Apakah Ali dan Abbas Mendengar dari Rasulullah Hadis Nabi Tidak Mewariskan?

Apakah Ali dan Abbas Mendengar dari Rasulullah Hadis Nabi Tidak Mewariskan?

Salafy demi membela Abu Bakar, mereka tidak segan-segan membuat dalih kalau hadis Abu bakar bahwa para Nabi tidak mewariskan dan apa yang ditinggalkan adalah sedekah tidak hanya diriwayatkan Abu Bakar bahkan Ali dan Abbas pun juga menyatakan yang demikian. Mereka berhujjah dengan hadis Umar diantaranya yang diriwayatkan oleh Al Bukhari

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي مَالِكُ بْنُ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ النَّصْرِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَاهُ إِذْ جَاءَهُ حَاجِبُهُ يَرْفَا فَقَالَ هَلْ لَكَ فِي عُثْمَانَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ وَالزُّبَيْرِ وَسَعْدٍ يَسْتَأْذِنُونَ فَقَالَ نَعَمْ فَأَدْخِلْهُمْ فَلَبِثَ قَلِيلًا ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ هَلْ لَكَ فِي عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ يَسْتَأْذِنَانِ قَالَ نَعَمْ فَلَمَّا دَخَلَا قَالَ عَبَّاسٌ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنِي وَبَيْنَ هَذَا وَهُمَا يَخْتَصِمَانِ فِي الَّذِي أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَنِي النَّضِيرِ فَاسْتَبَّ عَلِيٌّ وَعَبَّاسٌ فَقَالَ الرَّهْطُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنَهُمَا وَأَرِحْ أَحَدَهُمَا مِنْ الْآخَرِ فَقَالَ عُمَرُ اتَّئِدُوا أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ يُرِيدُ بِذَلِكَ نَفْسَهُ قَالُوا قَدْ قَالَ ذَلِكَ فَأَقْبَلَ عُمَرُ عَلَى عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ فَقَالَ أَنْشُدُكُمَا بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمَانِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ ذَلِكَ قَالَا نَعَمْ

Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Malik bin Aus bin Hadatsaan An Nashriy bahwa Umar bin Khattab radiallahu’anhu pernah memanggilnya kemudian penjaga pintunya Yarfaa datang kepada Umar dan berkata “Apakah engkau mengizinkan Utsman, Abdurrahman, Zubair dan Sa’d masuk?. Umar berkata “ya” maka ia menyuruh mereka masuk. Beberapa saat kemudian, ia datang lagi dan berkata kepada Umar “apakah engkau mengizinkan Abbas dan Ali masuk?”. Umar berkata “ya”. Ketika keduanya masuk, Abbas berkata “wahai amirul mukminin putuskanlah antara aku dan orang ini”. Keduanya saat itu berselisih tentang harta yang Allah karuniakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari bani Nadhir sehingga Ali dan Abbas saling mencela. Sebagian sahabat berkata “wahai amirul mukminin putuskanlah diantara mereka berdua dan tenangkanlah salah seorang dari mereka berdua”. Umar berkata “tenanglah kalian dan aku meminta kepada kalian demi Allah yang dengan izinnya langit dan bumi berdiri apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” yang dimaksud adalah diri Beliau sendiri. Mereka berkata “Beliau berkata demikian”. Kemudian Umar menghadap Abbas dan Ali dan berkata “aku meminta demi Allah apakah kalian berdua mengetahui bahwa Rasulullah berkata seperti itu?”. Mereka berdua berkata “ya” [Shahih Bukhari no 4033]

Salafy menjadikan hadis ini sebagai bukti kalau para sahabat lain termasuk Ali dan Abbas juga meriwayatkan hadis yang sama dengan Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan. Jika dianalisis dengan baik maka hujjah mereka keliru dan mengandung kontradiksi yang justru merendahkan sahabat Nabi. Perhatikan baik-baik diantara mereka yang membenarkan Umar terdapat Utsman bin ‘Affan dimana ia termasuk yang menjawab pertanyaan Umar dengan lafaz “qad qaala dzalika” [sungguh Beliau berkata demikian]. Lafaz ini diartikan salafy seolah-olah menunjukkan kalau Utsman bin ‘Affan mendengar langsung dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], padahal kenyataannya tidak demikian, Utsman tidak mendengar langsung hadis ini, ia termasuk orang yang pada awalnya tidak mengetahui adanya hadis ini. Buktinya terdapat pada riwayat Bukhari tersebut, Az Zuhri setelah membawakan Hadis Malik bin ‘Aus di atas ia berkata

قَالَ فَحَدَّثْتُ هَذَا الْحَدِيثَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ صَدَقَ مَالِكُ بْنُ أَوْسٍ أَنَا سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ ثُمُنَهُنَّ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ أَنَا أَرُدُّهُنَّ فَقُلْتُ لَهُنَّ أَلَا تَتَّقِينَ اللَّهَ أَلَمْ تَعْلَمْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ يُرِيدُ بِذَلِكَ نَفْسَهُ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ فَانْتَهَى أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَا أَخْبَرَتْهُنَّ

