Takhrij Atsar Aliy bin Abi Thalib : Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat Tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya

Takhrij Atsar Aliy bin Abi Thalib : Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat Tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya

Kepemimpinan Imam Ali telah ditetapkan dalam hadis-hadis shahih, dibenarkan oleh mereka yang mengetahuinya dan diingkari oleh para pengingkar. Di antara pengingkaran mereka adalah mengait-ngaitkan “kepemimpinan Imam Ali” dengan ciri khas kaum Syiah. Sehingga siapapun yang menetapkan kepemimpinan Imam Ali maka ia adalah Syiah Rafidhah dan kafir. Sebagian pengingkar yang sok mengaku-ngaku ahlus sunnah, mengutip atsar dimana Imam Aliy mengakui bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepemimpinan kepada dirinya. Atsar tersebut dhaif sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya. Tulisan kali ini hanya pembahasan ulang yang lebih rinci untuk membuktikan bahwa atsar Imam Aliy tersebut dhaif sekaligus bantahan terhadap orang yang menguatkan atsar ini .

.

.

.

Riwayat Abdullah bin Sabu’

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذَا، فَمَا يَنْتَظِرُ بِي الْأَشْقَى؟ ! قَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَخْبِرْنَا بِهِ نُبِيرُ عِتْرَتَهُ، قَالَ: إِذًا تَالَلَّهِ تَقْتُلُونَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: فَاسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَتْرُكُكُمْ إِلَى مَا تَرَكَكُمْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: فَمَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ؟ وَقَالَ وَكِيعٌ مَرَّةً: إِذَا لَقِيتَهُ؟ قَالَ: أَقُولُ: ” اللَّهُمَّ تَرَكْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ، ثُمَّ قَبَضْتَنِي إِلَيْكَ وَأَنْتَ فِيهِمْ، فَإِنْ شِئْتَ أَصْلَحْتَهُمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَفْسَدْتَهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Aliy [radiallahu ‘anhu] mengatakan Sungguh akan diwarnai dari sini hingga sini, dan tidak menungguku selain kesengsaraan.” Para shahabat bertanya “Wahai Amirul-Mukminiin beritahukan kepada kami orang itu, agar kami bunuh keluarganya”. Ali berkata “Kalau begitu demi Allah, kalian akan membunuh orang selain pembunuhku.” Mereka berkata “Angkatlah khalifah pengganti untuk memimpin kami”. ‘Aliy menjawab “Tidak, tapi aku tinggalkan kepada kalian apa yang telah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] tinggalkan untuk kalian”. Mereka bertanya “Apa yang akan kamu katakan kepada Rabbmu jika kamu menghadap-Nya?”. Dalam kesempatan lain Wakii’ berkata “Jika kamu bertemu dengan-Nya?” ‘Aliy berkata “Aku akan berkata Ya Allah, Engkau tinggalkan aku bersama mereka sebagaimana tampak bagi-Mu, kemudian Engkau cabut nyawaku dan Engkau bersama mereka. Jika Engkau berkehendak, perbaikilah mereka dan jika Engkau berkehendak maka hancurkanlah mereka [Musnad Ahmad 1/30]

Hadis dengan jalan ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 3/20, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 14/596 & 15/118, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no 341, Al Khallaal dalam As Sunnah no 332, Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 594 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/538. Semuanya dengan jalan sanad dari Waki’ dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’

.

.

Waki’ mempunyai mutaba’ah dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy sebagaimana disebutkan Al Laalikaa’iy dalam Syarh Ushul Al I’tiqaad 1/664-665 no 1209 dan Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq 42/538-539 dengan jalan Ishaaq bin Ibrahim dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’. Ishaq bin Ibrahim berkata

سَمِعْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَيَّاشٍ، يَقُولُ: عِنْدِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِسْنَادٌ جَيِّدٌ أَخْبَرَنِي الأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، أَنَّ عَلِيًّا خَطَبَهُمْ بِهَذِهِ الْخُطْبَةِ

Aku mendengar Abu Bakar bin ‘Ayyasy mengatakan “disisiku hadis ini sanadnya jayyid, telah mengabarkan kepadaku Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ bahwa Aliy berkhutbah kepada mereka dengan khutbah ini

Orang itu setelah membawakan hadis ini berkata bahwa tashih Abu Bakar bin ‘Ayyasy terhadap sanad ini menunjukkan tautsiq terhadap para perawinya termasuk Abdullah bin Sabu’. Sehingga menurutnya terangkatlah jahatul ‘ainnya Abdullah bin Sabu’. Hujjah ini tertolak dengan alasan tashih tersebut tidaklah benar.

Abu Bakar bin ‘Ayyasy adalah perawi yang diperbincangkan keadaannya sebagian menta’dilkannya dan sebagian menjarh-nya karena terdapat kelemahan pada hafalannya bahkan Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkan hadisnya dari Al A’masy dan selainnya. Abu Bakar buruk hafalannya ketika beranjak tua. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli ibadah, buruk hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At Taqrib 2/366].

Ishaq bin Ibrahim yang meriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy wafat pada tahun 257 H sedangkan Abu Bakar bin ‘Ayyasy wafat tahun 194 H. Jadi ada selang waktu sekitar 63 tahun, tidak diketahui apakah Ishaq bin Ibrahim meriwayatkan dari Abu Bakar sebelum atau setelah hafalannya berubah, berdasarkan tahun wafat mereka berdua besar kemungkinan ia mendengar hadis ini dari Abu Bakar setelah ia beranjak tua dan hafalannya berubah. Bagaimana mungkin tashih dari perawi seperti ini dijadikan hujjah?. Selain itu yang menguatkan bahwa tashih Abu Bakar bin ‘Ayyasy ini berasal dari hafalannya yang buruk adalah tadlis Al A’masy merupakan perkara ma’ruf di sisi Abu Bakar maka bagaimana mungkin ia mengatakan hadis tersebut sanadnya jayyid padahal di dalamnya ada ‘an anah dari Al A’masy

وقال عبد الله بن أحمد عن أبيه في أحاديث الأعمش عن مجاهد قال أبو بكر بن عياش عنه حدثنيه ليث عن مجاهد

Abdullah bin Ahmad berkata dari ayahnya tentang hadis-hadis Al A’masy dari Mujahid, Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan darinya [A’masy] berkata “telah menceritakan kepadanya dari Laits dari Mujahid” [At Tahdzib juz 4 no 386]

Apalagi hadis ini juga diriwayatkan oleh Aswad bin ‘Amir dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dengan sanad yang berbeda yaitu dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ dan tanpa penyebutan tashih sanad yaitu sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 1/156 dan Fadha’il Ash Shahabah no 1211

نا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ  عَبْدِ  اللَّهِ  بْنِ  سَبُعٍ ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيٌّ

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar dan ia adalah Ibnu ‘Ayyasy dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata “Ali berkhutbah kepada kami”

Aswad bin ‘Aamir wafat tahun 208 H yang berdekatan dengan wafatnya Abu Bakar bin ‘Ayyasy tahun 194 H. Walaupun tidak diketahui apakah Aswad bin ‘Aamir meriwayatkan sebelum atau sesudah Abu Bakar berubah hafalannya tetapi dilihat dari tahun wafat mereka maka Aswad bin ‘Aamir memiliki kemungkinan yang lebih besar meriwayatkan dari Abu Bakar sebelum hafalannya buruk. Maka riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy yang lebih rajih adalah riwayat ‘Aswad bin ‘Aamir darinya yaitu riwayat  Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’

.

.

Khutbah Imam Ali riwayat Abdullah bin Sabu’ ini juga diriwayatkan oleh Jarir bin ‘Abdul Hamiid dari Al A’masy yaitu sebagaimana disebutkan Abu Ya’la

حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jariir dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Saalim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata Aliy bin Abi Thalib berkhutbah kepada kami [Musnad Abu Ya’la no 590]

Riwayat Jarir ini juga disebutkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 595, Al Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 198 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/540. Jarir memiliki mutaba’ah dari Abdullah bin Dawuud Al Khuraibiy sebagai mana disebutkan Ajjuriy dalam Asy Syari’ah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْوَاسِطِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَعْمَشَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Hamiid Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dawud yang berkata aku mendengar Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Ali [radiallahu ‘anhu] di atas mimbar [Asy Syari’ah 3/267-268]

Riwayat Abdullah bin Dawud juga disebutkan Al Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 150 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/541

Kalau kita melihat dengan baik maka riwayat Jarir dan Abdullah bin Dawud dari Al A’masy tidaklah sama dengan riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al A’masy. Keduanya [Jarir dan ‘Abdullah bin Dawud] menyebutkan dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ sedangkan Abu Bakar menyebutkan dari Al A’masy dari Salamah dari Abdullah bin Sabu’ tanpa menyebutkan Salim bin Abil Ja’d. Maka sungguh yang mengatakan bahwa riwayat tersebut sama adalah orang yang dibutakan matanya setelah dibutakan hatinya. Bagaimana tidak dikatakan buta, jika ia sendiri telah menuliskan riwayat Jarir dan Abdullah bin Dawud tersebut!.

