Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW

Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW

Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sebagai berikut

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.

Salafy berkata

Hadits di atas dipergunakan dalil oleh kaum Syi’ah sebagai legalitas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu (yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bukan Abu Bakr Ash-Shaiddiq radliyallaahu ‘anhu).

Aneh sekali, seolah-olah setiap hadis yang membicarakan kekhalifahan harus dipandang dari sudut yang mana tafsir Sunni dan yang mana tafsir Syiah. Seolah-olah sebuah tafsir harus dipahami dalam kerangka mana anda berdiri. Apakah anda orang sunni? maka tafsirnya harus begini. Kalau anda menafsirkan begitu maka itu adalah tafsir Syiah. Pahamilah sebuah hadis bagaimana hadisnya sendiri berbicara karena kebenaran tidak terikat dengan apakah anda Sunni ataukah Syiah.

Sungguh dugaan mereka keliru. Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.

Yang keliru berkata keliru. Bagaimana mungkin dikatakan tidak ada sisi pendalilan atas klaim Syiah. Padahal salafy sendiri juga mengklaim. Orang lain juga dengan mudah berkata sebaliknya “Sungguh dugaan salafy keliru, tidak ada sisi pendalilan atas klaim salafy terhadap hadis tersebut”.

Dalam memahami satu hadits tentu saja harus dipahami berbarengan dengan hadits lain yang semakna agar menghasilkan satu pemahaman yang komprehensif.

Mari kita memahami dengan pemahaman yang komprehensif dan mari kita lihat bersama siapa yang mendudukkan dalil dengan semestinya dengan berpegang pada hadisnya dan mana yang menundukkan hadis pada keyakinan yang dianut.

Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain

عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].

Hadis Shahihain ini diucapkan Nabi SAW pada perang Tabuk, tetapi Salafy mengklaim bahwa keutamaan yang dimiliki Imam Ali kedudukan Beliau di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa adalah terkhusus pada perang Tabuk saja dan tidak untuk setelahnya. Jelas sekali klaim mereka ini memerlukan bukti. Mana bukti dari hadis diatas yang menunjukkan bahwa keutamaan kedudukan Harun di sisi Musa hanya berlaku saat perang Tabuk saja. Hadis di atas hanya menunjukkan bahwa keutamaan tersebut berlaku saat Perang Tabuk tetapi tidak menafikan kalau keutamaan tersebut berlaku untuk seterusnya. Sebuah hadis dengan lafaz yang umum akan berlaku sesuai keumumannya kecuali terdapat pernyataan tegas soal kekhususannya. Dan maaf kita tidak menemukan adanya kekhususan bahwa hadis di atas hanya berlaku saat perang tabuk saja. Kekhususan sebab tidak menafikan keumuman lafal.

Salafy berkata

Dari hadits ini kita dapat mengetahui apa makna “khalifah” sebagaimana dimaksud pada hadits pertama. Makna “khalifah” di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Konteks hadits dan peristiwanya menyatakan demikian

Konteks hadis menyatakan bahwa Imam Ali adalah khalifah pengganti Rasulullah SAW saat Perang Tabuk. Dan hal ini adalah bagian dari keumuman lafal kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Selain itu lafal “Tidak sepantasnya Aku pergi Kecuali Engkau sebagai Khalifahku” memiliki arti jika Rasulullah SAW pergi atau tidak ada maka Imam Ali adalah pengganti Beliau. Hal ini selaras dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Kedudukan tersebut mencakup jika Nabi Musa AS tidak ada atau pergi dan Nabi Harun AS masih hidup maka Nabi Harun AS yang akan menjadi penggantinya. Perhatikanlah kita menerima keduanya baik konteks hadis dan teks hadis yang umum.

Salafy berkata

Jika mereka (kaum Syi’ah) menyangka dengan hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepemimpinan (khilaafah) kaum muslimin kepada ‘Ali secara khusus setelah wafat beliau, niscaya akan banyak khalifah di kalangan shahabat yang ditunjuk beliau – jika kita mengqiyaskannya sesuai dengan ‘illat haditsnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas serupa kepada ‘Utsman bin ‘Affaan, Ibnu Ummi Maktum, Sa’d bin ‘Ubaadah, dan yang lainnya.

Sungguh persangkaan mudah sekali keliru. Bagaimana Syiah menafsirkan hadis itu maka itu urusan mereka. Sekarang yang kita bahas adalah apa makna sebenarnya hadis ini. Jika salafy mengqiyaskan dengan illat hadis yang diklaim seenaknya maka begitulah jadinya. Jika salafy hanya berpegang pada asumsi mereka dan menafikan lafal hadisnya maka nampaklah kekeliruan mereka. Kekeliruan salafy adalah mereka bermaksud bahwa keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa itu hanya sebatas perang Tabuk saja dan ini terkait dengan kepemimpinan Imam Ali saat di Madinah saja dan itu pun saat Perang Tabuk saja. Kalau memang Salafy mengakui bahwa banyak sahabat yang mendapat kepemimpinan seperti itu maka jika kita mengqiyaskan dengan illat yang dimaksud salafy niscaya keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa tidak hanya milik Imam Ali tetapi juga milik sahabat lain yang mendapat tugas dari Nabi SAW. Adakah salafy berkeyakinan seperti itu?.

Salafy berkata

Jika ada yang bertanya :
Mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan redaksi yang sama kepada para shahabat lain saat mereka menjadi pengganti/wakil beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus wanita dan anak-anak ?.
Dijawab :
Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi….dst.” adalah untuk menghibur sekaligus pembelaan terhadap ‘Ali atas cercaan kaum munafiq.

Saya tidak menafikan bahwa bisa saja untuk dikatakan bahwa perkataan itu untuk menghibur. Tetapi walau bagaimanapun perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah kebenaran. Rasulullah SAW memberikan hiburan bahwa keutamaan Imam Ali di sisi Beliau adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hal ini mencakup berbagai kedudukan yang dimiliki Harun di sisi Musa kecuali yang telah dikhususkan oleh Rasulullah SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian. Jika memang salafy berkeyakinan bahwa kata-kata tersebut hanya sekedar perumpamaan artinya kepemimpinan Ali saat perang Tabuk serupa dengan kepemimpinan Harun saat Musa pergi ke Thursina dan hanya terbatas untuk itu saja. Maka tidak ada faedahnya kata-kata “namun engkau bukanlah seorang nabi”. Adanya kata-kata mengkhususkan seperti itu menunjukkan bahwa kedudukan tersebut tidaklah khusus tetapi bersifat umum yaitu Mencakup semua kecuali apa yang telah dikhususkan oleh Nabi SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian.

Juga, untuk menegaskan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di sisi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, sebuah penegasan keutamaan merupakan jalan yang paling ampuh untuk menangkal cercaan kaum munafiqin tersebut.

Tentu saja benar dan sebuah keutamaan yang disematkan kepada Imam Ali tidaklah akan sirna atau hilang jika kaum munafik sudah tidak mencela. Apakah salafy ingin mengatakan bahwa tujuan keutamaan tersebut hanya untuk menangkal cercaan kaum munafik saja tetapi tidak menjelaskan kedudukan yang sebenarnya?. Keutamaan tersebut menjelaskan kedudukan sebenarnya Imam Ali di sisi Nabi SAW dan kedudukan tersebut akan terus ada dan melekat pada Imam Ali.

Adz-Dzahabiy berkata :
“……..Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menugaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib menjaga keluarganya dan mengurus segala keperluannya. Kaum munafiqin pun menyebarkan berita buruk karena penugasan tersebut dan berkata : ‘Tidaklah beliau menugaskannya (untuk tinggal di Madinah/tidak ikut berperang) kecuali karena ia (‘Ali) merasa berat untuk berangkat (jihad) dan kemudian diberikan keringanan (oleh beliau). Ketika kaum munafiqin mengatakan hal itu, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan kemudian keluar untuk menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Jarf. ‘Ali berkata : “Wahai Rasulullah, kaum munafiqin mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka telah berdusta ! Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Maka ‘Ali pun akhirnya kembali ke Madinah” [Taariikhul-Islaam, 1/232].

Perhatikanlah hadis di atas. Mari kita berikan analogi yang sama buat salafy. Jika kita memahami hadis riwayat Adz Dzahabi maka disitu disebutkan bahwa Rasulullah SAW menugaskan Imam Ali untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Hal ini terlihat dari kata-kata Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. Kemudian setelah itu Rasulullah SAW mengucapkan ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Dengan cara berpikir salafy maka kita dapat mengatakan bahwa illat hadis Manzilah adalah tugas untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Lantas mengapa mereka sebelumnya mengatakan Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah  pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Apakah semua orang di Madinah saat itu hanya keluarga Nabi dan keluarga Imam Ali saja?. Yah begitulah kontradiksi salafy dalam memahami hadis.

Salafy berkata

Lantas : “Apa makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ?” – sebagaimana riwayat Ibnu Abi ‘Aashim. Bukankah ia menunjukkan lafadh mutlak yang menunjukkan ‘Ali merupakan pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau ? Dan lafadh mukmin ini meliputi seluruh shahabat yang hidup pada waktu itu ?
Bahkan hal itu telah terjawab pada penjelasan sebelumnya.

Anehnya silakan anda perhatikan baik-baik. Penjelasan sebelumnya jauh berbeda dengan penjelasan salafy setelah ini. Sebelumnya ia mengatakan bahwa makna khalifah tersebut Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah  pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk.

Salafy berkata

Makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ; ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagaimana perkataan mereka (Syi’ah) – yaitu menjadi pengganti beliau secara mutlak setelah beliau wafat;

Ternyata sisi pendalilan itu ada, kata-kata tersebut sangat jelas. Anehnya salafy sebelumnya berkata Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.

Salafy berkata

sedangkan kemungkinan kedua bahwa perkataan itu menunjukkan ‘Ali menjadi pengganti beliau bagi seluruh orang mukmin (para shahabat) hanya saat setelah kepergian beliau menuju Tabuk. Kemungkinan kedua inilah yang kuat.

Lihatlah baik-baik adakah salafy mengatakan sebelumnya bahwa khalifah itu bagi seluruh orang mukmin. Bukankah kita lihat bahwa sebelumnya salafy berkata Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah  pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Jika memang kemungkinan kedua ini yang terkuat maka kepemimpinan tersebut juga bagi ayah atau suami mereka yang ikut berjihad saat perang Tabuk, karena bukankah mereka juga termasuk orang mukmin. Anehnya kalau memang begitu maka kepemimpinan tersebut tidak terbatas pada di Madinah saja (seperti klaim Salafy) tetapi juga mencakup orang mukmin lain yang tidak berada di Madinah. Sekali lagi kita melihat hal-hal yang kontradiksi.

Sejauh ini salafy tidak memiliki dasar untuk mengatakan bahwa khalifah yang dimaksud hanya terkhusus saat perang Tabuk saja. Mereka hanya mengklaim begitu saja bahwa itu dikhususkan tanpa menunjukkan bukti yang mengkhususkannya. Siapa yang mengkhususkan?. Ketika Rasul SAW berkata untuk setiap orang mukmin maka ada yang berkata khusus untuk anak-anak dan wanita di Madinah saja. Ketika Rasul SAW berkata “setelahku” maka ada yang berkata khusus untuk perang Tabuk saja. Siapa yang mengkhususkan kalau bukan klaim mereka sendiri. Padahal lafal hadis yang diucapkan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Imam Ali adalah pengganti beliau secara mutlak bagi setiap mukmin setelah beliau wafat.

Salafy berkata

Kalimat ‘min ba’dii’ (setelahku) di sini maknanya bukan mencakup setelah wafat beliau. Namun ia muqayyad (terikat) pada ‘illat hadits yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Yaitu : ‘Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan wanita dan anak-anak di Madinah.

Tidak ada dasar bahwa lafal tersebut muqayyad karena illat hadis yang dimaksud hanyalah klaim salafy semata. Pertama-tama mari kita kembalikan pada riwayat Adz Dzahabi bukankah disana dengan cara berpikir salafy maka ‘illat hadis adalah Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan keluarga Nabi dan keluarga Ali. Bukankah ‘illat dari riwayat Al Bukhari dan ‘illat riwayat yang dikutip Adz Dzahabi berbeda, bagaimana bisa salafy luput melihat hal ini. Bagi saya pribadi kepemimpinan Imam Ali di perang Tabuk baik terhadap keluarga Nabi dan keluarga Ali ataupun terhadap wanita dan anak-anak Madinah adalah bagian dari keumuman Kedudukan Ali di sisi Nabi seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Dan ini mencakup kedudukan Harun yang akan menjadi pengganti bagi Musa jika Musa pergi atau tidak ada, dengan syarat saat itu Nabi Harun AS masih hidup. Dengan kata lain bagian dari kedudukan tersebut adalah Seseorang akan menjadi pengganti bagi orang yang dimaksud jika seseorang tersebut masih hidup. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata selanjutnya bahwa Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Kata-kata ini dengan jelas mendudukkan Imam Ali sebagai khalifah bagi setiap Mukmin selepas Nabi SAW karena selepas Nabi SAW Imam Ali masih hidup.

Salafy berkata

Karena kalimat sebelumnya berbunyi : “Tidak sepantasnya aku pergi” – yaitu kepergian beliau menuju Tabuk.

Satu hal yang perlu diingat hadis riwayat Ibnu Abi Ashim yang memuat kata-kata ini tidak menunjukkan bukti yang pasti bahwa kata-kata ini diucapkan pada perang Tabuk. Ada saja kemungkinan bahwa hadis ini diucapkan Nabi di saat yang lain sehingga perkataan tidak sepantasnya aku pergi dijelaskan oleh kata-kata setelahKu sehingga yang dimaksud kepergian itu adalah kepergian saat Nabi SAW wafat. Salafy tidak bisa menafikan kemungkinan ini hanya dengan klaimnya semata. Seandainya pula hadis ini diucapkan saat Perang Tabuk maka perkataan tersebut diartikan bahwa saat Perang Tabuk Nabi juga telah mengatakan bahwa khalifah sepeninggal Beliau SAW adalah Imam Ali.

Salafy berkata

Sungguh sangat aneh (jika tidak boleh dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan Arab atas perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sepantasnya aku pergi (menuju Tabuk) kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” – mencakup setelah wafat beliau.

Sungguh sangat aneh (jika tidak dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan arab bahwa perkataan khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di berarti khalifah bagi wanita dan anak-anak saat perang Tabuk. Secara bahasa arab itu berarti Khalifah bagi setiap orang mukmin sepeninggal Nabi SAW. Dan tentu lafaz ba’di memiliki arti sepeninggal (wafat). Aneh sekali jika orang yang paham lisan arab dengan mudah menafikan makna ba’di sebagai sepeninggal (wafat).

Salafy berkata

Penyamaan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan Harun dalam hadits semakin membatalkan klaim mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Harun tidak pernah menggantikan Musa ‘alaihimas-salaam sebagai khalifah memimpin Bani Israil. Ia wafat ketika Musa masih hidup, dan hanya menggantikan untuk sementara waktu dalam pengurusan (memimpin) Bani Israil saat Musa pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya. Tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Harun ‘alaihis-salaam menjadi khilafah/pemimpin bagi Bani Israil sepeninggal (wafat) Musa, melainkan hanya waktu itu saja. Yang menggantikan Musa setelah wafatnya dalam memimpin Bani Israel adalah Nabi Yusya’ bin Nuun ‘alaihis-salaam

Justru salafy mengetahui tetapi tidak memahami. Penyerupaan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah penyerupaan Kedudukan orang yang satu di sisi orang yang lain. Artinya kedudukan Imam Ali di sisi Rasul SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Mengapa Nabi Musa AS menunjuk Nabi Harun AS sebagai penggantinya karena Nabi Harun AS adalah wazir Musa, keluarga dan sekutu dalam urusannya. Sama halnya dengan mengatakan bahwa kedudukan Harun saat itu di sisi Musa adalah kedudukan yang paling layak dan tepat sebagai pengganti Musa jika Musa akan pergi atau jika Musa tidak ada. Kedudukan ini sudah jelas dimiliki Harun semasa hidupnya artinya jika Nabi Harun AS masih hidup maka dialah yang akan ditunjuk sebagai pengganti Nabi Musa AS. Begitu pula dengan kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, jika Imam Ali masih hidup maka dialah yang akan menggantikan Nabi SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu. Karena sepeninggal Nabi SAW Imam Ali masih hidup

Salafy mengutip Nawawi yang sebenarnya tidak sedang menjelaskan hadis riwayat Ibnu Abi Ashim

Berkata An-Nawawi rahimahullah :

وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما قال هذا لعلي رضي الله عنه حين استخلفه على المدينة في غزوة تبوك ويؤيد هذا أن هارون المشبه به لم يكن خليفة بعد موسى بل توفي في حياة موسى قبل وفاة موسى نحو أربعين سنة على ما هو المشهور عند أهل الأخبار والقصص

“Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaqm hanya bersabda kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu saat menjadikannya sebagai pengganti di Madinah pada waktu (beliau berangkat menuju) Perang Tabuk. Dan ini diperkuat bahwasannya Harun ‘alaihis-salaam yang diserupakan/disamakan dengan ‘Aliy, tidak pernah menjadi khalifah sepeninggal Musa. Bahkan ia meninggal saat Musa masih hidup sekitar 40 tahun sebelum wafatnya Musa – berdasarkan hal yang masyhur menurut para ahli sejarah”

Perkataan ini tidak jauh berbeda dengan kata-kata salafy sebelumnya. Tetapi coba lihat kata-kata

وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده

Kata-kata Nawawi diartikan salafy dengan Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Kali ini dengan mudah salafy memaknai kata yang dicetak biru sebagai setelah (wafatnya) Beliau. Anehnya dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ashim ia menafikan bahwa kata tersebut berarti wafat. Sekali lagi kontradiksi

Salafy berkata

Harun ‘alaihis-salaam adalah seorang waziir bagi Musa dalam memimpin Bani Israail sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya :

وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي

“Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” [QS. Thaha : 29-32].
Seorang wazir mempunyai tugas untuk membantu dan memberi dukungan terhadap imam. Begitu pula dengan Nabi Harun yang menjadi waziir bagi Nabi Musa ‘alaihimas-salaam.[3] Jika Syi’ah hendak menyamakan kedudukan ‘Ali dengan Harun, maka cukuplah mereka berpendapat ‘Ali berkedudukan sebagai waziir bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sebagai imam/khalifah yang ditunjuk. Oleh karena itu, klaim Syi’ah tentang keimamahan ‘Ali bin Abi Thaalib melalui hadits ini sungguh sangat tidak tepat.

Berdasarkan ayat Al Qur’an yang dikutip salafy maka Nabi Harun AS tidak hanya seorang wazir Musa tetapi juga keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan merupakan sekutu Musa dalam urusannya. Kedudukan Harun di sisi Musa ini dimiliki oleh Imam Ali di sisi Rasul SAW. Tidak hanya itu, Nabi Harun AS juga ditunjuk sebagai Imam atau khalifah bagi kaumnya ketika Musa AS akan pergi

وَقَالَ مُوسَى لاَِخِيه هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين

“Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun “Gantikan Aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah, dan jangan kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al-A’raf: 142)

Hal ini menunjukkan salah satu kedudukan Harun di sisi Musa adalah Beliau menjadi khalifah semasa hidupnya (selagi hidup) jika Nabi Musa AS akan pergi. Maka begitu pula kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, Beliau semasa hidupnya (selagi hidup) menjadi khalifah jika Nabi Muhammad SAW pergi.

Salafy berkata

Kita tidak mengingkari bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Namun membawanya kepada makna ‘Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai khalifah/amirul-mukminin sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan

Cara berpikir seperti ini jelas-jelas terbalik. Kita tidak mengingkari bahwa lafal hadis Manzilah riwayat Ibnu Abi Ashim memuat lafal Khalifah sepeninggal Nabi SAW dan sudah jelas lafal khalifah berimplikasi kepada kepemimpinan Imam  Ali sepeninggal Nabi SAW. Hal ini menunjukkan hadis Manzilah memiliki makna umum (termasuk dalam hadis shahihain) dan merupakan keutamaan Imam Ali RA yang sangat besar di sisi Nabi SAW.

Salafy berkata

Ada yang sangat memaksakan kehendak dengan menafikkan akal sehat yang padahal sangat mudah untuk memahaminya.

Mereka katakan bahwa Harun itu akan menggantikan Musa jika Harun masih hidup sepeninggal Musa. Begitulah kata mereka.

Jika yang dimaksud akal sehat adalah setiap yang mendukung keyakinan salafy maka akal tersebut sudah menjadi tidak sehat. Karena sebuah keyakinan harus diukur dengan standar kebenaran bukan standar kebenaran yang harus ditundukkan pada keyakinan. Sudah jelas kedudukan Harun di sisi Musa adalah Harun akan selalu menjadi pengganti Musa jika Musa tidak ada dan saat itu Harun masih hidup. Siapapun yang berakal sehat tidak akan menafikan hal ini.

Salafy berkata

Pertanyaannya : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakan kedudukan ‘Ali radliyallaahu ‘anhu dengan Harun; apakah beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Harun telah meninggal sebelum Nabi Musa meninggal dan tidak pernah memegang tampuk khalifah/imam memimpin Bani Israel sepeninggal Musa ?

Sudah jelas Rasulullah SAW tahu, oleh karena itulah untuk menghapus syubhat dari para pengingkar maka Rasulullah SAW memberikan penjelasan khusus yaitu Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW mengetahui bahwa Imam Ali masih hidup sepeninggal Beliau SAW, dan tentu sebagaimana layaknya Harun akan menjadi pengganti Musa jika Harun masih hidup maka Imam Ali akan menjadi pengganti Rasul SAW jika Imam Ali masih hidup.

Salafy berkata

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Harun hanyalah menjadi pengganti (khalifah) bagi Musa untuk mengurus Bani Israel hanya saat Musa pergi ke Bukit Tursina.

Kita sudah jelaskan bahwa kedudukan Harun di sisi Musa itu tidak hanya soal pengganti Musa ketika Musa pergi ke bukit Thursina saja. Kita telah jelaskan bahwa Harun adalah wazir Musa, keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan sekutu Musa dalam urusannya. Oleh karena itu tidak ada satupun yang layak menggantikan Musa selain Harun jika Nabi Harun AS masih hidup. Inilah kedudukan Harun di sisi Musa yang tidak dipahami oleh salafy. Beginilah cara mereka mengurangi keutamaan Imam Ali dengan menafikan keumuman dan mengkhususkan dengan situasi tertentu saja.

Salafy berkata

Oleh karena itu, beliau mengqiyaskan kedudukan mulia Harun ini kepada ‘Ali yang beliau tugaskan untuk mengurus orang-orang yang tinggal di Madinah saat beliau tinggalkan berperang menuju Tabuk.

Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan Imam Ali di sisi Beliau dengan kata-kata kedudukanMu di sisi Ku seperti Kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahKu. Pengecualian yang ditetapkan oleh Rasul SAW adalah untuk membatasi keumuman kedudukan Harun yang memang banyak di sisi Musa. Jika seperti yang salafy katakan bahwa hal itu hanya pengqiyasan untuk situasi yang khusus maka tidak ada faedahnya disebutkan pengecualian. Jika memang sudah dikhususkan mengapa harus dikecualikan.

Salafy berkata

Namun karena Syi’ah hendak memaksakan untuk membawa pengertian ini kepada penunjukan Khalifah sepeninggal Nabi, datanglah tafsir-tafsir aneh mengenai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Begitulah salafy selalu mengatakan aneh setiap tafsir yang bertentangan dengan mereka karena salafy hendak memaksakan untuk melindungi keyakinan mereka dan menunjukkan kedengkian mereka terhadap mahzab lain. Mereka tidak bisa mengakui kebenaran pada mahzab lain karena menurut mereka apapun setiap mahzab yang menentang mereka maka sudah jelas tafsirnya akan aneh-aneh. Tidakkah cukup kata-kata Rasulullah SAW yang sangat jelas, ternyata tidak karena dalih selalu bisa dicari-cari. Pengingkar akan selalu ada dan itu tidak tergantung dari mahzab apa ia berasal. Untuk menentukan ingkar atau tidak anda hanya perlu melihat dengan jelas siapa yang berpegang pada hadis Rasul SAW dan siapa yang berpegang pada keyakinan pribadi. Sekali lagi saya tekankan kepada para pencari kebenaran, anda tidak perlu menjadi sunni atau syiah untuk memahami hadis di atas dan anda tidak perlu terkelabui oleh syubhat bahwa kalau anda memahami begitu maka anda akan menjadi syiah, atau kalau anda memahami seperti ini maka anda adalah sunni. Cukup pahami hadis tersebut sebagaimana hadis tersebut berbicara.

109 Tanggapan

  1. Kasih komen dulu, baca belakangan, biar dpt tempat pertama!
    hehehe….

  2. @Nomad
    Nanti anda ber ASUMSI

  3. Kalau dipewrhatikan dan diteliti kata salafy yang diwarnai kuning oleh SP, semua ASUMSI. Mereka menafsirkan hadits2 atas dasar ASUMSI. Maka kalau ketemu salafy kita berasumsi deh. Wasalam

  4. Alhamdulillah terlihat ulama-ulama Sunni mu’tabar spt Ad-Dzahabiy dan An-Nawawy di atas telah sepakat dalam memahami hadits Manzilah, bahwa hadits tersebut bukanlah penunjukkan kekhalifahan atas Imam Ali setelah Rasulullah wafat , sekali lagi Alhamdulillah.. terima kasih buat SP yang telah mempostingnya..

  5. @antirafidhah

    Sekiranya ulama2 Sunni berpendapat sebaliknya…itu bukan lagi ulama Sunni tapi Syiah.

    Alhamdulillah, ulama2 Syiah benar2 memahami petunjuk hadis Manzilah dgn begitu sempurna sekali…

  6. kondisi politik di suatu tempat sedikit banyak berpengaruh terhadap seseorang dalam berpikirnya….

    Kita bersyukur bahwa para Imam Ahlulbait konsisten dengan Agamanya, sehingga kemurnian Islam terjaga….

    Dan kita bersyukur bahwa kekejaman bani umayah telah sirna. Saat ini kita berhadapan dengan saudara-sauadara yang terjebak dalam pengaruh mu’awiyah yang memenuhi kitab-kitab salaf.

  7. Untuk membaca lebih lengkapnya silahkan kunjungi :

    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/07/ali-khalifah-setelah-nabi-shallallaahu.html

  8. @Nomad
    selamat selamat 🙂

    @aburahat
    ho ho asumsi lagi laku keras sekarang 🙂

    @aburahat
    ehem begitu ya 🙂

    @antirafidhah
    he he he kalau anda menyimak baik-baik, kekeliruan Adz Dzahaby dan An Nawawi adalah mereka sepertinya tidak membaca riwayat Ibnu Abi Ashim yang memuat kata-kata Rasul SAW dengan jelas
    وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
    Mereka maaf hanya sibuk dengan pembelaan terhadap hadis Manzilah riwayat Shahihain saja 🙂
    mau pilih Dzahaby dan Nawawi ya silakan, saya lebih baik pilih Rasul SAW saja :mrgreen:
    terimakash untuk komennya 🙂

    @hadi
    sebenarnya saya tidak terlalu suka polarisasi seperti itu tapi yang terjadi ya begitu, makanya gak akan ada ulama Sunni yang menerima Imam Ali sebagai khalifah setelah Nabi SAW. padahal hadis shahihnya ada, itu terserah 🙂

    @yusuf
    kita berhadapan dengan benih-benih Nashibi, begitukah masud Mas? 🙂

  9. @antirafidhah
    he he silakan silakan 🙂
    rasanya kata-kata Mas itu sudah saya kutip semua kecuali catatan kakinya :mrgreen:

  10. @hadi & yusf

    Antirafidha ber ASUMSI SP yang memunculkan nama2 Ad-Dzahabi dan An Nawawi padahal SP hanya mengcopas dari Salafy.

  11. interesting i have the same research about this one. tapi satu yang harus diingat First rule in communication which is — Meaning is not in “words” but in people –so kita bisa memberikan makna apapun terhadap hadist nabi, tapi bagaimana mendapatkan makna yang sama dengan nabi memberikan makna dalam hadistnya memang bukanlah hal yang mudah,

    Bahwa kedudukan Imam Ali disisi Nabi Muhammad SAW, sama seperti kedudukan Nabi Harun AS. Ada yang mengartikannya dengan sederhana karena dianggap crystal clear bahwa Nabi Muhammad memang menaruh kepercayaan terhadap Imam Ali sehingga membadingkan mam Ali seperti Nabi Harun AS disisi NAbi Musa AS yang notabene Tangan Kanan nya.

    Jadi tidak salah juga apabila ada saudara-saudara kita yang mengartikan bahwa kedudukan pengganti yang paling berhak adalah Imam Ali karena Nabi Muhamad tidak pernah mengatakan hal yang serupa kepada ke 3 Khalifah atau sahabat yang lain.

    yang patut kita pertanyakan apakah wise untuk kita memberikan interpretasi2 tambahan ?

    saya coba kutip dari tulisan diatas “inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan”

    pernyataan ini memang tidak salah tapi apakah wise untuk memberikan kecenderungan kesana kalau (Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan).

    padahal kecenderungan hadist nabi tersebut lebih kepada kedudukan kepemimpinan Imam Ali di Hati, pikiran Nabi Muhammad SAW

    thanks for reading may Allah Love, peace be with you 😉

  12. Salam,

    @alamprabu
    “padahal kecenderungan hadist nabi tersebut lebih kepada kedudukan kepemimpinan Imam Ali di Hati, pikiran Nabi Muhammad SAW”

    Mohon penjelasan dari mana pngertian DIHATI DAN PIKIRAN NABI ini didapat,…akan lebih elok seandainya diberikan hadits atau riwayat lain yang senada yang maknanya sama DIHATI DAN PIKIRAN NABI untuk memperkuat. terima kasih banyak,….

    Wasslam
    Lee

  13. Waduh….uraian SP yg panjang lebar, fokus dan detil hanya ditanggapi dgn sikap membandel & ngeyel dari antirafidhah. Sy pengen nanya ke antirafidhah; Data, argumen, dan dalil bagaimana lagi yg kiranya dapat membuka hati dan pikiran anda? Apakah karena tdk sukanya anda kepada syiah telah menutup segala kemungkinan kebenaran?