Az Zuhri berkata “maka aku ceritakan hadis ini kepada Urwah bin Zubair yang berkata “benarlah Malik bin ‘Aus, aku mendengar Aisyah radiallahu’anha istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Utsman kepada Abu Bakar untuk meminta seperdelapan dari harta yang Allah SWT karuniakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kemudian aku menolak mereka dan berkata “apakah kalian tidak takut kepada Allah? Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” yang dimaksud adalah diri Beliau sendiri. Sesungguhnya keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] makan dari harta ini. Maka istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berhenti pada apa yang disampaikan Aisyah kepada mereka [Shahih Bukhari no 4033]

Riwayat ini menunjukkan kalau Utsman adalah orang yang diutus oleh istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Abu Bakar untuk meminta seperdelapan bagian warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika memang Utsman dari awal mengetahui atau mendengar langsung dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Nabi tidak mewariskan maka Utsman tentu tidak akan mau menjadi utusan para istri Nabi untuk meminta warisan Nabi kepada Abu Bakar. Utsman mau menjadi utusan karena ia tidak mengetahui adanya hadis tersebut barulah kemudian setelah disampaikan hadis itu oleh Abu Bakar dan Aisyah maka Utsman mengetahuinya.

Kalau Utsman mendengar langsung hadis Rasulullah [shallallahu ‘alihi wasallam] tetapi ia dengan sengaja melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang ia dengar maka sudah jelas perbuatan ini adalah perbuatan yang fasiq atau mungkar. Jika salafy mengatakan Utsman mendengar langsung hadis tersebut dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sama saja dengan salafy menuduh Utsman sengaja melakukan perbuatan yang fasiq dan mungkar.

Maka penafsiran yang benar adalah lafaz jawaban Utsman “qad qaala dzalika” maksudnya Utsman mengetahui kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata demikian berdasarkan riwayat yang ia dengar dari Abu Bakar dan Aisyah.

Begitu pula dengan jawaban Imam Ali dan Abbas kepada Umar dengan lafaz “na’am” [ya] ditafsirkan salafy seolah-olah menunjukkan kalau Imam Ali dan Abbas mendengar langsung hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Padahal kenyataannya tidak demikian.

حدثنا الحسن بن علي الخلال أخبرنا بشر بن عمر حدثنا مالك بن أنس عن ابن شهاب عن مالك بن أوس الحدثان قال دخلت على عمر بن الخطاب و دخل عليه عثمان بن عفان و الزبير بن العوام و عبد الرحمن بن عوف و سعد بن أبي وقاص ثم جاء علي و العباس يختصمان فقال عمر لهم أنشدكم الله الذي بإذنه تقوم السماء والأرض تعلمون أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا نورث ما تركنا من صدقة قالوا نعم قال عمر فلما توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أبو بكر أنا ولي رسول الله صلى الله عليه و سلم فجئت أنت وهذا إلى أبي بكر تطلب أنت ميراثك من ابن أخيك ويطلب هذا ميراث امرأته من أبيها فقال أبو بكر إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا نورث ما تركنا صدقة والله يعلم إنه صادق بار راشد تابع للحق

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Ali Al Khallal yang berkata telah mengabarkan kepada kami Bisyr bin ‘Umar yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik bin ‘Anas dari Ibnu Syihab dari Malik bin Aus Al Hadatsaan yang berkata “aku menemui Umar bin Khaththab dan masuk menemuinya juga Utsman bin ‘Affan, Zubair bin ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’d bin Abi Waqaash kemudian datanglah Ali dan ‘Abbas yang berselisih. Umar berkata “aku meminta kepada kalian demi Allah yang dengan izinnya langit dan bumi berdiri apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”. Mereka berkata “ya”. Umar berkata “ketika Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, Abu Bakar berkata “aku adalah Wali Rasulullah, kemudian engkau dan si ini datang kepada Abu Bakar. Engkau meminta warisanmu dari anak saudara laki-lakimu dan si ini meminta warisan istrinya dari ayahnya maka Abu Bakar berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalakan adalah sedekah” Allah Maha Tahu bahwa sesungguhnya ia benar mendapat petunjuk dan mengikuti kebenaran [Shahih Sunan Tirmidzi 4/158 no 1610]

Dalam hadis shahih riwayat Tirmidzi di atas dimana sanadnya juga berujung pada Az Zuhri dari Malik bin Aus diketahui ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, Ali dan Abbas adalah orang yang datang kepada Abu Bakar dan meminta bagian warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Jika lafaz “na’am” dari Ali dan Abbas diartikan bahwa mereka berdua mendengar langsung dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hadis Nabi tidak mewariskan maka konsekuensinya berarti Ali dan Abbas dengan sengaja melakukan hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Mereka berdua tahu kalau Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewariskan tetapi mereka tetap meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah ini contoh perbuatan yang fasiq atau mungkar. Tentu saja kami berlepas diri dari tuduhan seperti ini

Jika salafy mengatakan Ali dan Abbas mendengar langsung hadis tersebut dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sama saja dengan salafy menuduh Ali dan Abbas sengaja melakukan perbuatan yang fasiq dan mungkar

Maka penafsiran yang benar terhadap lafaz “na’am” tersebut adalah Ali dan Abbas mengetahui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata demikian dari apa yang dikatakan Abu Bakar radiallahu ‘anhu. Jadi Ali dan ‘Abbas tidaklah mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melainkan mereka mengetahuinya dari Abu Bakar.