Yahya bin Yaman meriwayatkan dari Ats Tsawriy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d tanpa menyebutkan ‘Abdullah bin Sabu’

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، قَالَ: قِيلَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yamaan dari Sufyaan Ats Tsawriy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d yang berkata dikatakan kepada Ali [radiallahu ‘anhu] [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1249 & 1317]

Setelah mengutip riwayat ini orang itu berkata “sanad riwayat ini lemah”. Kami katakan Yahya bin Yamaan ini kedudukannya tidak jauh berbeda dengan Abu Bakar bin ‘Ayyasy, Ibnu Hajar berkata tentang Yahya bin Yaman Al Ijliy shaduq ahli ibadah, banyak melakukan kesalahan, hafalannya berubah ketika beranjak tua [At Taqrib 2/319]. Lantas mengapa sebelumnya ia berhujjah dengan Abu Bakar bin ‘Ayyasy dan melemahkan Yahya bin Yamaan. Tidak lain itu karena akal-akalan nafsunya, dengan melemahkan riwayat Yahya bin Yamaan maka berkuranglah riwayat Al A’masy yang idhthirab.

Dan selanjutnya ia akan lebih gampangan mencari qarinah tarjih atas riwayat idhthirab Al A’masy. Orang itu membawakan riwayat tanpa jalur Al A’masy sebagai qarinah tarjih untuk membatalkan hujjah idhthirab Al A’masy dan menguatkan salah satu jalur yang ia inginkan. Berikut riwayat yang ia katakan sebagai qarinah tarjih

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ حَكِيمٍ، قال: ثنا أَبِي، قال: ثنا بَكْرُ بْنُ بَكَّارٍ، قال: ثنا حَمْزَةُ الزَّيَّاتُ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَلِيٌّ،

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Muhammad bin Ibrahiim bin Hakiim yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Bakr bin Bakkaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Hamzah Az Zayyaat dari Hakiim bin Jubair dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy  [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/29]

Riwayat ini lemah karena Bakr bin Bakkaar dan Hakim bin Jubair telah didhaifkan oleh sebagian ulama. Mengenai Bakr bin Bakkaar, Abu Ashim An Nabiil menyatakan ia tsiqat. Ibnu Abi Hatim berkata “dhaif al hadits, buruk hafalannya dan mengalami ikhtilath”. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Nasa’i terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “tidak tsiqat”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Al Uqailiy, Ibnu Jaruud dan As Saajiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 1 no 882]. Mengenai Hakim bin Jubair, Ahmad berkata “dhaif al hadits mudhtharib”, Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”, Yaqub bin Syaibah berkata “dhaif al hadits”. Abu Zur’ah berkata “shaduq insya Allah”. Abu Hatim berkata “dhaif al hadits mungkar al hadits”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Daruquthni berkata “matruk”. Abu Dawud berkata “tidak ada apa-apanya” [At Tahdzib juz 2 no 773]

Aneh bagaimana mungkin riwayat yang kedudukannya dhaif seperti ini dijadikan qarinah tarjih. Sungguh kami dibuat terheran-heran dengan caranyaberhujjah. Hal ini membuktikan bahwa ilmu hadis itu memang unik bisa diutak atik seenaknya demi kepentingan hawa nafsunya. Seandainya pun riwayat ini dijadikan tarjih riwayat A’masy maka itu menguatkan riwayat Yahya bin Yaman dari Ats Tsawriy dari A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy tanpa menyebutkan Abdullah bin Sabu‘.

Kemudian orang itu mengutip pernyataan Ibnu Asakir bahwa Salim tidak mendengar dari Aliy dan ia hanyalah meriwayatkannya melalui perantara Abdullah bin Sabu’. Tentu saja pernyataan Ibnu Asakir adalah berlandaskan pada  riwayat-riwayat lain sedangkan zhahir riwayat Bakr bin Bakaar di atas adalah tanpa menyebutkan Abdullah bin Sabu’. Jika riwayat Bakr mau dijadikan qarinah tarjih idhthirab A’masy maka berhujjahlah dengan zhahir riwayat Bakr bukan dengan andai-andai riwayat lain. Hal ini menunjukkan bahwa cara berhujjah orang itu benar-benar sembarangan dan seenaknya saja.

Ada satu lagi riwayat Aban bin Taghlib dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ yang dikutipnya yaitu riwayat dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/541, yaitu dengan sanad sebagai berikut

أَنْبَأناهُ أَبُو بَكْرٍ الشِّيرُوِيُّ، وَحَدَّثَنَا أَبُو الْمَحَاسِنِ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْهُ.ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ الْوَاسِطِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ، قَالا: أنا الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ الْحِيرِيُّ، نا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَصَمُّ، نا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبِيبَةَ الْقُرَشِيُّ، نا يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ الْفُرَاتِ الْعِرَارُ، نا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Asy Syiiruwiy dan telah menceritakan kepada kami Abu Mahaasin Abdurrazaq bin Muhammad darinya. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Khatib. Keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Al Qaadhiy Abu Bakar Al Hirriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Abbaas Muhammad bin Ya’qub Al Ashaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Aliy bin Muhammad bin Habiibah Al Qurasyiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hasan bin Furaat Al ‘Iraar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Umar dari Abaan bin Taghlib dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata Aliy bin Abi Thalib berkata [Tarikh Ibnu Asakir 42/541].

Riwayat ini dhaif sanadnya sampai Aban bin Taghlib karena diriwayatkan oleh para perawi majhul sehingga juga tidak bisa dijadikan qarinah tarjih.

  1. Abu Hasan Aliy bin Muhammad bin Habiibah Al Qurasyiy disebutkan Ibnu Makula biografinya dalam Al Ikmal tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil [Al Ikmal Ibnu Makula 3/120]
  2. Yahya bin Hasan bin Furaat Al ‘Iraar tidak ditemukan biografinya maka ia majhul tidak dikenal kredibilitasnya
  3. Muhammad bin Umar, tidak jelas siapa dirinya tetapi kemungkinan ia adalah Muhammad bin Abi Hafsh Al Athaar sebagaimana disebutkan Al Khatib bahwa ia meriwayatkn dari Aban bin Taghlib dan telah meriwayatkan darinya Yahya bin Hasan bin Furaat [Taliy Talkhiis Al Mutasyaabih 2/534]. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ia adalah Muhammad bin Umar Al Anshariy dan mengutip jarh Al Azdiy yang berkata “dibicarakan tentangnya” [Lisan Al Mizan juz 5 no 489].

Seandainya pun riwayat ini dijadikan qarinah tarjih sanad A’masy maka riwayat ini menguatkan riwayat Abu Bakar bin A’yasy dimana A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’. Maka tetap saja dua riwayat yang dijadikan qarinah tarjih oleh orang itu malah semakin menguatkan adanya idhthirab pada sanad A’masy. Kedudukan sebenarnya adalah tidak ada qarinah tarjih yang menguatkan salah satu sanad dalam idhthirab Al Amasy di atas.

  1. Al A’masy meriwayatkan dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’  dari Aliy [riwayat Waki’]
  2. Al A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ dari Aliy [riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy]
  3.  Al A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ dari Aliy [riwayat Jarir dan Abdullah bin Dawuud]
  4. Al A’masy meriwayatkan dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy tanpa menyebutkan Abdullah bin Sabu’ [riwayat Yahya bin Yamaan dari Ats Tsawriy]

Tidak diragukan lagi kalau hadis ini mudhtharib dan sumbernya adalah Al A’masy dan dalam semua riwayatnya ia meriwayatkan dengan ‘an anah. Abdullah bin Sabu’ hanya dikenal melalui satu hadis ini saja dan ternyata sanadnya mudhtharib maka ia seorang yang statusnya majhul ‘ain dan hadisnya mudhtharib. Kedudukan riwayat Abdullah bin Sabu’ ini sudah jelas dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Kemudian orang itu mengutip riwayat Tsa’labah bin Yazid Al Himmany yang ia katakan sebagai syahid perkataan Abdullah bin Sabu’. Riwayat ini disebutkan dalam Musnad Al Bazzar no 871, Kasyf Al Astaar no 2572, Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/439, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/542 semuanya dengan jalan sanad dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yaziid. Berikut riwayat Al Bazzar