    Firman Allah swt:
    Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (Az-Zumar: 18)

    Ataukah memang anda alergi (dengki) dgn segala keutamaan dan kemuliaan ahlulbait Nabi saw?

    Firman Allah swt:
    Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.>/em> (Al-Baqarah: 90)

    Sabda Nabi saw:
    Tidak akan mencintaimu (Ali) kecuali orang mukmin, dan tidak akan membencimu kecuali orang munafik.

    Apakah dalil POKOKNYA sdh menjadi penyakit yg tak terobati dalam manhaj anda?

    Salam

  14. Inilah yg disebut “Bau busuk akan tercium juga, walau ditutup serapi mungkin”

    Saat menjelaskan hadits Ibnu Abi Ashim pada kata

    “khlaifah fii kulli mu’minin min Ba’da”

    خليفتي في كل مؤمن من بعدي

    Khalifah bagi setiap Mu,min setelahku.

    Mereka mati2an dan kelihatan berusaha keras membelokkan makna kata yg sudah terang ini. , bahkan kata setelah ku di artikan lebih khusus setelah perang tabuk saja.

    Anehnya pada saat yg lain mereka menggunakan kata yg persis sama ba,da utk kata SETELAH Wafatnya rasul saaw sebagai kalimat bantahan…

    وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده

    Kata-kata Nawawi diartikan salafy dengan Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Kali ini dengan mudah salafy memaknai kata yang dicetak biru sebagai setelah (wafatnya) Beliau. Anehnya dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ashim ia menafikan bahwa kata tersebut berarti wafat. Sekali lagi kontradiksi

    benar2 Allah swt sudah menunjukkan kenashibian mereka
    dengan begitu jelas tanpa mereka sadari….

    buat @ sp point ini saya copas karena sangat menarik…

  15. Jadi ingat kalo guruku marah, GOBLOG… NGEYEL!!! Hehehe
    sudah gak pake otak, ngeyel lagi, gak mau ngaku salah.

  16. Kok belum ada tanggapan dari salafy itu yach? Ckckckk…

  17. kemana ya imem ?

  18. @all
    Menurut kita As-Sirah Nabawiyyah, Syilbi bag I hal.13-17
    dikabarkan bahwa:

    Zuhri Sejarahwan pertama yang menulis sejarah Islam pada masa pemrintahan Bani Umayah yakni Raja Abdul Malik 65 H.

    Zuhri adalah bekas budak Zubair yang sangat dekat dengan keluarga bangsawan Abdul Malik.
    Zuhri ditugaskan dengan biaya Abdul Malik untuk menyusun Sejarah Islam dan menyusun Hadits2 seluruh sejarah Kitab2 suni ditulis setelahnya oleh orang2 yang berpengaruh dalam karya ini.

    Dan Bukhari hampir seluruh hadits dalam shahihnya berasal dari hasi kumpulan Zuhri.

    Jadi tidak heran hadits2 sekarang ini banyak REKAYASA.

    Wasalam

  19. @abu rahat

    Dan Bukhari hampir seluruh hadits dalam shahihnya berasal dari hasi kumpulan Zuhri.
    Jadi tidak heran hadits2 sekarang ini banyak REKAYASA.

    ANALISIS ANEH,SOK TAHU, ATAU SIAPA ANDA BERANI MENGATAKAN DEMIKIAN
    ILMU HADITS ANDA SAMPAI DI MANA?

  20. عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْعِهِ الَّذِي تُوُفِّىَ فِيْهِ فَقَالَ النَّاسُ: يَا أَبَا الْحَسَنِ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ الْعَبَّاسُ فَقَالَ لَهُ أَلاَ تَرَاهُ أَنْتَ وَاللهِ بَعْدَ ثَلاَثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَاللهِ إِنِّي َلأَرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ تُوُفِّىَ فِي وَجْعِهِ وَإِنِّي َلأَعْرِفُ فِي وُجُوْهِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ الْمَوْتَ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْأَلُهُ فِيْمَنْ هَذَا اْلأمْرُ؟ فَإِنْ كَانَ فِيْنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإْنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ فَأَوْصَى بِنَا. قَالَ عَلِيُّ وَاللهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعْنَاهَا لاَ يُعْطِيْنَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللهِ لاَ أَسْأَلُهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رواه البخاري

    Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan memegang tongkat kepemimpinan. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan MEMBERIKAN wasiatnya”. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447)

    Berkata Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi: “Tidakkah cukup nash ini untuk membantah Rafidlah yang mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka tampak jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:
    1. Penolakan Ali radhiallahu ‘anhu untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
    2. Kejadian tersebut terjadi pada waktu wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (yang membuktikan bahwa beliau tidak berwasiat apapun –pent.).
    3. Kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali radhiallahu ‘anhu tentu dia akan menjawab kepada Abbas: “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?”. (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidlah, Abu Nu’aim al-Asbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam foot notenya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidlah bil Yahuudi, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)

  21. @kembali ke….

    Dibandingkan dengan anda. Jauh sekali. Anda belum lahir saya sudah menguasai hadits. Anda pakai Shahih Bukhari yang tidak Shahih.? hehehe. Anda sudah ketinggalan..
    Siapa Dr. Ali b. Muhammad. Dr. GIGI atau Dr. Hewan.

    Imam Ali as. Tidak sekerdil itu sehingga menjawab pada pamannya seperti ditulis Bukhari.

    Cerita ini seperti cerita Bukhari, bahwa Nabi Musa MENAMPAR Malikul Maut sampai matanya pecah kemudian mengadu pada Allah. Heeheee.

  22. @kembali ke aqidah yang benar….:
    Tolong tanya ke Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi … Apa setiap wasiat itu harus selalu berdekatan dengan meninggalnya seseorang ??
    Trus apa wasiat manusia disaat sehat itu tidak disebut wasiat ??

    Trus untuk point No.3 suruh Dr Ali bin…. itu belajar ilmu lebih giat, terutama belajar untuk berfikir sehat dan membersihkan hatinya.

  23. @abu rahat
    anda mengatakan:
    Dibandingkan dengan anda. Jauh sekali. Anda belum lahir saya sudah menguasai hadits. Anda pakai Shahih Bukhari yang tidak Shahih.? hehehe. Anda sudah ketinggalan..

    saya jawab:
    kalau anda sudah membuat buku hadits SAHIH ABU RAHAT dan dipakai di seluruh dunia, baru saya percaya bahwa anda ahli hadits.
    Ini belum seberapa, sudah merasa lebih tahu dari SAHIH BUKHARI. Betapa dungunya anda……..

  24. @abelardo
    LIHAT POTONGAN HADITSNYA:

    Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan MEMBERIKAN wasiatnya”.

    Apakah Ali bin abu thalib ra dan keluarganya PERNAH diberi wasiat itu?

  25. @kembali ke

    Memang semua yang segolongan anda ngawur jawabanya.

    Jadi menurut anda orang yang sudah menguasai Ak Qur’an, harus membuat Al-Qur’an, baru disebut menguasai Alqur’an.
    Cah cah cah .Mungkin Manhaj anda bersaing membuat Al Qur’an ya.

    Begitulah pola berpikir anda? Pantas selama ini ngawur terus.

  26. Sudahlah.. yang jelas memang Imam Ali tidak merasa diberi wasiat oleh Nabi, jadi kalian ga usah memaksakan diri. terima saja-lah kenyataan yang ada. ga perlu-lah mengada-ngada sesuatu yang memang Imam Ali tidak pernah menerimanya. Kasihan Imam Ali, kalian peralat untuk memenuhi nafsu kalian. betobatlah segera.

  27. @all

    Imam Ali as tidak pernah menerima wasiat. Siapakah yang ditunjuk oleh Allah mengganti Rasul?

    Hadits2 yang diposting SP dimana Imam Ali as sebagai pengganti Nabi, oleh Para Nashibi tidak mengakui. Mereka menolak sekehendak mereka. Tapi kalau diminta hadits yang menunjuk selain Imam Ali. Mereka tdk pernah menunjukan.

    Menurut ariel jelas Imam Ali tdk merasa diberi wasiat.
    Sungguh aneh. Mereka menganggap Rasul seperti mereka.
    Apakah Rasul tdk melaksanakan firman Allah? Yang berfirman:
    Bahwa setiap Mukmin harus memberi wasiat kepada keluarga sebelum meninggal. Aneh

  28. Capee deh,…berurusan sama orang2 penggila Bukhari-Muslim.
    Mereka itu dari pernyataannya ajah ( dengan mengatakan bahwa Nabi SAWW tdk pernah berwasiat) sdh jelas ingkaru Qur’an, apalagi dengan hadis kali lebih dahsyat inkaru nya…he..he..he 99x. Ayo kembali ke jalan yg benar toh…enak toh…mantep toh

  29. Capee deh,…berurusan sama orang2 penggila Bukhari-Muslim.
    Mereka itu dari pernyataannya ajah ( dengan mengatakan bahwa Nabi SAWW tdk pernah berwasiat) sdh jelas ingkaru Qur’an, coba toh mas.. kalau ente2 pade bicara dan menelaah suatu hadis mbo yah diliat dulu, apakah hadis itu sesuai dg Alqur’an apa tdk, jg dibiasakan alQuran yg harus disesuaikan dg hadis. ini sdh jadi kebiasaan mazhab anda yg buruk.. Ayo kembali ke jalan yg benar toh…enak toh…mantep toh…

  30. @rafidah
    Apakah Rasul tdk melaksanakan firman Allah? Yang berfirman:
    Bahwa setiap Mukmin harus memberi wasiat kepada keluarga sebelum meninggal. Aneh

    saya jawab:

    Memang Nabi SAW berwasiat dg AL QUR’AN.

    Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah adanya riwayat-riwayat palsu yang menyebutkan tentang wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu di Ghadir Khum. Padahal ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau tidak memberikan wasiat berupa apapun dan kepada siapapun, kecuali dengan al-Qur’an.

    Diriwayatkan dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Thalhah ibnu Musharif, bahwa dia bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa radhiallahu ‘anhu:

    سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هَلْ أَوْصَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لاَ قُلْتُ فَكَيْفَ كُتِبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْوَصِيَّةُ أَوْ فَكَيْفَ أُمِرُوا بِالْوَصِيَّةِ قَالَ أَوْصَى بِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. رواه البخاري ومسلم

    Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat?” Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesan atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan kitabullah ‘azza wajalla”. (HR. Bukhari; Fathul Bary 3/356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Wasiat 3/1256, hadits 16).

    Demikian pula diriwayatkan dari ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beliau mening-gal di pangkuannya, tentunya beliau lebih tahu apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:

    مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَلاَ شَاةً وَلاَ بَعِيرًا وَلاَ أَوْصَى بِشَيْءٍ. رواه مسلم

    Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun. (HR. Muslim, dalam Kitabul Wasiat, 3/256, hadits 18)

    Dalam riwayat lainnya dari Aswad bin Yazid bahwa ia berkata:

    ذَكَرُوا عِنْدَ عَائِشَةَ أَنَّ عَلِيًّا كَانَ وَصِيًّا فَقَالَتْ مَتَى أَوْصَى إِلَيْهِ فَقْدُ كُنْتُ مُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي أَوْ قَالَتْ حِجْرِي فَدَعَا بِالطَّسْتِ فَلَقَدِ انْخَنَثَ فِي حِجْرِي وَمَا شَعَرَتْ أَنَّهُ مَاتَ فَمَتَى أَوْصَى إِلَيْهِ. رواه البخاري ومسلم

    Mereka menyebutkan di sisi Aisyah bah-wa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku –atau ia berkata: pangkuanku—kemudian beliau meminta segelas air. Tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa kalau beliau ternyata sudah meninggal, maka kapan beliau berwasiat kepadanya?”. (HR. Bukhari dalam kitab al-Washaya, Fathul Bari 5/356, hadits 2471; Muslim dalam kitabul Washiyat, Bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, 3/1257, no. 19)

    Demikianlah, riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga mereka –para shahabat– seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah AL-QUR’AN.

    Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara ahlul bait. Sebagian di antara mereka menyatakan cukup al-Qur’an, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam keadaan sakit yang parah.

    Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

    إِنَّ الرَزِيَةَ كُلَّ الرَّزِيَةِ مَاحَالَ بَيْنَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَبَيْنَ أَنْ يَكْتُبَ لَهُمْ ذَلِكَ الْكِتَابَ مِنِ اخْتِلاَفِهِمْ وَلِغْطِهِمْ. رواه البخار ومسلم

    Sesungguhnya kerugian segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menulis wasiat kepada mereka, karena adanya perselisihan dan silang pendapat di antara mereka. (HR. Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Wasiat, bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)

    Dalam memandang kejadian ini, ahlus sunnah wal jama’ah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi ke-pada ahlu bait dan keluarga dekat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau yang lain merasa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, sehingga tidak perlu diganggu. Sedangkan kita sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam –kata mereka. Yang dimaksud adalah ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :

    وَقَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللهِ. رواه مسلم

    Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelah-ya jika kalian berpegang teguh dengan-ya yaitu kitabullah (al-Al-Qur’an). (HR. Muslim)

    Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidlah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka menuduh perbuatan para shahabat itu untuk menghalangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan merebut tampuk kepemimpinan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diberikannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

  31. Kemudian bagaimana mereka –kaum syi’ah tersebut— menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika beliau berada di Ghadir Khum. Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta ahlul bait?!
    Kalau mereka benar-benar cinta kepada ahlul bait dan mengaku pengikut setia ahlul bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maka dengarkanlah riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:

    عَنْ أَبِي الطًُّفَيْلِ قَالَ سُئِلَ عَلِيٌّ أَخَصَّكُمْ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمَ بِشَيْءٍ فَقَالَ مَا خَصَّنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَيْءٍ لَمْ يَعُمْ بِهِ النَّاسَ كَافَّةً إِلاَّ مَا كَانَ فِي قُرَابِ سَيْفِي هَذَا قَالَ فَأَخْرَجَ صَحِيْفَةً مَكْتُوْبٌ فِيْهَا لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ… رواه مسلم

    Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali radhiallahu ‘anhu ditanya: “Apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan sesuatu kepadamu? (yakni wasiat khusus, pent.). Maka beliau menjawab: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
    Demikianlah, tidak akan diterima sebuah pengakuan tanpa bukti, maka tidak bisa diterima pengakuan Syi’ah Rafidlah di atas.
    Wallahu a’lam.

    Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

    Sumber: Buletin Manhaj Salaf Cirebon

  32. @kemabali ke aqidah yg benar

    Oey… ada yg ketinggalan as Sunnah nya;

    Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelah-ya jika kalian berpegang teguh dengan-ya yaitu kitabullah (al-Al-Qur’an) dan as-Sunnah. (HR. Muslim) :mrgreen:

  33. @dede
    anda betul, ada yg ketinggalan….

  34. @kembali ke aqidah yg benar

    Ya kata saya juga 🙂

  35. Shahih muslim? Serius tuh?

  36. @kembali ke…
    Anda berceritra:Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat?” Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesan atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan kitabullah ‘azza wajalla”. (HR. Bukhari; Fathul Bary 3/356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Wasiat 3/1256, hadits 16

    Kalau mengenai yang anda cerita tsb bukan hadits, maka bisa saja ia berbohong.
    Ada riwayat Bukhari dalam kitab al-Ilm jil I hal. 22 dan Jil II hal 14 dan Shahih Muslim jil.II hal.14 dan Musnad Ahmad Jil. I hal.325
    Mereka meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas yang mengatakan: Bencana terbesar bagi Islam adalah perselisihan dan perbantahan beberapa orang sahabat yang mencegah Nabi menulis WASIAT yang hendak beliau rulis.
    Saya tidak tau apakah anda yang berbohong seperti yang anda tulis diatas atau Bukhari yang berbohong.
    Kemudian Imam Ali as bukan menerima WASIAT tetapi menerima wewenang dan tanggung jawab. Karena kepimpinan Imam Ali telah diumumkan di Khaidir Ghum. Jadi ini bukan lagi wasiat.
    Kemudian siapa saja yang mengatakan bahwa Alqur’an adalah WASIAT Rasul adalah KAFIR.
    Seorang yang berwasiat adalah mengalihkan tanggung jawabnya dimana ia tdk/blm mentuntaskan tanggung jawab kepada penerima wasiat.
    Sedangkan Alqur’an adalah wasiat Allah terhadap Umat. Jangan samakan Rasul dengan mereka yang lain. Mengambil sesuatu yang bukan haknya

  37. Aneh memang….Salafy dan Syiah, hadis ini saja diperdebadkan. Bukhori, Tarmiji saja memuatnya, Memang banyak dalil ttg sahabat2 nabi yg mendapat KEUTAMAAN dari Allah, termasuk Ali Ra. Itu saja repot.

  38. Rasulullah yang mulia Shallallahu ‘alahi wa ‘ala Ali wa Salam pernah bersabda :

    من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه

    ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”

    Imam Albani berkata : “Adapun yang disebutkan oleh Syi’ah dalam hadits ini dengan tambahan lafazh yang lain, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sepeninggalku nanti”, maka lafazh (tambahan) ini tidak shahih dari segala penjuru/sisi, bahkan padanya memiliki kebathilan yang banyak, yang menunjukkan kejadian/peristiwa tersebut di atas kedustaan.

    Seandainya memang benar Nabi bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena tidaklah beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan oleh Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataannya/janjinya.”

    Dan telah dikeluarkan hadits-hadits dusta ini dalam kitab lainnya milik Imam Albani, yakni ‘adh-Dha’ifah’ (4923,4932).

    Lucunya, dengan hadits dusta dan munkar ini, syi’ah mengklaim bahwa ‘Ali adalah khalifah setelah Rasulullah, sedangkan Abu Bakar dan Umar mengkhianati Ali dan mengkhianati sabda Rasulullah dengan merampas hak wilayah Ali, maka sungguh mereka (syi’ah) itu telah melakukan:

    1.Kedustaan atas nama Allah dan Rasul-Nya.
    2. Kedustaan atas nama Ali dan sahabat-sahabatnya.
    3.Mengingkari firman Allah subhanahu wa Ta’ala bahwa tidaklah Muhammad itu berkata kecuali dari wahyu yang diwahyukan.
    4.Mendustakan kebenaran sabda Nabi.
    5.Menuduh Allah Ta’ala tidak amanah dengan perkataan dan janji-Nya.
    6.Menuduh Rasulullah berdusta karena sabdanya tidak terlaksana.
    7.Menuduh, menfitnah dan mencela sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia.
    8.Mendustakan hadits-hadist Nabawi yang shohih.
    9.Mengada-adakan sesuatu di dalam Islam yang tak pernah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
    10.Mengkafirkan sahabat Rasulullah, melaknat mereka dan mengkafirkan ahlus sunnah wal jama’ah.

    Maka wajib atas kita, baro’ terhadap kesesatan dan kekufuran mereka (syi’ah) atas tuduhan dan pengada-adaan yang mereka lakukan di dalam dien ini.

    Allahumman-shur man nashoro dien wakh-dzul man khadzalahu.!!!

    Ya Alloh tolonglah hamba-Mu yang membela agama-Mu dan hinakanlah mereka yang menghinakan agama-Mu

    (diringkas dari Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah IV/330-334/1750)

  39. @Kembali ke aqidah yang benar

    Imam Albani berkata : “Adapun yang disebutkan oleh Syi’ah dalam hadits ini dengan tambahan lafazh yang lain, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sepeninggalku nanti”, maka lafazh (tambahan) ini tidak shahih dari segala penjuru/sisi, bahkan padanya memiliki kebathilan yang banyak, yang menunjukkan kejadian/peristiwa tersebut di atas kedustaan.

    Silakan dibaca tulisan di atas dengan benar. Jelas sekali hadis di atas riwayat Ibnu Abi Ashim memiliki lafaz “Khalifah sepeninggalku” dan hadis tersebut shahih. Jadi silakan mau ikut Syaikh Albani atau ikut Rasulullah SAW. Sungguh benarlah perkataan Rasulullah, dan Syaikh Al Albani itu salah tenan. Saya heran dengan anda ini, seolah-olah setiap perkataan Syaikh Albani itu seperti hukum yang tidak bisa diganggu gugat atau selalu benar sampai-sampai anda ingin membantah hadis shahih hanya dengan perkataan Syaikh Al Albani. Yee salah tempat dong Mas, yang jadi rujukan itu mah Rasulullah SAW.

  40. @sp

    Baru tahu yah,….kalo nabi nya mereka sudah beda
    Syaikh Albani itu maksum mas, kalo Rasul itu bisa salah
    begitulah akidah para salafyun ini..hihihii

  41. assalamu’alaikum, numpang dikit ah.. sdr2 seiman dan seagama, kita sdh menyadari yg terjadi sdh terjadi dan sdh menjadi sejarah yg mau tdk mau hrs kita terima bhw ternyata yg menjadi khalifah pertama stlh Nabi SAW wafat adalah Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman lalu Ali RA.. namun kita semua tahu bahwa Ali RA adalah PINTUnya ILMU dr SUMBER ILMU (Nabi SAW).. kl sy sih cuma mengingatkan dr sini saja sdh jelas bhw ALI RA benar2 “nempel” tuh sama NABI SAW (kl jaman skrg mah bs dibilang WANNA BE nya NABI SAW, yg mana pasti ikutin NABI SAW dlm segala tindak tanduknya) dan tentunya memiliki kelebihan dr “sahabat2” yg lain dlm segala hal (yg positif tentunya ya, termasuk dlm hal KEPEMIMPINAN..), jd ya andaikan sy hidup di jaman NABI SAW sy kepingin bilang kpd “sahabat2” yg lain pd saat kepemimpinan kosong stlh wafatnya NABI SAW : mestinya “sahabat2” yg lain TAHU DIRI lah…..!!! akhirul kata, moga2 “sahabat2” tsb dan kita2 yg sdg berdiskusi disini diampuni oleh ALLAH SWT atas kekhilafan kita semua.. amin. maaf ya kl ngaco huehehe..
    wassalam

  42. @ sp

    dari blog anda:

    Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain
    عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

    Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].

    Hadis Shahihain ini diucapkan Nabi SAW pada perang Tabuk, tetapi Salafy mengklaim bahwa keutamaan yang dimiliki Imam Ali kedudukan Beliau di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa adalah terkhusus pada perang Tabuk saja dan tidak untuk setelahnya.

    Ada lagi COPAS yg hampir sama dg diatas:
    ==================================

    Apa yang dimaksud dengan hadits :

    من كنت مولاه فعلى مولاه .

    “ Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”.

    Adapun yang dimaksud dari hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”, maka dalam kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah diterangkan sebagai berikut :

    Pada tahun 10 H, Rasulullah beserta para sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan haji tersebut kemudian dikenal dengan haji Wada’.

    Bertepatan dengan itu, rombongan Muslimin yang dikirim oleh Rasulullah ke Yaman sudah meninggalkan Yaman, mereka menuju Mekkah, untuk bergabung dengan Rasulullah. Rombongan tersebut dipimpin oleh Imam Ali bin Abi Thalib.

    Begitu rombongan sudah mendekati tempat dimana Rasulullah berada, maka Imam Ali segera meninggalkan rombongannya guna bertemu dan melapor kepada Rasulullah SAW, dan sebagai wakilnya adalah sahabat Buraidah.

    Sepeninggal Imam Ali, Buraidah membagi-bagikan pakaian hasil rampasan yang masih tersimpan dalam tempatnya, dengan maksud agar rombongan jika masuk kota (bertemu dengan yang lain) kelihatan rapi dan baik.

    Namun begitu Imam Ali kembali menghampiri rombongannya beliau terkejut dan marah, serta memerintahkan agar pakaian-pakaian tersebut dilepaskan dan dikembalikan ke tempatnya. Hal mana karena Imam Ali berpendapat, bahwa yang berhak membagi adalah Rasulullah SAW.

    Tindakan Imam Ali tersebut membuat anak buahnya kecewa dan terjadilah perselisihan pendapat.

    Selanjutnya begitu rombongan sudah sampai ditempat Rasulullah, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan menceritakan mengenai kejadian yang dialaminya bersama rombongan dari tindakan Imam Ali. Bahkan dari kesalnya, saat itu Buraidah sampai menjelek-jelekkan Imam Ali di depan Rasulullah SAW.

    Mendengar laporan tersebut, Rasulullah agak berubah wajahnya, karena beliau tahu bahwa tindakan Imam Ali tersebut benar.

    Kemudian Rasulullah bersabda kepada Buraidah sebagai berikut :

    يا بريدة ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم.

    “ Hai Buraidah, apakah saya tidak lebih utama untuk diikuti dan dicintai oleh Mukminin daripada diri mereka sendiri”.

    Maka Buraidah menjawab :

    بلى يارسول الله

    “ Benar Yaa Rasulullah”.

    Kemudian Rasulullah bersabda :

    من كنت مولاه فعلى مولاه رواه الترمذى والحاكم

    “ Barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpin”.

    Yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah, apabila Muslimin menganggap Rasulullah sebagai pemimpin mereka, maka Imam Ali harus diterima sebagai pemimpin, sebab yang mengangkat Imam Ali sebagai pemimpin rombongan ke Yaman itu Rasulullah SAW. Karena itu dia harus dicintai dan dibantu serta dipatuhi semua perintahnya.

    Demikian maksud dari hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”. Sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah (baca kitab Al Bidayatul Hidayah oleh Ibnu Katsir).

    Selanjutnya, oleh karena perselisihan tersebut, tidak hanya terjadi antara Imam Ali dengan Buraidah saja, tapi dengan seluruh rombonganya, dimana orang-orang tersebut menjelek-jelekkan Imam Ali dengan kata-kata tidak baik, yang berakibat dapat menjatuhkan nama baik Imam Ali, bahkan perselisihan tersebut didengar oleh orang-orang yang tidak ikut dalam rombongan ke Yaman itu, maka setelah Rasulullah selesai melaksanakan ibadah haji, disaat Rasulullah dan Muslimin sampai di satu tempat yang bernama Ghodir Khum, Rasulullah berkhotbah, dimana diantaranya beliau mengulangi lagi kata-kata yang telah disampaikan kepada Buraidah tersebut, yaitu “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”

    Itulah sebabnya hadits tersebut dikenal sebagai hadits Ghodir Khum. Karena waktu disampaikan di Ghodir Khum itu, disaksikan oleh ribuan sahabat.

    Jadi sekali lagi, bahwa hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”. Itu tidak ada hubungannya dengan penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah sesudah Rasulullah wafat. Tapi sebagai pemimpin rombongan ke Yaman yang harus dicintai dan ditaati semua perintahnya.

    Sebenarnya apabila hadits tersebut akan diartikan sebagaimana orang-orang Syiah mengartikan hadits tersebut, yaitu dianggap sebagai pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah, maka faham yang demikian itu akan membawa konsekuensi dan resiko yang sangat besar. Sebab sangsi bagi orang-orang yang menolak atau meninggalkan nash Rasulullah, apalagi menghianati Rasulullah adalah kafir.

    Dengan demikian, Sayyidina Abu Bakar akan dihukum kafir karena melanggar dan meninggalkan nash Rasulullah, demikian pula para sahabat yang membai’at Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar dan Khalifah Ustman mereka juga akan dihukum kafir, sebab tidak melaksanakan dan melanggar nash Rasulullah. Bahkan Imam Ali sendiri akan terkena sangsi kufur tersebut, sebab dia melanggar dan menolak bahkan menghianati nash Rasulullah tersebut.

    Itulah resiko dan konsekuensi bila hadits “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”, diartikan sebagai penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah pengganti Rasulullah SAW.

    Semoga kita diselamatkan oleh Allah dari aqidah Syiah yang sesat dan menyesatkan. Amin.

    APA PERSAMAANNYA:

    1. Syiah mengklaim hadits ghadir khum sebagai penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah sesudah Rasulullah wafat.
    Ternyata, sebagai pemimpin rombongan ke Yaman yang harus dicintai dan ditaati semua perintahnya.

    2. Syiah mengklaim, hadits

    Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain
    عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

    Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].

    sebagai penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah sesudah Rasulullah wafat.
    Ternyata, terkhusus pada perang Tabuk saja dan tidak untuk setelahnya.

    COBA LIHAT HADITS INI:

    1.Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Said dan Abu Hurairah Marfu’ (yang tetap sanadnya sampai kepada Rasul): “Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat pemimpin salah satunya. Dan bentuk permintaan dalam hadits adalah perintah sebab menggunakan ungkapan Fi’il Mudhari (kata kerja sekarang dan akan datang) dengan disertai Lamul Amr (Huruf Lam yang mengandung arti perintah) maka ia mengandung makna kewajiban.

    2.Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari hadits Abdullah bin Amr sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Tidaklah dibenarkan bagi tiga orang yang berada pada sebuah padang di bumi kecuali mereka mengangkat pemimpin salah seorang di antara mereka”.

    Dua hadits telah jelas menetapkan kewajiban mengangkat pemimpin pada sebuah kelompok dan golongan yang kecil dalam sebuah perjalanan yang mereka lakukan.

    Jadi Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin, HANYA dalam perjalanan , seperti Nabi Musa AS mengajak tujuh puluh orang yang telah dipilih diantara pengikutnya untuk menyertainya ke bukit Thur Sina dan mengangkat Nabi Harun AS sebagai wakilnya mengurus serta memimpin kaum yang ditinggalkan selama kepergiannya ke tempat bermunajat itu.

    PERTANYAAN BESAR:
    Lalu apakah kepemimpinan itu berlanjut setelah USAI perjalanan?
    Silahkan cari jawabannya, jika anda benar.

  43. ada tambahan :

    Nabi Harun AS wafat sebelum Nabi Musa AS. Jadi tidak bisa DIANALOGIKAN Ali bin abi thalib ra menggantikan kepimpinan setelah Nabi SAW wafat.

    Jadi hadits yg @SP berikan, khusus hanya untuk pada saat perang tabuk saja.

    BUKAN BEGITU?

  44. @SP

    Jadi anda yg SALAH TENAN, bukan Syaikh Albani.

  45. @kembali ke aqidah yang benar
    sampean itu ngomong apa?. sebelum komentar baca dulu baik-baik tulisan saya (gak ada bahas hadis ghadir kum di atas), itu ada hadis Rasul SAW di atas yang berbunyi
    وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
    Engkau Khalifah bagi setiap mukmin sepeninggalKu.
    mau ikut syaikh Albani ya silakan, saya lebih ikut Rasul SAW.