Apakah Ali dan ‘Abbas mengakui hadis Abu Bakar radiallahu ‘anhu tersebut?. Jawabannya tidak, terdapat riwayat yang menyebutkan kalau Ali dan ‘Abbas tetap pada pendirian mereka walaupun mereka telah mendengar hadis Abu Bakar. Setelah enam bulan pasca wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] setelah Ali dan Abbas meminta warisan Rasulullah kepada Abu Bakar dimana Abu Bakar menolak mereka dengan menyampaikan hadis Nabi tidak mewariskan, Imam Ali berkata dalam hadis yang panjang riwayat Aisyah tentang pembaiatan Imam Ali

فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا

Maka Abu Bakar masuk, Ali mengucapkan syahadat dan berkata “kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu, kami tidak dengki terhadap kebaikan yang diberikan Allah kepadamu tetapi kamu telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami, kami berpandangan bahwa kami berhak memperoleh bagian karena kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 4240 & 4241]  

Dalam hadis Az Zuhri dari Malik bin Aus terdapat keterangan bahwa Ali dan Abbas kembali meminta warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada masa pemerintahan Umar radiallahu ‘anhu.

فَقُلْتُ أَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ فَقَبَضْتُهَا سَنَتَيْنِ أَعْمَلُ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جِئْتُمَانِي وَكَلِمَتُكُمَا عَلَى كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَأَمْرُكُمَا جَمِيعٌ جِئْتَنِي تَسْأَلُنِي نَصِيبَكَ مِنْ ابْنِ أَخِيكِ وَأَتَانِي هَذَا يَسْأَلُنِي نَصِيبَ امْرَأَتِهِ مِنْ أَبِيهَا

Aku [Umar] berkata “aku adalah Wali Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar, aku pegang harta itu selama dua tahun dan aku perbuat sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar kemudian kalian berdua mendatangiku dan ucapan kalian berdua sama dan perkara kalian pun sama, engkau [Abbas] mendatangiku untuk meminta bagianmu dari putra saudaramu dan dia ini [Ali] mendatangiku untuk meminta bagian istrinya dari ayahnya [Shahih Bukhari no 7305]

Artinya setelah Abu Bakar memberitahukan hadis Nabi tidak mewariskan dan apa yang ditinggalkan menjadi sedekah, Ali dan Abbas tetap pada pendirian mereka untuk meminta bagian warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Imam Ali bahkan setelah enam bulan tetap menyatakan kalau Abu Bakar bertindak sewenang-wenang dan Imam Ali berpandangan ahlul bait berhak akan harta tersebut. Bukankah ini menunjukkan kalau Imam Ali mengingkari hadis yang disebutkan Abu Bakar?. Kalau memang Imam Ali mengakui hadis Abu Bakar maka sangat tidak mungkin ia mengatakan Abu Bakar bertindak sewenang-wenang.

Begitupula dengan Abbas, ia pun telah mendengar hadis yang disampaikan Abu Bakar tetapi ia dan Ali tetap meminta bagian warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar pada masa pemerintahannya. Kalau memang ia mengakui hadis Abu Bakar tersebut maka sangat tidak mungkin ia masih meminta harta warisan tersebut kepada Umar pada masa pemerintahannya.

Terdapat hadis Az Zuhri dari Malik bin Aus yang mengandung lafaz dimana Ali dan Abbas memang mengingkari hadis Abu Bakar tersebut. Dalam riwayat Abdurrzaq dengan sanad dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Malik bin Aus, Umar berkata

فلما قبض رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أبو بكر أنا ولي رسول الله صلى الله عليه و سلم بعده أعمل فيه بما كان يعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها ثم أقبل على علي والعباس فقال وأنتما تزعمان أنه فيها ظالم فاجر والله يعلم أنه فيها صادق بار تالع للحق ثم وليتها بعد أبي بكر سنتين من إمارتي فعملت فيها بما عمل رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبو بكر وأنتما تزعمان أني فيها ظالم فاجر والله يعلم أني فيها صادق بار تابع للحق

Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar berkata “aku adalah Wali Rasulullah setelahnya dan aku akan memperlakukan terhadap harta itu sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memperlakukannya kemudian datanglah Ali dan Abbas. Umar berkata “kalian berdua menganggap bahwasanya ia berlaku zalim dan durhaka” dan Allah mengetahui bahwa ia dalam hal ini seorang yang jujur baik dan mengikuti kebenaran. Kemudian aku menjadi Wali Abu Bakar selama dua tahun dari pemerintahanku aku perbuat terhadap harta itu sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar dan kalian menganggap aku berlaku zalim dan durhaka, Allah mengetahui bahwa aku dalam hal ini jujur, baik dan mengikuti kebenaran [Mushannaf Abdurrazaq 5/469 no 9772 dengan sanad yang shahih]

Pernyataan Umar bahwa keduanya Ali dan Abbas menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai zalim dan durhaka menunjukkan bahwa Ali dan Abbas mengingkari apa yang dikatakan oleh Abu Bakar dan Umar perihal harta tersebut. Kalau memang Ali dan Abbas mengakui kebenaran hadis Abu Bakar lantas mengapa mereka menganggap Abu Bakar berlaku zalim dan durhaka?. Kesimpulannya Ali dan Abbas tidak mengakui kebenaran hadis Abu Bakar bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewariskan.

Pandangan salafy memang aneh bin ajaib. Mereka mengatakan Imam Ali dan Abbas juga mendengar hadis Nabi tidak mewariskan dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pernyataan ini sama saja dengan menuduh Ali dan Abbas sengaja melanggar perintah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau sengaja berbuat fasik. Salafy juga mengatakan Imam Ali dan Abbas mengakui atau membenarkan hadis Abu Bakar tetapi faktanya Imam Ali dan Abbas tetap meminta harta warisan di masa pemerintahan Umar. Ini semua adalah konsekuensi dan kontradiksi yang tidak terpikirkan oleh salafy. Mereka memang terbiasa asal berhujjah yang penting dapat menguatkan keyakinan mereka. Fakta yang benar disini adalah Ahlul Bait [Sayyidah Fathimah, Imam Ali dan Abbas] tidak mengakui hadis Abu Bakar tersebut mereka tetap berpandangan kalau ahlul bait Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berhak mendapatkan warisan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

18 Tanggapan

  1. inilah yang ada di pikiran saya bila membaca hadis ini dahulu, imam ali as mengatakan “ya” pada abu bakar dan umar. entah kenapa masih ada yang terlepas pandang tentang ini.

    dan juga tentang riwayat umar abdul mengembalikan tanah fadak pada imam muhammad al baqir as. bukankah itu bukti yang nyata.

  2. Buat saya redaksi hadits ini aneh….

    1. Imam Ali as vs Ibnu abbas ra berselisih menurut redaksinya…
    kemungkinannya
    1. Imam ali as vs Ibnu abbas selisih ttg besaran nilai waris
    ( sesuatu yg aneh karena keduanya dlm sunni dan syiah di jadikan sumber rujukan)
    2.Imam Ali berselisih ttg hadis “waris nabi” dgn Ibnu abbas, dgn posisi salah satu sdh tahu,tapi kenapa sahabat yg menyaksikan menyatakan menyuruh utk menenangkan dan memutuskan. Dan mengapa kedua2nya di beri penjelasan yg berarti dua2nya tdk tahu “hadist waris” abnormal ini

    seharusnya dan dengan penjelasan hadits yg berikutnya

    Imam Ali as dan Ibnu Abbas ra keduanya tdk berselisih diantara mereka tapi berselisih dengan Ustman, Abdurrahman,said,zubair sehingga perlu dipertegas oleh Umar

  3. Atas hadits Rasulullah yang disampaikan oleh Abubakar dan didukung oleh Umar Yakni bahwa para Nabi tdk meninggalkan Warisan terkecuali sadakah/ Ada beberapa masalah yang menimbulkan pertanyaan pd saya apakah benar Rasulullah SAW pernah berkata demikian? Karena:
    1.Siapa saja yang mendengarkan Hadits tsb.
    2.Pasti keluarga Rasul tdk mendengar Hadits ini
    3.Menurut SP bahwa Aisyah Istri Rasul SAW pun mengetahuinya.
    Tapi lucunya Pada waktu kekhalifan Utsman Aisyah pernah menuntut warisan ini
    4.Apakah Abubakar tidak mengakui Rasul memiliki tanah Fadak.Menurut Apa yg
    dikatakan Abubakar tsb bisa berarti bahwa tanah Fadak sudah dikeluarkan/diberikan sebagai sadakah atau masih (klu diakui oleh Abubakar) maka yang wajib mengeluarkan/mengetahui keluarga sesuai Firman dlm
    QS 2 ayat 180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
    5. Dalam pembicaraan Abubakar mengatakan Ia Wali Rasul. Tapi yang benar yang menjadi Wali Rasul adalah Imam Ali.
    Jadi menurut saya hadits yang disampaikan Abubakar itu tdk ada.
    Bagaimana Imam Ali dan Abbas bisa mendengar sesuatu yang tak pernah diucapkan Rasul. Wasalam