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْجُنَيْدِ، قَالا: ثنا أَبُو الْجَوَابِ، قَالَ: ثنا عَمَّارُ بْنُ رُزَيْقٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ يَزِيدَ الْحِمَّانِيِّ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ: ” وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذِهِ لِلِحْيَتِهِ مِنْ رَأْسِهِ فَمَا يُحْبَسُ أَشْقَاهَا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُبَيْعٍ: وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لَوْ أَنَّ رَجُلا فَعَلَ ذَلِكَ أَبَرْنَا عِتْرَتَهُ، قَالَ: قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، أَنْ تَقْتُلَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنِّي أَتْرُكُكُمْ كَمَا تَرَكَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَمَاذَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ وَقَدْ تَرَكْتَنَا هَمَلا، قَالَ: أَقُولُ لَهُمُ اسْتَخْلَفْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ ثُمَّ قَبَضْتَنِي وَتَرَكْتُكَ فِيهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Sa’iid Al Jawhariy dan Muhammad bin Ahmad bin Al Junaid yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abul Jawaab yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ammaar bin Ruzaiq dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yazid Al Himmaniy yang berkata Aliy berkata “Demi Dzat yang menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan semua jiwa. Sungguh akan diwarnai darah dari sini hingga sini, yaitu dari kepala hingga jenggot. dan tidak menungguku selain kesengsaraan”. ‘Abdullah bin Subai’ berkata “Demi Allah wahai Amiirul-mukminiin, seandainya ada seorang laki-laki yang melakukan hal itu, sungguh akan kami  binasakan keluarganya”. Aliy berkata “Aku bersumpah kepada Allah bahwasannya engkau membunuh orang yang tidak membunuhku”. Mereka berkata “Wahai Amiirul-mukminiin, tidakkah engkau mengangkat khalifah pengganti untuk kami?”. ‘Aliy menjawab “Tidak. Akan tetapi aku akan meninggalkan kalian sebagaimana Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] telah meninggalkan kalian”. ‘Abdullah bin Subai’ berkata “Lalu, apakah yang akan engkau katakan kepada Rabbmu apabila engkau menemui-Nya dimana engkau meninggalkan kami mengurus keadaan kami sendiri?”. Aliy menjawab “Aku berkata Engkau telah mengangkat aku sebagai khalifah di tengah-tengah mereka sesuai kehendak-Mu, kemudian engkau mematikanku dan aku tinggalkan Engkau di tengah-tengah mereka [Musnad Al Bazzaar no 871]

Riwayat ini sanadnya dhaif karena ‘an anah Al A’masy dan Habib bin Abi Tsabit, keduanya dikenal sebagai mudallis. Ad Daruquthni memasukkan riwayat ini sebagai bagian dari idhthirab Al A’masy dan mengatakan tidak dhabit sanadnya [Al Ilal no 396]. Disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Tarikh Al Islam 3/647 dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 3/1125 yang mengutip riwayat Tsa’labah bin Yazid yaitu sampai lafaz “tidak ada yang menungguku selain kesengsaraan” tanpa menyebutkan lafaz Abdullah bin Sabu’ berkata. Disini terdapat qarinah yang menunjukkan illat [cacat] bahwa Al A’masy menampuradukkan antara hadis Tsa’labah bin Yazid dan hadis Abdullah bin Sabu’. Maka riwayat Tsa’labah bin Yazid tidak bisa dijadikan syahid riwayat Abdullah bin Sabu’ karena keduanya berasal dari idhthirab Al A’masy.

.

.

.

Riwayat Syu’aib bin Maimun

Riwayat ini disebutkan dalam Musnad Al Bazzar no 565, Mustadrak Al Hakim 3/79, As Sunnah Ibnu Abi ‘Ashim no 1158 & 1221, Sunan Baihaqy 8/149, Ad Dalaa’il Baihaqiy 7/223, Al I’tiqaad Baihaqiy 502, Amaliy Ibnu Bakhtariy no 42 dan Tarikh Ibnu Asakir 42/536-537 dengan sanad dari Syabaabah bin Sawwar dari Syu’aib bin Maimun dari Hushain bin ‘Abdurrahman dari Syaqiiq Abu Waiil dari Aliy [radiallahu ‘anhu]. Berikut riwayat Al Bazzar

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي الْحَارِثِ، قَالَ: نا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ، قَالَ: نا شُعَيْبُ بْنُ مَيْمُونٍ، عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ شَقِيقٍ، قَالَ: قِيلَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: ” مَا اسْتَخْلَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْتَخْلِفَ عَلَيْكُمْ، وَإِنْ يُرِدِ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِالنَّاسِ خَيْرًا، فَسَيَجْمَعُهُمْ عَلَى خَيْرِهِمْ كَمَا جَمَعَهُمْ بَعْدَ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خَيْرِهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Abil Haarits yang berkata telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimun dari Hushain bin ‘Abdurrahman dari Asy Sya’biy dari Syaqiiq yang berkata Dikatakan kepada Aliy “Tidakkah engkau mengangkat pengganti?”. Ia menjawab “Rasululah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] tidak mengangkat pengganti maka haruskah aku mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka [Musnad Al Bazzaar no 565].

Riwayat ini dhaif karena Syu’aib bin Maimun. Abu Hatim dan Al Ijliy berkata “majhul”. Bukhari berkata “fiihi nazhar”. Ibnu Hibban menyatakan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari para perawi masyhur tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri. [At Tahdzib juz 4 no 68]. Ibnu Hajar berkata “dhaif ahli ibadah” [At Taqrib 1/420]. Daruquthni berkata “tidak kuat” [Al Ilal no 493]. Al Uqailiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa 2/182-183 no 703]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 74]

Selain itu riwayat Syu’aib bin Maimun ini lemah karena idhthirab. Amru bin ‘Aun meriwayatkan hadis ini dari Syu’aib bin Maimun dari Abu Janaab Al Kalbiy dari Abu Wail dari Aliy sebagaimana disebutkan Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa 2/182-183 no 703. Abu Janaab seorang yang diperbincangkan termasuk mudallis thabaqat ketiga dan membawakan riwayat ini dengan ‘an anah.

Ibnu Hajar mengutip perkataan Muhammad bin Abaan Al Washithiy bahwa hadis Syu’aib ini termasuk hadis mungkarnya karena ma’ruf bahwa hadis ini diriwayatkan Hasan bin Umarah dari Washil bin Hayyaan dari Syaqiiq [At Tahdzib juz 4 no 608]. Kemudian orang itu berusaha membuat syubhat dengan mengutip pernyataan Al Bazzar “kami tidak mengetahui hadis tersebut diriwayatkan dari Syaqiiq dari Aliy kecuali dengan sanad ini” [Kasyf Al Astaar no 2484]. Artinya menurut Al Bazzar riwayat Syaqiiq dari Aliy hanya berasal dari jalur Syu’aib bin Maimun bukan dari jalur lain.

Perkataan ini tidak ada artinya karena yang mengetahui menjadi hujjah bagi yang tidak mengetahui. Muhammad bin Aban Al Wasithiy jelas lebih mengetahui dibanding Al Bazzar karena ia meriwayatkan langsung dari Syu’aib bin Maimun dan sezaman dengan Hasan bin Umarah. Apalagi riwayat Hasan bin Umaarah ini telah disebutkan Daruquthni dalam kitabnya Al Ilal [Al Ilal no 493]. Diantara riwayat Hasan bin Umarah telah diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Fadha’il Ash Shahabah no 622

حدثنا الحسين نا عقبة بن مكرم الضبي قثنا يونس بن بكير عن الحسن بن عمارة عن الحكم وواصل عن شقيق بن سلمة قال قيل لعلي الا توصي قال ما أوصى رسول الله صلى الله عليه وسلم فاوصى ولكن ان يرد الله بالناس خيرا فسيجمعهم على خيرهم كما جمعهم بعد نبيهم على خيرهم

Telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Makram Adh Dhabbiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Hasan bin Umarah dari Al Hakam dan Washil dari Syaqiiq bin Salamah yang berkata dikatakan kepada Aliy “tidak engkau berwasiat?”. Aliy berkata “Rasulullah tidak berwasiat maka mengapa aku berwasiat?” tetapi jika Allah menghendaki kebaikan bagi manusia maka ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik diantara mereka sebagaimana Allah menghimpun atas mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik diantara mereka [Fadha’il Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 622]

Yunus bin Bukair dalam periwayatannya dari Hasan bin Umarah memiliki mutaba’ah dari Ja’far bin ‘Aun sebagaimana yang disebutkan Abu Thalib Al Harbiy dalam Fadha’il Abu Bakar no 19. Hasan bin Umaarah adalah seorang yang disepakati dhaif matruk bahkan ia dinyatakan pendusta dan meriwayatkan hadis maudhu’. Maka benarlah apa yang dinukil Ibnu Hajar bahwa hadis Syu’aib bin Maimun ini termasuk diantara hadis-hadis mungkarnya

.

.

.

Riwayat ‘Amru bin Sufyan

Riwayat ‘Amru bin Sufyan ini memiliki banyak jalur periwayatan yang jika dikumpulkan akan nampak idhthirab pada sanad-sanadnya. Orang itu berusaha menguatkan hadis ini dengan menafikan idhthirab pada sanad-sanad riwayat ‘Amru bin Sufyan. Iaberusaha menerapkan metode tarjih untuk menguatkan hujjahnya tapi sayang sekali terlihat jelas bahwa apa yang ia lakukan hanya akal-akalan basi demi membela hadis yang sesuai dengan hawa nafsunya.

Diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/114, Fadha’il Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 477, As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1333, Al Ilal Daruquthni no 442 dengan jalan sanad dari ‘Abdurrazaaq dari Sufyan dari Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy. Berikut riwayat Ahmad dalam Musnad-nya

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْجَمَلِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا عَهْدًا نَأْخُذُ بِهِ فِي إِمَارَةِ، وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِنَا، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ، رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى أَبِي بَكْرٍ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى عُمَرَ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، حَتَّى ضَرَبَ الدِّينُ بِجِرَانِهِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq yang memberitakan kepada kami Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy [radiallahu ‘anhu] bahwa ia berkata pada saat perang Jamal “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] tidak pernah berwasiat kepada kami satu wasiatpun yang mesti kami ambil dalam masalah kepemimpinan. Akan tetapi hal itu adalah sesuatu yang kami pandang menurut pendapat kami, kemudian diangkatlah Abu Bakar menjadi Khalifah, semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Abu Bakar. Ia menjalankan dan istiqamah di dalam menjalankannya, kemudian diangkatlah Umar menjadi Khalifah semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Umar maka dia menjalankan dan istiqamah di dalam menjalankannya sampai agama ini berdiri kokoh karenanya [Musnad Ahmad 1/114]

Abdurrazzaq dalam periwayatannya dari Sufyan memiliki mutaba’ah yaitu Zaid bin Hubaab sebagaimana yang disebutkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no 1327 dan Abul Yahya Al Himmaniy sebagaimana disebutkan dalam Al Ilal Daruquthniy no 442. Riwayat ini sanadnya shahih sampai Aswad bin Qais. Tidak diketahui laki-laki yang meriwayatkan dari Aliy maka hadis tersebut kedudukannya dhaif.

Kemudian diriwayatkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1334, Al Ilal Daruquthniy no 442, Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/439, Al I’tiqaad Baihaqiy hal 502-503 dan Tarikh Al Khatib 4/276-277 dengan jalan sanad dari Sufyan dari Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan dari Aliy. Berikut sanadnya dalam riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal

حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، عَنْ عِصَامِ بْنِ النُّعْمَانِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، قَالَ: ” خَطَبَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْجَمَلِ

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafariy dari ‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan yang berkata “Ali berkhutbah pada saat perang Jamal [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1334]

Dalam riwayat Baihaqiy yaitu dalam Ad Dalaa’il dan Al I’tiqaad disebutkan bahwa Syu’aib bin Ayuub meriwayatkan dari Abu Dawud Al Hafariy dari Sufyan tanpa menyebutkan ‘Ishaam bin Nu’man. Hal ini keliru, karena dalam riwayat Daruquthni disebutkan dari Syu’aib bin Ayuub dari Abu Dawud Al Hafariy dari ‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyan. Kemudian dalam riwayat Al Khatib disebutkan dari Al Hafariy dari ‘Aashim bin Nu’maan dari Sufyan.

Riwayat ini sanadnya dhaif atau tidak tsabit sampai Aswad bin Qais karena ‘Ishaam bin Nu’man atau ‘Aashim bin Nu’man adalah seorang yang majhul tidak diketahui kredibilitasnya bahkan namanya pun tidak jelas apakah ‘Ishaam ataukah ‘Aashim dan yang meriwayatkan darinya hanya satu orang yaitu Abu Dawud Al Hafariy.

‘Ishaam bin Nu’maan dalam periwayatannya dari Sufyaan memiliki mutaba’ah yaitu dari Husain bin Walid sebagaimana disebutkan dalam Amaliy Al Jurjaniy no 13 yaitu dengan jalan sanad berikut

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْحَسَنِ، ثَنا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ السُّلَمِيُّ، ثنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْوَلِيدِ، ثنا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ الْعَبْدِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ الثَّقَفِيِّ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Husain bin Al Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yazid As Sulamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waliid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan Ats Tsawriy dari Aswad bin Qais Al ‘Abdiy dari ‘Amru bin Sufyan Ats Tsaqafiy [Amaliy Al Jurjaniy no 13]

Sanad ini dhaif jiddan atau tidak tsabit sanadnya sampai Aswad bin Qais karena Muhammad bin Yazid As Sulamiy, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15677]. Daruquthni berkata “dhaif” [Ma’usuah Qaul Daruquthni no 3424]. Daruquthni juga berkata “ia memalsukan hadis dari para perawi tsiqat” [Ta’liqat Daruquthni ‘Ala Al Majruuhiin Ibnu Hibban 1/277]. Al Khatib berkata “matruk al hadits” [Tarikh Baghdad 2/289].

Kemudian disebutkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1336, Al Ilal Daruquthni no 442, Al I’tiqaad Baihaqiy hal 503-504, Adh Dhu’afa Al Uqailiy 1/165, Al Mukhtaran Al Maqdisiy no 470 & 471, dengan jalan sanad dari Abu Ashim An Nabiil dari Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari Ayahnya dari Aliy. Berikut sanadnya dalam riwayat Abdullah bin Ahmad

حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ ثِقَةٌ، وَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِيهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Muhammad bin ‘Abdurrahiim tsiqat menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1336]

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Aswad bin Qais dan Abu Ashim An Nabiil adalah Dhahhak bin Makhlaad Asy Syaibaniy termasuk perawi Bukhari Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ijliy dan Ibnu Sa’ad. Umar bin Syabbah berkata “demi Allah aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya”. Al Khaliliy berkata disepakati atasnya zuhud, alim, agamanya dan keteguhannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 4 no 793]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat lagi tsabit” [At Taqrib 1/444].

Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan tidak dikenal kredibilitasnya atau majhul, yang meriwayatkan darinya hanya Al Aswad bin Qais yaitu dalam hadis ini. Ibnu Abi Hatim dalam biografi Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan berkata

سعيد بن عمرو بن سفيان روى عن ابيه عمرو بن سفيان روى عنه الاسود بن قيس في حديث تفرد أبو عاصم النبيل في ادخاله سعيدا في الاسناد فيما رواه عن الثوري عن الاسود ولا يتابع عليه

Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari ayahnya ‘Amru bin Sufyan, telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais dalam hadis dimana Abu ‘Aashim An Nabiil bersendirian dalam memasukkan Sa’id dalam sanad yang ia riwayatkan dari Sufyan dari Al Aswad, ia tidak memiliki mutaba’ah [Al Jarh Wat Ta’dil 4/53 no 230]

Kemudian orang itu berkata perkataan Ibnu Abi Hatim ini dapat bermakna penta’lilan menurut ulama mutaqaddimin terutama jika terdapat perselisihan. Perkataan ini tidak ada nilainya, pernyataan Ibnu Abi Hatim “tidak memiliki mutaba’ah” tidak sedikitpun memudharatkan riwayat Abu ‘Aashim An Nabiil karena ia seorang yang tsiqat tsabit. Seandainya pun ada perselisihan maka dilihat siapa yang berselisih dengan Abu ‘Aashim An Nabiil tersebut bukannya sembarangan berkata ma’lul [cacat].

قال قتيبة حدثنا جرير عن سفيان عن الأسود بن قيس عن أبيه عن علي رضى الله تعالى عنهم لم يعهد إلينا النبي صلى الله عليه وسلم في الإمرة شيئا

Qutaibah berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Sufyaan dari Al Aswaad bin Qais dari ayahnya dari Ali radiallahu ta’ala ‘anhum “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepada kami sedikitpun tentang kepemimpinan” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]

Orang itu setelah mengutip hadis ini berkata sanad riwayat ini lemah karena tidak diketahui apakah Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum atau sesudah masa ikhtilathnya. Pernyataan ini patut diberikan catatan karena riwayat Qutaibah dari Jarir telah disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Maka disini terdapat qarinah yang menguatkan bahwa Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum masa ikhtilathnya itu pun jika memang benar Jarir bin Abdul Hamiid mengalami ikhtilath. Sanad riwayat Bukhari ini shahih sampai Al Aswad bin Qais [setidaknya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim]

Yang perlu diperhatikan adalah Bukhari tidak memasukkan hadis ini dalam biografi Qais Al Abdiy ayah Aswad bin Qais sebagaimana bisa dilihat dalam biografi Qais [Tarikh Al Kabir juz 7 no 663]. Bukhari malah memasukkan hadis di atas dalam biografi ‘Amru bin Sufyan [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]. Hal ini menunjukkan bahwa hadis di atas adalah bagian dari idhthirab riwayat ‘Amru bin Sufyan.

Hal ini telah disinyalir oleh Ibnu Hajar. Dalam biografi Qais Al Abdiy ia mengutip riwayatnya dalam Musnad Ali yang dikeluarkan Nasa’i dari Ali tentang kepemimpinan kemudian mengutip berbagai riwayat ‘Amru bin Sufyan [At Tahdzib juz 8 no 733]. Setelah itu dalam At Taqrib ia berkata

قيس العبدي والد الأسود مقبول من الثانية وفي الحديث الذي أخرجه له النسائي اضطراب

Qais Al Abdiy ayahnya Al Aswad maqbul termasuk thabaqat kedua dan hadisnya yang dikeluarkan oleh Nasa’i idhthirab [At Taqrib 2/36]

Dengan kata lain tidak tsabit periwayatannya dari Ali tentang hadis ini karena hadis ini sendiri idhthirab pada sanadnya. Benarkah demikian? Tentu jika mengumpulkan riwayat yang shahih, yang dhaif dan yang tidak ternukil sanad lengkapnya maka akan banyak sekali bukti bahwa hadis tersebut idhthirab. Dan seandainya kita hanya mengumpulkan riwayat yang sanadnya shahih hingga Al Aswad bin Qais [sebagaimana yang telah dibahas di atas] maka idhthirab itu pun juga nampak jelas

  1. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy
  2. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya dari Aliy
  3. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari ayahnya dari Aliy

Daruquthni dan Al Khatib menyatakan bahwa hadis ‘Amru bin Sufyan tersebut idhthirab dan menisbatkan hal itu pada Ats Tsawriy. Menurut kami diantara Sufyan Ats Tsawriy dan Al Aswad bin Qais, yang lebih mungkin mengalami idhthirab adalah Al Aswad bin Qais karena tingkat ketsiqatan dan dhabit Sufyan Ats Tsawriy lebih tinggi dari Al Aswad bin Qais.