  46. @SP capek ya,Mas? Saya yg baca juga capek,

  47. @SP

    Jangan ambil sepotong2 haditsnya.

    Hadits yg anda ambil, ketika Nabi SAW hendak pergi ke perang tabuk dan memberikan mandat kepemimpinan kepada Ali ra untuk menjaga anak2 dan wanita di rumah.

    Sama halnya ketika Nabi Musa AS memberi mandat kepemimpinan kepada Nabi Harun AS untuk bani israil, ketika Nabi Musa as pergi ke bukit Thur Sina.

    Dan itu tidak ada hubungannya untuk kekhalifahan Ali bin Abi Thalib setelah Nabi SAW wafat.
    Karena tidak bisa dianalogikan dengan Nabi Harun AS yg wafat lebih dahulu sebelum Nabi Musa As.

  48. @jet-lee

    capek, karena anda tidak mengerti………

  49. @bruce-Lee.

    Atau anda tidak punya argumen untuk membantah?

  50. @kembali ke aqidah yang benar
    siapa yang motong, saya menunjukkan kalau anda itu tidak membaca lafaz hadis
    وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
    Engkau Khalifah bagi setiap mukmin sepeninggalKu
    itu kata-kata yang jelas kalau Rasul SAW menunjuk Imam Ali sebagai khalifah sepeninggal Beliau SAW. Jadi kalau memang aqidah anda benar ya berpegang dong pada perkataan Rasul bukannya malah taklid buta sama Syaikh Albani

  51. @sp

    ini juga dari RASULULLAH:

    Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan memegang tongkat kepemimpinan. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan MEMBERIKAN wasiatnya”. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447)

    Nabi saw TIDAK MEMBERIKAN WASIAT KEKHALIFAHAN kpeada ALI ra.

  52. @sp

    sepeninggal apanya? wafat atau HANYA pergi ke perang tabuk?

  53. @kembali ke aqidah yg benar

    Siip.. dan hadits yg anda bawakan tsb kualitas keshahihannya di atas hadits yg SP bawakan..

    Kita lihat apakah beliau ini akan tetap mengingkari juga hadits yang shahih dengan matan yg begitu jelas yg membantah pemahaman dia mengenai hadits yg dibawakannya? jika tetep spt itu, maka tidak syak lagi memang beliau ini adalah “S**’ *h Tulen”
    wuakakakak…

  54. @imem

    Siip.. dan hadits yg anda bawakan tsb kualitas keshahihannya di atas hadits yg SP bawakan..

    yah sejak kapan situ ngerti soal sanad hadis, bukannya sampean yang terbukti berhujjah dengan hadis dhaif, lucu sekali :mrgreen:
    nih simak baik-baik

    Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan memegang tongkat kepemimpinan.

    Bukankah ini pengakuan Abbas kalau Imam Ali akan memegang kepemimpinan, lantas darimana dia tahu, sudah jelas dari perkataan Rasulullah SAW sebelumnya, salah satunya yang saya tulis di tulisan di atas.

    Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya.

    Sahabat Abbas RA hanya ingin meminta kejelasan lagi dari Rasulullah SAW

    Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan MEMBERIKAN wasiatnya”.

    Maka perhatikanlah, tidak ada wasiat dari Rasul bahwa khalifah akan diserahkan kepada sahabat yang lain kecuali kepada Ali bin Abi Thalib diantaranya hadis di atas dan hadis lain yang akan kami kutip nanti. Kalau memang akan diserahkan kepada selain Ahlul bait maka akan diberikan wasiatnya.

    Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

    Imam Ali tidak mau menanyakan lagi masalah ini, karena telah diketahui dengan jelas bahwa Ahlul Bait lah pengganti bagi Nabi SAW diantaranya dari hadis berikut yang diucapkan Nabi jauh setelah perang Tabuk

    ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لعلي أنت ولي كل مؤمن بعدي
    Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelahku”.
    [diriwayatkan dalam Musnad Abu Daud Ath Thayalisi no 829 dan 2752, Sunan Tirmidzi no 3713, Khasa’is An Nasa’i no 89, Musnad Abu Ya’la no 355, Shahih Ibnu Hibban no 6929, Musnad Ahmad 5/356 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dan Al Mustadrak 3/134, Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 4/468 menyatakan sanadnya kuat, Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam Silsilah Ahadits As Shahihah no 2223].

    Dan Ahlul bait sebagai khalifah pengganti Nabi dapat dilihat di hadis dalam tulisan berikut

    Khalifah Umat Islam Adalah Ahlul Bait

    Nah sekarang giliran anda-anda semua, apakah mau mengingkari hadis shahih yang saya bawakan, jika tetap seperti itu maka tidak syak lagi memang kalian ini adalah ing**r sunnah tulen :mrgreen:

  55. @kembali ke aqidah yang benar

    sepeninggal apanya? wafat atau HANYA pergi ke perang tabuk?

    Makanya kalau baca hadis itu jangan baca terjemahan doang, tuh baca arabnya yang saya tampilkan, kata-kata Rasul SAW itu
    أنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
    jangan cuma ngulang argumennya si imem or antirafidhah, dia mah kagak mau baca arabnya, dan sekalian situ lihat kutipan yang ini dalam tulisan di atas

    وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده
    Kata-kata Nawawi diartikan salafy dengan Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Kali ini dengan mudah salafy memaknai kata yang dicetak biru sebagai setelah (wafatnya) Beliau. Anehnya dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ashim ia menafikan bahwa kata tersebut berarti wafat. Sekali lagi kontradiksi
    Sudah dari sebelumnya saya katakan, tulisan saya di atas dibaca dulu yang benar, baru komentar 🙂

  56. Bukankah ini pengakuan Abbas kalau Imam Ali akan memegang kepemimpinan, lantas darimana dia tahu, sudah jelas dari perkataan Rasulullah SAW sebelumnya, salah satunya yang saya tulis di tulisan di atas.

    Terjemahannya kali yg kurang tepat, seharusnya diterjemahkan bukan memegang kepemimpinan, tetapi sebagai “hamba tongkat” yg artinya dia akan dipimpin oleh seseorang.. wuakakak..

    Sahabat Abbas RA hanya ingin meminta kejelasan lagi dari Rasulullah SAW

    Menunjukkan bahwa memang sebelumnya tidak ada penunjukkan terhadap Imam Ali.. jelas sekali itu..

    Maka perhatikanlah, tidak ada wasiat dari Rasul bahwa khalifah akan diserahkan kepada sahabat yang lain kecuali kepada Ali bin Abi Thalib diantaranya hadis di atas dan hadis lain yang akan kami kutip nanti. Kalau memang akan diserahkan kepada selain Ahlul bait maka akan diberikan wasiatnya.

    Ya intinya mereka pun juga tidak menerima wasiat

    Imam Ali tidak mau menanyakan lagi masalah ini, karena telah diketahui dengan jelas bahwa Ahlul Bait lah pengganti bagi Nabi SAW diantaranya dari hadis berikut yang diucapkan Nabi jauh setelah perang Tabuk

    wuakakak.. bertentangan dengan perkataan Imam Ali sendiri dunk kalo gitu :

    Diriwayatkan dari hadits al-A’masy dari Ibrahim at Taimi dari ayahnya, dia berkata, “Ali bin Abi Thalib berpidato di hadapan kami dan berkata”, “Barangsiapa menganggap bahwa kami memiliki sesuatu wasiat (dari Rasulullah) selain Kitabullah dan apa yang terdapat dalam sahifah (secarik kertas yang tersimpan dalam sarung pedangnya berisi tentang umur unta dan diyat tindakan kriminal) maka sesungguhnya dia telah berkata dusta! Dan diantara sahifah itu disebutkan sabda Rasulullah “Madinah adalah tanah suci antara gunung ‘Ir dan Tsaur, maka barang siapa membuat sesuatu yang baru atau melindungi orang tersebut maka atasnya laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima darinya sedikitpun tebusan. dan barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya ataupun menisbatkan dirinya kepada selain tuannya, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya sedikitpun tebusan, dan sesungguhnya dzimmah (jaminan yang diberikan kaum muslimin thd orang kafir) adalah satu. Maka barangsiapa merusak dzimmah seorang mukmin maka atasnya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya sedikitpun tebusan maupun suapan” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad)

    Perhatikan Imam Ali tidak pernah merasa mendapatkan wasiat selain yang beliau sebutkan di atas, bahkan beliau mengatakan Dusta! kepada orang2 yg beranggapan selain dari apa yg beliau ucapkan. Nah apakah sampeyan mau mengingkari juga perkataan Imam Ali yg sedemikian jelas di atas?, jika tetap spt itu, wah bener-bener S** ‘ *h tulen nich.. :mrgreen: wuakakakak

  57. @imem
    sebelum bawa hadis lain tanggapi dulu dong hadis yang saya bawakan itu, jangan cuma saya aja yang ngoceh. atau memang gak bisa membantah, silakan tanggapi dulu baru kita lanjut 🙂

  58. salafy memiliki argumen
    syiah mempunyai argumen

    Tetapi sudah jelas siapa yg berDUSTA tasa nama Ali bin Abi Thalib ra.

  59. @kembali ke aqidah yang benar

    salafy memiliki argumen
    syiah mempunyai argumen

    Tetapi sudah jelas siapa yg berDUSTA tasa nama Ali bin Abi Thalib ra.

    Dan sudah jelas pula siapa yang berdusta atas nama Rasul SAW 🙂

  60. @SP, Mas lupa sebuah aksioma yg berlaku di mahzab mereka, “saya tidak berdusta ATAS nama Rasul tapi UNTUK Rasul.
    Dan senjata pamungkasnya adalah “Saya melakukannya untuk Kemaslahatan Umat” itulah kenapa cerita2 Dusta seperti pasien terakhir ada, tapi tak perlu heranlah para sesembahannya telah melakukannya berungkali kali di jaman lampau
    1.Haji Tamatu
    2.Bagian zakat buat Mualaf
    3.Hilangnya Haya ala khairul amal dari adzan
    4.Talak 3 diucapkan sekaligus
    5.Dll

    Intinya perkataan Allah dan Rasul-Nya (Quran dan Hadits) bisa dirubah atau didustakan demi kemaslahatan Umat(Mahzab mereka)

  61. @kembali ke aqidah..

    salafy mempunyai argumen
    syiah mempunyai argumen
    sunni juga mempunyai argumen

    Dan sdh jelas siapa yg argumennya ngawur dan inkonsisten

    @A_Lee

    Cocok!

    Salam

  62. @SP

    @imem
    sebelum bawa hadis lain tanggapi dulu dong hadis yang saya bawakan itu, jangan cuma saya aja yang ngoceh. atau memang gak bisa membantah, silakan tanggapi dulu baru kita lanjut

    wuakakak… mana yg perlu ditanggapi? kan udah ditanggapi? kalo bukan saya yg laen kan dah nanggapi.. makanya jgn parsial kalo ngambil dalil2 milik sunni, semua ada keterkaitannya… ketauan nech SP ga bs bantah lagi ya… jika sampeyan bukan S** ‘ *h tulen pastilah anda akan membenarkan perkataan Imam Ali di atas sesuai ilmu hadits yg anda tekuni, tapi kalo dasarnya memang S** ‘ *h ya riwayat2 yg diambil hanya yg sesuai keyakinan S** ‘ *h-nya aja iya tho… wuakakak … jangan sampai lho menjadi orang yg termasuk dikatakan Dusta oleh beliau? wuakakakak…

    salafy memiliki argumen
    syiah mempunyai argumen

    Tetapi sudah jelas siapa yg berDUSTA tasa nama Ali bin Abi Thalib ra.

    Dan sudah jelas pula siapa yang berdusta atas nama Rasul SAW

    Dan sudah jelas siapa yang berdusta atas nama Rasulullah SAW seklaigus Imam Ali ra… terlalu jelas sih… wuakakakak

  63. @Imem

    Lihatlah ketidakkonsistenan anda wahai Salafiyyun. Demi menyanggah keutamaan Imam Ali as sebagai khalifah pengganti Rasul saw, anda menyodorkan ucapan2 Imam Ali as yg menurut anda mengisyaratkan bahwa Rasul saw tdk pernah mewasiatkan kepada siapa pengganti beliau. Benarkah demikian itikad anda?

    Lantas bagaimana dgn koar-koar dari manhaj anda tentang hadits yang, menurut anda adalah keutamaan Abubakar, ini?:

    Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya: Bahwasannya ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu perkara. Maka beliau memerintahkannya untuk kembali lagi (di lain waktu). Maka wanita itu berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku datang namun aku tidak dapat menemuimu ?” – Ayahku (Jubair bin Muth’im) berkata : ‘Sepertinya yang ia maksudkan jika beliau wafat’ – . Maka beliau bersabda : “Apabila engkau tidak dapat menemuiku, maka temuilah Abu Bakr” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3659, Muslim no. 2386, dan yang lainnya].

    Salam

  64. @armand

    Mungkin yang dimaksud bung Imem, penunjukkan langsung oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam secara jelas memang tidak ada, tetapi secara isyarat dan signal memang ada, salah satunya adalah hadits yg anda sebutkan di atas dan Rasulullah terlihat mengetahui siapa yang bakal menjadi khalifah selepas beliau dengan ungkapan beliau dalam suatu hadits “Allah dan Kaum Mukminin tidak akan ridha melainkan Abu Bakar”, di sini terlihat Rasulullah mengatakan tanpa melibatkan diri beliau, bahwa yang menghendaki Abu Bakar menjadi khalifah selepas beliau adalah Allah dan kaum mukminin.. dan kenyataannya memang seperti itu. oleh karena itu bisa dipahami mengapa Rasulullah begitu tegas menunjuk Abu Bakar sebagai Imam Shalat pengganti beliau dengan uslub kalimat yang sama ketika beliau mengingkari sahabat selain Abu Bakar menjadi Imam Shalat yaitu “Mana Abu Bakar? Sesungguhnya Allah dan kaum muslimin tidak akan rela dengan ini, Sesungguhnya Allah dan kaum muslimin tidak akan rela dengan ini”

    Wallahu A’lam bishowab

  65. @imem

    wuakakak… mana yg perlu ditanggapi? kan udah ditanggapi?

    akan lebih baik kalau anda berhenti tertawa dan fokus untuk menanggapi komentar-komentar saya. kecuali kalau anda kehabisan hujjah maka yang bisa anda lakukan cuma tertawa.

    kalo bukan saya yg laen kan dah nanggapi..

    yang laen mana?, kagak ada tuh. Saya menanggapi dengan membawa dua hadis shahih Rasulullah SAW

    1. Hadis Tsaqalain dengan matan Khalifah
    2. Hadis Ali Pemimpin bagi setiap mukmin setelah Nabi

    Nah silakan ditanggapi, atau mau mendustakan kedua hadis tersebut.

    makanya jgn parsial kalo ngambil dalil2 milik sunni, semua ada keterkaitannya…

    Kagak nyadar ya, kalau yang begitu kan sampean sendiri 🙂

    ketauan nech SP ga bs bantah lagi ya…

    Saya cukup membawa perkataan Rasulullah SAW saja, bagi anda yang mau ingkar itu urusan anda sendiri 🙂

    .jika sampeyan bukan S** ‘ *h tulen pastilah anda akan membenarkan perkataan Imam Ali di atas sesuai ilmu hadits yg anda tekuni,

    Makanya situ jangan parsial ngambil perkataan Imam Ali. Ada kok atsar Imam Ali yang mengakui kepemimpinannya.

    tapi kalo dasarnya memang S** ‘ *h ya riwayat2 yg diambil hanya yg sesuai keyakinan S** ‘ *h-nya aja iya tho…

    Yah kalau pengikut salafy kehabisan dalil begitu deh bahasanya. toh bukannya salafy yang punya kebiasaan hanya mengambil sesuai keyakinannya saja dan menakwilkan setiap dalil yang memberatkan mereka agar bisa disesuai-sesuaikan dengan keyakinan salafy. Yah seperti kerja sampean ini 🙂

    wuakakak … jangan sampai lho menjadi orang yg termasuk dikatakan Dusta oleh beliau? wuakakakak…

    Insya Allah berpegang pada hadis shahih bukanlah sebuah kedustaan, justru mencatut perkataan Imam Ali dan menjadikannya dalil untuk menentang hadis Rasulullah SAW adalah dusta. Imam Ali sendiri mengakui kepemimpinan yang diberikan Rasul SAW kepadanya dan itu cukup menjadi hujjah 🙂

    @armand
    yah begitulah watak salafy, mereka hanya asyik melemahkan hujjah orang tetapi gak sadar kalau hujjah sendiri jauh lebih lemah 🙂

    @antirafidhah

    Mungkin yang dimaksud bung Imem, penunjukkan langsung oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam secara jelas memang tidak ada, tetapi secara isyarat dan signal memang ada,

    ada kok, itu hadis dalam tulisan saya di atas plus hadis
    ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لعلي أنت ولي كل مؤمن بعدي
    Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelahku”. uups ditambah hadis Tsaqalain dengan matan “khalifah”
    Tetapi sayangnya anda atau imem mencari-cari dalih untuk menolak. :mrgreen:

    salah satunya adalah hadits yg anda sebutkan di atas dan Rasulullah terlihat mengetahui siapa yang bakal menjadi khalifah selepas beliau dengan ungkapan beliau dalam suatu hadits “Allah dan Kaum Mukminin tidak akan ridha melainkan Abu Bakar”,

    Gak ada kok soal khalifah dalam hadis yang anda bawa, itu namanya mengada-ada. Tetapi mengagumkan juga, hadis yang ada kata khalifah anda tolak or dicari-cari ta’wilnya tetapi hadis yang gak ada kata khalifah anda tarik seenaknya agar berarti khalifah. aplaus deh buat anda :mrgreen:

    di sini terlihat Rasulullah mengatakan tanpa melibatkan diri beliau, bahwa yang menghendaki Abu Bakar menjadi khalifah selepas beliau adalah Allah dan kaum mukminin..

    hooo klaim nih, tahu dari mana Allah dan kaum mukminin menginginkan Abu Bakar menjadi khalifah. Jujur ya kalau saja Abu Bakar gak datang ke Saqifah maka kaum Anshar pasti sudah membaiat pemimpin mereka 🙂

    dan kenyataannya memang seperti itu. oleh karena itu bisa dipahami mengapa Rasulullah begitu tegas menunjuk Abu Bakar sebagai Imam Shalat pengganti beliau dengan uslub kalimat yang sama ketika beliau mengingkari sahabat selain Abu Bakar menjadi Imam Shalat yaitu “Mana Abu Bakar? Sesungguhnya Allah dan kaum muslimin tidak akan rela dengan ini, Sesungguhnya Allah dan kaum muslimin tidak akan rela dengan ini”

    Nah kalau yang ini mah lebih sesuai dengan hadisnya, itu berarti kata-kata Sesungguhnya Allah dan kaum muslimin tidak akan rela dengan ini, itu ditujukan soal imam shalat bukan kekhalifahan kan, nah gimana, jangan tarik ulur sekenanya :mrgreen:

  66. SP berkata : “Gak ada kok soal khalifah dalam hadis yang anda bawa, itu namanya mengada-ada. Tetapi mengagumkan juga, hadis yang ada kata khalifah anda tolak or dicari-cari ta’wilnya tetapi hadis yang gak ada kata khalifah anda tarik seenaknya agar berarti khalifah. aplaus deh buat anda :mrgreen:”

    Itu namanya pemerkosaan makna hadis agar sesuai dgn nafsunya :mrgreen

  67. @SP

    ada kok, itu hadis dalam tulisan saya di atas plus hadis
    ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لعلي أنت ولي كل مؤمن بعدي
    Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelahku”. uups ditambah hadis Tsaqalain dengan matan “khalifah”
    Tetapi sayangnya anda atau imem mencari-cari dalih untuk menolak.

    Perasaan hal itu sudah ditanggapi dg panjang lebar dech, Yang memang itulah yang kita pahami, bahwa memang hadits tsb bukanlah dalil penunjukkan Imam Ali untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah wafat, silahkan dibaca lg dech.. terlalu banyak dalil utk disebutkan :mrgreen:

    Gak ada kok soal khalifah dalam hadis yang anda bawa, itu namanya mengada-ada. Tetapi mengagumkan juga, hadis yang ada kata khalifah anda tolak or dicari-cari ta’wilnya tetapi hadis yang gak ada kata khalifah anda tarik seenaknya agar berarti khalifah. aplaus deh buat anda

    Terpaksa saya setuju apa kata bung Imem, memang anda itu parsial dlm memahami sesuatu :mrgreen:
    Itu memang salah satu isyarat dari Rasulullah mengenai kepemimpinan Abu Bakar selepas beliau, yang jelas Rasulullah menghendaki menulis wasiat untuk Abu Bakar, supaya tidak ada orang yang nanti mengatakan “aku lebih berhak” tetapi tampaknya beliau tidak jadi karena beliau yakin dan bersabda bahwa “Allah dan kaum mukminin hanya menghendaki Abu Bakar”.. silahkan saja anda mau menta’wilkan dg yang lain ga ada mslh buat kami :mrgreen: , kalau kami sih sudah paham akan isyarat tsb. dan kenyataan yang terjadi menunjukkan kebenarannya, memang Allah dan kaum mukminin berbai’at kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali, inilah sebaik-baik bukti akan kebenaran pemahaman kami akan hadits tersebut, sedangkan takwilan anda pada hadits yg anda bawakan ternyata tidak terbukti 😆 dan lebih-lebih lagi Imam Ali sendiri berba’iat kepada Abu Bakar, mengakui keutamaan Abu Bakar, bahkan beliau mengaku tidak merasa mendapat wasiat kekhalifahan di dlm riwayat2 yg shahih.

    hooo klaim nih, tahu dari mana Allah dan kaum mukminin menginginkan Abu Bakar menjadi khalifah. Jujur ya kalau saja Abu Bakar gak datang ke Saqifah maka kaum Anshar pasti sudah membaiat pemimpin mereka

    Lah kalau sesuatu yang sudah terjadi entah bagaimanapun prosesnya, apakah menurut anda itu bukan kehendak Allah? dan ternyata kaum Anshar membai’at Abu Bakar juga, itu kenyataannya mas dan sesuai dengan isyarat Nabi memang Allah dan kaum mukminin menghendaki Abu Bakar yang menjadi khalifah selepas Rasul dan bahkan Imam Ali yang makshum menurut Syi’ah pun berbai’at dan mengakui keutamaan Abu Bakar bahkan 2 khalifah selanjutnya.. 3 periode kepemimpinan mas beliau konsisten dengan sikap beliau tsb.. sekali lagi itu lah kenyataannya mas…. walaupun anda ga mau terima :mrgreen:

    Nah kalau yang ini mah lebih sesuai dengan hadisnya, itu berarti kata-kata Sesungguhnya Allah dan kaum muslimin tidak akan rela dengan ini, itu ditujukan soal imam shalat bukan kekhalifahan kan, nah gimana, jangan tarik ulur sekenanya

    Ya silahkan saja, yang jelas kedua hadits tersebut sudah terbukti kebenarannya dan telah menjadi kenyataan, orang yg masih jernih pikirannya, akan sangat mudah sekali memahami dan menerimanya. dan kami tidak butuh penakwilan hadits yg ternyata tidak terbukti kenyataannya, apalagi terbukti penakwilan tsb adalah salah dilihat dari berbagai segi :mrgreen: Ya saya cuma bisa kasihan kepada anda jika ternyata keinginan anda dan kaum Syi’ah tidak dikehendaki oleh Allah, Rasul-Nya, kaum mukminin dan Imam Ali sendiri.. jadi maaf-maaf saja ya kalau anda kecewa dg kenyataan yg ada, moga2 saja tidak dibawa sampai mati aja kekesalan itu 😆

    Tapi ga ada paksaan kok, benar salah itu sudah terlihat begitu terang :mrgreen:

  68. Maaf Ralat :

    pada komentar saya di atas

    kalau kami sih sudah paham akan isyarat tsb. dan kenyataan yang terjadi menunjukkan kebenarannya, memang Allah dan kaum mukminin berbai’at kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali, inilah sebaik-baik bukti akan kebenaran pemahaman kami akan hadits tersebut,…

    seharusnya

    kalau kami sih sudah paham akan isyarat tsb. dan kenyataan yang terjadi menunjukkan kebenarannya, memang Allah dan kaum mukminin menghendaki Abu Bakar menjadi khalifah selepas Rasulullah wafat, kaum mukminin berbai’at kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali, inilah sebaik-baik bukti akan kebenaran pemahaman kami akan hadits tersebut,…

  69. @antirafidhah

    Perasaan hal itu sudah ditanggapi dg panjang lebar dech, Yang memang itulah yang kita pahami, bahwa memang hadits tsb bukanlah dalil penunjukkan Imam Ali untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah wafat, silahkan dibaca lg dech.. terlalu banyak dalil utk disebutkan

    tanggapan dari mana? jangan mengada-adalah. giliran diberi dalil yang jelas bilangnya “ah sudah ditanggapi”. Palsu banget. Memangnya dalil-dalil yang sampean bawa gak ada yang menanggapin apa. terlalu banyak kali yang sudah menanggapi kalian :mrgreen:

    Terpaksa saya setuju apa kata bung Imem, memang anda itu parsial dlm memahami sesuatu

    ah anda atau imem kan memang sama, jadi gak ada artinya deh :mrgreen:

    Itu memang salah satu isyarat dari Rasulullah mengenai kepemimpinan Abu Bakar selepas beliau, yang jelas Rasulullah menghendaki menulis wasiat untuk Abu Bakar, supaya tidak ada orang yang nanti mengatakan “aku lebih berhak” tetapi tampaknya beliau tidak jadi karena beliau yakin dan bersabda bahwa “Allah dan kaum mukminin hanya menghendaki Abu Bakar”.. silahkan saja anda mau menta’wilkan dg yang lain ga ada mslh buat kami

    Gampang aja deh Mas, coba jawab itu wasiat buat apa, jawab dengan dalil bukan dengan perasaan :mrgreen:

    kalau kami sih sudah paham akan isyarat tsb. dan kenyataan yang terjadi menunjukkan kebenarannya, memang Allah dan kaum mukminin berbai’at kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali, inilah sebaik-baik bukti akan kebenaran pemahaman kami akan hadits tersebut,

    bukti dari mana? kalau memang kaum mukminin hanya rela dengan abu bakar. Kenapa pada awalnya kaum anshar malah mau memilih pemimpin sendiri, dan kenapa ada sahabat-sahabat yang menunda baiatnya, dan kenapa perlu ada ancaman sampai mau membakar rumah Ahlul Bait. siapa nih yang sekarang parsial dalam memahami sesuatu :mrgreen:

    dan lebih-lebih lagi Imam Ali sendiri berba’iat kepada Abu Bakar, mengakui keutamaan Abu Bakar, bahkan beliau mengaku tidak merasa mendapat wasiat kekhalifahan di dlm riwayat2 yg shahih.

    Imam Ali menunda baiatnya, sangat jelas itu. btw kapan beliau mengakui tidak merasa mendapat wasiat kekhalifahan. hadis yang anda atau imem jadikan hujjah itu soal wasiat yang dimiliki Ahlul Bait tetapi tidak disampaikan kepada umatnya, dan memang tidak ada wasiat seperti itu. sedangkan soal kekhalifahan sudah Rasulullah SAW katakan kepada umatnya.

    Lah kalau sesuatu yang sudah terjadi entah bagaimanapun prosesnya, apakah menurut anda itu bukan kehendak Allah?

    jangan parsial deh memahami, saya beri contoh nih, kalau suatu kezaliman terjadi di muka bumi ini, itu kehendak Allah SWT bukan? terus itu diridhai Allah SWT tidak?. betapa anehnya cara berpikir anda

    dan ternyata kaum Anshar membai’at Abu Bakar juga, itu kenyataannya mas dan sesuai dengan isyarat Nabi memang Allah dan kaum mukminin menghendaki Abu Bakar yang menjadi khalifah selepas Rasul dan bahkan Imam Ali yang makshum menurut Syi’ah pun berbai’at dan mengakui keutamaan Abu Bakar bahkan 2 khalifah selanjutnya.

    saya tidak menafikan soal baiat, tapi dalil anda itu kalau kaum mukminin hanya rela dengan Abu Bakar, itu yang saya maksud mengada-ada. kaum muslimin mengalami perselisihan soal khalifah dimulai dari kaum anshar di saqifah sampai sahabat-sahabat di rumah sayyidah Fathimah beserta bani hasyim, nah pertanyaannya kalau memang semua kaum mukminin hanya rela kepada Abu Bakar kok gak dari awal sudah disepakati, itu maksud saya 🙂

    3 periode kepemimpinan mas beliau konsisten dengan sikap beliau tsb.. sekali lagi itu lah kenyataannya mas…. walaupun anda ga mau terima

    konsisten apanya? baca tuh sejarah pada zaman Abu Bakar, khalifah Imam Ali memisahkan diri dan btw pada zaman ketiga khalifah Imam Ali tidak satupun aktif mengikuti perperangan ataupun menjadi pejabat pemerintah.

    Ya silahkan saja, yang jelas kedua hadits tersebut sudah terbukti kebenarannya dan telah menjadi kenyataan, orang yg masih jernih pikirannya, akan sangat mudah sekali memahami dan menerimanya.

    Ya silakan saja, Hadis Rasulullah SAW itu sangat jelas kok sehingga membuat semua penakwilan menjadi tidak ada gunanya. hanya orang yang masih jernih pikirannya yang akan memahami dan menerima hadis Rasulullah SAW dengan baik.

    dan kami tidak butuh penakwilan hadits yg ternyata tidak terbukti kenyataannya, apalagi terbukti penakwilan tsb adalah salah dilihat dari berbagai segi

    sip itu kata-kata yang tepat buat anda atau imem.