  4. @mas SP

    Ketimbang mengomentari sikap para pengikut salafy yg lebih memilih hidup tentram dlm “kontradiksi” mereka, saya lebih tertarik untuk mengetahui tentang analisis anda selanjutnya menyangkut latar belakang apa yg membuat Imam Ali dan Ibnu Abbas bersikeras untuk menolak kesaksian Abu Bakar bahkan terkesan enggan mempercayai bahwa Nabi SAW benar2 telah bersabda demikian kepada Abu Bakar. Hal ini disebabkan kita tidak mungkin menolak salah satu klaim yg saling bertentangan ini tanpa memiliki bukti kuat bahwa klaim salah satunya lebih dekat pada kebenaran ketimbang yg lainnya. Ditunggu pencerahannya. Salam damai…

  5. Logika sederhana yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh Nabi; yang namanya wasiat tentunya disampaikan kepada ahli waris (bukan kepada orang lain). Dan karena hal ini adalah hal yang sensitif, maka tidak mungkin Nabi tidak mengingatkan kepada ahli waris Beliau.

    Salam damai.

  6. Demi menunjukkan keanti-syiahan mrk, paling sedikit ada 3 entitas yg mereka ingkari: kemuliaan ahlulbait, logika dan konsistensi.

    Ngomong2 sy kira salafy sdh “nyadar” dlm hal riwayat fadaq ini. 🙂

    Salam

  7. rasulullah salallahualaihiwasallam banyak memuji abubakar dan menyatakan tentang kemuliaan abubakar, jika anda menilai abubakar salah,
    berarti secara tidak langsung, anda telah menyalahkan nabi yang telah memuji dan menyatakan abubakar sebagai sahabat yang mulia dong?

  8. @abdullah (hamba allah) : Lebih baik asumsi anda yg tak berdasar itu, yaitu berupa ungkapan “…, anda telah menyalahkan nabi yang telah memuji dan menyatakan abubakar sebagai sahabat yang mulia dong?”,… pertama-tama anda tujukan kepada sahabat Ali dan Ibnu Abbas yang enggan untuk mempercayai Abu Bakar yang telah banyak dipuji oleh Rosul….maka dengan demikian anda pun telah menyalahkan Ali dan Ibnu Abbas yg juga banyak dipuji oleh Rasul sebagaimana halnya terhadap diri Abu Bakar. Dan hiduplah dalam “kontradiksi” tersebut dimana orang lain belum tentu bisa seperti anda…..salam.

  9. @Dafa Sani
    Banyak dipuji oleh Rasulullah bukan berarti tidak bisa berbeda pendapat diantara mereka.
    Logika yang menyesatkan jika menyimpulkan dua orang yang sama2 dipuji Rasulullah saw tidak bisa berbeda pendapat.
    Logika yang menyesatkan juga orang yang dipuji Rasulullah tidak bisa berbuat salah.
    Apakah Rasulullah saw hanya bisa memuji mereka yang maksum?
    Saya ingin bertanya kepada anda:
    “Jika anda setuju dengan cacian/pendusta kepada Abu Bakar, kepada siapa anda meneladani ini? Atas dasar dalil apa bahwa mencaci menjadi suatu kebiasaan islam?”

    salam.

  10. @truthseeker08

    Kalau anda bertanya kepada saya menyangkut persetujuan untuk mencaci sahabat Abu Bakar menyangkut perselisihan beliau dengan Ahlul Bait atas kasus tanah fadak maka dengan tegas saya katakan : Tidak setuju.
    Akan tetapi menyangkut kemungkinan sahabat Abu Bakar melakukan kedustaan dibalik fakta Rosul juga memuji beliau, maka sebagaimana perkataan anda : ” Logika yang menyesatkan juga orang yang dipuji Rasulullah tidak bisa berbuat salah.”, kecuali kata “salah” yg anda maksudkan tidak mencakup perbuatan berdusta dan mengatakan sahabat berdusta adalah bagian dari mencaci…..salam

  11. Yang saya pahami sejauh ini bahwa menetapkan kemungkinan bahwa seseorang itu telah berdusta tidaklah berarti kita mencaci orang tersebut.

  12. Sebagai tambahan : Sekiranya menetapkan seseorang sebagai pendusta termasuk dalam cakupan pengertian “mencaci” orang yg bersangkutan, maka bisa pulalah untuk kita katakan bahwa para ulama ahli hadis telah mendahului kita dalam mencontohkannya tatkala mereka memenuhi kitab-kitab mereka dengan tuduhan telah berdusta kepada beberapa orang rawi sebagai salah satu metode didalam melemahkan sebuah hadis.