.

.

Ada riwayat ‘Amru bin Sufyan yang lain tentang hadis ini yang sanadnya tidak melalui jalur Al Aswad bin Qais Al Abdiy yaitu riwayat dengan sanad berikut

وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُسَاوِرٌ الْوَرَّاقُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub bin Muhammad Al Wazzaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Marwan yang berkata telah menceritakan kepada kami Musawwir Al Warraaq dari ‘Amru bin Sufyaan [Asy Syari’ah Al Ajjuriy 2/441]

Riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu Marwan bin Mu’awiyah Al Fazaariy ia seorang tsiqat hafizh tetapi sering melakukan tadlis dalam penyebutan nama-nama gurunya [At Taqrib 2/172]. Penyifatan Ibnu Hajar terhadap Marwan ini berdasarkan pernyataan ulama mutaqaddimin seperti Ibnu Ma’in yang menyatakan bahwa ia sering mengubah nama gurunya sebagai bentuk tadlisnya dan pernyataan Abu Dawud bahwa ia sering membolak balik nama, dan Marwan dikenal sering meriwayatkan dari syaikhnya para perawi majhul [At Tahdzib juz 10 no 178].

Apa yang dilakukan Marwan bin Mu’awiyah itu dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah tadlis syuyukh yaitu mengubah nama syaikh [gurunya] untuk menutupi kelemahan hadis yang dibawakan. Hadis di atas termasuk dalam tadlis Marwan bin Muawiyah dengan berbagai qarinah berikut

  1. Tidak dikenal Marwan meriwayatkan dari Musaawir Al Warraaq atau tidak dikenal Marwan sebagai murid Musaawir Al Warraaq, tidak ditemukan baik dalam biografi Marwan bin Muawiyah dan biografi Musaawir Al Warraaq bahwa mereka memiliki hubungan guru dan murid.
  2.  Disebutkan dalam biografi perawi bahwa riwayat di atas adalah milik Musaawir yang tidak dikenal nasabnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dan Al Mizziy. Ibnu Hajar berkata ia adalah syaikh [guru] Marwan bin Mu’awiyah yang majhul [At Taqrib 2/174]. Adz Dzahabiy juga menyatakan ia majhul [Al Mizan no 8448 & Al Mughni no 6183]
  3. Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Marwan bin Mu’awiyah meriwayatkan hadis ini dari Sawwaar perawi yang majhul sebagaimana disebutkan Al Qaasim bin Tsabit dalam Ad Dalaa’il Fii Gharibil Hadits 2/586 no 307 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/104.

Jadi hadis ini sebenarnya diriwayatkan oleh Marwan dari salah satu syaikhnya yang majhul yaitu Musawwir atau Sawwaar [tidak jelas siapa namanya] kemudian Marwan dalam salah satu periwayatannya mengubahnya menjadi Musaawir Al Warraaq sebagai salah satu bentuk tadlis syuyukh-nya.

Terdapat Illat [cacat] lain dalam riwayat Marwan bin Mu’awiyah di atas, Al Mu’allimiy menukil dari sebagian hafizh telah menyebutkan bahwa Marwan bin Mu’awiyah pernah melakukan tadlis taswiyah selain tadlis suyukh [At Tankiil 1/431]. Hal ini juga diisyaratkan Abu Dawud dalam Su’alat Al Ajjury bahwa Marwan pernah meriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayasy dari Abu Shalih dan menghilangkan nama seorang perawi di antara keduanya [Su’alat Abu Dawud Al Ajjuriy no 204]. Pentahqiq kitab Su’alat Abu Dawud tersebut berkomentar bahwa Marwan bin Muawiyah melakukan tadlis taswiyah dan tadlis syuyukh. Ibnu Ma’in menyebutkan bahwa perawi yang dihilangkan namanya itu adalah Al Kalbiy [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2241].

Perawi yang melakukan tadlis taswiyah maka hadisnya diterima jika ia menyebutkan sima’ hadisnya dari Syaikh [gurunya] dan gurunya tersebut juga menyebutkan sima’-nya dari gurunya. Intinya terdapat lafaz tahdits atau sima’ hadis pada dua thabaqat dari perawi yang tertuduh tadlis taswiyah. Bahkan beberapa ulama mensyaratkan bahwa lafaz tahdits atau sima’ itu harus ada pada setiap thabaqat sanad sampai ke sahabat. Dalam riwayat di atas Marwan bin Mu’awiyah memang menyebutkan lafaz sima’ dari syaikh-nya Musawwir tetapi ia tidak menyebutkan lafaz sima’ Musawwir dari ‘Amru bin Sufyan, maka hadisnya tidak bisa diterima. Bisa saja diantara Musawwir dan ‘Amru bin Sufyan terdapat perawi dhaif atau majhul yang dihilangkan namanya oleh Marwan bin Mu’awiyah.

Secara keseluruhan hadis ‘Amru bin Sufyan yang melalui jalan Al Aswad bin Qais dan yang melalui jalan Musawwir kedudukannya dhaif dan bisa dikatakan tidak ada asalnya atau berasal dari perawi majhul. Riwayat Al Aswad bin Qais tersebut mudhtharib dan sumber idhthirabnya adalah Al Aswad bin Qais. Disebutkan bahwa Ali bin Madini menyatakan Al Aswad bin Qais meriwayatkan dari beberapa perawi majhul yang tidak dikenal [At Tahdzib juz 1 no 622]. Jadi sangat mungkin bahwa riwayat ini diambil Aswad dari perawi yang majhul kemudian Al Aswad mengalami kekacauan dalam periwayatannya. Hal ini bersesuaian dengan kelemahan hadis ‘Amru bin Sufyan yang diriwayatkan Marwan bin Mu’awiyah yaitu berasal dari perawi majhul.

.

.

‘Amru bin Sufyan dalam hadis Aliy ini pun juga seorang yang majhul. Orang itu melakukan dalih akrobatik untuk menyatakan ‘Amru bin Sufyan ini tsiqat atau minimal shaduq. Sebelumnya kami pernah menyatakan bahwa ‘Amru bin Sufyan dalam hadis ini yang meriwayatkan dari Aliy berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Hal ini telah dinyatakan oleh Bukhari dan Ibnu Hibban.

عمرو بن سفيان سمع بن عباس رضى الله تعالى عنهما قوله روى عنه الأسود بن قيس

‘Amru bin Sufyan mendengar dari Ibnu Abbas radiallahu ta’ala ‘anhuma dan meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2564]

Disini Bukhari menetapkan bahwa ‘Amru bin Sufyan mendengar dari Ibnu ‘Abbas dan meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais. Sedangkan untuk ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ali, Bukhari berkata

عمرو بن سفيان أن عليا رضى الله تعالى عنه قاله أبو داود الحفري عن الثوري عن الأسود بن قيس وقال أبو عاصم عن سفيان عن الأسود عن سعيد بن عمرو بن سفيان عن أبيه عن علي قال قتيبة حدثنا جرير عن سفيان عن الأسود بن قيس عن أبيه عن علي رضى الله تعالى عنهم لم يعهد إلينا النبي صلى الله عليه وسلم في الإمرة شيئا

‘Amru bin Sufyaan bahwa Aliy [radiallahu ta’ala anhu], dikatakan Abu Dawud Al Hafariy dari Ats Tsawriy dari Al Aswad bin Qais dan berkata Abu ‘Aashim dari Sufyan dari Al Aswad dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya dari Aliy . Qutaibah berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Sufyaan dari Al Aswaad bin Qais dari ayahnya dari Ali radiallahu ta’ala ‘anhum “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepada kami sedikitpun tentang kepemimpinan” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]

Jadi terlihat jelas bahwa hujjah Bukhari membedakan keduanya adalah berdasarkan fakta bahwa ‘Amru bin Sufyan dalam hadis Aliy itu berasal dari hadis yang idhthirab. Maka disini Bukhari tidak menetapkan bahwa yang meriwayatkan dari ‘Amru bin Sufyan adalah Al Aswad bin Qais. Tentu saja hujjah Bukhari jelas lebih kuat dibandingkan dengan hujjah orang itu yaitu riwayat yang hanya menunjukkan bahwa kedua ‘Amru bin Sufyan [baik dari Ibnu Abbas atau Aliy] telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais.

Hujjah orang itu keliru karena ia menafikan fakta bahwa ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy muncul atau ditetapkan keberadaannya dari hadis yang idhthirab. Penerapan metode tarjih olehnya itu bisa dibilang hanya akal-akalan semata. Karena pentarjihannya itu tidak sesuai dengan kaidah ilmu hadis. Bagaimana tidak dikatakan akal-akalan kalau hasil akhir tarjihnya malah menetapkan riwayat dhaif bahwa Aswad meriwayatkan dari ‘Amru bin Sufyan dari Aliy sebagai riwayat yang tsabit. Riwayat dhaif inilah yang dijadikan sandaran oleh orang itu untuk menetapkan bahwa Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy dan Ibnu Abbas itu adalah orang yang sama.