    Ya saya cuma bisa kasihan kepada anda jika ternyata keinginan anda dan kaum Syi’ah tidak dikehendaki oleh Allah, Rasul-Nya, kaum mukminin dan Imam Ali sendiri.

    ho-ho maaf ya saya lebih kasihan dengan cara berpikir anda yang rusak, seolah setiap yang terjadi di muka bumi ini diridhai oleh Allah SWT. kalau gak paham soal Iradah tasyri’ dan Iradah takwiniyah makanya dipelajari. cara berpikir anda ini sudah dari dulu ditanggapi tapi anda tetap aja gak ngeh

    jadi maaf-maaf saja ya kalau anda kecewa dg kenyataan yg ada, moga2 saja tidak dibawa sampai mati aja kekesalan itu

    maaf ya Mas gak ada kok yang kesal disini, saya mah cuma memaparkan hadis Rasulullah SAW dan anehnya beberapa orang kok sok sewot dan kesal sampai menuduh-nuduh, biasa aja lagi :mrgreen:

    Tapi ga ada paksaan kok, benar salah itu sudah terlihat begitu terang

    tidak ada paksaan disini, yang mau mengikuti hadis Rasul SAW silakan, yang tidak mau mengikuti hadis Rasul SAW dan mencari dalih penolakan ya silakan juga. Kebenaran itu jelas tidak tergantung mahzab apapun. 🙂

  70. @antirafidhah

    dan lebih-lebih lagi Imam Ali sendiri berba’iat kepada Abu Bakar, mengakui keutamaan Abu Bakar,..

    Imam Ali menunda baiatnya jelas, yang mana menjelaskan kepada kita bahwa Imam Ali as tdk pernah mendengar isyarat atau penunjukan Abubakar sebagai pengganti Nabi saw. Jika Imam Ali as pernah mendengar isyarat ini maka bagi Imam Ali as tdk perlu menunggu waktu lama (bahkan hingga 6 bulan?) untuk melakukan baiat. Manusia di sekitar Nabi saw yg pertama2 akan melaksanakan perintah Nabi saw adalah Imam Ali as. Jangankan hanya membaiat, mengorbankan jiwanya untuk menggantikan Nabi saw pun bukan masalah. Penolakan Imam Ali as untuk membaiat kepada khalifah terpilih juga menegaskan 1 hal, yakni Imam Ali as sdh mengetahui dari Rasul saw siapa yg seharusnya menjadi pimpinan umat mukmin setelah Rasul saw wafat. Yang pasti bukanlah Abubakar.

    Salam

  71. bukti dari mana? kalau memang kaum mukminin hanya rela dengan abu bakar. Kenapa pada awalnya kaum anshar malah mau memilih pemimpin sendiri, dan kenapa ada sahabat-sahabat yang menunda baiatnya, dan kenapa perlu ada ancaman sampai mau membakar rumah Ahlul Bait. siapa nih yang sekarang parsial dalam memahami sesuatu

    Hmm.. anda sy yakin sudah membaca riwayat hadits tsb.. Rasulullah bersabda demikian kepada Aisyah dikala beliau sedang sakit menjelang wafat beliau, dan kaum Anshar belum mengetahui hadits tsb? kalau mereka mengetahui hadits tersebut pastilah mereka langsung mencari Abu Bakar dan membai’atnya, Jadi memang belum ada kesepakatan sebelumnya, semuanya terjadi dengan sendirinya (tentunya atas kehendak Allah) dan berakhir pada terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah, itulah hal yg jelas, apa yang disabdakan Rasulullah telah menjadi kenyataan, bagaimanapun prosesnya akhirnya seluruh kaum mukminin berbai’at kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali. Ingat mas yang kita bicarakan adalah peristiwa masa lalu yg sudah terjadi, sehingga lebih mudah kita memahami alurnya.

    Imam Ali menunda baiatnya, sangat jelas itu. btw kapan beliau mengakui tidak merasa mendapat wasiat kekhalifahan. hadis yang anda atau imem jadikan hujjah itu soal wasiat yang dimiliki Ahlul Bait tetapi tidak disampaikan kepada umatnya, dan memang tidak ada wasiat seperti itu. sedangkan soal kekhalifahan sudah Rasulullah SAW katakan kepada umatnya.

    Jelas sekali Imam Ali mengatakan bahwa wasiat yang diberikan Rasulullah hanya Kitabullah dan apa yang ada pada sahifah saja, lainnya tidak ada, termasuk soal kekhalifahan, dan jika ada yg mengatakan yang lain berarti dia telah berdusta atas nama Imam Ali. Maka otomatis hadits Tabuk yg menurut anda sangka adalah wasiat Rasul mengenai kekhalifahan setelah sepeninggal beliau adalah keliru, bukan demikian maksud hadits tersebut, tetapi hanya perintah kepada Imam Ali saat perang tabuk saja. Ingat Imam Ali mengatakan seperti itu dlm riwayat tsb dalam rangka membantah orang yang menganggap dia memiliki wasiat dari Rasulullah melebihi dari apa yang ada pada beliau. Kalau memang beliau memiliki wasiat spt yg anda sangkakan itu, mengapa beliau tidak memperjuangkannya pada saat yg tepat itu? jangan mendiskreditkan Imam Ali ah!

    sepengetahuan saya, Imam Ali berbai’at dua kali, yg pertama bai’at bersama kaum muslimin di hari kedua setelah meninggalnya Rasulullah dan kedua 6 bln berikutnya, yg beliau lakukan untuk menghilangkan keraguan kaum muslimin akan tetapnya loyalitas beliau kepada Abu Bakar yg hal tsb terjadi disebabkan perbedaan pandangan soal harta warisan.

    jangan parsial deh memahami, saya beri contoh nih, kalau suatu kezaliman terjadi di muka bumi ini, itu kehendak Allah SWT bukan? terus itu diridhai Allah SWT tidak?. betapa anehnya cara berpikir anda

    Rasulullah dengan jelas telah bersabda mengenai Abu Bakar, “Allah dan Kaum Mukminin hanya Ridha/Rela kepada Abu Bakar” beberapa waktu sebelum beliau wafat dan kemudian kejadian sesaat setelah Rasulullah wafat yang berkenaan dengan Abu Bakar adalah Abu Bakar dibai’at oleh kaum mukminin. tidak ada selain peristiwa tersebut yang melibatkan kaum mukminin berkenaan dg Abu Bakar. Silahkan tunjukkan jika anda menemukan peristiwa lain yang berkaitan dengan Abu Bakar yang melibatkan kaum mukminin secara massal sesaat selepas Rasulullah wafat selain pembai’atan beliau.. silahkan..

    saya tidak menafikan soal baiat, tapi dalil anda itu kalau kaum mukminin hanya rela dengan Abu Bakar, itu yang saya maksud mengada-ada. kaum muslimin mengalami perselisihan soal khalifah dimulai dari kaum anshar di saqifah sampai sahabat-sahabat di rumah sayyidah Fathimah beserta bani hasyim, nah pertanyaannya kalau memang semua kaum mukminin hanya rela kepada Abu Bakar kok gak dari awal sudah disepakati, itu maksud saya

    Siapa yang bilang disepakati? sabda Rasulullah tersebut belum sempat tersebar, dan pemilihan Abu Bakar terjadi dengan sendirinya (Atas Kehendak Allah tentunya), bahkan kalau anda membaca, Abu Bakar sendiri pun juga tidak menyangka bahwa dirinya akan terpilih menjadi khalifah, tetapi karena umat Islam mengetahui keutamaan beliau, maka hampir seluruh kaum mukminin membai’at beliau saat itu. adanya friksi2 pd awalnya adalah hal yg wajar, tetapi akhirnya seluruh kaum mukminin disatukan hatinya oleh Allah untuk berbai’at kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali. dan saya pribadi tidak setuju jika Imam Ali berbai’at secara terpaksa, itu namanya pembunuhan karakter beliau. Anda, sy yakin sudah membaca di shahih bukhari saat beliau membai’at Abu Bakar, bahkan beliau memuji Abu Bakar dan terlihat tidak ada unsur keterpaksaan atau ketidakjujuran pada ucapan beliau tersebut.

    konsisten apanya? baca tuh sejarah pada zaman Abu Bakar, khalifah Imam Ali memisahkan diri dan btw pada zaman ketiga khalifah Imam Ali tidak satupun aktif mengikuti perperangan ataupun menjadi pejabat pemerintah.

    Kata siapa mas, sepengetahuan saya Imam Ali pun aktif membantu dalam perang Riddah yg dipimpin oleh Abu Bakar, bahkan beliau mendapatkan istri yang bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais yang berasal dari Bani Hanifah, dia ditawan oleh Khalid bin Walid dlm perang Riddah dan kemudian diberikan kepada Ali bin Abi Thalib, darinya Imam Ali mempunyai Putra bernama Muhammad Al-Akbar (Muhammad bin Al-Hanafiyah). Ini bukti yg nyata, kalau beliau mendukung apa yg dilakukan Abu Bakar saat itu.

    Kemudian pada masa Umar, beliau pernah menjadi khalifah di Madinah saat ditinggal pergi oleh Umar ke Baitul Maqdis. dll

    Allahu A’lam bishowab.

  72. Menurut nabi kami syekh Albani….hadits ini tdk benar dan tdk kuat…apalagi pada kata “Khalifah setelah kami” ini sangat tdk shohih,,,

    jadi ente mau percaya Rasulullah apa nabi kami Syaikh Albani
    @ Sp….

  73. @antirafidhah

    Hmm.. anda sy yakin sudah membaca riwayat hadits tsb.. Rasulullah bersabda demikian kepada Aisyah dikala beliau sedang sakit menjelang wafat beliau, dan kaum Anshar belum mengetahui hadits tsb? kalau mereka mengetahui hadits tersebut pastilah mereka langsung mencari Abu Bakar dan membai’atnya, Jadi memang belum ada kesepakatan sebelumnya, semuanya terjadi dengan sendirinya (tentunya atas kehendak Allah) dan berakhir pada terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah, itulah hal yg jelas, apa yang disabdakan Rasulullah telah menjadi kenyataan, bagaimanapun prosesnya akhirnya seluruh kaum mukminin berbai’at kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali. Ingat mas yang kita bicarakan adalah peristiwa masa lalu yg sudah terjadi, sehingga lebih mudah kita memahami alurnya.

    Coba deh anda perhatikan dengan seksama soal hadis yang anda jadikan hujjah, apakah ada dari hadis tersebut keterangan kalau yang dibicarakan itu berkaitan dengan kekhalifahan. Saya rasa anda juga tahu kan hadis lain yang memuat lafaz “Allah dan kaum mukminin tidak rela” dan itu berkaitan dengan Imam shalat. Jadi hadis yang anda jadikan hujjah itu gak bisa sekenanya anda masukkan sebagai hujjah buat kekhalifahan justru hadis tersebut lebih tepat dikatakan berkaitan dengan imam shalat.

    Jelas sekali Imam Ali mengatakan bahwa wasiat yang diberikan Rasulullah hanya Kitabullah dan apa yang ada pada sahifah saja, lainnya tidak ada, termasuk soal kekhalifahan,

    Yang dimaksud tidak ada wasiat oleh Imam Ali adalah wasiat yang diberikan atau dititipkan kepada Ahlul bait yang belum disampaikan kepada manusia. Jelas tidak ada wasiat yang seperti itu yang dititipkan pada Ahlul Bait. mengenai kekhalifahan hadis-hadisnya telah disampaikan Rasul SAW kepada umatnya. seperti yang saya sebutkan

    1. Hadis Khalifah setelahKu di tulisan saya di atas
    2. Hadis Tsaqalain dengan matan Khalifah
    3. Hadis Pemimpin setelahKu

    Kalau anda tidak sependapat ya silakan, saya sudah menampilkan hadisnya dan anda juga sudah menyampaikan penolakan anda 🙂

    dan jika ada yg mengatakan yang lain berarti dia telah berdusta atas nama Imam Ali.

    benar jika ada yang mengatakan Ahlul bait menyimpan wasiat lain yang tidak disampaikan kepada manusia maka dia telah berdusta berdasarkan hadis tersebut.

    Maka otomatis hadits Tabuk yg menurut anda sangka adalah wasiat Rasul mengenai kekhalifahan setelah sepeninggal beliau adalah keliru,

    Sudah ditanggapi dalam tulisan saya di atas, keliru atau tidak harus ada buktinya, tidak dengan mudah mengklaim.

    bukan demikian maksud hadits tersebut, tetapi hanya perintah kepada Imam Ali saat perang tabuk saja.

    Silakan perhatikan teksnya hadisnya, jika memang terbatas pada saat perang Tabuk, lafaz hadisnya tidak akan seperti itu. Itulah gunanya memahami hadis dengan baik bukan dengan prakonsepsi pribadi

    Ingat Imam Ali mengatakan seperti itu dlm riwayat tsb dalam rangka membantah orang yang menganggap dia memiliki wasiat dari Rasulullah melebihi dari apa yang ada pada beliau.

    Tidak ada masalah, soal Imam Ali sebagai khalifah itu sudah disampaikan Rasulullah SAW sendiri kepada Umatnya

    Kalau memang beliau memiliki wasiat spt yg anda sangkakan itu, mengapa beliau tidak memperjuangkannya pada saat yg tepat itu? jangan mendiskreditkan Imam Ali ah!

    memperjuangkan yang anda maksud itu harus seperti apa?. Imam Ali adalah pemimpin setelah Nabi kalau orang-orang tidak mau dan mencari pemimpin lain ya pertanggungjawaban ada pada mereka. Saya yakin Imam Ali bukan orang yang harus menurut kehendak anda atau siapa saja bahwa beliau harus mengangkat senjata atau harus berteriak-teriak di keramaian. Imam Ali lebih memikirkan persatuan Umat dan keutuhan agama Islam.

    sepengetahuan saya, Imam Ali berbai’at dua kali, yg pertama bai’at bersama kaum muslimin di hari kedua setelah meninggalnya Rasulullah dan kedua 6 bln berikutnya, yg beliau lakukan untuk menghilangkan keraguan kaum muslimin akan tetapnya loyalitas beliau kepada Abu Bakar yg hal tsb terjadi disebabkan perbedaan pandangan soal harta warisan.

    Memangnya kalau terjadi perbedaan pandangan maka harus ada baiat kedua kalinya. baiat yang benar adalah setelah 6 bulan. Dalam Shahih Bukhari hadis riwayat Aisyah yang tampak jelas dari teks hadisnya baiat setelah 6 bulan adalah baiat yang pertama. Menjadikan itu sebagai baiat kedua malah bertentangan dengan hadis Aisyah itu sendiri.

    Rasulullah dengan jelas telah bersabda mengenai Abu Bakar, “Allah dan Kaum Mukminin hanya Ridha/Rela kepada Abu Bakar” beberapa waktu sebelum beliau wafat dan kemudian kejadian sesaat setelah Rasulullah wafat yang berkenaan dengan Abu Bakar adalah Abu Bakar dibai’at oleh kaum mukminin. tidak ada selain peristiwa tersebut yang melibatkan kaum mukminin berkenaan dg Abu Bakar.

    Hadis yang anda maksud berkaitan dengan Imam shalat, nah itulah yang shahih

    Silahkan tunjukkan jika anda menemukan peristiwa lain yang berkaitan dengan Abu Bakar yang melibatkan kaum mukminin secara massal sesaat selepas Rasulullah wafat selain pembai’atan beliau.. silahkan..

    Gak ada hubungannya, mengapa saya harus menuruti cara berpikir anda. poin saya itu sudah saya jelaskan bahwa hadis yang anda maksud berkaitan dengan Imam shalat.

    Siapa yang bilang disepakati? sabda Rasulullah tersebut belum sempat tersebar, dan pemilihan Abu Bakar terjadi dengan sendirinya (Atas Kehendak Allah tentunya), bahkan kalau anda membaca, Abu Bakar sendiri pun juga tidak menyangka bahwa dirinya akan terpilih menjadi khalifah, tetapi karena umat Islam mengetahui keutamaan beliau,

    Kalau anda membaca hadis Saqifah dengan benar maka baiat terhadap Abu Bakar bukan karena sepakat akan keutamaan buktinya bahkan setelah Abu Bakar datang, terdapat sahabat Anshar yang mangatakan untuk mengangkat pemimpin masing-masing bagi Anshar dan Muhajirin. baiat tersebut terjadi terburu-buru atau apa ya istilahnya faltah kali :mrgreen:

    maka hampir seluruh kaum mukminin membai’at beliau saat itu. adanya friksi2 pd awalnya adalah hal yg wajar, tetapi akhirnya seluruh kaum mukminin disatukan hatinya oleh Allah untuk berbai’at
    kepada Abu Bakar termasuk Imam Ali.

    jika sebagian orang sudah membaiat seseorang maka kewajiabn sebagian orang yang lain adalah mengikuti baiat tersebut tidak ada pilihan buat mereka kecuali mereka akan diperangi. jadi friksi yang ada tidak akan ada artinya jika baiat sudah diberikan, kalau mau dipaksakan ya bisa pertentangan yang besar yang kayaknya tidak diinginkan semua sahabat pada saat itu.

    dan saya pribadi tidak setuju jika Imam Ali berbai’at secara terpaksa, itu namanya pembunuhan karakter beliau.

    siapa yang bilang begitu?. justru yang harus anda perhatikan adalah mengapa peristiwa baiat membaiat itu sampai menimbulkan ancaman pembakaran rumah Ahlul Bait. Mana mungkin yang begini dianggap remeh kecuali orang yang gak ada cinta di hatinya kepada Ahlul bait.

    Anda, sy yakin sudah membaca di shahih bukhari saat beliau membai’at Abu Bakar, bahkan beliau memuji Abu Bakar dan terlihat tidak ada unsur keterpaksaan atau ketidakjujuran pada ucapan beliau tersebut.

    Itu kan yang terjadi 6 bulan :mrgreen:

    Kata siapa mas, sepengetahuan saya Imam Ali pun aktif membantu dalam perang Riddah yg dipimpin oleh Abu Bakar,

    Karena anda yang menampilkan dan berhujjah dengannya maka tugas andalah untuk menampilkan sumber dan kebenaran kisah ini. Apa benar Imam Ali aktif membantu perang Riddah? :mrgreen:

    . Ini bukti yg nyata, kalau beliau mendukung apa yg dilakukan Abu Bakar saat itu.

    Anda belum membuktikan apapun, itu baru kata anda saja, silakan dibuktikan 🙂

    Kemudian pada masa Umar, beliau pernah menjadi khalifah di Madinah saat ditinggal pergi oleh Umar ke Baitul Maqdis. dll

    Nah yang ini juga silakan dibuktikan dulu, insya Allah baru ditanggapi.

    @bob

    Menurut nabi kami syekh Albani….hadits ini tdk benar dan tdk kuat…apalagi pada kata “Khalifah setelah kami” ini sangat tdk shohih,,,

    jadi ente mau percaya Rasulullah apa nabi kami Syaikh Albani

    Maaf saja ya Mas, saya percaya kepada Rasulullah SAW, nabi-nabi palsu ke laut aja deh :mrgreen:

  74. semakin lama semakin terlihat lemah hujjah anda SP 😆

    Coba deh anda perhatikan dengan seksama soal hadis yang anda jadikan hujjah, apakah ada dari hadis tersebut keterangan kalau yang dibicarakan itu berkaitan dengan kekhalifahan. Saya rasa anda juga tahu kan hadis lain yang memuat lafaz “Allah dan kaum mukminin tidak rela” dan itu berkaitan dengan Imam shalat. Jadi hadis yang anda jadikan hujjah itu gak bisa sekenanya anda masukkan sebagai hujjah buat kekhalifahan justru hadis tersebut lebih tepat dikatakan berkaitan dengan imam shalat.

    terpaksa saya harus tertawa 😆 Untuk hadits2 ttg Imam Shalat berbeda dg hadits dari Aisyah mengenai wasiat, Rasulullah langsung menunjuk Abu Bakar menjadi Imam Shalat dihadapan beberapa sahabat dan istrinya dengan tegas, bukan lagi bersifat isyarat atau berbentuk wasiat yg akan ditulis, tetapi merupakan perintah langsung yg keras. karena hal tsb, kedua istri beliau pun beliau tegur, ketika Umar maju menjadi Imam Shalat, beliau marah dan keluarlah sabda beliau tersebut. Maka keinginan yang kuat dari Rasulullah supaya Abu Bakar menggantikan posisinya sebagai Imam Salat di Masjid beliau adalah salah satu isyarat yg lain tentang kepemimpinan Abu Bakar, karena selama Rasulullah masih sehat dan berada di Madinah, yang memimpin shalat di Masjid An-Nabawi adalah beliau sendiri, maka jika beliau menunjuk seseorang menggantikan kedudukan beliau sebagai imam shalat di Masjid beliau sendiri di saat menjelang wafatnya adalah merupakan isyarat yg jelas isyarat penunjukkan beliau thd seseorang tsb untuk menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin umat selepas beliau, dan ternyata kenyataan Abu Bakar memang menjadi khalifah selepas wafatnya beliau.

    sebagaimana Imam Ali sendiri berkata mengenai hal ini :
    ”… Maka kami memilih untuk urusan dunia kami
    orang yang telah kami pilih untuk urusan agama kami. Shalat adalah pokok Islam,
    adalah komandan agama dan tiang agama. Oleh sebab itulah kami membaiat Abu
    Bakar, sebab dia memang pantas untuk memikul tugas itu…” (Diriwayatkan oleh
    Ibnu Asakir)

    Berbeda dengan hadits dari Aisyah, Rasulullah baru meminta menulis wasiat untuk Abu Bakar agar tidak ada yg berkeinginan dan yg lain mengatakan lebih berhak, tetapi tampaknya urung niat beliau tersebut dan beliau bersabda bahwa “Allah dan Kaum Mukminin hanya ridha kepada Abu Bakar”.

    baik kita coba lihat kembali hadits yang dibawakan oleh saudara kembali ke aqidah yg benar, ttg perkataan Abbas kepada Ali :

    Ayo kita masuk kepada Rasulullah SAW dan menanyakan kepada beliau siapa yang akan
    memerintah? Apabila diserahkan kepada kita, maka kita akan tahu dan kalau kepada orang lain pun kita akan tahu, atau kita minta agar beliau mewasiatkan kepada kita.” Sayyidina Ali menjawab: ”Demi Allah, apabila kita meminta hal ini kepada Rasulullah SAW, dan ternyata beliau menolaknya, maka orang-orang
    selamanya tidak akan memberikan posisi itu kepada kita. Demi Allah, aku tidak akan meminta hal itu kepada Rasulullah SAW.” (HR Imam Bukhari)

    Jadi untuk masalah kepemimpinan (khilafah), sudah lazim adanya wasiat, baik wasiat utk ahlul bait, jika memang Rasul menunjuk Ahlul Bait atau wasiat untuk salah seorang sahabatnya jika beliau menunjuk salah satu sahabatnya sebagai pemimpin selepas beliau (dr hadits itu saja sdh terlihat dg jelas bahwa Rasulullah belum memberikan wasiat kepada siapapun, ntah itu ahlul bait ataupun sahabat), sehingga jelaslah bahwa wasiat yg akan ditulis Rasulullah kepada Abu Bakar bukanlah soal Imam Shalat, karena soal Imam Shalat, beliau sudah menunjuk dengan tegas akan hal tsb secara langsung.

    Maka tinggal satu lagi yg paling kuat, bahwa wasiat tsb adalah soal pengganti beliau dan ternyata Rasulullah memilih untuk membiarkan saja hal tersebut dan hanya bersabda kepada Aisyah : “Allah dan Kaum Mukminin hanya ridha kepada Abu Bakar” artinya beliau membiarkan saja hal tersebut tanpa wasiat/penunjukkan langsung, karena beliau mengetahui Allah dan kaum mukminin bakal menghendaki Abu Bakar yg menjadi pemimpin selepas beliau. dan terbukti peristiwa besar selepas beliau wafat yang berkaitan dengan Abu Bakar dan melibatkan kaum mukminin adalah peristiwa pembai’atan Abu Bakar oleh Kaum Mukminin. Shadaqa Rasul Shalallahu alaihi wasallam.

    Yang dimaksud tidak ada wasiat oleh Imam Ali adalah wasiat yang diberikan atau dititipkan kepada Ahlul bait yang belum disampaikan kepada manusia.

    Memangnya Kitabullah adalah wasiat yang belum disampaikan kepada manusia? kenapa masih beliau sebutkan juga di situ? :mrgreen:

    Tidak ada masalah, soal Imam Ali sebagai khalifah itu sudah disampaikan Rasulullah SAW sendiri kepada Umatnya

    Ya masalah lah.. karena Imam Ali sendiri mengatakan dusta pada org mengatakan bahwa beliau mempunyai wasiat dari Rasul selain Kitabullah dan sahifah miliknya dan kalau benar hadits2 di atas adlah salah satu wasiat Rasulullah kepada beliau, pastilah beliau menyebutkannya juga saat itu.. berarti memang beliau tidak menganggap hadits2 yg anda sebutkan itu adalah wasiat.

    Anda, sy yakin sudah membaca di shahih bukhari saat beliau membai’at Abu Bakar, bahkan beliau memuji Abu Bakar dan terlihat tidak ada unsur keterpaksaan atau ketidakjujuran pada ucapan beliau tersebut.

    Itu kan yang terjadi 6 bulan :mrgreen:

    Apa maksud anda? apakah Imam Ali berubah pendirian stlh 6 bulan? dan apa yg beliau katakan adalah pura2? yang bener aja Mas.. :mrgreen:

    Anda belum membuktikan apapun, itu baru kata anda saja, silakan dibuktikan

    Lho silahkan anda bisa baca riwayat mengenai istri2 dan anak2 Imam Ali, diantaranya adalah Khaulah binti Ja’far bin Qais yang merupakan tawanan Khalid bin Walid pada perang Riddah yang kemudian diserahkan kepada Imam Ali. lihat ath-thabaqat Al-Kubra, 3/19-20 dan tarikh ath-Thabari, 5/153-155

    Yang artinya Imam Ali tidak memisahkan diri sebagaimana anggapan anda, dan dengan dia menerima tawanan tersebut menjadi istrinya, menunjukkan bahwa waktu itu beliaupun aktif berhubungan dengan Abu Bakar dan juga Khalid bin Walid dalam perang Riddah tsb. Masak beliau mau menerima tawanan dr perang Riddah sebagai istrinya tetapi tidak mendukung perang tersebut?

    Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Abu Bakar mengimami shalat Ashar beberapa malam setelah Rasulullah wafat, kemudian ia keluar dari Masjid dan bertemu dengan al-Hasan bin Ali sedang bermain bersama anak-anak, maka Abu Bakar menggendongnya sembari berkata, “Sungguh mirip dengan Nabi, tidak mirip dengan Ali”, sementara Ali tertawa melihatnya. (Shahih Bukhari, Kitab Al-Manaqib, hadits no. 3750)

    Jelas menunjukkan bahwa Imam Ali tidak memisahkan diri saat pemerintahan Abu Bakar.

  75. @antirafidhah

    semakin lama semakin terlihat lemah hujjah anda SP

    jujur aja deh, sejak kapan anda pernah menganggap kuat hujjah-hujjah saya. hadis seshahih apapun saja bisa anda tolak apalagi perkataan saya :mrgreen:

    terpaksa saya harus tertawa 😆 Untuk hadits2 ttg Imam Shalat berbeda dg hadits dari Aisyah mengenai wasiat,

    justru yang patut ditertawakan adalah orang yang berhujjah dengan angan-angannya sendiri sambil mencatut hadis, padahal hadis tersebut tidak memuat lafaz yang menjadi hujjahnya. Simpel saja Mas, sejauh ini anda tidak bisa menunjukkan bagian mana dari hadis tersebut yang memuat lafaz kekhalifahan. Tidak bisa makanya mengada-ada ya :mrgreen:

    Rasulullah langsung menunjuk Abu Bakar menjadi Imam Shalat dihadapan beberapa sahabat dan istrinya dengan tegas, bukan lagi bersifat isyarat atau berbentuk wasiat yg akan ditulis, tetapi merupakan perintah langsung yg keras. karena hal tsb, kedua istri beliau pun beliau tegur, ketika Umar maju menjadi Imam Shalat, beliau marah dan keluarlah sabda beliau tersebut.

    Nah kalau memang begitu ya benar hadis itu berkaitan dengan Imam shalat. Hadis yang samar harus dirujukkan pada hadis yang jelas bukannya mengada-ada 😛

    Maka keinginan yang kuat dari Rasulullah supaya Abu Bakar menggantikan posisinya sebagai Imam Salat di Masjid beliau adalah salah satu isyarat yg lain tentang kepemimpinan Abu Bakar,

    isyarat apa nih, saya juga bisa kok seenaknya mengatakan penunjukkan Usamah bin Zaid sebagai pemimpin kaum muslimin muhajirin dan anshar termasuk di dalamnya Abu Bakar dan Umar sebagai isyarat kekhalifahan. Akui saja Imam shalat, Pemimpin perang adalah hal yang berbeda dengan kekhalifahan :mrgreen:

    maka jika beliau menunjuk seseorang menggantikan kedudukan beliau sebagai imam shalat di Masjid beliau sendiri di saat menjelang wafatnya adalah merupakan isyarat yg jelas isyarat penunjukkan beliau thd seseorang tsb untuk menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin umat selepas beliau,

    isyarat yang mengada-ada. btw bicara soal penunjukkan kepemimpinan. Rasulullah SAW telah menyerahkan kepemimpinan dalam hal agama kepada Ahlul bait (merujuk pada hadis Tsaqalain yang anda takwilkan seenaknya), disitu Rasulullah SAW berwasiat kepada semua sahabat (termasuk Abu Bakar) agar mengikuti Ahlul Bait agar tidak sesat. Tidak ada yang lebih jelas dari itu. 🙂

    sebagaimana Imam Ali sendiri berkata mengenai hal ini :
    ”… Maka kami memilih untuk urusan dunia kami
    orang yang telah kami pilih untuk urusan agama kami. Shalat adalah pokok Islam,
    adalah komandan agama dan tiang agama. Oleh sebab itulah kami membaiat Abu
    Bakar, sebab dia memang pantas untuk memikul tugas itu…” (Diriwayatkan oleh
    Ibnu Asakir)

    silakan buktikan dulu validitas riwayat anda ini, jangan cuma asal kupipes. Setiap orang bisa kok membawa ribuan dalil kalau cuma menulis dengan gaya anda begitu.