  13. @Dafa Sani
    Berdusta dan pendusta adalah 2 hal yang sangat jauh berbeda. Saya dan beberapa orang yang saya kenal pernah berdusta dalam hidupnya, namun saya tidak mengkategorikannya sebagai pendusta.
    Analogi lain: saya pernah menyanyi namun saya bukan penyanyi.
    Kembali kepada komentar anda. Saya rasa kita tidak perlu naif bahwa jika ada ulama2 yang melakukan penilaian thd seseorang dalam kerangka ilmu, maka setiap orang bisa mencontek/mencontohnya dalam kerangka apapun termasuk “mencela” dan mencaci. Argumen ini sering saya dapatkan dapat teman2 syi’ah, yang mana saya rasa terlalu mengada2 dan dipaksakan.
    Misal saja jika ditemukan Rasulullah menegur seseorang maka ramai2 kita ikut menegur orang tsb?
    Jika Allah SWT sedang menegur Rasul/Nabinya maka kenudian sah2 saja kita rame2 mencela Rasul/Nabi tsb?
    Analogi ekstrim dalam keseharian kita adalah:
    Ketika kita menegur/mencela istri kita, maka anak kita menjadi berhak menegur (mencela) ibu mereka atas masalah tsb?
    Inilah yang selalu diingatkan kepada teman syi’ah bahwa ada faktor lain yang disebut adab/akhlak. Sehingga Teman2 kita di sunni menganggap teman2 syi’ah tidak menjaga adab/akhlaknya kepada istri2 Rasul, sahabat2 Rasul, hanya karena mereka ditegur/dicela oleh Allah SWT ataupun oleh Rasulullah SAW.

    salam damai.

  14. @Dafa Sani
    Saya membedakan orang berdusta dan pendusta. Sebagaimana saya membedakan orang yang menyanyi dan penyanyi.
    Sepanjang yang saya ketahui, tidak pernah ada manusia biasa yang tidak pernah berdusta, namun bukan berarti kita menisbahkan celaan pendusta kepada seluruh manusia. Hal ini bisa anda kembalikan kepada diri anda sendiri, apakah anda pernah berdusta atau tidak, dan jika ya, apakah anda layak dikategorikan sebagai pendusta? Dan apakah orang yang pernah berdusta layak/berhak untuk mengadili/mengecam/mencela seorang yang berdusta sebagai pendusta?
    Kembali kepada komentar anda tentang Ulama2 yang bahkan membuat kitab yang “mencela” beberapa orang. Saya pikir terlalu naif jika mensahkan tindakan “mencela” kita didasarkan atas itu. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
    1. Bagi kita semua jelas kerangka dan konteks dari yang dilakukan para ulama tsb adalah dalam kerangka keilmuan (walaupun kita bisa pula memaksakan argumen kita bahwa kita berada dalam kerangka yang sama.. 🙂 ).
    2. Apakah ada benturan dengan akhlak yang diajarkan oleh agama kita?
    3. Apakah yang kita lakukan itu mencontoh kepada panutan/teladan kita?

    Saya rasa kita tidak bisa serta merta menyamaratakan tindakan kita dengan tindakan ulama2 tsb.
    Apakah juga kita akan berdalil bahwa karena Allah telah menegur beberapa Rasul2/Nabi2 nya maka serta merta kita pun bisa melakukan itu dengan dalil tsb?
    Apakah karena Rasulullah pernah menegur istri2 ataupun sahabat2nya maka serta merta kita berhak pula untuk menegur dan mencela mereka?
    Jika analogi ini belum bisa memperjelas argumen2 saya, saya bisa ambilkan contoh ekstrim seperti berikut:
    Jika seorang suami menegur ataupun mencela istrinya atas sesuatu yang tidak disenangi suaminya, apakah serta merta sang anak berhak pulan menegur/mencela ibunya (sang istri tsb).?
    Bukankah ada hal lain yang menahan diri si anak untuk tdak melakukan hal tsb, yaitu akhlak.

    salam damai.

  15. @dhaim
    “Berdusta dan pendusta adalah 2 hal yang sangat jauh berbeda. Saya dan beberapa orang yang saya kenal pernah berdusta dalam hidupnya, namun saya tidak mengkategorikannya sebagai pendusta…..”

    Saya pun sepakat dengan anda menyangkut perbedaan kedua istilah diatas, oleh karenanya ungkapan yg saya buat terkait tema ini adalah : “kemungkinan sahabat Abu bakar melakukan kedustaan” dan “mengatakan sahabat berdusta” yang tentu saja berbeda dengan ungkapan : sahabat Abu bakar sebagai “pendusta”. Semoga anda paham….

    @truthseeker08

    1. Bagi kita semua jelas kerangka dan konteks dari yang dilakukan para ulama tsb adalah dalam kerangka keilmuan (walaupun kita bisa pula memaksakan argumen kita bahwa kita berada dalam kerangka yang sama…

    Lha…jadi menurut anda tulisan yang disajikan oleh sang pemilik blog. ini serta partisipasi orang-orang yg terlibat didalamnya termasuk anda dan saya selama ini menurut anda berada diluar kerangka keilmuan ? Wah…wah ternyata beragam juga yah persepsi dari orang-orang yg terlibat aktif di blog ini.

    2. Apakah ada benturan dengan akhlak yang diajarkan oleh agama kita?

    Itu tergantung persepsi anda atas pilihan ungkapan kata yang saya gunakan terkait sahabat Abu bakar. Apakah anda menilainya termasuk mencaci atau kah tidak. Dan saya telah menjelaskan apa yg selama ini saya pahami atas pilihan kata tg saya buat.