عمرو بن سفيان يروى عن بن عباس روى عنه الأسود بن قيس

Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 5 no 4419]

Disini Ibnu Hibban menetapkan bahwa ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas itu telah meriwayatkan darinya Aswad bin Qais. Hal ini berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy, Ibnu Hibban berkata tentangnya

عمرو بن سفيان يروى عن على روى عنه سعيد بن عمرو بن سفيان

‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari Aliy dan telah meriwayatkan darinya Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 5 no 4480]

Hujjah Ibnu Hibban membedakan kedua ‘Amru bin Sufyan tersebut karena berbeda periwayatan keduanya  dan perawi yang meriwayatkan dari keduanya. Hujjah Ibnu Hibban ini terbukti dari riwayat yang telah dibahas di atas. Sebenarnya jika kita memaksakan diri untuk menerapkan metode tarjih maka riwayat yang paling shahih sanadnya sampai Aswad bin Qais dan menetapkan dari mana Aswad bin Qais mengambil riwayat adalah riwayat Abu ‘Aashim An Nabiil yang menetapkan bahwa Aswad meriwayatkan dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dan Sa’id bin ‘Amru meriwayatkan dari ayahnya ‘Amru bin Sufyan. Maka baik dengan metode tarjih atau jamak berbagai riwayat ‘Amru bin Sufyan didapatkan kesimpulan bahwa ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas.

.

.
Orang itu mengutip bahwa Ibnu Abi Hatim menyatukan kedua ‘Amru bin Sufyan tersebut dalam kitabnya Al Jarh Wat Ta’dil dan mengoreksi Bukhari yang membedakan kedua perawi tersebut. Pernyataannya ini patut ditinjau kembali, inilah yang ditulis Ibnu Abi Hatim

عمرو بن سفيان روى عن ابن عباس قوله عزوجل (تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا) روى عنه الاسود بن قيس، سمعت ابى يقول ذلك

‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas firman Allah ‘azza wajalla “kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik” telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais, aku mendengar ayahku berkata demikian [Al Jarh Wat Ta’dil 6/234 no 1297]

Apa yang ditulis oleh Ibnu Abi Hatim adalah biografi ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ibnu Abi Hatim menggabungkan kedua perawi ‘Amru bin Sufyan tersebut. Jadi pernyataan bahwa Ibnu Abi Hatim mengoreksi apa yang ditulis Bukhari itu adalah asumsi orang itu sendiri.

Kalau memang Ibnu Abi Hatim menggabungkan kedua ‘Amru bin Sufyan maka ia akan menyebutkan dalam biografinya bahwa ‘Amru bin Sufyan itu meriwayatkan dari Aliy dan Ibnu Abbas dan telah meriwayatkan darinya Aswad bin Qais. Itulah yang namanya menggabungkan. Atau mungkin Ibnu Abi Hatim akan menyatakan secara langsung bahwa Bukhari keliru karena membedakan keduanya, hal ini yang sering dilakukan Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya, ia pernah berkata

وفرق البخاري بين موسى الشوعبى وموسى ابى عمر الذي يروى عن القاسم بن مخيمرة روى عنه معاوية بن صالح فسمعت ابى يقول: هما واحد

Dan Bukhari telah membedakan antara Musa Asy Syar’abiy dan Musa Abi Umar yang meriwayatkan dari Qaasim bin Mukhaimarah yang meriwayatkan darinya Muawiyah bin Shalih, maka aku mendengar ayahku berkata “keduanya adalah orang yang sama” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/169 no 750]

Bukhari memang membedakan keduanya dalam Tarikh Al Kabir. Bukhari menyebutkan Musa Asy Syar’abiy dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1218 &  dan menyebutkan Musa Abi Umar dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1239.

الوليد بن ابى الوليد مولى عبد الله بن عمر أبو عثمان المدنى، ويقال مولى لآل عثمان بن عفان روى عن ابن عمر وعثمان بن عبد الله بن سراقة وعبد الله بن ديناروعقبة بن مسلم روى عنه بكير بن الاشج وابن الهاد والليث بن سعد وحيوة بن شريح سمعت ابى يقول ذلك. نا عبد الرحمن قال سئل أبو زرعة عنه فقال: ثقة. قال أبو محمد جعله البخاري اسمين فسمعت ابى يقول هو واحد

Walid bin Abi Walid maula ‘Abdullah bin Umar Abu Utsman Al Madaniy, dikatakan ia maula keluarga Utsman bin ‘Affan, meriwayatkan dari Ibnu Umar, Utsman bin ‘Abdullah bin Suraaqah, Abdullah bin Diinar, dan Uqbah bin Muslim. Telah meriwayatkan darinya Bukair bin Al Asyaj, Ibnu Haad, Laits bin Sa’ad dan Haywah bin Syuraih, aku mendengar ayahku mengatakan demikian. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata Abu Zur’ah ditanya tentangnya, ia berkata “tsiqat”. Abu Muhammad berkata Bukhari menjadikannya sebagai dua nama maka aku mendengar ayahku mengatakan sebenarnya dia adalah satu orang yang sama [Al Jarh Wat Ta’dil 9/19-20 no 83]

Bukhari menyebutkan biografi Walid maula keluarga Utsman dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 2545 & menyebutkan biografi Walid bin Abi Walid dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 2546. Dengan contoh-contoh di atas maka dapat dipahami bahwa jika memang Ibnu Abi Hatim ingin mengoreksi Bukhari dengan menggabungkan kedua perawi yang dipisahkan Bukhari maka Ibnu Abi Hatim akan menyebutkan dengan jelas penggabungannya [misalnya dalam kasus ‘Amru bin Sufyan, jika memang Ibnu Abi Hatim menggabungkan kedua ‘Amru bin Sufyan maka Ibnu Abi Hatim akan menyebutkan bahwa ‘Amru meriwayatkan dari Aliy dan Ibnu Abbas atau menyatakan dengan jelas bahwa Bukhari keliru.

Dalam kitabnya Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim hanya menyebutkan biografi ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan telah meriwayatkan darinya Aswad bin Qaais tanpa menyebutkan kalau ‘Amru bin Sufyan tersebut meriwayatkan dari Aliy. Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan biografi ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy bin Abi Thalib. Hal ini bisa saja dipahami bahwa Ibnu Abi Hatim bertawaqquf tentang Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy.

Pendapat yang rajih adalah ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy. Yang pertama telah tsabit bahwa Aswad bin Qais meriwayatkan darinya sedangkan yang kedua tidak tsabit Aswad bin Qais meriwayatkan darinya karena hadisnya mudhtharib.

.

.

.

Telah shahih Riwayat dimana Imam Ali mengakui bahwa dirinya adalah pemimpin atau berhak akan khilafah.

حدثني روح بن عبد المؤمن عن أبي عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن علياً أتاهم عائداً فقال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أحق الناس بهذا الأمر فبايع الناس أبا بكر فاستخلف عمر فبايعت ورضيت وسلمت ثم بايع الناس عثمان فبايعت وسلمت ورضيت وهم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Rawh bin Abdul Mu’min dari Abi Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata Tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan akulah yang paling berhak dalam urusan ini. Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka cenderung antara aku dan Muawiyah” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294 dengan sanad shahih]

وعن ابن عباس أن عليا كان يقول في حياة رسول الله صلى الله عليه و سلم  إن الله عز و جل يقول { أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم } والله لا ننقلب على أعقابنا بعد إذ هدانا الله تعالى والله لئن مات أو قتل لأقاتلن على ما قاتل عليه حتى أموت والله إني لأخوه ووليه وابن عمه ووارثه فمن أحق به مني رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح

Dan dari Ibnu Abbas bahwa Aliy berkata ketika semasa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Allah ‘azza wajalla berfirman “maka apakah jika dia mati atau terbunuh kalian berbalik kebelakang”. Demi Allah kami tidak akan berbalik ke belakang setelah Allah memberikan hidayah kepada kami. Demi Allah jika Beliau wafat atau terbunuh maka aku akan berperang di atas jalan yang Beliau berperang sampai aku wafat. Demi Allah aku adalah Saudaranya, Waliy-nya, anak pamannya, dan pewarisnya maka siapakah yang lebih berhak terhadapnya daripada aku. Diriwayatkan Ath Thabraniy dan para perawinya perawi shahih [Majma’ Az Zawaid Al Haitsamiy 9/134]

Riwayat Ath Thabrani memang diriwayatkan oleh para perawi tsiqat atau shaduq hanya saja riwayat tersebut mengandung illat [cacat]. Riwayat tersebut dibawakan oleh Simmak bin Harb dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Simmak telah diperbincangkan oleh sebagian ulama karena buruk hafalannya dan sebagian ulama telah memperbincangkan riwayatnya dari Ikrimah. Maka riwayat Ibnu Abbas tersebut sanadnya lemah tetapi bisa dijadikan i’tibar. Matan riwayat Ibnu Abbas juga mengandung makna yang jelas diantaranya bahwa Aliy merasa lebih berhak atas Nabi karena Beliau adalah Wali-nya. Makna Waliy disini tidak tepat dikatakan sebagai penolong atau teman karena jika memang begitu maka semua kaum mukminin adalah Waliy bagi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Padahal penyebutan Waliy disana oleh Imam Aliy adalah keutamaan dan kekhususan dirinya atas yang lain sehingga Beliau lebih berhak atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka tidak lain makna Waliy tersebut adalah kedudukan Waliy yang diberikan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana nampak dalam beberapa hadis diantaranya hadis berikut