    Berbeda dengan hadits dari Aisyah, Rasulullah baru meminta menulis wasiat untuk Abu Bakar agar tidak ada yg berkeinginan dan yg lain mengatakan lebih berhak, tetapi tampaknya urung niat beliau tersebut dan beliau bersabda bahwa “Allah dan Kaum Mukminin hanya ridha kepada Abu Bakar”.

    logikanya kok tambah kacau. Kalau wasiat yang anda maksud itu soal kekhalifahan maka seharusnya wasiat itu disampaikan ke orang-orang atau kalau tidak ya benar-benar dituliskan. Tindakan Rasul SAW yang tidak jadi menuliskannya itu berarti berkaitan dengan sesuatu yang sudah Rasul SAW katakan yaitu berkaitan dengan imam shalat. lucunya hadis wasiat gaya anda ini tidak pernah dijadikan hujjah oleh satu orang sahabatpun ketika mereka berselisih soal kekhalifahan.

    Jadi untuk masalah kepemimpinan (khilafah), sudah lazim adanya wasiat, baik wasiat utk ahlul bait, jika memang Rasul menunjuk Ahlul Bait atau wasiat untuk salah seorang sahabatnya jika beliau menunjuk salah satu sahabatnya sebagai pemimpin selepas beliau (dr hadits itu saja sdh terlihat dg jelas bahwa Rasulullah belum memberikan wasiat kepada siapapun, ntah itu ahlul bait ataupun sahabat), sehingga jelaslah bahwa wasiat yg akan ditulis Rasulullah kepada Abu Bakar bukanlah soal Imam Shalat, karena soal Imam Shalat, beliau sudah menunjuk dengan tegas akan hal tsb secara langsung.

    Kalau memang butuh wasiatnya, mana wasiat yang dituliskan itu?. Sadar gak sih kalau anda ini hanya berhujjah dengan asumsi anda sendiri. Anda hanya mengatasnamakan hadis padahal hadisnya sendiri menentang asumsi anda. Hadisnya tidak ada bicara soal khalifah eh anda memasukkan seenaknya kata khalifah. Hadisnya menunjukkan Rasul SAW tidak jadi menulis wasiat eh anda bilang dalam soal khalifah sudah lazim adanya wasiat. Kalau memang perlu kok gak ditulis 🙂

    Maka tinggal satu lagi yg paling kuat, bahwa wasiat tsb adalah soal pengganti beliau dan ternyata Rasulullah memilih untuk membiarkan saja hal tersebut dan hanya bersabda kepada Aisyah : “Allah dan Kaum Mukminin hanya ridha kepada Abu Bakar”

    Maksa nih, satu yang paling kuat menurut anda itu ya satu-satunya yang ada dalam pikiran anda, makanya wajar kalau anda bilang paling kuat :mrgreen:

    artinya beliau membiarkan saja hal tersebut tanpa wasiat/penunjukkan langsung, karena beliau mengetahui Allah dan kaum mukminin bakal menghendaki Abu Bakar yg menjadi pemimpin selepas beliau.

    Palsu ah, gampang saja nih seperti yang saya katakan sebelumnya kalau kaum mukminin hanya ridha dengan abu bakar maka mengapa kaum Anshar sibuk berkumpul di Saqifah untuk mengangkat pemimpin sendiri. Kayaknya mereka gak seperti anda ya, yang memahami bahwa Abu Bakar sebagai Imam itu isyarat bagi khalifah buktinya mereka (kalau memang ikut) kan berhari-hari sudah mengikut Abu Bakar sebagai Imam kok masih aja tuh berkumpul di Saqifah untuk mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri :mrgreen:

    Memangnya Kitabullah adalah wasiat yang belum disampaikan kepada manusia? kenapa masih beliau sebutkan juga di situ?

    makanya baca hadis jangan parsial,kumpulkan dulu semua hadis yang bicara soal itu, inysa Allah akan saya buat postingan khusus tentang itu 🙂

    Ya masalah lah.. karena Imam Ali sendiri mengatakan dusta pada org mengatakan bahwa beliau mempunyai wasiat dari Rasul selain Kitabullah dan sahifah miliknya

    Rasul SAW sudah berwasiat pada umatnya kok, itu tuh di ghadir kum, wasiatnya bukan khusus pada Imam Ali tetapi kepada umatnya. mau menolak ya silakan.

    Rasulullah kepada beliau, pastilah beliau menyebutkannya juga saat itu.. berarti memang beliau tidak menganggap hadits2 yg anda sebutkan itu adalah wasiat.

    Rasulullah SAW sudah menyebutkannya kok, diantaranya di ghadir kum perihal hadis Tsaqalain.

    Apa maksud anda? apakah Imam Ali berubah pendirian stlh 6 bulan? dan apa yg beliau katakan adalah pura2? yang bener aja Mas.

    Pahami komentar orang dengan baik, yang saya maksud baiat itu terjadi setelah 6 bulan. :mrgreen:

    Lho silahkan anda bisa baca riwayat mengenai istri2 dan anak2 Imam Ali, diantaranya adalah Khaulah binti Ja’far bin Qais yang merupakan tawanan Khalid bin Walid pada perang Riddah yang kemudian diserahkan kepada Imam Ali. lihat ath-thabaqat Al-Kubra, 3/19-20 dan tarikh ath-Thabari, 5/153-155

    Ah ini bukti kalau anda tidak memahami komentar saya sebelumnya, yang saya minta bukti itu soal imam Ali aktif di perang Riddah? bukannya yang sampean tulis barusan :mrgreen:

    Yang artinya Imam Ali tidak memisahkan diri sebagaimana anggapan anda, dan dengan dia menerima tawanan tersebut menjadi istrinya, menunjukkan bahwa waktu itu beliaupun aktif berhubungan dengan Abu Bakar dan juga Khalid bin Walid dalam perang Riddah tsb. Masak beliau mau menerima tawanan dr perang Riddah sebagai istrinya tetapi tidak mendukung perang tersebut?

    jangan mengada-ada deh Mas, memangnya kalau Imam Ali menerima pemberian khalifah itu berarti Imam Ali ikut berperang?. logika dari mana 🙄

    Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Abu Bakar mengimami shalat Ashar beberapa malam setelah Rasulullah wafat, kemudian ia keluar dari Masjid dan bertemu dengan al-Hasan bin Ali sedang bermain bersama anak-anak, maka Abu Bakar menggendongnya sembari berkata, “Sungguh mirip dengan Nabi, tidak mirip dengan Ali”, sementara Ali tertawa melihatnya. (Shahih Bukhari, Kitab Al-Manaqib, hadits no. 3750)

    Jelas menunjukkan bahwa Imam Ali tidak memisahkan diri saat pemerintahan Abu Bakar.

    .

    lucunya hadis Bukhari no 3750 matannya gak sama dengan apa yang anda kutip, gak ada tuh keterangan soal shalat ashar kemudian beberapa malam terus keluar masjid, anda kupipes dari mana? 🙄 Yang saya maksud memisahkan diri bukannya tidak keluar-keluar dari rumah, tapi tidak ikut aktif dalam pemerintahan Abu Bakar 😆

  76. justru yang patut ditertawakan adalah orang yang berhujjah dengan angan-angannya sendiri sambil mencatut hadis, padahal hadis tersebut tidak memuat lafaz yang menjadi hujjahnya. Simpel saja Mas, sejauh ini anda tidak bisa menunjukkan bagian mana dari hadis tersebut yang memuat lafaz kekhalifahan. Tidak bisa makanya mengada-ada ya

    Tidak juga, emang seluruh sunni berangan-angan? kyknya anda dech yang berangan-angan dg hadits yg jelas tidak menunjukkan kekhalifahan Imam Ali setelah wafatnya Rasulullah, Imam Ali saja tidak merasa kok anda tetep ngotot memakainya 😆 makanya jangan tekstual kalau memahami hadits lihat yg lainnya dunk :mrgreen:

    Kalau memang butuh wasiatnya, mana wasiat yang dituliskan itu?. Sadar gak sih kalau anda ini hanya berhujjah dengan asumsi anda sendiri. Anda hanya mengatasnamakan hadis padahal hadisnya sendiri menentang asumsi anda. Hadisnya tidak ada bicara soal khalifah eh anda memasukkan seenaknya kata khalifah. Hadisnya menunjukkan Rasul SAW tidak jadi menulis wasiat eh anda bilang dalam soal khalifah sudah lazim adanya wasiat. Kalau memang perlu kok gak ditulis

    Tampak sekali anda ga paham dan ga membaca seluruh komentar saya :mrgreen:

    Palsu ah, gampang saja nih seperti yang saya katakan sebelumnya kalau kaum mukminin hanya ridha dengan abu bakar maka mengapa kaum Anshar sibuk berkumpul di Saqifah untuk mengangkat pemimpin sendiri. Kayaknya mereka gak seperti anda ya, yang memahami bahwa Abu Bakar sebagai Imam itu isyarat bagi khalifah buktinya mereka (kalau memang ikut) kan berhari-hari sudah mengikut Abu Bakar sebagai Imam kok masih aja tuh berkumpul di Saqifah untuk mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri

    Tapi kan yang penting finally mereka semua berbai’at termasuk Imam Ali, hal itu jelas bukti nyata bahwa Allah telah menyatukan hati2 mereka.. itulah kenyataan yg ada.. mau gimana lagi…terima saja lah.. Imam Ali saja menerima kok, anda kok menolak gmn tuch :mrgreen:

    makanya baca hadis jangan parsial,kumpulkan dulu semua hadis yang bicara soal itu, inysa Allah akan saya buat postingan khusus tentang itu

    Silahkan.. bisa ditebak kok :mrgreen: seperti biasa.. paling2 jg asumsi & apologi lagi.. sami mawon… 😆

    Rasul SAW sudah berwasiat pada umatnya kok, itu tuh di ghadir kum, wasiatnya bukan khusus pada Imam Ali tetapi kepada umatnya. mau menolak ya silakan.

    Lha kok Imam Ali ga merasa ya? aneh? bahkan sama Abbas beliau hendak menanyakan lagi? :mrgreen:

    Rasulullah SAW sudah menyebutkannya kok, diantaranya di ghadir kum perihal hadis Tsaqalain

    komentar idem ama di atas :mrgreen:

    Ah ini bukti kalau anda tidak memahami komentar saya sebelumnya, yang saya minta bukti itu soal imam Ali aktif di perang Riddah? bukannya yang sampean tulis barusan

    memang Imam Ali bukanlah salah seorang yang ditunjuk sebagai panglima dalam perang Riddah, tetapi keaktifan beliau dan interaksi beliau dengan Abu Bakar dan sahabat yang lain spt misalnya Khalid bin Walid panglima dalam perang Riddah tersebut, terlihat jelas dengan dia mendapatkan istri dari tawanan perang Riddah.. ga bisa dipungkiri hal tsb.. artinya imam Ali masih aktif tidak memisahkan diri dari pemerintahan Abu Bakar itu saja.. :mrgreen: maka asumsi anda lah yang perlu dikoreksi.. 😆

  77. @antirafidhah

    Tidak juga, emang seluruh sunni berangan-angan?

    logika macam apa itu, orang lain mah enak juga bilang , emang seluruh syiah berangan-angan? :mrgreen:

    kyknya anda dech yang berangan-angan dg hadits yg jelas tidak menunjukkan kekhalifahan Imam Ali setelah wafatnya Rasulullah,

    hadisnya shahih dan berlafaz jelas 🙂

    Imam Ali saja tidak merasa kok anda tetep ngotot memakainya 😆 makanya jangan tekstual kalau memahami hadits lihat yg lainnya dunk

    Imam Ali justru mengakui kepemimpinannya kok itu tertera dalam hadis shahih. situ aja yang gak lihat hadis lainnya :mrgreen:

    Tampak sekali anda ga paham dan ga membaca seluruh komentar saya

    maaf tapi anda yang sebenarnya gak paham logika anda yang rusak, hadis yang gak bicara soal khalifah eh dijadikan dalil soal kekhalifahan 😛

    Tapi kan yang penting finally mereka semua berbai’at termasuk Imam Ali, hal itu jelas bukti nyata bahwa Allah telah menyatukan hati2 mereka..

    situ kagak ngerti nih, padahal sudah saya jelaskan berulang-ulang. perselisihan sahabat soal siapa yang akan jadi khalifah menunjukkan bahwa lafaz “Allah dan kaum mukminin hanya rela dengan” bukan bicara soal khalifah tetapi soal imam shalat. Lucunya hadis imam shalat yang menurut anda isyarat bagi khalifah tidak dipahami oleh kaum Anshar. Mereka bukannya menunggu-nunggu untuk membaiat Abu Bakar malah sibuk mengangkat pemimpin sendiri di Saqifah. Kalau Abu Bakar gak datang, pemimpinnya udah dibaiat kali oleh kaum Anshar :). perhatikan kata-kata saya sebelumnya “jika sebagian sahabat sudah membaiat seseorang maka sebagian sahabat lain yang belum membaiat harus memberikan baiatnya jika tidak akan diperangi” makanya dalam peristiwa baiat-membaiat itu perselisihannya begitu besar sampai mau mengancam membakar rumah Ahlul Bait.

    Silahkan.. bisa ditebak kok :mrgreen: seperti biasa.. paling2 jg asumsi & apologi lagi.. sami mawon…

    ah itu mah kerja sampean atau imem, kita lihat saja nanti lafaz hadisnya menentang asumsi anda yang gak jelas itu :mrgreen:

    Lha kok Imam Ali ga merasa ya? aneh? bahkan sama Abbas beliau hendak menanyakan lagi?

    ho ho ho gak pernah baca ya, kalau Imam Ali ketika menjadi khalifah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang soal hadis tersebut. Artinya Imam Ali mau menjadi khalifah dengan hujjah dalil tersebut :mrgreen:

    memang Imam Ali bukanlah salah seorang yang ditunjuk sebagai panglima dalam perang Riddah,

    lho terus kata-kata anda yang ini

    Kata siapa mas, sepengetahuan saya Imam Ali pun aktif membantu dalam perang Riddah yg dipimpin oleh Abu Bakar

    mau dikemanakan itu, mau menentang perkataan anda sendiri. kan anda yang bilang Imam Ali aktif membantu dalam perang Riddah, ditanya buktinya eh malah ngeles menentang perkataannya sendiri :mrgreen:

    artinya imam Ali masih aktif tidak memisahkan diri dari pemerintahan Abu Bakar itu saja..

    asumsi andalah yang mesti diperiksa, ditanya bukti kok malah ngelantur. terbukti Imam Ali gak ikut perang apapun di zaman Abu Bakar, nah mau bicara apa lagi 😀

  78. @ke..ke aqidah yg benar, siapapun pasti capek meladeni anda berputar putar menakwil hadits yang sudah jelas supaya artinya jadi samar,

    Saya tidak ngerti,… betul saya tidak ngerti sampai kiamatpun saya tidak akan ngerti,..ada orang yg berani menentang perkataan baginda Rasul SAW yg jelas dan shohih, hanya karena tidak sesuai dengan nafsu-nya,….

    bukan tidak punya argumen akhi, argumen seshahih apapun akan selalu dibantah dengan jurus pamungkas anda yaitu takwil.

    Jadi kesimpulannya,

    Mau ikut perkataan/perintah Rasul SAW yg jelas dan terang
    atau
    Takwil para sesembahan anda wahai KAB

    The choice is yours,……………………

  79. @ A Lee
    Allah aja ditentang Iblis apalagi Rasulullah

  80. Sy juga termasuk yg ga ngerti. Teks zahir hadits yg sdh jelas mengenai kekhalifahan ditakwilkan seenakudelnya menjadi samar-samar. Teks hadits yg ga ada hubungan dgn kekhalifahan ditakwilkan seenakperutnya menjadi masalah kekhalifahan. Waduh….semoga cara2 pemahaman hadits spt ini hanya dimiliki oleh anda2 dan segilintir manusia saja. Mohon jangan disebar2kan ke umat Islam lainnya.

    Belum lagi masalah pemilihan khalifah di Saqifah yg ditanyakan SP. Coba, masuk diakal ga kaum Anshar (yg dipuji2 AQ) memilih pengganti Nabi saw tanpa mengundang Abubakar, sementara menurut faham antirafidhah, sebagian besar umat sdh mengetahui bahwa Abubakar sebagai pengganti Nabi? Belum lagi kericuhan saat pemilihan? Belum lagi tidak adanya hujjah Abubakar mengenai penetapan beliau menjadi imam shalat? Belum lagi tdk diundangnya bani Hasyim (Imam Ali) dalam pemilihan. Belum lagi mengapa pemilihan dilakukan saat bani Hasyim (Imam Ali as) menguburkan jenazah Rasul saw? Belum lagi tidak langsungnya baiat oleh Imam Ali as?

    Mana bung yg anda bilang bukti Abubakar telah ditetapkan sebagai khalifah? Apakah anda msh tdk mengerti bahwa itu semua hanya asumsi dari pemahaman yg keliru tentang kedudukan sahabat dan kedudukan ahlulbait Nabi saw dari anda dan manhaj anda?

    Salam

  81. @All

    Menurut saya riwayat Abubakar sebagai khalifah itu hanya fatwa dari Ulama yg diperalat oleh penguasa pada zamannya yg memusuhi Ahlul Bayt saja, bukan dari hadits Rasulullah saw. Ada gitu hadits dari Rasulullah saw yg menyatakan tentang Khulafur Rasydin? mohon penjelasannya.

    Wassalam

  82. @all
    Rasulullah pernah bersabda: ” Siapa yang menyampaikan kabar/berita dan mengatakan itu dari AKU tetapi bukan dari AKU maka tunggulah Azab Allah SWT”. Wasalam

  83. @rafidhah,

    Hiiiy ngeri yah apabila menyampaikan kabar yg bukan dari Rasulullah saw, akan mendapat Azab dari Allah swt.

    Wassalam…

  84. Kayaknya sdh banyak contohnya deh kaum yg kena azab saat ini, khususnya di indonesia sendiri….maaf kalo ada yg tersinggung….
    Ya Allah Yang Maha Pemurah, kami berlindung dari segala perbuatan dan perkataan yg akan membua Mu murka hingga menimpakan Azab pd Kami …

  85. Sebenarnya Fattimah as jg hendak memperjuangkan khalifah suaminya. Pertama 2x dia menuntut tanah fadak dulu kpd Abu Bakr, k’lo tuntutannya berhasil maka ia akan menuntut khalifah suaminya. Makanya Abu Bakr tdk mau menyerahkan Fadak kpd Fatimah as sbb jika Fadak diserahkan kpd beliau, maka Fatimah as akan dtg lagi utk menuntut khalifah suaminya. Ahlul Bayt menuntut haknya dgn cara yg elegan bukan dgn pemberontakan / angkat senjata. Makanya Ali kw menolak ajakan Abu Sufyan utk memberontak.

    Wassalam…

  86. hadisnya shahih dan berlafaz jelas

    Itulah yg saya maksud anda itu tekstual dlm memahami hadits, tanpa memperhatikan asbabul wurud & hadits2 yg lain 😆

    Imam Ali justru mengakui kepemimpinannya kok itu tertera dalam hadis shahih. situ aja yang gak lihat hadis lainnya

    hoho yang itu tho.. kyknya dah ada yg jawab tuch :mrgreen:

    maaf tapi anda yang sebenarnya gak paham logika anda yang rusak, hadis yang gak bicara soal khalifah eh dijadikan dalil soal kekhalifahan

    hehehe.. jelas sekali kok logikanya dan buktinya sudah menjadi kenyataan :mrgreen:

    situ kagak ngerti nih, padahal sudah saya jelaskan berulang-ulang. perselisihan sahabat soal siapa yang akan jadi khalifah menunjukkan bahwa lafaz “Allah dan kaum mukminin hanya rela dengan” bukan bicara soal khalifah tetapi soal imam shalat. Lucunya hadis imam shalat yang menurut anda isyarat bagi khalifah tidak dipahami oleh kaum Anshar. Mereka bukannya menunggu-nunggu untuk membaiat Abu Bakar malah sibuk mengangkat pemimpin sendiri di Saqifah. Kalau Abu Bakar gak datang, pemimpinnya udah dibaiat kali oleh kaum Anshar . perhatikan kata-kata saya sebelumnya “jika sebagian sahabat sudah membaiat seseorang maka sebagian sahabat lain yang belum membaiat harus memberikan baiatnya jika tidak akan diperangi” makanya dalam peristiwa baiat-membaiat itu perselisihannya begitu besar sampai mau mengancam membakar rumah Ahlul Bait.

    Kalau anda faham yg namanya “Proses” maka anda ga akan berpemahaman spt itu, semuanya ada prosesnya ga langsung abakadabra lgsung jadi, maka friksi2 yg terjadi (kalau itu riwayatnya bener) adlh bagian dari proses.., mengenai kaum Anshar, awalnya mungkin bagi mereka belum terpikirkan mengenai keutamaan Abu Bakar, tetapi begitu Abu Bakar datang dan Umar mengingatkan keutamaan beliau, serentak mereka pun berbai’at.. itulah Finally nya.. dan peristiwa tsb bukan peristiwa yg akan dtg tetapi masa lampau yg bisa ditarik alurnya dg mudah.. gimana seh sampeyan ini :mrgreen:

    ah itu mah kerja sampean atau imem, kita lihat saja nanti lafaz hadisnya menentang asumsi anda yang gak jelas itu

    Ah ga juga ternyata… :mrgreen:

    ho ho ho gak pernah baca ya, kalau Imam Ali ketika menjadi khalifah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang soal hadis tersebut. Artinya Imam Ali mau menjadi khalifah dengan hujjah dalil tersebut

    udah ada yg ngebantah, kalau dr saya ntar ya… Insya Allah :mrgreen:

    memang Imam Ali bukanlah salah seorang yang ditunjuk sebagai panglima dalam perang Riddah,

    lho terus kata-kata anda yang ini

    Kata siapa mas, sepengetahuan saya Imam Ali pun aktif membantu dalam perang Riddah yg dipimpin oleh Abu Bakar

    mau dikemanakan itu, mau menentang perkataan anda sendiri. kan anda yang bilang Imam Ali aktif membantu dalam perang Riddah, ditanya buktinya eh malah ngeles menentang perkataannya sendiri

    Bukannya justru anda sendiri yg menentang perkataan anda sendiri :

    konsisten apanya? baca tuh sejarah pada zaman Abu Bakar, khalifah Imam Ali memisahkan diri dan btw pada zaman ketiga khalifah Imam Ali tidak satupun aktif mengikuti perperangan ataupun menjadi pejabat pemerintah.

    Padahal beliau masih berhubungan dg Abu Bakar dan juga sahabat lain, dan menurut pengertian saya mengikuti peperangan bukan berarti terjun langsung ke medan perang, tetapi berinteraksi dg Abu Bakar dan sahabat yg lain dalam aktivitas mereka. Bukti beliau mendapat istri dari tawanan perang Riddah adalah sebaik-baik bukti bahwa beliau pun ikut terlibat, at least mendukung perang yg dipimpin Abu Bakar tsb. Jadi kira2 siapa yg berasumsi? :mrgreen:

  87. @antirafidhah

    Itulah yg saya maksud anda itu tekstual dlm memahami hadits, tanpa memperhatikan asbabul wurud & hadits2 yg lain

    Gak perlu sok bicara asbabul wurud deh kalau situ gak ngerti, udah dijelasin dari dulu kok gak ngerti, dan ada banyak tuh hadis-hadis lain yang senada, situ aja yang terbiasa membelokkan makna hadis sesuai keinginannya

    Kalau anda faham yg namanya “Proses” maka anda ga akan berpemahaman spt itu, semuanya ada prosesnya ga langsung abakadabra lgsung jadi,

    Proses yang terjadi justru membuktikan kalau ada banyak pertentangan soal Abu Bakar menjadi khalifah dan itu membuktikan kalau kaum mukminin saat itu gak berpikir kayak anda kalau Imam shalat berarti isyarat kekhalifahan :mrgreen:

    maka friksi2 yg terjadi (kalau itu riwayatnya bener) adlh bagian dari proses..,

    friksinya sampe keterlaluan tuh, pakai mengancam membakar rumah Ahlul Bait, 🙄

    mengenai kaum Anshar, awalnya mungkin bagi mereka belum terpikirkan mengenai keutamaan Abu Bakar,

    jawaban model apa ini, kok bisa kaum Anshar belum terpikirkan keutamaan Abu Bakar, bukannya menurut anda Abu Bakar sahabat yang paling utama, kok kaum Anshar gak kepikiran ya, apalagi menurut anda mereka berimam kepada Abu Bakar selama beberapa hari :mrgreen:

    tetapi begitu Abu Bakar datang dan Umar mengingatkan keutamaan beliau, serentak mereka pun berbai’at..

    keutamaan yang mana, situ kok ngasal 🙂

    itulah Finally nya.. dan peristiwa tsb bukan peristiwa yg akan dtg tetapi masa lampau yg bisa ditarik alurnya dg mudah.. gimana seh sampeyan ini

    Gak nyadar ya, situ kan awalnya bilang kata-kata “Allah dan kaum mukminin gak akan rela kecuali dengan Abu Bakar” menunjukkan kekhalifahan tetapi terbukti kok ada sahabat-sahabat yang menentang baiat tersebut sampai ada ancaman membakar rumah ahlul bait, kalau memang gak akan rela kecuali dengan Abu Bakar maka ngapain pake friksi-friksian yang sampe ancam membakar rumah ahlul bait. Jadi jelas sekali kata-kata “Allah dan kaum mukminin gak akan rela kecuali dengan Abu Bakar” bukan merujuk pada kekhalifahn :mrgreen:

    udah ada yg ngebantah, kalau dr saya ntar ya… Insya Allah

    oooh jadi itu bukan anda yang membantah :mrgreen:

    Bukannya justru anda sendiri yg menentang perkataan anda sendiri :

    Memisahkan diri itu artinya tidak ikut aktif dalam pemerintahan, bandingkan saja dengan aktivitas Imam Ali di masa Rasul SAW yang hampir mengikuti setiap perperangan kecuali dalam Perang Tabuk, itu pun Imam Ali ingin ikut tetapi diperintahkan Rasul SAW untuk tinggal. udah saya bilang emangnya yang namanya memisahkan diri harus mengurung diri dalam kamar, jangan naif deh 😛

    Padahal beliau masih berhubungan dg Abu Bakar dan juga sahabat lain, dan menurut pengertian saya mengikuti peperangan bukan berarti terjun langsung ke medan perang,

    Gak nyadar ya, situ kan yang bilang sepengetahuan saya Imam Ali pun aktif membantu dalam perang Riddah yg dipimpin oleh Abu Bakar, situ bilangnya aktif membantu dalam Perang lho, lagian lucu banget mengikuti perperangan bukan berarti terjun langsung ke medan perang. Ah ternyata asumsi membuat pikiran anda jadi terbiasa rusak, mengikuti perperangan ya artinya ikut dalam perang, yah masa’ sih tidak mengerti kata-kata yang anda ucapkan sendiri :mrgreen:

  88. wuahaaa..ha ha 3x . .Telak banget pukulan Master SP
    Anda @antirafidhah, sbetulnya udah banyak K.O dr tadi.
    smakin ngoceh, salafi smakin ngawur, percis ky agamanya

  89. sengaja diangkat keatas buat reminder artikel yg baru…
    ttg inkosistensi kata min ba’dy yg dipakai oleh para ulama isbalist

  90. kejadian udah ratusan tahun lewat…sekarang tinggal mengamalkan Al-qur’an dan As-sunnah…berjuanglah agar diri kita mendapat keridlo’an Allah…contohlah Ali bin Abu Tholib…beliau aja gak ribut kok…karena semua keputusan di jaman itu (setelah masa kenabian habis) berdasarkan musyawarah…wallahu a’lam

  91. Udahlah mas, jangan keluarkan nasehat2 naif spt ini. Musyawarah yg mas banggakan hanyalah slogan kosong. Coba mas lihat di thread sebelah, keputusan Umar utk melarang Haji Tamattu’ apakah sdh bermusyawarh dgn Imam Ali yg notabene Ali adalah khalifah setelah Nabi Muhammad saw? Lagipula darimana dasar syareatnya hukum musyawarah bisa menjadi sunnah & hujjah?

    Salam

  92. ” mengenai kaum Anshar, awalnya mungkin bagi mereka belum terpikirkan mengenai keutamaan Abu Bakar.

    Kaum Anshar aja ga kepikiran tentang keutamaan Abu Bakar, padahal hidup sezaman dan berperang bersama lhooo…

    Aneh tuh….????

  93. @Abunashir
    Anda berkata: kejadian udah ratusan tahun lewat…sekarang tinggal mengamalkan Al-qur’an dan As-sunnah…berjuanglah agar diri kita mendapat keridlo’an Allah…contohlah Ali bin Abu Tholib…beliau aja gak ribut kok…karena semua keputusan di jaman itu (setelah masa kenabian habis) berdasarkan musyawarah…wallahu a’lam.
    Saya jawab:
    1. Sunah yang mana mas abunashir? Sunah yang berdasarkan riwayat/hadits yang banyak rekayasa.
    Karena kita selalu berpegang pada SUNAH maka kita perlu meneliti Sunah mana tang benar2 dari Rasul. Bukan menelan begitu saja semua yang disodorkan apalagi sudah beratus tahun yang lalu. Jadi dlm blog ini, SP selalu mengemukakan HADiTS utk dipelajari dan mencari kebenarannya.
    Atau apakah anda mengikuti hadits palsu yang akan menjerumuskan anda ke NERAKA?
    2.Contoh yang anda bawakan tentang Imam Ali as sangat jauh bedanya. Imam Ali as sangat2 mengetahui mana Sunah Rasul yang asli dan mana yang palsu. Logika tidak bisa menerima contoh anda itu.
    3.Anda pernah baca Qur’an atau tidak. Kalau pernah baca tunjukan pada saya ayat dan surah mana yang mengatakan Amirul Mukminin/Khalifah/Ulil Amri
    berdasarkan MUSYAWARAH.
    Setahu saya bahwa ialah ATAS PETUNJUK ALLAH.

  94. @ John
    Iya ya John,.. nyang hidup sejaman aja ga kepikiran,… ahh emang kalo akal dah ditelikung mah, pundak jadi keberatan doktrin/dogma.
    Wadhuuhhh… beruntungnya bisa jadi awak bahtera penyelamatan.