    “Saya rasa kita tidak bisa serta merta menyamaratakan tindakan kita dengan tindakan ulama2 tsb.”

    Lho..sejak kapan pengertian ahlak dan adab memiliki standar ganda dalam penerapannya ? Apakah sesuatu tindakan itu tetap dikatakan memenuhi nilai adab dan ahlak karena dilakukan oleh seorang alim sedang pada saat yg bersamaan tindakan tersebut dinilai tidak berahlak hanya karena dilakukan oleh seseorang yg bukan ulama?

    “Apakah juga kita akan berdalil bahwa karena Allah telah menegur beberapa Rasul2/Nabi2 nya maka serta merta kita pun bisa melakukan itu dengan dalil tsb?
    Apakah karena Rasulullah pernah menegur istri2 ataupun sahabat2nya maka serta merta kita berhak pula untuk menegur dan mencela mereka?….”

    Kalau menuruti logika anda diatas maka orang-orang Yahudi tidak pantas dilaknat oleh para ulama dari masa kemasa apalagi oleh orang-orang kebanyakan seperti kita ,karena toh cukuplah Allah beserta Rasul Nya telah melaknat mereka. Bukankah begitu ?

  16. @Dafa Sani

    Lha…jadi menurut anda tulisan yang disajikan oleh sang pemilik blog. ini serta partisipasi orang-orang yg terlibat didalamnya termasuk anda dan saya selama ini menurut anda berada diluar kerangka keilmuan ? Wah…wah ternyata beragam juga yah persepsi dari orang-orang yg terlibat aktif di blog ini.

    🙂
    Jangan anda terburu2 begitu. Sejak kapan saya menghujat blog ini? 🙂
    Maaf, yang sedang saya komentari adalah teman2 yang gemar mencerca dan mencela sahabat Rasul.
    Sajian yang ada di blog ini bagi saya masih dalam kerangka keilmuan, yang keluar adalah sebagian komentar.

    Itu tergantung persepsi anda atas pilihan ungkapan kata yang saya gunakan terkait sahabat Abu bakar. Apakah anda menilainya termasuk mencaci atau kah tidak. Dan saya telah menjelaskan apa yg selama ini saya pahami atas pilihan kata tg saya buat.

    Disinilah perbedaan kita. Komentar ini bisa saja diartikan bahwa, selama komentar2 anda masih dalam standar akhlak anda maka it’s just fine.. 😦
    Bagi saya ketika seseorang menyatakan tersinggung/marah dengan “cercaan” kita maka kita sudah harus menyurutkan langkan kita dan introspeksi.
    Bagaimana mungkin kedamaian dan ukhuwah bisa terjalin jika standarnya adalah diri kita sendiri, bukankah islam akan hanya penuh dengan caci maki yang “dibenarkan” karena adanya perbedaan standar.

    Lho..sejak kapan pengertian ahlak dan adab memiliki standar ganda dalam penerapannya ? Apakah sesuatu tindakan itu tetap dikatakan memenuhi nilai adab dan ahlak karena dilakukan oleh seorang alim sedang pada saat yg bersamaan tindakan tersebut dinilai tidak berahlak hanya karena dilakukan oleh seseorang yg bukan ulama?

    🙂 Rasa2nya saya tidak pernah membuat pernyataan yang sebagaimana anda simpulkan.

    Kalau menuruti logika anda diatas maka orang-orang Yahudi tidak pantas dilaknat oleh para ulama dari masa kemasa apalagi oleh orang-orang kebanyakan seperti kita ,karena toh cukuplah Allah beserta Rasul Nya telah melaknat mereka. Bukankah begitu ?

    1. Saya ingin tahu sebetulnya manfaat dari pelaknatan2 yang anda lakukan?
    2. Tunjukkan kepada saya Rasulullah melaknat Yahudi?
    3. Ali-Imran: 159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu
    4. QS. Thaha : 43-44: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”

    Dari ayat itu saya belajar bahwa, bahkan kepada Fir’aun yang jelas dikatakan melampaui batas pun Allah perintahkan Nabi Musa a.s. untuk berlaku lemah lembut. Apakah umat Muhammad kalah akhlaknya dengan Bani Israel?.

    salam damai

  17. @truthseeker08

    “Maaf, yang sedang saya komentari adalah teman2 yang gemar mencerca dan mencela sahabat Rasul.
    Sajian yang ada di blog ini bagi saya masih dalam kerangka keilmuan, yang keluar adalah sebagian komentar…..”

    Anda tampaknya perlu menunjukkan dimana dari komentar saya yg termasuk telah keluar dari kerangka keilmuan semoga menjadi introspeksi bagi saya.

    “Bagi saya ketika seseorang menyatakan tersinggung/marah dengan “cercaan” kita maka kita sudah harus menyurutkan langkan kita dan introspeksi….”