حدثنا يوسف بن موسى ، قال : ثنا عبيد الله بن موسى ، عن فطر بن خليفة ، عن أبي إسحاق ، عن عمرو ذي مر ، وعن سعيد بن وهب ، وعن زيد بن يثيع ، قالوا : سمعنا عليا ، يقول : نشدت الله رجلا سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول يوم غدير خم لما قام ، فقام إليه ثلاثة عشر رجلا ، فشهدوا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم ، قالوا : بلى يا رسول الله ، قال : فأخذ بيد علي ، فقال : من كنت مولاه فهذا مولاه ، اللهم وال من والاه ، وعاد من عاداه ، وأحب من أحبه ، وأبغض من أبغضه ، وانصر من نصره ، واخذل من خذله

Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa dari Fithr bin Khaliifah dari Abu Ishaaq dari ‘Amru Dziy Murr dan dari Sa’id bin Wahb dan dari Zaid bin Yutsai’, mereka berkata “kami mendengar Ali mengatakan aku meminta dengan nama Allah agar laki-laki yang mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata pada hari ghadir kum untuk berdiri, maka berdirilah tiga belas orang, mereka bersaksi bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “bukankah aku lebih berhak atas kaum muslimin lebih dari diri mereka sendiri”, mereka menjawab “benar wahai Rasulullah” [perawi] berkata maka Beliau memegang tangan Aliy dan berkata “barang siapa yang aku adalah maulanya maka dia ini adalah maulanya, ya Allah belalah orang yang membelanya, musuhilah yang memusuhinya, cintailah yang mencintainya, bencilah yang membencinya, tolonglah yang menolongnya dan hinakanlah yang menghinakannya. [Musnad Al Bazzar 1/460 no 786]

أخبرنا احمد بن شعيب ، قال : اخبرنا الحسين بن حريث المروزي ، قال : اخبرنا الفضل بن موسى ، عن الاعمش ، عن ابي اسحاق عن سعيد بن وهب قال : قال علي كرم الله وجهه في الرحبة : أنشد بالله من سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم غدير خم يقول : ان الله ورسوله ولي المؤمنين ، ومن كنت وليه فهذا وليه ، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه ، وانصر من نصره

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Syu’aib yang berkata telah mengabarkan kepada kami Husain bin Huraits Al Marwaziy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Fadhl bin Muusa dari Al A’masy dari Abu Ishaaq dari Sa’id bin Wahb yang berkata Ali [karamallahu wajhah] berkata di tanah lapang “aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah waliy [pemimpin] bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai waliy [pemimpinnya] maka dia ini [Aliy] menjadi pemimpinnya, ya Allah  belalah orang yang membelanya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan tolonglah orang yang menolongnya [Tahdzib Al Khasa’ais no 93]

Hadis ghadir kum adalah hujjah kepemimpinan Imam Aliy, terlepas apakah itu ditafsirkan kepemimpinan dalam agama ataupun pemerintahan, hadis tersebut menyatakan dengan jelas dimana Imam Ali sebagai maula bagi kaum muslimin. Perselisihan mengenai hadis ini terletak pada makna dari lafaz “maula”. Mereka para pengingkar menolak makna maula atau waliy disana sebagai pemimpin, menurut mereka maula disana bermakna penolong.

Memang benar bahwa lafaz “maula” memiliki banyak makna tetapi tentu tidak boleh seseorang seenaknya menolak satu makna dan beralih pada makna lain yang sesuai dengan hawa nafsunya. Makna “maula” dalam hadis Ghadir kum harus dipahami sesuai dengan konteks kalimat yang digunakan bukan dengan konteks asal-asalan atau dibuat-buat untuk menyebarkan syubhat. Maula atau Waliy pada hadis ghadir kum di atas bermakna orang yang berhak atau memegang urusan orang banyak, hal ini nampak dari kalimat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم

“bukankah aku lebih berhak atas kaum muslimin lebih dari diri mereka sendiri”

Kemudian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melanjutkan “maka barang siapa yang aku adalah maulanya maka Aliy adalah maulanya”. Lafaz ini jelas terikat dengan pernyataan Beliau sebelumnya bahwa Beliau lebih berhak atas kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri. Dan siapa yang menganggap Nabi sebagai maulanya yaitu sebagai orang yang berhak atas dirinya maka ia hendaknya menganggap Aliy juga sebagai maulanya. Artinya sebagaimana Nabi lebih berhak atas kaum muslimin dibanding diri mereka maka Aliy pun lebih berhak atas kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri. Tentu saja makna “maula” atau “waliy” yang sesuai dengan makna ini adalah pemimpin bukan penolong.

Hal ini dikuatkankan pula oleh hadis marfu’ Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Imam Ali adalah waliy atau khalifah bagi setiap muslim sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ أَبِي بَلْجٍ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ لِعَلِيٍّ : ” أَنْتَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِي

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah dari Abi Balj dari ‘Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda kepada Aliy “engkau Waliy setiap mukmin sepeninggalku” [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752]

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Kedudukanmu di sisiku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya aku pergi kecuali engkau sebagai khalifahku untuk setiap mukmin sepeninggalku [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188]

Ini adalah hadis yang jelas menyatakan bahwa Imam Aliy adalah khalifah atau waliy [pemimpin] bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bisa dimaklumi kalau para pengingkar akan berusaha keras menolak hadis ini dan menyebarkan syubhat untuk mentakwilkan hadis ini karena tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Silakan saja, memang sudah menjadi tingkahpara pengingkar, jika ada hadis Ibnu Abbas yang matannya tidak jelas tentang khalifah dan sesuai dengan hawa nafsunya maka ia akan mengambilnya tetapi jika hadis Ibnu Abbas yang jelas-jelas menyatakan khalifah dan menentang hawa nafsunya maka ia akan mencari-cari cara untuk menolak atau menyebarkan syubhat. Orang seperti ini tidak pantas bicara sok soal dalil karena hakikat sebenarnya dirinya hanya berpegang pada hawa nafsunya.

Diantara orang yang kami maksud ada yang berpegang pada atsar Imam Aliy yang sebenarnya tidak sedang membicarakan soal khilafah atau wasiat khilafah.

حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، قَالَ: انْطَلَقْتُ أَنَا وَالْأَشْتَرُ إِلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقُلْنَا: هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً؟ قَالَ: لَا، إِلَّا مَا فِي كِتَابِي هَذَا، قَالَ: وَكِتَابٌ فِي قِرَابِ سَيْفِهِ، فَإِذَا فِيهِ: ” الْمُؤْمِنُونَ تَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، أَلَا لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ، وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ، مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Al-Hasan, dari Qais bin ‘Ubaad, ia berkata Aku pergi bersama Al-Asytar menuju ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Kami bertanya “Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat sesuatu kepadamu yang tidak beliau wasiatkan kepada kebanyakan manusia?”. Ia berkata “Tidak, kecuali apa-apa yang terdapat dalam kitabku ini”. Perawi berkata “dan kitab yang terdapat dalam sarung pedangnya dimana padanya bertuliskan ‘Orang-orang mukmin sederajat dalam darah mereka. Mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dimana orang-orang yang paling rendah dari kalangan mereka berjalan dengan jaminan keamanan mereka. Ketahuilah, tidak boleh dibunuh seorang mukmin karena membunuh orang kafir. Tidak pula karena membunuh orang kafir yang punya perjanjian dengan kaum muslimin. Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru atau melindungi orang yang jahat, maka laknat Allah atasnya, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya” [Musnad Ahmad bin Hanbal 1/122]

Pertanyaan Qais bin ‘Ubaad di atas bukan tentang wasiat khilafah atau imamah melainkan tentang perjalanan Imam Aliy dalam perang Jamal tersebut. Hal ini nampak dalam riwayat Yunuus dari Hasan Al Bashriy dari Qais bin ‘Ubaad berikut

حدثنا عبد الله حدثني إسماعيل أبو معمر ثنا بن علية عن يونس عن الحسن عن قيس بن عباد قال قلت لعلي أرأيت مسيرك هذا عهد عهده إليك رسول الله صلى الله عليه و سلم أم رأى رأيته قال ما تريد إلى هذا قلت ديننا ديننا قال ما عهد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فيه شيئا ولكن رأى رأيته

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Isma’iil Abu Ma’mar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Yunus dari Al Hasan dari Qais bin ‘Ubaad yang berkata aku berkata kepada Aliy “apakah keberangkatanmu ini adalah wasiat dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadapmu ataukah berasal dari pendapatmu?. Aliy berkata “apa yang kamu inginkan dengan hal ini?”. Aku berkata “agama kami, agama kami”. Aliy berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak berwasiat sesuatu tentangnya tetapi ini adalah pendapat dariku” [Musnad Ahmad 1/148 no 1270]

Jadi maksud dari Hadis Hasan Bashriy  dari Qais bin ‘Ubaad di atas adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepada Imam Ali tentang keberangkatannya dalam perang Jamal. Hal itu berasal dari pendapat Imam Ali sendiri. Tidak ada hadis ini bicara soal khalifah atau imamah, orang itu [baca : Abul Jauzaa’] yang berhujjah dengan hadis ini hanya menunjukkan kelemahan akalnya saja. Sebagai informasi saja, riwayat Yunus dari Hasan itu lebih tsabit dibanding riwayat Qatadah dari Hasan dengan dua alasan

  1. Para ulama telah menguatkan riwayat Yunus dari Hasan sebagaimana Abu Zur’ah berkata Yunus lebih aku sukai dari Qatadah dalam riwayat dari Hasan
  2. Qatadah telah disifatkan sebagian ulama dengan tadlis maka riwayatnya disini mengandung illat [cacat] karena ia membawakannya dengan ‘an anah apalagi jika terdapat perselisihan.