  95. @Abu Nashir

    Mas AN, nasihat anda cukup baik koq (hanya saja sangat standar/klise) . Seolah2 anda berprasangka bahwa kami2 tidak menjalankan AQ dan Sunnah Rasul.
    Ada 2 hal yang ingin saya sampaikan:

    1. Diskusi disini adalah bagian dari perjalanan untuk melaksanakan AQ dan Sunnah Rasul. Hanya saja kami tahu bahwa diantara begitu banyak Sunnah Rasul dan Tafsir perlu ada screening, karena bercampurnya yang sahih dan yang bukan, saya harap anda paham kaitan diskusi ini dengan melaksanakan AQ dan Sunnah Rasul.

    2. Nasihat anda ini lebih tepat jika anda sampaikan kepada saudara2 kita yang dimazhab wahabi/salafy. karena jauh sebelum ada mereka kehidupan Islam jauh lebih teduh, karena masing2 mazhab tidak terlalu jauh mencampuri urusan mazhab saudaranya yang berbeda. Berbeda dengan saudara kita dari mazhab wahabi/salafy, mereka secara aktif mengakafirkan dan menghalalkan darah saudara2nya yang berbeda dengan mereka. Sudah capek kita semua menjelaskan bahwa kita semua menjalankan AQ dan Sunnah Rasul hanya saja masing dengan penafsiran yang berbeda. kalau penafsiran yang berbeda ini dijatuhi hukuman kafir, sesat dll bukankah anda dengan mudah menilai siapa yang memecah belah dan siapa yang harus dinasihati.

    Apakah anda tahu beda orang beradab/berakal, berpendidikan dengan yang tidak dalam menyelesaikan masalah dan perbedaan? Bedanya adalah bahwa yang beradab/berakal menyelesaikan masalah/perbedaan dengan diskusi, sedangkan mereka yang tidak beradab/berakal menyelesaikan masalahnya dengan caci maki, benturan fisik dan fitnah (dimanapun mazhab mereka).
    Jadi jangan alergi dengan diskusi, walaupun juga cara diskusi akan menunjukkan juga tingkat akal dan kebereadaban seseorang.

    Salam damai.

  96. Mayoritas Umat Islam peserta ghadir kum meyakini keimamahan Ali sebagai khalifah pengganti Nabi, hanya saja mereka menolak membai’at Ali dengan berbagai alasan…‘Umar bin Khaththab, pada waktu Rasul habis berpidato di Ghadir Kum datang memberi
    selamat kepada ‘Ali sebagai pemimpin umat sesudah Rasul, akan tetapi kemudian ia ‘merampas’ kekhalifahan ‘Ali meskipun ia telah mengetahui hak ‘Ali untuk kekhalifahan

    Malapetaka terjadi bagi kaum aswaja sunni, karena mereka berpedoman pada hadis hadis Aisyah yang mengingkari wasiat Nabi nomor tiga tentang Imamah Ali…

    =====================================================
    TIGA KELOMPOK YANG MUNCUL KE PERMUKAAN, TEPAT SETELAH WAFATNYA RASUL

    tepat sesaat setelah wafatnya Rasul Allah saw ada tiga kelompok yang muncul ke permukaan yang berebut kekhalifahan, semua KELOMPOK umumnya mengakui Imam Ali sudah diangkat menjadi khalifah pengganti Nabi SAW di Ghadir Kum:

    1. Kelompok pertama terdiri dari Ali bin Abi Thalib , keluarga Banu Hasyim dan kawankawannya termasuk orang orang yang sedang berkumpul di rumah Fathimah, yakni: Salman alFarisi,Abu Dzarr alGhifari, Miqdad bin Amr, ‘Ammar bin Yasir, Zubair bin Awwam, Khuzaimah bin Tsabit, ‘Ubay bin Ka’b, Farwah bin ‘Amr, Abu Ayyub alAnshari, Utsman bin Hunaif, Sahl bin Hunaif, Khalid bin Said bin ‘Ash alAmawi serta Abu Sufyan, pemimpin Banu ‘Umayyah. Calon dari kelompok ini ialah Ali

    Rasul saw mempertahankan Ali di Madinah. Pada waktu itu Ali berusia 34 tahun.. Tindakan Rasul Allah saw mengirim pasukan Usamaha ke Suriah ialah untuk memudahkan Rasul Allah saw mengangkat Ali bin Abi Thalib menjadi pengganti beliau.

    ‘Ali berpendapat bahwa penguburan Rasul harus didahulukan dari segalagalanya….Ia merasa telah ditunjuk oleh Rasul sebagai penggantinya. Dan ia tidak menyangka akan timbul peristiwa seperti yang terjadi di Saqifah…Namun, setelah Rasul dimakamkan, hari ketiga setelah beliau wafat, agaknya ‘Ali telah mempertimbangkan untuk merebut kekuasaan

    Ali meletakkan istri (Fathimah) di punggung keledai pada malam
    hari, yaitu pada waktu Abu Bakar ashShiddiq dibaiat. Dengan menunggang keledai dan mengetuk pintupintu
    rumah para peserta Perang Badr, dan meminta
    mereka agar tidak mendukung Abu Bakar, dan agar mereka mendukung Ali.. Dan tidak ada yang menyambut kecuali empat atau lima orang.

    2. Kelompok kedua ialah kelompok kaum Anshar, yang melakukan pertemuan tersendiri di Saqifah. ‘Calon’ dari kelompok ini ialah Sa’d bin Ubadah 332 . Kelompok ini menjadi lemah tatkala sedang berlangsung perdebatan di Saqifah, karena ‘pembangkangan’ Usaid bin Hudhair, ketua Banu Aws, suku yang menjadi musuh bebuyutan sukunya, suku Khazraj. Seorang ‘pembangkang’ lainnya lagi ialah Basyir bin Sa’d, saudara misan Sa’d bin ‘Ubadah sendiri. Kedua ‘pembangkang’ ini, akan kita lihat. nanti, memegang peranan terpenting dalam memenangkan Abu Bakar. Kedudukan Sa’d bin ‘Ubadah, calon dari kaum Anshar untuk jabatan khalifah itu, menonjol. Ia memegang peranan sebagai tokoh utama kaum Anshar dalam membantu Rasul Allah saw dan melindungi Rasul Allah saw dari musuh musuh beliau kaum Quraisy jahiliah Makkah dan kaum munafik, selama sepuluh tahun. Ia turut dalam bai’atul Aqabah sebelum Rasul Allah saw hijrah ke Madinah. Dalam pembukaan Makkah, Sa’d diberi kehormatan oleh Rasul Allah saw sebagai salah satu dari empat orang pembawa panji. Karena sikapnya yang keras terhadap kaum jahiliah Quraisy, Rasul Allah saw memerintahkannya untuk menyerahkan panji itu kepada putranya, Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah. Kehormatan yang diberikan Rasul Allah saw kepada Sa’d bin ‘Ubadah ini cukup melukiskan betapa besar penghargaan Rasul Allah saw kepada tokoh kaum Anshar ini.

    Kelompok ini mengadakan rapat karena :
    -mereka takut akan dominasi kaum Quraisy dari Makkah yang mereka perangi selama sepuluh tahun terakhir, setelah mengetahui bahwa Rasul Allah saw telah wafat, segera mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah, yang terletak lima ratus meter di sebelah Barat Masjid Madinah. Kekhawatiran mereka akan dominasi kaum Quraisy Makkah yang telah mereka perangi selama sepuluh tahun terakhir.

    – mereka menganggap diri sebagai pemberi perumahan dan pelindung (iwa) dan penolong (nushrah), dan mereka melakukan hijrah.

    -Kedudukan mereka yang mayoritas, sebagai pelindung dan penolong Rasul dan kaum Muhajirin, prestasi mereka dalam mengembangkan Islam yang maju pesat di tangan mereka, dan kegagalan kaum Quraisy di Makkah, menjadi pendorong bagi mereka untuk melanjutkan peranan sebagai mesin untuk mengembangkan Islam.

    3. Kelompok ketiga ialah kelompok Umar bin Khaththab , Abu Bakar dan Abu ‘Ubaidah bin alJarrah. Dapat dimasukkan pula ke dalam kelompok ini Mughirah bin Syu’bah (ia bergabung dengan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin memerangi ‘Ali.) dan Abdurrahman bin ‘Auf ..‘Calon’ dari kelompok ini ialah Abu Bakar. Yang menyampaikan berita/ pembawa informasi tentang PERTEMUAN SAQiFAH kepada Umar adalah ‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi (Anshar).. Keduanya sangat menyintai Abu Bakar semasa Rasul masih hidup dan pada saat yang sama keduanya sangat membenci Sa’d bin ‘Ubadah, keduanya mendorong Abu Bakar dan Umar untuk mengambil kekuasaan dengan meninggalkan pertemuan kaum Anshar

    Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah ketiga tokoh ini, tanpa memberitahu kelompok Ali, pergi ke Saqifah. Bersama mereka ikut Mughirah bin Syu’bah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Salim maula Abu Hudzaifah. Mereka juga berhasil menarik tokoh yang membawahi kaum Aus, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa’d, ‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi

    Mayoritas sahabat dan Ahlul Bait (anggota anggota keluarga Rasulullah) sedang sibuk mengurus penguburan Rasulullah; tetapi minoritas sahabat memperebutkan kekuasaan dengan cara KECURANGAN (Kolusi, Nepotism dan Kolusi) untuk menjadi IMAM (pemimpin) sebagai Khalifah Rasulullah (Pengganti Utusan Tuhan).
    ===================================================

    3 WASiAT NABi

    Syura dan ijtihad bisa dilakukan dalam sejumlah hal yang tidak memuat nash di dalamnya. “Dan musyawarahilah mereka dalam urusan itu (3: 159). Adapun berkaitan dengan pemilihan kepemimpinan yang akan memimpin manusia, Allah berfirman: “Dan Tuhanmu menciptakan apa Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. (28: 68)

    Terlihat, dalam pidatonya, Abu Bakar membawa alasan bahwa kaum Quraisy lebih dekat pada Rasul, lebih dahulu masuk Islam, dan dengan demikian berhak menjadi pemimpin. Ia juga menyampaikan hadis Nabi yang mengatakan bahwa ‘Pemimpin adalah dari orang Quraisy’. Tetapi Abu Bakar tidak mengatakan bahwa Nabi menunjuknya atau memberi isyarat kepadanya untuk menjadi pemimpin. Malah di bagian lain Abu Bakar mengatakan: “Saya mengusulkan kepada kalian satu dari dua orang, terimalah siapa yang kalian senangi”. Ia kemudian mengangkat tangan ‘Umar bin Khaththab dan Abu ‘Ubaidah bin alJarrah.

    Dari pidato ini jelas bahwa Abu Bakar tidak merasa telah ditunjuk atau diisyaratkan sebagai suksesi Rasul dalam kepemimpinan umat. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pengangkatan Abu Bakar didasarkan pada ‘musyawarah’.. tulah sebabnya Ibnu Katsir mengatakan bahwa Nabi tidak menunjuk pengganti beliau. Imam Nawawi, dalam keterangannya pada Shahih Muslim, memetik perkataan Aisyah, bahwa ‘Nabi tidak menunjuk pengganti beliau’. “Dengan ini,” kata Imam Nawawi dan Abu Hasan Al Asy’ari , ‘Jelaslah bagi Ahlus Sunnah, kekhalifahan Abu Bakar bukanlah berdasarkan nash

    Bagaimana mungkin Anda mematuhi para pemimpin yang dilantik oleh Bani Umawiyah atau Bani Abbasiah lalu meninggalkan para imam yang telah dilantik oleh Rasulullah SAWW lengkap dengan jumlah nya yang 12 orang….Mencengangkan Sikap Ibnu Umar yang membai’at Yazid :

    Shahih Bukhari | No. 6744 | KITAB FITNAH-FITNAH (UJIAN/SIKSAAN)
    Dari Nafi’ (maula Ibnu Umar), dia berkata: Ketika penduduk Madinah ingin menanggalkan (menurunkan jabatan) Yazid ibn Mu’awiyah, Ibnu Umar mengumpulkan jama’ahnya dan putra-putranya, lalu di berkata: “Sungguh aku mendengar Nabi saw. bersabda: “Akan dipasang sebuah bendera bagi setiap pengkhianat pada hari kiamat”. Dan sungguh kita telah membai’atkan laki-laki (Yazid) ini atas dasar berbai’at kepad Allah dan Rasul-Nya, dan sungguh aku tidak mengetahui suatu pengkhianatan yang lebih besar dari pada bai’atnya seorang laki-laki atas dasar berbai’at kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian dia menyatakan berperang kepadanya. Dan sungguh aku tidak mengetahui seorang dari kamu yang menanggalkan dia (Yazid) dan tidak berbai’at (kepada seseorang) dalam urusan (kepemimpinan) ini kecuali adalah pemisah antara aku dengan dia (seorang dari kamu)”.

    ANEHNYA PERiNTAH NABi MEREKA CELA!!!!!
    Ketika sakit Rasulullah, beliau telah siapkan sebuah pasukan untuk
    memerangi Roma. Usamah bin Zaid yang saat itu berusia delapan belas tahun diangkat sebagai komandan pasukan perang. Tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar seperti Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan sahabat-sahabat besar lainnya diperintahkan untuk berada di bawah pasukan Usamah ini. Sebagian mereka mencela pengangkatan Usamah. Mereka berkata, “Bagaimana Nabi bisa menunjuk seorang anak muda yang belum tumbuh janggut sebagai komandan pasukan kami?”

    Imam Ali r.a dan Syiah membai’at tiga khalifah sebagai sahabat besar dan pemimpin Negara secara the facto, seperti hal nya anda mengakui SBY sebagai Presiden R.I… Gaya bahasa yang digunakan Imam Ali adalah seperti gaya bahasa Nabi Yusuf as….dalam Al Quran : “Hai kafilah, sesungguhnya kamu orang orang yang mencuri’ (Qs.Yusuf ayat 80) padahal mereka tidak mencuri apapun, lalu dalam Al Quran : “Demikian lah Kami atur untuk (mencapai tujuan) Yusuf” (Qs.Yusuf ayat 76)

    Akan tetapi…..

    syi’ah dan Imam Ali tidak mengakui tiga khalifah sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ( imamah ) seperti halnya anda menginginkan Presiden R.I mestinya adalah orang yang berhukum dengan hukum Allah..Karena keimamam itu bukanlah berdasarkan pemilihan sahabat Nabi SAW, tapi berdasarkan Nash dari Rasulullah SAW… Apa bukti Ahlul bait sampai matipun menolak Abubakar sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ??? Ya, buktinya Sayyidah FAtimah sampai mati pun tidak mau memaafkan Abubakar dan Umar cs

    Shahih Bukhari | No. 6817 | KITAB HUKUM-HUKUM
    Dari Abdullah ibn Dinar, dia berkata: Aku mendengar Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah saw. mengutus utusan (pasukan, ke Ubna untuk memerangi Rumawi, dinegeri pembunuhan terhadap Zaid ibn Haritsah) dan mengangkat Usamah ibn Zaid sebagai pemimpin terhadap mereka. Lalu kepemimpinannya dikecam, dan beliau (saw.) bersabda: “Apabila kalian mengecam kepemimpinannya (Usamah) maka sungguh kalian dahulu mengecam kepemimpinan ayahnya (yakni Zaid ibn Haritsah) sebelumnya. Dan demi Allah, sungguh adalah dia (Zaid) benar-benar pantas (berhak) terhadap kepemimpinan dan sungguh dia benar-benar termasuk orang-orang yang aku cintai, dan sesungguhnya (Usamah, putranya) ini adalah benar-benar termasuk orang-orang yang aku cintai sesudahnya”.

    Sikap seperti ini mendorongku untuk bertanya, alangkah beraninya mereka terhadap Allah dan RasulNya ????????
    —————————————–
    WASiAT NABi NOMOR 3 Di SEMBUNYiKAN PERAWi ASWAJA SUNNi

    Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW berwasiat tiga hal saat menjelang wafatnya: Pertama, keluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab. Kedua, berikan hadiah kepada delegasi seperti yang biasa kulakukan. Kemudian si perawi berkata, “aku lupa isi wasiat yang ketiga.”( Shahih Bukhari jil. 7 hal. 121; Shahih Muslim jil. 5 hal. 75.)

    Shahih Bukhari | No. 2911 | KITAB JIHAD DAN PERJALANAN (PERANG)
    Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: “Hari Kamis. Apakah hari Kamis itu?” Kemudian Ibnu Abbas menangis sehingga air matanya membasahi kerikil, lalu dia berkata: “Rasulullah saw sakit keras pada hari Kamis, lalu beliau bersabda: “Bawalah alat tulis kepadaku, aku catatkan buat kalian suatu catatan yang sesudah itu kalian tidak akan tersesat selamanya.” Maka mereka bertengkar dan tidaklah seyogya disisi Nabi ada pertengkaran: Mereka berkata: “Rasulullah diam”. Beliau bersabda: “Biarkanlah aku; sesuatu yang sedang aku lakukan (bersiap-siap menghadapi wafat dll) adalah lebih baik daripada apa yang kalian ajakkan kepadaku”. Ketika wafat, beliau berwasiat dengan tiga hal, yaitu: Keluarkanlah orang-orang musyrik dari jazirah Arab, berilah hadiah kepada tamu (utusan) sepadan aku (Nabi) memberi hadiah kepada mereka. Dan aku lupa terhadap yang ketiga

    Tidak syak lagi bahwa isi wasiat yang “terlupa” itu adalah wasiat Nabi akan pelantikan Ali sebagai khalifah dan imam sepeninggalnya. Namun si perawi enggan menyebutkannya

    Menurut Aisyah sejumlah orang telah mengklaim bahwa Nabi SAW telah mewasiatkan Imamah kepada Ali, tapi Aisyah menolak mentah mentah klaim tersebut …. Orang yang menyatakan Nabi telah memberi wasiat pada Ali termasuk Ali, Abbas, Ibnu Abbas, Fadhil, Salman, Abu Zarr sementara Aisyah tidak berada di kamar Nabi sehingga Aisyah tidak tau wasiat Nabi…

    FAKTA : Ibnu Abbas dalam hadisnya menyebutkan bahwa Nabi berwasiat 3 hal !!!!!!!! Jadi siapa yang kita pegang ??? Aisyah atau Ibnu Abbas ???

    Ya jelas Aisyah yang mengingkari wasiat Nabi, sementara Ibnu Abbas menyatakan Nabi mewasiatkan tiga hal, dua wasiat disebutkan tapi wasiat ketiga disembunyikan perawi Aswaja agar Aswaja bisa tegak

    Seandainya Abu Bakar ayah Aisyah memang berniat baik maka kata-kata Fatimah tentang Imamah Ali, penyerbuan kerumahnya dan tuntutan Fadak telah cukup untuk menyadarkannya ( karena Fatimah marah padanya) . Tapi Abu Bakar tetap menolak setiap tuntutan Fatimah dan tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah murka pada Abu Bakar sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang dia wasiatkan pada suaminya Ali. Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.. Shahih Bukhori jil.3 hal.36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.

    =================================================

    DALiL KUBU IMAM ALi-FATiMAH YANG BENAR

    1. Hadis berikut ini membuktikan bahwa Abbas mengajak Imam Ali meminta wasiat tertulis berupa DOKUMEN TERTULiS dari Nabi… Wasiat lisan sudah diberikan oleh Nabi di Ghadir Kum… wasiat tertulis ingin diminta Abbas karena dia mengetahui ada desas desus bahwa kelompok Abubakar Umar dan klompok Saad bin Ubadah juga mengincar kekhalifahan

    Bukhari :: Book 5 :: Volume 59 :: Hadith 728
    Narrated ‘Abdullah bin Abbas:
    Ali bin Abu Talib came out of the house of Allah’s Apostle during his fatal illness. The people asked, “O Abu Hasan (i.e. Ali)! How is the health of Allah’s Apostle this morning?” ‘Ali replied, “He has recovered with the Grace of Allah.” ‘Abbas bin ‘Abdul Muttalib held him by the hand and said to him, “In three days you, by Allah, will be ruled by ‘abdun al ‘aashaa*, And by Allah, I feel that Allah’s Apostle will die from this ailment of his, for I know how the faces of the offspring of ‘Abdul Muttalib look at the time of their death. So let us go to Allah’s Apostle and ask him who will take over the Caliphate. If it is given to us we will know as to it, and if it is given to somebody else, we will inform him so that he may tell the new ruler to take care of us.” ‘Ali said, “By Allah, if we asked Allah’s Apostle for it (i.e. the Caliphate) and he denied it us, the people will never give it to us after that. And by Allah, I will not ask Allah’s Apostle for it.”

    Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari rumah Rasulullah ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah telah sembuh dengan izin Allah”.. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Demi Allah, dalam tiga hari kedepan anda akan dipimpin oleh hamba yang bermaksiat/durhaka/otoriter* .. Demi Allah, aku merasa bahwa Rasulullah akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali bagaimana wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah untuk menanyakan kepada nya siapa yang akan mengambil alih kekhalifahan.. Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya. Kita akan melaporkan kepadanya maka mungkin Nabi akan memberitahukan penguasa baru yang akan memerintah.. Ali bin Abi Thalib berkata : “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakan kepada Rasulullah (tentang kekhalifahan), lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka orang orang tidak akan pernah memberikannnya kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan menanyakan nya kepada Rasulullah (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447)

    * Teks arabnya : faqaala anta wallahi ba’da tsalaasin tahta ‘abdun al ‘aashaa, kata abdun ‘aashaa bermakna hamba yang bermaksiat/ durhaka/ otoriter

    Tapi tidak lama setelah peristiwa ini, pada hari kamis Nabi mencoba mewasiat kan 3 hal secara tertulis tapi di gagal kan oleh Umar.. Namun kemudian setelah mereka diusir Nabi mewasiatkan 3 hal secara lisan.. Wasiat ketiga disembunyikan Aswaja sehingga Aswaja bisa tegak

    Imam Ali tidak mau menanyakan lagi masalah ini, karena telah diketahui dengan jelas bahwa Ahlul Bait lah pengganti bagi Nabi SAW diantaranya dari hadis berikut yang diucapkan Nabi jauh setelah perang Tabuk.. Ahlul bait sebagai khalifah pengganti Nabi ditambah hadis Tsaqalain dengan matan “khalifah”

    Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelahku”. [diriwayatkan dalam Musnad Abu Daud Ath Thayalisi no 829 dan 2752, Sunan Tirmidzi no. 3713, Khasa’is An Nasa’i no 89, Musnad Abu Ya’la no 355, Shahih Ibnu Hibban no 6929, Musnad Ahmad 5/356 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dan Al Mustadrak 3/134, Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 4/468 menyatakan sanadnya kuat, Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam Silsilah Ahadits As Shahihah no 2223].

    2.Shahih Bukhari | No. 4237 | KITAB PERANG

    Dari Anas katanya: “Ketika Nabi saw. sakitnya sudah keras (kritis) maka beliau jatuh pingsan. Lalu Fatimah berkata: “Aduh, sulitnya ayahku? Maka beliau berkata kepadanya: “Sudah tidak ada lagi kesulitan lagi bagi ayahmu setelah hari ini”. Maka ketika beliau sudah meninggal dunia, Fatimah berkata:’Lalu Ayahku, engkau telah memenuhi panggilan Tuhan, Duh ayahku siap yang menempati Sorga Firdaus, duh ayahku kepada Malaikat Jibril kita memberi khabar kematian”. Ketika Rasulullah telah dimakamkan, maka Fatimah as. berkata: “Hai Anas, Apakah jiwamu menjadi baik bila menaburkan debu kepada Rasulullah saw.”

    3.Shahih Bukhari | No. 4240 | KITAB PERANG

    Dari Salim dari ayahnya (Abdullah bin Umar) bahwa saw. menugaskan Usamah bin Zaid, lalu mereka (para sahabat)membicarakan tentangnya, lantas Nabi saw. bersabda: ‘telah sampai kepadaku bahwa kalian berkata tentang Usamah dan sesungguhnya ia adalah orang yang paling saya cintai”.

    4.Shahih Bukhari | No. 4214 | KITAB PERANG

    Dari Said bin Jabir katanya: “Ibnu Abbas telah berkata: “Pada hari kamis dan selain hari kamis sakit Rasulullah parah “. Maka Rasulullah saw. berkata: “Datanglah kalian kepada saya. Saya akan menulis sebuah surat untuk kalian. Kalian tidak akan sesat selamanya. Kemudian para sahabat bertengkar (berbeda pendapat). Tidak patut perbedaan pendapat yang timbu! dari satu Nabi”. Maka mereka berkata: “Apa keadaan Nabi saw., apakah beliau diam? Mintalah penjelasan kepadanya. Mereka pergi kembali kepada Nabi. Lantas beliau bersabda: “Tinggalkanlah aku, parkara yang sedang saya lakukan lebih baik dari apa yang kamu ajak aku kepadanya, dan beliau berwasiat kepada mereka tiga perkarat 1. Keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab. 2. Kirimkanlah delegasi sebagaimana saya telah mengirimkan delegasi. Perkara yang nomor tiga : “saya lupa dengannya”.

    5.Shahih Bukhari | No. 4216 | KITAB PERANG

    Dari Aisyah ra., katanya: “Nabi saw. memanggil Fatimah pada waktu sakit yang menyebabkan beliau meninggal dunia, lantas beliau membaikkan sesuatu keadannya lantas Fatimah menangis, kemudian beliau membisikkan sesuatu kepadanya lantas dia tertawa, lalu kami bertanya tentang itu, lantas Fatimah menjawab: “Nabi saw. berbiaik kepadaku bahwa beliau akan meninggal dunia dalam sakit yang ia derita sekarang, lalu saya menangis, kemudian beliau berbiaik kepadaku, lalu beliau berikan khabar aku bahwa saya adalah keluarga yang pertama kali mengikutinya lantas saya tertawa”.

    6.Shahih Bukhari | No. 3544 |
    KITAB BERBAGAI KEUTAMAAN SAHABAT-SAHABAT NABI
    Dari Abdullah bin ‘Umar ra., Ia berkata: Nabi saw. mengirim perutusan (pasukan perang) dan beliau mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pimpinan atas mereka, lalu sebagian orang mencerca kepemimpinannya. Maka Nabi saw. bersabda: “Bila kalian mencerca kepemimpinannya, maka kalian mencerca pula kepemimpinan ayahnya sebelum (dia). Demi sumpah Allah, sungguh Ia (laid) diberi hak untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya Ia adalah orang yang paling aku cintai dan ini (Usamah) adalah orang yang paling aku cintai setelah dia”.

    Shahih Bukhari | No. 4241 | KITAB PERANG
    Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasannya Rasulullah saw . telah menggirim satu utusan dan menjadikan Usamah;sebagai pemimpinnya lantass orang banyak mengecam kepemimpinannya, lantas ia. sudah saw. berdiri sambil bekata: “Jika kalian mengecam kepemimpinannya, maka kalian benar-benar telah mengecam kepemimpinan ayahnya sebelum itu. Demi Allah, sesungguhnya ia benar-benar tercipta sebagai pemimpin, dan sesungguhnya ia termasuk orang yang paling aku cintai, dan sesungguhnya orang ini benar-benar termasuk orang yang paling aku cintai sesudahnya”.

    Shahih Bukhari | No. 6302 | KITAB SUMPAH DAN NADZAR
    Dari Abdullah bin Umar ra. katanya. “Rasulullah saw. telah mengurus utusan dan telah menjadikan pemimpin mereka Usamah bin Zaid, lantas sebagian manusia mencela kepemimpinannya. Lantas Rasulullah saw. berdiri seraya bersabda: “Jika kalian mencela kepemimpinannya, maka sungguh kalian mencela kepemimpinan ayahnya sebelum itu (muhammad). Demi Allah, sesungguhnya ia benar-benar tercipta sebagai pemimpin. Dan sesungguhnya ia benar-benar termasuk orang yang paling saya cintai dan sesungguhnya (orang) ini (Usamah) sungguh termasuk orang yang paling saya cintai sesudah itu”.
    ——
    MiSTERi PASUKAN USAMAH DAN iMAM SHALAT

    Tatkala penyakit Rasul Allah saw semakin berat Rasul berseru agar mempercepat pasukan Usamah. Abu Bakar beserta tokoh tokoh Muhajirin dan Anshar lainnya diikutkan Rasul dalam pasukan itu. Maka Ali yang tidak diikutkan Rasul dalam pasukan Usamah dengan sendirinya akan menduduki jabatan khalifah itu bila saat Rasul Allah saw tiba, karena Madinah akan bebas dari orang orang yang akan menentang Ali. Dan ia akan menerima jabatan itu secara mulus dan bersih. Maka akan lengkaplah pembaiatan, dan tidak akan ada lawan yang menentangnya.

    Dengan membawa panji panji, pasukan berangkat dan berkemah di Jurf. Dan tidak ada lagi kaum Muhajirin yang awal dan kaum Anshar di Madinah. Semua ikut dengan pasukan Usamah. Di dalamnya, terdapat Abu Bakar AshShiddiq, Umar bin Khaththab, Abu ‘Ubaidah bin alJarrah,
    Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid dan lain lain.

    Bukti-bukti otentik mengatakan bahwa Abu Bakar saat itu termasuk yang diperintah Nabi saw. untuk bergabung dengan tentara di bawah komandan Usamah ibn Zaid. Jadi tidak mungkin Nabi saw. yang memerintah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat ketika itu (Fathu al Bâri,8/124, ath Thabaqât al Kubrâ; Ibnu Sa’ad,4/66, Tarikh al Ya’qûbi,2/77, Tarikh al Khamîs,2/154 dll.)

    Semua penulis sependapat bahwa Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah ditunjuk Rasul sebagai prajurit dalam pasukan Usamah, dua minggu sebelum wafatnya Rasul.

    Tidak ada nash utk memanggil kembali Abubakar…Setelah berada di Jurf, ketika mendapat berita sakit Rasul sudah sangat parah. Beberapa pembangkang mempunyai alasan kembali ke Madinah termasuk Abubakar dan Umar. Kalau istilah ketentaraan “lari dari kesatuan” dengan alasan Rasul sakit

    Pada hari Kamis tanggal 8 Rabi’ul Awwal, Umar bin Khattab juga telah menghalangi Rasul membuat wasiat, sehingga Rasul mengusirnya dari kamar… Dan tentang mengimami shalat, Ali menyampaikan bahwa Aisyah lah yang memerintahkan Bilal, maula ayahnya, untuk memanggil ayahnya mengimami shalat, karena Rasul saw sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: ‘Agar orangorang shalat sendiri sendiri’, dan Rasul tidak menunjuk seseorang untuk mengimami shalat. Shalat itu adalah shalat subuh.

