sunnah :mrgreen:

    Saya tidak merasa menyerang aqidah saya sendiri kok wahai rafidhi nashibi bukankah di dalam Kitabullah begitu banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk menta’ati Rasul? Bukankah terdapat ayat misalnya: Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan? Jadi kalau kita berpegang kepada Kitabullah otomatis ya kita harus berpegang kepada sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Dan ini menunjukkan kema’shuman Nabi & Rasul yang tidak diberikan kepada selain mereka. Makanya berfikir panjang sedikit donk sebelum “ngeyel”

    Kalau begitu wahai nashibi mengapa anda tidak paham. Kitab Allah memerintahkan agar mematuhi apa yang ditetapkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka seharusnya jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan harus berpegang pada kitab Allah dan Ahlul Bait maka anda tidak boleh menolak dengan berkata hanya kitab Allah saja bukan ahlul bait. Itu berarti anda sudah mendustkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Kitab Allah. Jelas hakikatnya anda adalah ingkar kitab Allah dan ingkar sunnah.

    Lho siapa yang dilematis? Silahkan baca penjelasan saya mengenai konsep kema’shuman, justru teori kema’shuman anda yang saya lihat dilematis dan tidak sesuai Al-Qur’an dan hadits, sehingga mengakibatkan kesesatan berfikir yang sedemikian parah. Dan terdapat alasan dengan menjadikan hal ini untuk menolak pemahaman anda terhadap hadits tsaqalain.

    Wahai nashibi kan anda sendiri yang malah berbicara soal kema’shuman. Dan komentar anda sebelumnya menyatakan jelas bahwa ahlul bait tidak ma’shum karena bisa salah. Nah maka kami katakan anda juga hrus berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun ya tidak ma’shum karena mnurut anda Rasul bisa salah juga. Setelah itu anda baru bersilat lidah kalau ma’shum itu adalah keterjagaan dari Allah SWT walaupun Rasul bisa salah. Sekarang anda malah menyatakan ma’shum itu gak ada kaitannya dengan bisa salah. Jadi apa gunanya anda bilang kemarin “ahlul bait bisa salah”. Kapan pula kami pernah menyebutkan konsep kema’shuman. Di komentar kami mana yang anda lihat wahai nashibi bahwa kami menyebutkan konsep kema’shuman yang kami pahami. Silakan sebutkan, bahkan melihat dengan mata kepala anda sendiri saja anda sudah tidak mampu. Kami sampai mengecek kembali komentar sebelumnya dan tidak ada kami menyatakan konsep kema’shuman kami. Ah betapa mudahnya nashibi berdusta :mrgreen:

  28. Wah..wah..semakin terlihat saja siapa yang cakap menggunakan kaidah ber-logika dengan benar dan mana yang tidak sehingga terjerembab dalam “lautan kontradiksi” tak berkesudahan atas segala ucapannya….salam

  29. Nashibi selalu berkoar-koar hanya kitab Allah saja yg harus dipegang teguh. Hmmm… Tapi bagaimana dengan doktrin sahabat adil yg harus diikuti? Salafussalih yg harus diikuti? Bagaimana dgn ulama mereka dan ustadz mereka yg harus selalu ditaati?

    Bukankah semuanya hanya kebohongan? Menolak dan ingkar thd Nabi saw dan ahlulbaitnya tapi menerima bulat ucapan dan prilaku sahabat, salafuusalih dan ulama mereka (?) 🙄

    Salam

  30. Assalamualaikum saudaraku,
    Maaf sebelumnya
    Saya muslim dan saya juga insya allah ahlul bait dari husain ibn ali RA (wallahualam)
    Saya bukan sunni dan saya juga bukan syiah tapi saya muslim
    Saya condong ke madzhab syafii
    Saya hanya mengingatkan janganlah mengkafirkan seseorang tanpa melihat jelas apa yang dilakukannya, telaah terlebih dahulu berita tersebut, karena bisa jadi fitnah,,
    Dan saya hanya mengingatkan janganlah mendoakan keburukan seseorang tapi doakanlah agar mereka dan kita dibimbing ke jalan yang lurus
    Serta janganlah mendoakan keburukan sahabat sahabat Rasulullah seperti abu bakar, umar, dan usman
    Ingat jangan terlalu berlebihan mengagungkan manusia walau itu adalah ulama,, agungkanlah nama Allah SWT,,
    Serta untuk saudaraku yang sunni, janganlah mengkafirkan seseorang tanpa melihat langsung dengan mata kalian bahwa mereka telah menentang al quran dan sunnah serta pelajarilah sunnah dan telitilah ke shahih annya

    Dan untuk saudaraku syiah, janganlah terlalu mengagungkan ahlul bait melebihi Allah SWT, jangan mendoakan keburukan terhadap orang yang kalian anggap buruk tanpa kalian melihat langsung dengan mata sendiri,,
    Dan untuk saudaraku semuanya jangan membidahkan sesuatu dan maksud bidah menurut saya adalah perbuatan yang memiliki banyak mudharat dan dapat menggoncang keimanan kita kepada Allah SWT,,
    Semoga kita semua bersatu dan bertemu dalam Islam
    Sampai ketemu saudara
    Kelak kalau saya berada dijalan lurus dan anda dijalan lurus, pertemuan itu pasti ada wallahualam

    Wassalamualaikum
    Hamba allah

  31. Kontroversi yang tak akan pernah usang oleh waktu

Tinggalkan komentar