    Penilaian anda ini ibarat “kura-kura dalam perahu”, bukankah menurut penilaian anda atas pemilik Blog. ini : ” Sajian yang ada di blog ini bagi saya masih dalam kerangka keilmuan,….bla..bla..bla

    Lantas tidak tahukah anda bahwa pemilik Blog. ini serta keberadaan seluruh tulisan-tulisanya telah menimbulkan “ketersinggungan” oleh sementara kalangan dan melancarkan tuduhan bahwa pemilik Blog. ini telah mencerca dan mencela “kehormatan Sahabat”? Kira-kira standar apakah yg mereka pergunakan sehingga penilaiannya kok berbeda 180 derajat dengan anda ? Ternyata ungkapan “bagi saya” dan belum tentu “bagi orang lain” menunjukkan bahwa anda pun tidak bisa keluar dari penilaian subyektifitas anda sendiri atau meminjam bahasa anda : “..standarnya adalah diri kita sendiri,…”.

    Bagaimana mungkin kedamaian dan ukhuwah bisa terjalin jika standarnya adalah diri kita sendiri, bukankah islam akan hanya penuh dengan caci maki yang “dibenarkan” karena adanya perbedaan standar….”

    Anda betul….kita membutuhkan “standar yg sama”, tapi yg membingungkan saya adalah mungkinkah itu dapat diwujudkan kalau hal itu dibangun diatas landasan “perasaan orang perorang” atau meminjam istilah anda : “..ketika seseorang menyatakan tersinggung/marah…” ? Bukankah sesuatu itu bisa mendatangkan ketersinggungan bagi seseorang akan tetapi belum tentu buat orang lain ? Contoh terbaik atas kasus ini adalah tulisan pemilik Blog. ini sendiri yg acap kali mendapatkan komentar yg tidak sedap untuk dibaca dan layak didengar ditelinga akibat mereka lebih menonjolkan perasaan “ketersinggungan” mereka yg tentu saja jauh dari ilmiyah.

    1. Saya ingin tahu sebetulnya manfaat dari pelaknatan2 yang anda lakukan?

    إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَ مَاتُوْا وَ هُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللهِ وَ الْمَلآئِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْن
    (Al-Baqarah:161) Sesungguhnya orang-orang yang tidak mau percaya , dan mati , padahal mereka masih di dalam kufur. Mereka itu , atas mereka adalah laknat Allah dan Malaikat dan manusia sekaliannya.

    Allah lebih tahu apa manfaat pelaknatan para Malaikat dan seluruh manusia kepada orang-orang yg pantas dilaknat.
    Justru yg lebih ingin saya tahu adalah apa manfaat dari orang-orang yg menolak pelaknatan atas orang-orang yg pantas dilaknat.? Apakah mereka lebih tahu apa yg maslahat buat diri mereka sendiri ketimbang Allah beserta Rasulnya?

    2. Tunjukkan kepada saya Rasulullah melaknat Yahudi?

    Keumuman ayat diatas sudah menjawab pertanyaan anda.

    4. QS. Thaha : 43-44: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”

    Dari ayat itu saya belajar bahwa, bahkan kepada Fir’aun yang jelas dikatakan melampaui batas pun Allah perintahkan Nabi Musa a.s. untuk berlaku lemah lembut. Apakah umat Muhammad kalah akhlaknya dengan Bani Israel?.

    Pernyataan anda di atas benar 100% akan tetapi yg anda
    harus ingat bahwa kebenaran ungkapan bahasa dakwah yg disampaikan N.Musa kepada Fir’aun tidaklah diukur dari “perasaan ketersinggungan Fir’aun atas seruan N.Musa kepadanya.

    Salam damai…

  18. ﺗﻌﻠﻤﺎﻥ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
    ﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺫﻟﻚ ﻗﺎﻟﺎ ﻧﻌﻢ
    Jelas pd akhir riwayat di atas bhw Ali dan Abbas mendengar hadist tsb.Bila dikatakan mendengar dri Abubakar jelas tdk terlihat dlm riwayat di atas.Umar bertanya apakah kalian mengetahui Rasulullah dst..(Ali dan Abbas) menjawab iya.
    Penafsiran yg paling mendekati adlh Ali dan Abbas memang mendengar Nabi saw berkata demikian.

    Namun pd riwayat lain,terutama Shahih Bukhari no 7305 diriwayatkan bhw Ali dan Abbas juga menuntut kpd Abubakar dan Umar perihal harta peninggalan Nabi saw.

    Jadi apakah kedua riwayat shahih di atas bertentangan?Tidak,jka penafsirannya bhw Ali memang mendengar,Abubakar juga mendengar dri Nabi saw ttg hadist tsb namun penafsiran Abubakar dan Ali berbeda ttg hadist tsb.

    Lalu penafsiran mana yg benar?Tentu penafsiran ahlul bayt (Ali) lebih patut dipegang krn beliau selalu bersama kebenaran.

    Wallahu A’lam.

Tinggalkan komentar