    Karena ulah Aisyah itu maka Rasul memerlukan keluar, pada akhir hayatnya, dituntun oleh Ali dan Fadhl bin Abbas sampai ia berdiri di mihrab seperti diriwayatkan…’.

    Banyak nasehat yang diberikan Rasul. Tapi mereka yang lebih tua memperlambat keberangkatan..Melihat pembangkangan mereka Rasul naik kemimbar padahal beliau dalam keadaan sakit, setelah memuji Allah yang Maha Kuasa

    beliau bersabda: ” WAHAI MANUSIA saya sangat sedih karena penundaan keberangkatan tentara itu. Nampaknya kepemimpinan Usamah tidak disukai oleh sebagian dari anda anda dan menangguhkan keberatan. Namun keberatan dan pembangkangan anda anda ini bukanlah yang pertama kali. dst….(Sirah ibn Hisam II hal. 642; al Nash wa al-Ijtihad hal 12 oleh Syaraf ad-Din Amili dll).

    Mereka telah disebut Rasul sebagai PEMBANGKANG…Karena kata kata Rasul sangat keras, terpaksa semua pergi Jurf..Senin Nabi SAW wafat..Itulah sebabnya Aisyah memanggil Abu Bakar dari pasukan Usamah yang sedang berkemah di Jurf pada pagi hari Senin, hari wafatnya Rasul dan bukan pada siang hari dan memberitahukannya bahwa Rasul Allah saw sedang sekarat;

    Ya ampyun Abubakar Umar Aisyah euy….
    Rasul masih hidup dan memerintahkan sahabat buat jadi anak buahnya usamah saja masih ada yang membangkang, malah wasiat tertulis Nabi digagalkan…wasiat lisan nomor tiga tentang imamah Ali diingkari Aisyah…Terus Rasul mewasiatkan Ali jadi Imam penggantinya supaya sahabat semua jadi pengikutnya ALi ( yah pasti lebih membangkang lagi), apalagi pas Rasul wafat dan yang dihadapi cuman wasi’nya Rasul…..Wong pas Rasul Masih hidup aja udah berani membangkang kok..Aya aya wae….

  97. kunjungi http://syiahindonesia1.wordpress.com
    ribuan salafi wahabi masuk syi’ah imamiyah itsna asyariah setelah membaca website ini

  98. kunjungi http://syiahindonesia1.wordpress.com
    ribuan salafi wahabi masuk syi’ah imamiyah itsna asyariah setelah membaca website ini

  99. kunjungi http://syiahindonesia1.wordpress.com
    ribuan salafi wahabi masuk syi’ah imamiyah itsna asyariah setelah membaca website ini …

  100. kunjungi http://syiahindonesia1.wordpress.com
    ribuan salafi wahabi masuk syi’ah imamiyah itsna asyariah setelah membaca website ini …..

  101. Fitnah Dari Najed

    عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا. اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي يَمَنِنَا. قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي نَجْدِنَا ؟ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا. اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي يَمَنِنَا. قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي نَجْدِنَا ؟ فَأَظُنُّهُ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ : هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
    ( رواه البخاري والترمذي وأحـمد وابن حبان في صحيحه ) .
    Dari Abdullah Ibn Umar r.a. ia berkata : Rasulullah SAW pernah berdoa : “Ya Allah, Berkahilah negeri Yaman untuk kami dan berkatilah negeri Syam untuk kami”. Sebagian sahabat menambahkan : “Juga negeri Najed Ya Rasulallah”! Rasulullah pun berdoa lagi : “Ya Allah, Berkahilah negeri Yaman untuk kami dan berkatilah negeri Syam untuk kami”. Sebagian sahabat pun menambahkan lagi : “Juga negeri Najed Ya Rasulallah”! Rasulullah terdiam. Dan aku teringat Rasulullah SAW pernah bersabda : Di sanalah awal terjadinya kekacauan dan fitnah dan dari sanalah awal munculnya tanduk Syaitan. ( Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam al-Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hibban dan lain-lain ). Di manakah negeri Najed yang bakal menjadi pusat timbulnya kekacauan dan fitnah? Najed terletak di antara bandar-bandar kota Riyadh dan kawasan sekitarnya, Qasim, Sadir, dan al-Aflaj. Dahulu orang orang mengira bahawa kawasan Najed terletak sekitar 100 km dari timur kota Madinah. Di sanalah pernah tinggal keluarga besar Bani Saud yang sekarang berkuasa di Saudi. Dan dari sana pula muncul faham Wahabiyah. Oleh sebab itulah, kenapa para ulama’ ahlus sunnah wal jama’ah begitu bersungguh-sungguh menentang faham Wahhabiyyah. kerana golongan inilah yang telah dikabarkan oleh Rasulullah SAW kemunculannya di akhir zaman.
    Kontroversi dicetuskan Wahhabi Najd dan Iraq?
    Hadis tanduk setan menjadi pertikaian yang berkepanjangan diantara pengikut wahhabi dengan orang-orang yang kontrawahhabi. Hadis ini seringkali dijadikan dasar bahawa salah satu yang dimaksud fitnah Najd adalah dakwah wahabi yang ngaku-ngaku wahhabi. Kami sendiri tidak berminat untuk membahas apakah benar wahabi adalah fitnah Najd yang dimaksud atau bukan?, bagi kami pembahasan seperti itu hanya spekulasi belaka, mungkin benar mungkin juga tidak( tepuk dada tanya Iman). Fokus pembahasan kami disini adalah cara pembelaan wahhabi yang membantah. Pengikut wahhabi yang merasa tersinggung atau tidak terima menyatakan pembelaan bahawa Najd yang dimaksud bukan Najd tempat lahirnya wahabi melainkan Iraq. Betapa anehnya sejak bila Najd menjadi Iraq? Sejak munculnya orang-orang yang mengaku wahhabi. Berikut pembahasan yang menunjukkan kekeliruan wahhabi.
    عن عبيدالله بن عمر حدثني نافع عن ابن عمرأن رسول الله صلى الله عليه و سلم قام عند باب حفصة فقال بيده نحو المشرق الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان قالها مرتين أو ثلاثا
    Dari Ubaidillah bin Umar yang berkata telah menceritakan kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di pintu rumah Hafshah dan berkata dengan mengisyaratkan tangannya kearah timur “fitnah akan datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan” beliau mengatakannya dua atau tiga kali. [Shahih Muslim 4/2228 no 2905]
    Nafi’ memiliki mutaba’ah yaitu dari Salim bin ‘Abdullah bin Umar sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim melalui periwayatan Az Zuhri, Ikrimah bin Ammar dan Hanzalah dengan lafaz “timur”. Arah timur yang dimaksud adalah Najd sebagaimana yang disebutkan dalam hadis shahih.
    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ هُنَاكَ الزَّلَازِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata [Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Ya Allah berilah keberkatan kepada kami, pada Syam kami dan pada Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”. Beliau bersabda “disana muncul kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan” [Shahih Bukhari 2/33 no 1037]
    Husain bin Hasan memiliki mutaba’ah yaitu Azhar bin Sa’d yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Aun dari Nafi dari Ibnu Umar secara marfu’ juga dengan lafaz Najd [Shahih Bukhari 9/54 no 7094].
    حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في الثالثة أو الرابعة، قالوا يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال إنّ بها الزلازل والفتن، وبها يطلع قرن الشيطان
    Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-Ma’mariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaail bin Mas’ud yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun dari ayahnya, dari Naafi’ dari Ibnu ‘Umar bahawa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan pada Yamaan kami”. Beliau [shallallaahu ‘alaihi wa sallam ] mengatakannya beberapa kali. Ketika beliau mengatakan yang ketiga kali atau yang keempat, para shahabat berkata “Wahai Rasulullah, dan juga Iraq kami?”. Beliau bersabda “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan” [Mu’jam Al Kabiir Ath Thabrani 12/384 no 13422].
    Hadis ini mengandung illat [cacat] Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Aun dalam periwayatan dari Ibnu ‘Aun telah menyelisihi para perawi tsiqat yaitu Husain bin Hasan [At Taqrib 1/214] dan ‘Azhar bin Sa’d [At Taqrib 1/74]. Kedua perawi tsiqat ini menyebutkan lafaz Najd sedangkan Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Aun menyebutkan lafaz Iraq. Ubaidillah bukan seorang yang tsiqat, Bukhari berkata “dikenal hadisnya” [Tarikh Al Kabir juz 5 no 1247], Abu Hatim berkata “shalih al hadits” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/322 no 1531] dimana perkataan shalih al hadits dari Abu Hatim berarti hadisnya dapat dijadikan i’tibar tetapi tidak bisa dijadikan hujah. Terdapat hadis lain yang dijadikan hujah wahhabi untuk menetapkan bahawa yang dimaksud sebenarnya adalah Iraq
    حدثنا علي بن سعيد قال نا حماد بن إسماعيل بن علية قال نا ابي قال نا زياد بن بيان قال نا سالم بن عبد الله بن عمر عن ابيه قال صلى النبي صلى الله عليه و سلم صلاة الفجر ثم انفتل فأقبل على القوم فقال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله فسكت ثم قال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في حرمنا وبارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله قال من ثم يطلع قرن الشيطان وتهيج الفتن
    Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id yang berkata telah menceritkankepada kami Hammaad bin Ismaa’iil bin ‘Ulayyah yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah mencertakan kepada kami Ziyaad bin Bayaan yangberkata telah menceritakan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ayahnya yang berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat shubuh, kemudian berdoa, lalu menghadap kepada orang-orang. Beliau bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata “dan ‘Iraq, wahai Rasulullah ?”. Beliau diam, lalu bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada tanah Haram kami, dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata “dan ‘Iraq, wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda “dari sana akan muncul tanduk setan dan bermunculan fitnah” [Mu’jam Al Awsath Ath Thabraani 4/245 no 4098].
    Hadis ini juga mengandung illat [cacat]. Ziyaad bin Bayaan dikatakan oleh Adz Dzahabi “tidak shahih hadisnya”. Bukhari berkata “dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali” [Al Mizan juz 2 no 2927] ia telah dimasukkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 2222 Al Uqaili juga memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa Al Kabir 2/75-76 no 522. Ziyad bin Bayaan Ar Raqiy memiliki mutaba’ah yaitu dari Taubah ‘Al Anbari dari Salim dari Ibnu Umar secara marfu’.
    حدثنا محمد بن عبد العزيز الرملي حدثنا ضمرة بن ربيعة عن ابن شوذب عن توبة العنبري عن سالم عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم بارك لنا في مدينتنا وفي صاعنا، وفي مدِّنا وفي يمننا وفي شامنا. فقال الرجل يا رسول الله وفي عراقنا ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم بها الزلازل والفتن، ومنها يطلع قرن الشيطان
    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdul Aziiz Ar Ramliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Dhamrah bin Rabi’ah dari Ibnu Syaudzab dari Taubah Al Anbariy dari Salim dari Ibnu ‘Umar yang berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, dan pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [ Ma’rifah Wal Tarikh Yaqub Al Fasawiy 2/746-747]

    Secara zahir tidak ada masalah pada sanad ini hanya saja Taubah Al Anbary walaupun seorang perawi yang tsiqat, ia dikatakan oleh Al Azdi sebagai munkar al hadits [At Tahdzib juz 1 no 960]. Kesalahan besar wahhabi adalah menyatakan berdasarkan hadis ini bahawa Najd adalah Iraq. Telah disebutkan dari jama’ah tsiqat dari Salim dari Ibnu Umar secara marfu’ dengan lafaz timur dan telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Nafi’ bahawa yang dimaksud adalah Najd. Tentu saja jika dilihat dari fakta geografis Najd memang terletak sebelah timur dari Madinah sedangkan Irak terletak lebih ke utara. Jadi jika menerapkan metode tarjih maka sangat jelas hadis Najd merupakan penjelasan bagi arah Timur yang dimaksud apalagi hadis Najd memiliki sanad yang lebih kuat daripada hadis Iraq. Tidak ada alasan bagi wahhabi untuk menetapkan Najd adalah Iraq, gak ada secara logiknyanya sama sekali. Bagaimana mungkin Najd sebagai tempat yang berbeza dengan Iraq mau dikatakan sebagai Iraq.
    حدثنا محمد بن عبد الله بن عمار الموصلي قال حدثنا أبو هاشم محمد بن علي عن المعافى عن أفلح بن حميد عن القاسم عن عائشة قالت وقَّت رسول الله صلى الله عليه وسلم لأهل المدينة ذا الحُليفة ولأهل الشام ومصر الجحفة ولأهل العراق ذات عرق ولأهل نجد قرناً ولأهل اليمن يلملم
    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
    Hadis ini sanadnya shahih telah diriwayatkan oleh para perawi terpercaya dan menjadi bukti atau hujah bahawa Najd dan Iraq di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dua tempat yang berbeza. Berikut keterangan mengenai para perawinya
    • Muhammad bin ‘Abdullah bin Ammar Al Maushulli seorang hafizh yang tsiqat. Ahmad, Yaqub bin Sufyan, Shalih bin Muhammad, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban, Masalamah bin Qasim menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 9 no 444]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat hafizh” [At Taqrib 2/98]
    • Muhammad bin ‘Ali Al Asdy adalah perawi Nasa’i dan Ibnu Majah yang tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Abu Zakaria menyatakan ia seorang yang shalih dan memiliki keutamaan [At Tahdzib juz 9 no 592]. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang ahli ibadah yang tsiqat [At Taqrib 2/116]. Adz Dzahabi menyatakan ia shaduq [Al Kasyf no 5067]
    • Al Mu’afy bin Imran adalah perawi Bukhari yang dikenal tsiqat. Abu Bakar bin Abi Khaitsamah berkata “ia orang yang jujur perkataannya”. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Abu Hatim, Ibnu Khirasy dan Waki’ menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 10 no 374]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah seorang yang fakih [At Taqrib 2/194]
    • Aflah bin Humaid adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat. Ahmad berkata “shalih”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “tsiqat tidak ada masalah padanya”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis” [At Tahdzib juz 1 no 669]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/108]
    • Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar adalah seorang tabiin yang dikenal tsiqat, ia adalah salah seorang dari fuqaha Madinah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar [At Taqrib 2/23]
    Hadis Aisyah RA di atas juga dikuatkan oleh hadis Jabir yang membezakan miqat bagi penduduk Najd dan miqat bagi penduduk Iraq.
    أبو الزبير أنه سمع جابر بن عبدالله رضي الله عنهما يسأل عن المهل ؟ فقال سمعت ( أحسبه رفع إلى النبي صلى الله عليه و سلم ) فقال مهل أهل المدينة من ذي الحليفة والطريق الآخر الجحفة ومهل أهل العراق من ذات عرق ومهل أهل نجد من قرن ومهل أهل اليمن من يلملم
    Abu Zubair mendengar dari Jabir bin ‘Abdullah radiallahu ‘anhum ketika ditanya tentang tempat mulai ihram. Jabir berkata ‘aku mendengar [menurutku ia memarfu’kannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “tempat mulai ihram bagi penduduk Madinah dari Dzul Hulaifah dan bagi penduduk yang melewati jalan yang satunya di Juhfah, dan tempat mulai ihram bagi penduduk Iraq dari Dzatul ‘Irq dan tempat mulai ihram penduduk Najd dari Qarn dan tempat mulai ihram penduduk Yaman dari Yalamlam [Shahih Muslim 2/840 no 1183]
    Walaupun para ulama berselisih apakah perkataan Jabir RA ini marfu’ atau tidak kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [pendapat yang rajih adalah marfu’] tetap saja membuktikan kalau Najd dan Iraq adalah dua tempat yang berbeza sehingga para sahabat seperti Jabir RA membezakan antara penduduk Najd dan penduduk Iraq. Para ulama juga telah membezakan antara Najd dan Iraq, An Nasa’i ketika membahas hadis tentang miqat ia memberi judul Miqat Ahlul Najd kemudian di bawahnya ada judul Miqat Ahlul Iraq. Bagaimana mungkin Najd dikatakan Iraq?.
    Fakta lain yang tidak terfikirkan oleh wahhabi adalah orang-orang yang berada di Riyadh [Najd] jika melaksanakan ibadah haji miqatnya adalah di Qarn Manazil dan orang-orang Iraq jika beribadah haji miqatnya di Dzatul ‘Irq. Kenapa? Kerana para ulama termasuk ulama wahhabi sendiri berdalil dengan hadis shahih di atas kalau miqat bagi penduduk Najd adalah Qarn Manazil dan bagi penduduk Iraq adalah Dzatul ‘Irq. Kalau memang Najd adalah Iraq ,mengapa orang-orang di Riyadh miqat di Qarn Manazil lha itu seharusnya jadi miqat bagi orang Iraq. Fakta kalau orang-orang di Riyadh miqat di Qarn Manazil itu menjadi bukti nyata kalau Najd itu tepat di sebelah timur Madinah yaitu Riyadh dan sekitarnya. Nah! penduduk Riyadh sendiri merasa kalau yang dimaksud Najd yang dikatakan Nabi adalah tempat mereka tinggal bukannya Iraq.
    Jadi jika telah terbukti dari dalil shahih bahawa Najd dan Iraq adalah nama dua tempat yang berbeza maka secara logiknya wahhabi yang mengatakan Najd adalah Iraq jelas salah besar(Ini adalah kesalahan yang disengajakan). Walaupun kita menerima hadis Iraq maka itu tidak menafikan keshahihan hadis Najd. Dengan kata lain jika kita mau menerapkan metode jama’ maka ada dua tempat yang dikatakan sebagai tempat munculnya fitnah yaitu Najd dan Iraq [dan kami lebih cenderung pada pendapat ini]. Kalau wahhabi masih tidak mengerti maka kita beri contoh yang mudah. Misalnya ada orang berkata “di Aceh ada gempa bumi” kemudian di saat lain ia berkata “di Kelantan ada gempa bumi”, terus di saat yang lain orang itu berkata “di Aceh ada gempa bumi”. Orang yang mengakunya wahhabi berfikir begini nah itu berarti Aceh adalah Kelantan. Bagaimana? Bahkan anak kecil pun tahu kalau kesimpulan seperti ini tidak ada logiknya sama sekali. Jesteru cara berfikir yang benar [dengan dasar kesaksian orang tersebut benar] adalah di Kelantan dan Aceh terjadi gempa bumi dan ini tidak bertentangan dengan perkataan di Asia Tenggara terjadi gempa bumi, yang memang benar kedua-dua tempat itu memang terletak di Asia Tenggara.
    Lucunya para pengikut wahhabi menganggap dalil wahhabi terang benderang seterang matahari padahal jelas-jelas fallacy [bila wahhabi mau belajar tentang fallacy]. Jesteru dalil Najd jauh lebih terang benderang kerana memang sebelah timur dari Madinah itu ya Najd sedangkan Iraq lebih kearah utara [timur laut]. Pengikut wahhabi mengatakan kalau Iraq juga adalah timur madinah kerana pada zaman orang arab dahulu tidak ada istilah utara selatan, timur laut dan sebagainya yang ada hanya timur dan barat atau kanan kiri. Pernyataan wahhabi ini bisa saja benar tetapi secara logiknya terbalik, zaman dahulu orang menentukan timur dan barat tergantung dengan arah matahari terbit atau terbenam. Jadi jika seseorang mau menunjuk kearah timur ia tahu dengan jelas kearah mana ia akan menunjuk apalagi jika orang tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang jelas adalah utusan Allah SWT yang dijaga dan diberi petunjuk langsung oleh Allah SWT.
    Apakah jika ada orang arab disuruh menunjuk kearah timur, mereka akan menunjuk ke berbagai macam arah termasuk tersasar ke ke utara atau tersasar ke selatan?. Apakah ketika mereka menunjuk ke arah timur mereka mengarahkan tangannya ke utara yang tersasar 10 derajat ke arah timur ?. kayaknya tidak, mereka akan sama-sama menunjuk tepat kearah matahari terbit yaitu arah timur. Jadi Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjuk ke arah timur harus difahami secara zahir tepat timur Madinah dan ini sesuai dengan hadis Najd kerana Najd memang terletak tepat di timur madinah. Para sahabat bisa langsung mempersepsi arah timur kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tepat menunjuk kearah timur atau arah matahari terbit [atau agak tersasar ke utara atau selatan].

    Contoh Lain Ulama Wahhabi Berhujah :
    Soal-jawab Terjemahan Kitab-kitab Salaf untuk Tujuan Dakwah dan Mencari Keuntungan

    Soal :
    Beberapa ikhwah salafiyin di Indonesia menerjemahkan kitab-kitab salaf ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan dakwah dan mencari penghasilan (mata pencarian). Apakah hal tersebut diperbolehkan?
    Jawab :
    Boleh, dan bahkan patut disyukuri. Kita berharap agar penerjemah mendapat pahala. Yang terpenting adalah mencari pahala di sisi Allah Ta’ala. Sebagian orang tidak memahami bahasa arab, bahkan kebanyakannya. Kecuali yang mempelajarinya dan tholibul ‘ilmi, atau yang semisal mereka dari orang-orang yang memiliki wawasan tentang bahasa arab. Maka keadaan mereka yang seperti ini (tidak faham bahasa arab) bagaimana kalian menyadarkan dan memahamkan (dengan bahasa arab bagi yang tidak memahami bahasa arab) atau mengajari mereka. Jesteru sering kali sebuah kitab, lebih cepat sampai kepada mereka dibanding kalian, lebih-lebih kitab kecil. Oleh kerana itu terjemahkanlah kitab-kitab yang bagus (bermutu) dalam masalah aqidah dan tauhid kemudian disebarkan di kalangan masyarakat baik secara gratis maupun diperjual belikan, sehingga dibaca dan difahami. Maka ini merupakan dakwah di jalan Allah dengan niat ikhlas dalam mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala, dan semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan.
    Akan tetapi hendaknya berhati-hati dan teliti. Tidak menerjemahkan kitab-kitab salaf yang di sana ada kekeliruan, seperti Ar Risalah Al Wafiah yang ditulis oleh Abu Amr Ad Dani. Kecuali kalau di sana (dalam buku terjemahan) ditulis peringatan-peringatan penting (berkaitan dengan kesalahan di dalam kitab). Contoh lain Lum’atul I’tiqod, di dalamnya ada hal-hal yang perlu diperingatkan. Kalau menerjemahkannya, hendaknya dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penyelisihan (terhadap aqidah salaf) dalam masalah tafwidh (menyerahkan makna sifat-sifat Allah kepadaNya dan mengatakan bahawa manusia tidak memahaminya, faham tafwidh ini menyelisihi aqidah salaf, pent). Contoh lain lagi At Thohawiyah, kalau menerjemahkannya, hendaknya disertai peringatan-peringatan dari Asy Syaikh Ibn Baaz rahimahullah dan tidak menerjemahkan semuanya atau membiarkan begitu saja tanpa peringatan (terhadap kesalahan di dalamnya).
    Hendaknya penerjemah betul-betul memperhatikan hal-hal yang bermanfaat bagi muslimin. Kita bergembira dengan penerjemahan Kitab At Tauhid yang ditulis Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dan penerjemah memiliki kemampuan dalam menjelaskan hadits-hadits dho’if kepada masyarakat. Ini patut disyukuri. Penerjemah menyertakan perkataan para imam secara singkat dengan berhati-hati dan teliti dengan benar-benar meyakinkan tentang kelemahannya (hadits). Kemudian menulis di depannya dho’if, shohih atau hasan dalam bahasa mereka. Hal ini merupakan kesempurnaan penghormatan atau perhatian terhadap sebuah kitab.
    Tidak boleh menambah perkataan seorang imam dan menguranginya. Adapun meringkas perkataan, harus dengan berhati-hati dalam menguranginya. Adapun menambahinya tidaklah dibenarkan. Ini adalah dalam rangka nasihat untuk kaum muslimin. Dan alhamdulillah, kitab-kitab sunnah telah mendapatkan perhatian penuh.

    Ulasan : Jawapan Asy Syaikh Salafi/wahabi agak panjang dan nampak macam canggih tapi yang penting adalah ikhlas. Mari kita lihat soalan dan jawapan seterusnya dan sejauh mana ikhlasnya.
    Bertanya salah seorang ahli ilmu, “Apakah ayat Al Qur’an diterjemahkan?”

    Asy Syaikh menjawab :
    Tidak diterjemahkan ayat (secara harfiah) tetapi diterjemahkan maknanya. Kerana penerjemahan ayat secara harfiah berarti memindahkan Al Qur’an ke dalam bahasa selain bahasa arab. Padahal Allah berfirman (berkaitan dengan Al Qur’an):
    ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ ﴾ [الشعراء:195]
    “Dengan bahasa arab yang fasih.” (As Syu’aro’:195)
    Saya memandang, bahawa seorang penerjemah perlu mempelajari bahasa arab, ilmu hadits, dan mempelajari hal-hal yang bisa menambah pemahaman, dan kefaqihan dan juga mempelajari tafsir. Lebih-lebih belajar kepada orang yang mampu menentukan pendapat yang benar atau kuat dalam masalah tafsir atau yang lainnya (ketika ada khilaf) sehingga hasil terjemahannya benar-benar bermanfaat. Dan sememangnya seorang penerjemah benar-benar mampu (dalam keilmuan).

    Ulasan : Inilah alasan Asy Syaikh Salafi/wahabi supaya Al-Quran itu diterjemahkan mengikut citarasa fahaman mereka. Itulah sebabnya terjemahan-terjemahan yang ada sekarang ini jadi tak sama.
    [Al-Baqarah.174] Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.
    [ALI ‘IMRAN.199] Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.
    Lihat surah ASY SYU’ARAA’ ayat 192-195..: Ini membuktikan Al-quran diturunkan dengan bahasa yang jelas lagi terang. Mengapa dilihat sebaliknya? Bukankah setiap Rasul itu membawa keterangan yang nyata/terang?.
    [ASY SYU’ARAA’.192] Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,

    [ASY SYU’ARAA’.193] dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril),

    [ASY SYU’ARAA’.194] ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
    [ASY SYU’ARAA’.195] dengan bahasa Arab yang jelas/terang.
    Berkata seseorang :
    Apakah jual beli kitab-kitab yang di terjemahkan oleh Ahlul Bid’ah dibolehkan?”
    Jawab :
    Alhamdulillah, Ahlu Sunnah banyak yang menerjemahkan (kitab salaf berbahasa arab). Mereka menerjemahkan sendiri, menyebarkannya dan tidak membutuhkan terjemahan ahlul bid’ah. Kita tidak mempropagandakan terjemahan mereka. Kerana terkadang mereka menyelipkan kata-kata yang kita tidak ketahui. Dan kita tidak merasa aman dari mereka-mereka para penipu dari ahlul ahwa’.
    Ulasan : Kalau namanya terjemahan maka penerjemahan ayat secara harfiah dan jangan ubah apa pun. Sekiranya ingin mengubah mengikut makna fahaman masing-masing maka namanya tafsir. Supaya tidak menipu umat Islam yang membacanya. Jika seseorang ingin melihat fahaman mengikut tafsir maka dicarinya kitab tafsir bukan terjemahan dan begitulah sebaliknya.
    Ahlul Bid’ah itu sesat :
    Bid’ah – Definasinya adalah mereka-reka benda yang baru.
    Sesat – Seseorang yang tidak sampai matlamat/tujuan.
    Dalam konteks Islam matlamat kesemua 313 rasul adalah 1 iaitu Tauhidullah(mengEsa akan Allah). Jadi ini adalah Tauhid. Apabila perkataan sesat digunakan maka bid’ah yang dimaksudkan adalah Tauhidullah(mengEsa akan Allah).
    Jadi adakah Asy Syaikh Salafi/wahabi itu tahu siapakah Ahlul Bid’ah yang sesat itu ? bukanlah sesat kalau konsep Tauhidnya dapat mengEsa. Tetapi sesat apabila konsep tauhid itu tiada dapat mengEsa.
    Contohnya : Kalaulah matlamat tuan hendak ketempat “A” maka kalau tuan sampai ketempat “A” walau dengan jalan mana pun itu dinamakan tidak sesat. Tetapi jika tuan tidak sampai ke tempat “A” maka lebuhraya hebat mana pun yang tuan lalui tetap sesat namanya.
    [ dari Kumpulan Fatwa-Fatwa Syaikh Yahya Al Hajuri Atas Pertanyaan Manca Negara
    disusun oleh Abu Thurob bin Hadhor al Jawi, Dammaj 2 Rajab 1427H ]

    Penyelewengan Ilmu Aqidah oleh para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen
    Snouck Hurgronje harus berpura-pura masuk Islam untuk menjauhkan kaum Muslim dengan Islam. Begitu cara orientalis

    Snouck Hurgronje : “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam”. Demikian ujar Snouck tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden.
    Untuk merubah wajah Islam, Snouck menggunakan cara berpura-pura masuk Islam. Snouck pernah menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan politik dan tentera Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.
    Snouck pernah menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatik agama di kalangan Muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat dapat menguasai dengan mudah.
    Sambil berpura-pura masuk Islam, Snouck juga tetap melakukan perhubungan dengan gurunya Theodor Noldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck pernah menegaskan bahwa keislaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan maklumat.
    “Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satulnya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik. ” Siapa Snouck?

    Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
    Orientalis ini sangat dikenali masyarakat Indonesia. Lahir di Belanda, Snouck meraih gelar sarjananya di Fakulti Teologi, Universiti Leiden. Keudian ia melanjutkan ke jurusan satera Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun (24 November 1880).
    Disertasinya tentang ‘Perjalanan Haji ke Mekah’, ‘Het Mekkanche Feest’. Tahun 1884 ia pergi ke Jedah sampai 1885, dan bersiap-siap untuk masuk ke Mekah. Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam, agar bisa ke Mekah dan menjalankan ibadah haji. Tapi enam bulan kemudian ia diusir karena terbongkar jati dirinya.
    Ia kemudian kembali ke Belanda sebagai dekan di Universiti Leiden hingga tahun 1887. Lalu ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun, dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah Belanda. Ia menulis karyanya yang berjudul ‘Makkah’ dalam bahasa Jerman, dua jilid (1888-1889). Selain itu, ia juga menulis ‘De Atjehrs’ (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894).
    Dalam disertasinya yang berjudul ‘Het Mekkanche Feest’, Snouck menjelaskan arti ibadah haji dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya. Ia mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliyah. (Mustolah Maufur, hal. 53). Pendapat Snouck memang mirip dengan Goldziher yang mencoba menarik-narik pengaruh tradisi Jahiliyah, Kristen dan Yahudi ke Islam. Snouck bahkan lebih jauh mencoba mengeliminir Islam hanya menjadi agama ritual, ibadah khusus belaka. Dan ‘mengkiritk’ umat Islam yang membawa-bawa Islam ke arah perjuangan politik.

    Louis Massignon (1883-1963)

    Ia adalah orientalis terkemuka berasal dari Perancis. Louis banyak belajar dari tokoh-tokoh orientalis terkenal, seperti Goldziher, Hurgronje dan Le Chatelle orientalis dari Perancis. Ia pernah mengujungi dunia Islam selama tiga tahun sampai 1954. Di Baghdad, ia mengadakan misi penelitian dan penggalian arkeologis dan berhubungan baik dengan tokoh Iraq Al Alusi. Pada tahun 1906-1909 ia pergi ke Mesir dan belajar di Universiti Al Azhar. Pada tahun 1912 ia mengajar filsafat disitu dan diantara pengagumnya adalah Dr. Thaha Husein Di Timur Tengah saat itu ia juga menjadi perwira tentera pada kantor Gubernur Jenderal Perancis di Suria dan Palestina. Pengalamannya di dunia Islam itu menjadikannya orientalis yang sangat memahami politik di dunia Islam.
    Tahun 1922 ia kembali ke Paris untuk menyelesaikan program doktornya di Universiti Sorbonne. Ia menulis disertasi mengenai tasawuf Islam
    Massignon selain mengkaji Islamologi, ia juga menjadi pembimbing rohani pada perkumpulan missionarisme Perancis di Al-Azhar Mesir. Salah seorang muridnya yang terkenal adalah Syeikh Abdul Halim Mahmud(dekan Fakulti Usuluddin pada tahun 1964, ).
    Ia berusaha keras memasukkan misi Kristen pada program-program pemerintah Perancis di tanah jajahannya di Timur Tengah. Bahkan ia berusaha –sebagaimana Goldziher—memasukkan unsur-unsur Katolik dalam Islam. Dimana ia menyamakan penghormatan kaum Muslim kepada Fatimah sebagaimana pemujaan Katolik ke ‘Ibu Maria’. Ia menulis sejumlah karya : Yesus dalam Injil menurut Al Ghazali (1932), Al Mutanabbi dan Masa Dinasti Ismailiyah dalam Islam (1935), Sejarah Ilmu Pengetahuan di Kalangan Bangsa Arab (1957) dan lain-lain.
    Massignon juga berusaha mempengaruhi rakyat Afrika Utara agar menerima niat baik politik Perancis di wilayah itu. Aliran sufi dan mistik ini banyak dianut oleh rakyat Afrika Utara dan itu sangat menguntungkan pemerintah Perancis. Ia berusaha menyakinkan rakyat Afrika Utara agar menjadi bahagian dari tanah Perancis.
    Selain orientalis-orientalis yang disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam. Seperti J. Arberry, Arthur Jeffery, Montgomery Watt dan lain-lain. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mereka mendirikan ‘Islamic-Islamic Studies’ di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejak mereka. Diantara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dan Leonard Binder. Kini, ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya. Seperti John L Esposito dan Karen Amstrong. Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, tapi ia tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”. Karen Amstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam.

    Murid kepada Louis Massignon : Syeikhul Azhar Imam al-Akbar (1973)
    Dr. Abdul Halim Mahmud r.h.m.

    Pada awal tahun 1960an, gelombang anti al-Azhar telah menguasai media Mesir. Gelombang ini telah sampai ke kemuncaknya dengan dokongan ulama-ulama yang masih setia mempertahankan aqidah Islam sebenar. Sebagai tindakbalas, Syeikh Abdul Halim terus berhenti memakai pakaian Eropahh dan mengantikannya dengan pakaian al-Azhar. Beliau juga mengarahkan agar rakan-rakannya untuk bertindak sedemikian.Beliau tahu bahawa gelombang ini sangat merbahaya kepada kerjaya beliau. Detik-detik itu juga telah menyaksikan penulis-penulis warisan Islam menyerang sejumlah besar ulama al-Azhar di dalam akhbar-akhbar mereka. Bahkan, Syeikh Abdul Halim sendiri tidak terkecuali.
    Beliau juga merupakan seorang penulis . Beliau telah menulis lebih daripada 60 buah buku. Terdapat kitab-kitab ulama silam yang ditulis semula oleh beliau termasuk Kitab Imam Al-Ghazali. Antara hasil penulisan beliau ialah:
    • Al-Islam wa Syuyu’iyyah
    • Jihaduna al-Muqaddas
    • Al-Iman
    • At-Tasawwuf ‘Inda Ibnu Sina
    • Falsafah Ibnu Tufail
    • At-Tasawwuf al-Islami
    • Al-Harith Ibnu Asad al-Muhasibi
    • Al-Falsafah al-Yunaniah
    • Dalailun Nubuwah wa Mu’jizat ar-Rasul
    • Al-Madrasah as-Syaziliyyah al-Hadithah Wa Imamuha Abu al-Hasan as-Syazili.

    Kitab-kitab karangan beliau telah menjadi rujukan pelajar-pelajar Al-Azhar sehingga kini. Inilah sumber Ilmu aqidah umat Islam sedunia yang ditinggalkan hasil dari kekotoran tangan-tangan penjajah.

    The Cloak Of a Religious Man (Jubah Orang Alim)
    Di antara strategi musuh Khilafah Islamiyyah yang terakhir di Turki ialah menggunakan manusia-manusia yang memakai ‘jubah orang alim’ bagi meresapi faham-faham yang asing dari Agama. Artikel di bawah ini dikutip dari satu website di Turki yang sememangnya gigih mempertahankan firqah najiyyah Ahl Sunah Wal Jama’ah bawah tanah dan Khilafah. Ianya adalah dipelupuri oleh golongan tasawwuf yang berkesinambungan terus dengan jaringan ulama-ulama besar Ahl Sunnah Wal Jama’ah silam yang bertali-temali sehingga kepada ulama-ulama besar salafusolihin di abad-abad yang terdahulu.
    Tekanan hebat di zaman Bapa Kekufuran (Riddah) Turki; Kamal Attartuk laknatuLlah alaih, tidak menghilangkan 100% warisan ilmu Ahl Sunnah Wal Jama’ah yang mereka pertahankan. Cuma sisa-sisa ini tidak lagi dapat dipelajari di sekolah-sekolah formal(rasmi) kerajaan, malah Ilmu aqidah Islam yang sebenar(tersisa) ianya di anggap aneh dan sesat selepas era-penjajahan. Mereka ini adalah pejuang-pejuang sekolah-sekolah agama penuh rakyat (kalau di Negara-negara Arab ianya sekolah bawah tanah, dan di rantau Nusantara dikenali sebagai sekolah pondok) dan inilah sisa-sisa kebenaran yang tinggal. Itu pun akibat dari tekanan yang berterusan sebahagian besar darinya telah terkakis kefahaman sebenar. Semoga Allah subhanahu wata’ala memelihara agamaNya.

    ANCAMAN TERHADAP HADIS
    Ignaz Goldziher misionaris Yahudi
    ANCAMAN para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebahagian kalangan Umat Islam. Maka muncullah gerakan penyaringan hadis kononnya di Mesir, Arab Saudi, Jordan, Turki, India, Pakistan dan Asia Tenggara. Hasilnya sebahagian besar hadis-hadis penting terutamanya tentang aqidah Islam terlah menjadi korban yang kebanyakannya diriwayatkan oleh Saidina Ali, Hassan, Hussin dan Fatimah dengan alasan terdapat unsur-unsur penyelewengan Syiah. Maka mereka sanggup anggap syiah selewengkan hadis sedangkan para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen tidak di anggap sedemikian pula malah di anggap pula sebagai guru. Pelik dan ajaib sungguh sikap ulama-ulama boneka ini.
    Wabak anti-hadits juga sempat merebak di Timur Tengah. Pengasasnya adalah artikel Muhammad Tawfīq Shidqī yang dimuat dalam majalah al-Manār Kairo, Mesir. Menurut Shidqī, perilaku Nabi Muhammad SAW tidak dimaksudkan untuk ditiru seratus peratus; Umat Islam semestinya berpegang pada dan cukup mengikuti al-Qur’an saja. Namun setelah mendapat kritik dan sanggahan dari para tokoh ulama penapis hadis Mesir (murid-murid Goldziher) dan India (Syaikh Ahmad Manshūr al-Bāz, Syaikh Thāhā al-Bisyrī, dan Syaikh Shālih al-Yāfi‛ī), dan atas saranan Muhammad Rasyīd Ridhā, Shidqī akhirnya sedar dan menarik balik pendapat-pendapatnya.
    Selain Shidqī, sebahagian cendekiawan penapis hadis Mesir(murid-murid Goldziher) yang juga mempersoalkan status hadits adalah Ahmad Amīn, Muhammad Husayn Haykal dan Thaha Husayn. Dan heboh berikutnya timbul menyusul terbitnya karya-karya Mahmūd Abū Rayyah yang intinya menolak otentisitas sekaligus otoritas hadits maupun sunnah, mempersoalkan intigriti (‛adālah) para Shahabat umumnya dan Abū Hurayrah ra khususnya. Disini ditekankan cendiakawan Islam tanpa sedar telah menari dengan tarian orientalis.
    Gelombang ini juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia gerakan ini telah dilarang secara resmi oleh para ulama dan Pemerintah sebagaimana tertera dalam Fatwa hasil keputusan Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia Pusat tahun 1983 dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor 169/J.A/9/1983.
    Di Malaysia gerakan anti-hadits dipelopori oleh Kassim Ahmad. Orang ini menulis buku kecil yang isinya meragukan kesahihan hadits dan sekaligus menolaknya. Tidak hanya isinya yang membenarkan dan mepromosi orientalis, bahkan judul bukunya pun, “Hadis – Suatu Penilaian Semula”, mengingatkan kita pada judul artikel Joseph Schacht beberapa dekade yang lalu: “A Revaluation of Islamic Tradition”.
    Pada 8 Juli 1986, buku tersebut dilarang peredarannya oleh Kementrian Dalam Negeri Malaysia. Berikut ini ulasan kritis tentang pelbagai tindakan licik orientalis dan para pengikutnya(murid-muridnya) dalam menggungat kesahihan (keaslian) hadits Rasulullah SAW dan meruntuhkan hujah (hujjiyyah)-nya sebagai salah satu sumber asasi ajaran Islam.
    Orientalis yang dimaksud disini adalah para sarjana Barat yang notabene non-Muslim (Yahudi, Kristen atau bahkan atheis) namun sibuk mengkaji Islam beserta selok-beloknya. Adapun pengikut orientalis yang dimaksud adalah kalangan Muslim dan menjadi pujaan oleh dunia Islam hari ini. Perlu diketahui dan senantiasa diingat bahwa Umat Islam, khusunya kaum berilmu alias ‛ulamā’ dari dahulu (salaf) hingga sekarang (khalaf), tidak pernah ada yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadits yang ada itu asli atau sahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadits yang ada itu palsu belaka. Hanya orang bodoh dan tak berilmu yang berpendapat dan berkata demikian. Cukuplah kita telah banyak kehilangan khazanah berharga itu.
    Ancaman orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bahagian Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropah. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).
    Hujah ini diyakini oleh rekaan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (“…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities”). Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak: “…the European critic is compelled, without hesitation, to reject at least one-half.” Itu dari sudut sumber isnādnya, sedangkan dari sudut isi matannya, maka hadits “must stand or fall upon its own merit”. Tulisan Muir ini kemudian dijawab oleh Sayyid Ahmad Khan dalam esei-eseinya.
    Selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher. Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat “nyantri” di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, selama kurang lebih setahun (1873-1874). Setelah kembali ke Eropah, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan jesteru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.
    Dibandingkan dengan para pendahulunya, pendapat Goldziher mengenai hadits jauh lebih negatif. Menurut dia, dari sekian banyak hadits yang ada, sebahagian besarnya ―untuk tidak mengatakan seluruhnya― tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu dan, karena itu, tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah awal Islam.
    Menurut Goldziher, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam: “Das Hadith wird uns nicht als Document für die Kindheitsgeschichte des Islam, sondern als Abdruck der in der Gemeinde hervortretenden Bestrebungen aus der Zeit seiner reifen Entwicklungsstadien dienen”.
    Ini berarti, menurut dia, hadith adalah hasil ciptaan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau.
    Karena Ancaman orientalis terhadap hadits pada awalnya mempersoalkan ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan kesahihan hadits, maka sejumlah pakar pun melakukan penyaringan intensif(nyahbuang hadis) perihal sejarah literatur hadits dengan alasan untuk mematahkan serangan orientalis yang mengatakan bahwa hadits baru dicatat pada abad kedua dan ketiga Hijriah.
    Spekulasi Goldziher dan rakan-rakannya tersebut diatas kemudian ditelan dan diolah lagi oleh Joseph Schacht, orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi. Dalam bukunya yang cukup kontroversial, Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi SAW, dan kalaupun ada dan dapat dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali: “we shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.”
    Meskipun telah banyak dikritik, teori dan metode Schacht masih saja digunakan dan dikembangkan oleh Gauthier Juynboll dan ulama-ulama bertauliah Islam Mesir, Arab Saudi, Jordan, Turki dan lainnya tidak ketinggalan menari diatas pentas yang sama
    Sebagaimana telah disigung di muka, Ancaman orientalis dan para pengikutnya terhadap hadits telah ditolak dan dijawab oleh sejumlah ulama pakar kononnya(Ulama Islam murid orientalis) dengan tanpa sedar merekalah yang menjadi penyaring terbaik untuk mengikis hadis-hadis penting terutamanya berkaitan aqidah .

    Contoh percubaan penyaringan Hadis :
    Shahih : Hadis Saidina Ali Pintu Kota Ilmu
    Hadis Saidina Ali pintu kota ilmu termasuk hadis yang dibenci oleh para salafy wa nashibi. Mereka bersikeras menyatakan hadis tersebut palsu dan dibuat-buat oleh orang syiah. Sebelumnya kami pernah membahas tentang hadis ini dan kami berpendapat bahwa hadis ini kedudukannya hasan tetapi setelah mempelajari kembali maka kami temukan bahwa hadis ini sebenarnya hadis yang shahih. Pada pembahasan kali ini kami akan membawakan hadis ini dengan sanad yang jayyid.
    Sebelumnya kami akan menyampaikan fenomena menarik seputar hadis ini. Hadis ini telah dinyatakan palsu oleh sebagian ulama sehingga para ulama itu tidak segan-segan mencacat mereka yang meriwayatkan hadis ini. Dengan kata lain, berani meriwayatkan hadis ini maka si perawi siap-siap mendapat tuduhan seperti “dhaif” atau “pemalsu hadis” atau “rafidah busuk”. Hadis pintu kota ilmu masyhur diriwayatkan oleh Abu Shult Abdus Salam bin Shalih Al Harawi dan kasihan sekali orang ini dituduh sebagai yang memalsukan hadis tersebut sehingga tidak segan-segan banyak ulama yang berduyun-duyun mendhaifkan Abu Shult.
    Fakta membuktikan ternyata Abu Shult tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini. Bersamanya ada banyak perawi lain baik tsiqat, dhaif atau majhul yang juga meriwayatkan hadis ini. Bukankah ini salah satu indikasi kalau Abu Shult tidak memalsukan hadis ini. Dan ajaibnya seorang Saidina terkenal Ibnu Ma’in bersaksi kalau Abu Shult tidak memalsukan hadis ini bahkan Ibnu Ma’in menyatakan Abu Shult seorang tsiqat shaduq.
    Ternyata para ulama tidak kehabisan akal, mereka membuat tuduhan baru yang akan mengakhiri semuanya. Tuduhannya tetap sama “Abu Shult memalsukan hadis ini” tetapi dengan tambahan “dan siapa saja yang meriwayatkan hadis ini selain Abu Shult maka dia pasti mencuri hadis tersebut dari Abu Shult”. Mengagumkan, perkataan ini jelas menunjukkan bahwa sebanyak apapun orang lain selain Abu Shult meriwayatkan hadis ini maka hadis ini akan tetap palsu keadaannya. Fenomena ini menunjukkan betapa canggihnya sebagian ulama sekaligus menunjukkan betapa konyolnya sebagian ilmu jarh wat ta’dil.
    Mengapa konyol?. Karena jelas sekali dipaksakan. Mereka ingin memaksakan kalau hadis ini palsu dan yang memalsukannya adalah Abu Shult Al Harawi. Di bawah ini kami akan membawakan sanad yang menunjukkan kalau hadis ini tidaklah palsu dan Abu Shult bukanlah orang yang tertuduh memalsu hadis ini.
    ثنا أبو الحسين محمد بن أحمد بن تميم القنطري ثنا الحسين بن فهم ثنا محمد بن يحيى بن الضريس ثنا محمد بن جعفر الفيدي ثنا أبو معاوية عن الأعمش عن مجاهد عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد المدينة فليأت الباب
    Telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Qanthari yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Fahm yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Dharisy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far Al Faidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dari Al ‘Amasy dari Mujahid dari Ibnu Abbas RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya dan siapa yang hendak memasuki kota itu hendaklah melalui pintunya” [Mustadrak As Shahihain Al Hakim no 4638 dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Ma’in]
    Hadis riwayat Al Hakim di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq hasanul hadis. Mereka yang mau mencacatkan hadis ini tidak memiliki hujjah kecuali dalih-dalih yang dipaksakan. Berikut pembahasan mengenai perawi hadis tersebut dan jawaban terhadap syubhat dari para pengingkar.
    Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Qanthari yang dikenal Abu Husain Al Khayyath adalah Syaikh [gurunya] Al Hakim dimana Al Hakim banyak sekali meriwayatkan hadis darinya. Al Hakim telah berhujjah dengan hadis-hadisnya dan menshahihkannya dalam Al Mustadrak. Selain itu Al Hakim menyebutnya dengan sebutan Al Hafizh [ini salah satu predikat ta’dil] dalam Al Mustadrak no 6908. Muhammad bin Abi Fawaris berkata “ada kelemahan padanya” [Tarikh Baghdad 1/299]. Pernyataan Ibnu Abi Fawaris tidaklah benar karena Al Hakim sebagai murid Abu Husain Al Khayyath lebih mengetahui keadaan gurunya dibanding orang lain dan Al Hakim telah menta’dilkan gurunya dan menshahihkan hadis-hadisnya. Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak juga tidak pernah mengkritik Abu Husain Al Khayyath bahkan ia sepakat dengan Al Hakim, menshahihkan hadis-hadis Abu Husain Al Khayyath.
    Husain bin Fahm adalah seorang yang disebut Adz Dzahabi sebagai Al Hafizh Faqih Allamah yang berhati-hati dalam riwayat. [Siyar ‘Alam An Nubala 13/427]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat ma’mun hafizh [Mustadrak no 4638]. Al Khatib juga menyatakan ia tsiqat dan berhati-hati dalam riwayat [Tarikh Baghdad 8/92 no 4190]. Disebutkan kalau Daruquthni menyatakan “ia tidak kuat”. Pernyataan Daruquthni tidak bisa dijadikan hujjah karena ia tidak menjelaskan sebab pencacatannya padahal Al Hakim dan Al Khatib bersepakat menyatakan Husain bin Fahm tsiqah ditambah lagi pernyataan “laisa biqawy” [tidak kuat] bukan pencacatan yang keras dan juga bisa berarti seseorang yang hadisnya hasan.
    Muhammad bin Yahya bin Dharisy adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam Ats Tsiqat juz 9 no 15450 dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh wat Ta’dil 8/124 no 556] dan sebagaimana disebutkan Al Mu’allimi kalau Abu Hatim seorang yang dikenal ketat soal perawi dan jika ia menyebut perawi dengan sebutan shaduq itu berarti perawi tersebut tsiqah [At Tankil 1/350]
    Muhammad bin Ja’far Al Faidy adalah Syaikh [guru] Bukhari yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 9 no 15466. Telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat diantaranya Al Bukhari [dalam kitab Shahih-nya] oleh karena itu disebutkan dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 5786 kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis. Sebenarnya dia seorang yang tsiqat karena selain Ibnu Hibban, Abu Bakar Al Bazzar menyatakan ia shalih [Kasyf Al Astar 3/218 no 2606] dan Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat makmun [Al Mustadrak Al Hakim no 4637].
    Ibnu Hajar menyebutkan biografi Muhammad bin Ja’far Al Faidy dalam At Tahdzib juz 9 no 128 dan disini Ibnu Hajar mengalami kerancuan. Ibnu Hajar membuat keraguan kalau sebenarnya dia bukanlah syaikh [guru] Al Bukhari. Dalam Shahih Bukhari disebutkan dengan kata-kata “haddatsana Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far haddatsana Ibnu Fudhail” [Shahih Bukhari no 2471]. Menurut Ibnu Hajar, Muhammad bin Ja’far yang dimaksud bukan Al Faidy tetapi Muhammad bin Ja’far Al Simnani Al Qumasi yang biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 9 no 131. Muhammad bin Ja’far Al Simnani disebutkan Ibnu Hajar kalau dia dikenal Syaikh Al Bukhari seorang hafiz yang tsiqat dan dia masyhur dikenal dengan kuniyah Abu Ja’far sedangkan Al Faidy lebih masyhur dengan kuniyah Abu Abdullah. Disini Ibnu Hajar melakukan dua kerancuan
    • Pertama, Muhammad bin Ja’far yang dimaksud Al Bukhari adalah Muhammad bin Ja’far Al Faidy karena Al Hakim dengan jelas menyebutkan Muhammad bin Ja’far Al Faidy dengan kuniyah Abu Ja’far Al Kufi dan dialah yang meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan Al Kufy [Al Asami wal Kuna juz 3 no 1044]. Bukhari sendiri menyebutkan kalau Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far yang meriwayatkan dari Ibnu Fudhail tinggal di Faid dengan kata lain dia adalah Al Faidy [Tarikh Al Kabir juz 1 no 118]. Jadi memang benar kalau Muhammad bin Ja’far Al Faidy adalah Syaikh atau gurunya Al Bukhari.
    • Kedua, Ibnu Hajar dengan jelas menyatakan Muhammad bin Ja’far Al Simnani [Syaikh Al Bukhari] seorang hafiz yang tsiqat [At Taqrib 2/63] sedangkan untuk Muhammad bin Ja’far Al Faidy [Syaikh Al Bukhari] Ibnu Hajar memberikan predikat “maqbul” [At Taqrib 2/63]. Hal ini benar-benar sangat rancu, Muhammad bin Ja’far Al Simnani walaupun ia gurunya Al Bukhari tidak ada satupun ulama mutaqaddimin yang memberikan predikat ta’dil kepadanya bahkan Ibnu Hibban tidak memasukkannya dalam Ats Tsiqat sedangkan Muhammad bin Ja’far Al Faidy telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Jadi yang seharusnya dinyatakan tsiqat itu adalah Muhammad bin Ja’far Al Faidy.
    Abu Muawiyah Ad Dharir yaitu Muhammad bin Khazim At Tamimi seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat [At Taqrib 2/70]. Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy juga perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat [At Taqrib 1/392] dan Mujahid adalah seorang tabiin Saidina ahli tafsir perawi kutubus sittah yang juga dikenal tsiqat [At Taqrib 2/159]. Salah satu cacat yang dijadikan dalih oleh salafy adalah tadlis Al ‘Amasy. Al’Amasy memang dikenal mudallis tetapi ia disebutkan Ibnu Hajar dalam Thabaqat Al Mudallisin no 55 mudallis martabat kedua yaitu mudallis yang an’ anah-nya dijadikan hujjah dalam kitab shahih.
    • Saidina Bukhari telah menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Shahih Bukhari no 1361, 1378, 1393
    • Saidina Muslim menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Shahih Muslim no 2801
    • Saidina Tirmidzi menyatakan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid hasan shahih dalam Sunan Tirmidzi 4/706 no 2585
    • Adz Dzahabi menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Talkhis Al Mustadrak 2/421 no 2613
    • Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir no 2993]
    • Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Al Arnauth no 2993]
    • Syaikh Al Albani menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Irwa’ Al Ghalil 1/253
    Tentu saja mencacatkan hadis ini dengan dalih tadlis ‘Amasy adalah pencacatan yang lemah dan terkesan dicari-cari karena cukup dikenal di kalangan ulama dan muhaqqiq kalau an an-ah ‘Amasy bisa dijadikan hujjah.
    .Ulasan
    Sanad riwayat Al Hakim di atas adalah sanad yang jayyid dan tidak diragukan lagi kalau para perawinya tsiqah sehingga kedudukan hadis tersebut seperti yang dikatakan Al Hakim dan Ibnu Ma’in yaitu shahih. Riwayat Al Hakim ini sekaligus bukti bahwa Abu Shult Al Harawi tidak memalsukan hadis ini. Hadis ini memang hadis Abu Muawiyah dan tidak hanya Abu Shult yang meriwayatkan darinya tetapi juga Muhammad bin Ja’far Al Faidy seorang yang tsiqat dan makmun
    Kalaulah umat Islam menerima hadis tersebut maka Saidina Ali adalah pintu Ilmu maka fahamlah kenapa kebanyakan hadis yang diriwayat oleh Saidina Ali telah banyak dikerat buang hasil ulama didikan orientalis terutamanya tentang aqidah maka kebanyakan umat Islam hari ini telah kehilangan pintu ilmu.
    Sedar tak sedar satu lagi system licik tauliah diperkenalkan diseluruh pusat pengajian Islam dinegara-negara orang Islam yang kononnya dimerdekakan oleh penjajah adalah untuk memastikan kekotoran peninggalan mereka dapat pertahankan dan dibajai oleh orang Islam itu sendiri. Kini mereka tidak perlukan kepandaian Goldziher atau Louis Masignon lagi kerana seluruh pusat pengajian Islam dibawah payung pemerintah dapat menjalankan tugas itu dengan baik sekali.
    Kesimpulan Ringkas
    Seluruh pusat pengajian Islam bertauliah dinegara-negara orang Islam yang kononnya dimerdekakan telah musnah Ilmu Tauhid hasil dari kotoran tangan-tangan penjajah dan tali-barutnya. Baik Islam ala “ Al-Azhar “ atau Islam ala “wahabi/salafy”. Sisa-sisa aqidah Islam sebenar hanya tinggal pada kitab-kitab lama yang telah diharamkan oleh pemerintah Negara-negara Islam itu sendiri. Ini adalah perancangan kotor dan sangat licik oleh musuh-musuh Islam.
    Hadis Sahih:
    Daripada Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Salawatu Alai Wasalam, “Islam mula tersebar dalam keadaan dagang (asing). Dan ia akan kembali asing pula. Maka beruntunglah orang orang yang asing”.

    H.R. Muslim
    Benarlah ya Rasullullah Sabdamu diatas yang mana sekarang ini terasa begitu dagangnya.
    Akibat tekanan hebat dan dagangnya aqidah Islam sebenar maka guru-guru daif(kebanyakannya dihujung umur) sekolah pondok atau bawah tanah tidak mampu menangkis fitnah-fitnah keatas Islam dari musuh-musuh orientalis bukan Islam bahkan lebih-lebih lagi dari ulama-ulama terkini yang hanyut dengan tauliah-tauliah mereka. Nauzubillah….Semoga Allah selamatkan hambamu ini….

  102. sebenarnya tidak susah mencari mana yang benar, kalau memang yang mengklaim perkataan nabi bahwasanya Ali adalah pengganti beliau adalah benar kok tidak terbukti ucapan nabi tersebut??????
    Karena kalau memang itu ucapan nabi, walau dihalangi manusia sedunia juga pasti tetap terjadi karena ucapan nabi berasal dari wahyu Alloh….gimana… nggak repotkan kalau mau berfikir??????

  103. @sudirgantoro

    Pernyataan anda mungkin “benar” sekiranya saja semua orang memahami perkataan Nabi sebagai sebuah nubuwwah tentang apa yang akan terjadi sepeninggal beliau.

    Sayangnya ternyata perkataan Nabi tersebut ada juga yg memahaminya sebagai sebuah ketetapan syar’i yg sebagaimana perintah syar’i yang lainnya tidaklah berkorelasi langsung dengan sikap apakah umat mematuhi ketetapan itu ataukah tidak.

    Karena begitu “tidak susahnya mencari mana yang benar” membuat anda luput untuk mempertimbangkan bahwa ada sudut pandang lain atas makna perkataan Nabi yg berbeda dengan sudut pandang yang telah anda kemukakan.

  104. ayoo terus bertengkar,biar lebih mesra nantinya

  105. kok aneh, ketika ada perintah/pernyataan nabi saw pd umatnya tak terwujud maka pernyataan nabi itu pasti keliru…??? kalau ketika wafatnya nabi saw umat islam langsung memilih ali bn abutholib,…yah artinya tugas iblis langsung pensiun. inilah salah satu cobaan terbesar umat islam kala itu,..di goda oleh iblis utk umat islam tdk mematuhi wasiat nabi saw….nabi musa as pun ketika itu gagal utk menempatkan sodaranya nabi harun as untuk ditaati kaumnya sebagai pemimpin pengganti beliau ketika pergi ke gunung tsur

  106. Insyaallah, ini sebuah diskusi yang lurus, bermanfa’at, dan menambah rujukan saya, semoga Allah ridha, amin.

  107. Memang tdk ada ‘clue’ yg langsung mengarah pada penunjukan Ali ra sbg khaliffah pengganti Rasulallah. Jg terhadap sahabat2 lainnya, tdk ada hadits penunjukan langsung.

  108. MOHON dipublikasikan secara luas kepada seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali semua kitab2 kumpulan hadist secara lengkap mulai dari bukhari, Muslim, Tiirmizi, baihaqi dll dan juga kitab2 sejarah awal islam secara sistematis, komprehensif dan otentik untuk dikaji seluruh kaum muslimin.

Tinggalkan komentar