Kemudian orang itu mengutip pula riwayat Abu Juhaifah yang sebenarnya juga tidak berbicara soal khalifah atau imamah.

أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مَا فِي أَيْدِي النَّاسِ؟ قَالَ: لَا، إلَّا أَنْ يُؤْتِيَ اللَّهُ عَبْدًا فَهْمًا فِي الْقُرْآنِ وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ، قُلْتُ: وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ؟ قَالَ: الْعَقْلُ وَفِكَاكُ الْأَسِيرِ، وَأَنْ لَا يُقْتَلَ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ

Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Mutharrif, dari Sya’biy, dari Abu Juhaifah, ia berkata Aku bertanya kepada ‘Aliy [radliyallaahu ‘anhu] “Apakah di sisimu ada sesuatu dari Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] yang tidak diketahui oleh orang-orang?”. Tidak, kecuali Allah memberikan kepada seorang hamba pemahaman dalam Al-Qur’an dan apa yang terdapat dalam shahiifah”. Aku bertanya  “Apakah yang terdapat dalam shahiifah tersebut?”. Aliy menjawab “Pembayaran diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuhnya orang mukmin karena membunuh orang kafir” [Al Umm Syafi’i 7/195]

حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ، قَالَ: نا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ: هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ؟ قَالَ: ” لا، إِلا مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ فَإِذَا فِيهَا: فِكَاكُ الأَسِيرِ، وَلا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ، الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Khaliifah, ia berkata telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Ismaa’iil, dari Asy-Sya’biy, dari Abu Juhaifah, ia berkata Aku bertanya kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepadamu sesuatu yang tidak beliau wasiatkan kepada orang-orang?”. Ia menjawab “Tidak, kecuali yang ada dalam shahiifah ini”. Dalam shahiifah itu tertulis ‘pembebasan tawanan, tidak boleh dibunuh seorang mukmin karena membunuh orang kafir, dan kaum muslimin sederajat dalam darah-darah mereka” [Musnad Al Bazzar no 486]

Maksud pertanyaan Abu Juhaifah kepada Aliy [radiallahu ‘anhu] adalah apakah di sisi Aliy ada wasiat berupa wahyu atau catatan tertulis yang tidak diketahui dan tidak diwasiatkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada orang-orang. Hal ini nampak lebih jelas dalam riwayat Abu Juhaifah berikut

حدثنا أحمد بن منيع حدثنا هشيم أنبأنا مطرف عن الشعبي حدثنا ابو حجيفة قال قلت لعلي يا أمير المؤمنين هل عندكم سوداء في بيضاء ليس في كتاب الله ؟ قال لا والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما علمته إلا فهما يعطيه الله رجلا في القرآن وما في الصحيفة قلت وما في الصحيفة ؟ قال العقل فكاك الأسير وأن لا يقتل مؤمن بكافر

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah memberitakan kepada kami Mutharrif dari Asy Sya’bi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Juhaifah yang berkata aku berkata kepada Aliy “wahai amirul mukminin apakah disisimu ada catatan hitam diatas putih yang tidak ada dalam kitab Allah?” Aliy berkata “tidak, demi Yang menciptakan biji-bijian dan menciptakan jiwa, aku tidak mengetahui kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada seseorang tentang Al Qur’an dan shahifah. Aku berkata “apa yang ada dalam shahifah?”. Aliy menjawab “diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuh seorang mu’min karena membunuh orang kafir” [Sunan Tirmidzi 4/24 no 1412, shahih]

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ أَنَّ عَامِرًا حَدَّثَهُمْ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنْ الْوَحْيِ إِلَّا مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ لَا وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلًا فِي الْقُرْآنِ وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قُلْتُ وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَأَنْ لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Mutharrif bahwa ‘Aamir menceritakan kepada mereka dari Abi Juhaifah [radiallahu ‘anhu] yang berkata aku berkata kepada Aliy [radiallahu ‘anhu] “apakah di sisimu ada wahyu selain apa yang ada dalam kitab Allah?”. Aliy berkata “tidak demi Yang menciptakan biji-bijian dan menciptakan jiwa, aku tidak mengetahui kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada seseorang tentang Al Qur’an dan shahifah. Aku berkata “apa yang ada dalam shahifah?”. Aliy menjawab “diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuh seorang mu’min karena membunuh orang kafir” [Shahih Bukhari 4/69 no 3047]

Jadi kalau kita mengumpulkan keseluruhan riwayat Abu Juhaifah dari Aliy maka didapatkan bahwa Abu Juhaifah sebenarnya tidak sedang menanyakan wasiat khalifah atau Imamah tetapi wasiat berupa wahyu yang tidak disampaikan kepada orang-orang. Hal ini dikuatkan pula oleh hadis selain riwayat Abu Juhaifah

وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب وأبو كريب جميعا عن أبي معاوية قال أبو كريب حدثنا أبو معاوية حدثنا الأعمش عن إبراهيم التيمي عن أبيه قال خطبنا علي بن أبي طالب فقال من زعم أن عندنا شيئا نقرأه إلا كتاب الله وهذه الصحيفة ( قال وصحيفة معلقة في قراب سيفه ) فقد كذب فيها أسنان الإبل وأشياء من الجراحات وفيها قال النبي صلى الله تعالى عليه وسلم المدينة حرم ما بين عير إلى ثور فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا وذمة المسلمين واحدة يسعى بها أدناهم ومن ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb dan Abu Kuraib, semuanya dari Abu Mu’awiyah. Abu Kuraib berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Ibrahim At Taimiy dari ayahnya yang berkata Ali bin Abi Thalib berkhutbah kepada kami “Barang siapa mengatakan bahwa kami memiliki sesuatu yang kami baca selain Kitab Allah dan Shahifah ini [berkata Ayah Ibrahim : lembaran yang tergantung di sarung pedangnya] maka sungguh dia telah berdusta. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang umur unta dan diyat. Di dalamnya juga terdapat perkataan Nabi SAW “Madinah itu adalah tanah haram dari ‘Air hingga Tsaur. Barang siapa yang membuat maksiat di Madinah atau membantu orang yang membuat maksiat maka dia akan mendapat laknat Allah, para malaikat dan umat manusia seluruhnya dan tidak akan diterima taubat dan tebusannya di hari kiamat kelak. Jaminan perlindungankaum muslimin itu sama dan berlaku pula oleh orang yang terendah dari mereka. Barangsiapa menasabkan diri kepada orang yang bukan ayahnya atau menisbatkan diri kepada selain maulanya maka dia akan mendapat laknat Allah, para malaikat dan umat manusia seluruhnya dan tidak akan diterima taubat dan tebusannya di hari kiamat kelak [Shahih Muslim 2/994 no 1370]

Jadi yang diingkari Imam Aliy dalam hadis Muslim di atas adalah anggapan bahwa Beliau memiliki kitab lain yang Beliau baca selain Kitab Allah dan shahifah yang dimaksud. Lagi-lagi tidak ada dalam hadis Muslim di atas keterangan soal khilafah atau imamah.

.

.

Dari semua ini kita dapatkan kesimpulan yang pasti bahwa Imam Ali mengakui kepemimpinannya dan tidak pernah mengingkari kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah menetapkan kepemimpinannya. Disini terbukti pula bahwa para pengingkar hanya mencari syubhat basa basi kemudian membungkusnya dengan slogan ilmiah palsu untuk mengecoh kaum awam mereka. Sungguh mereka berharap bahwa seandainya semua orang bodoh seperti pengikut mereka sehingga bisa tertipu oleh dalil-dalil palsu yang mereka buat. Pembahasan di atas tidak lain untuk membuktikan kedustaan mereka dan tentu saja akan menambah kedongkolan hati mereka para. Ada baiknya kita mengingat firman Allah SWT yang sangat sesuai untuk mereka

هَا أَنْتُمْ أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman” dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah [kepada mereka] “Matilah kamu karena kemarahanmu itu” [QS. Aali ‘Imraan : 119].

Sebelum kami menutup pembahasan kali ini maka kami akan menyatakan dengan jelas pandangan kami dalam perkara ini untuk menutup syubhat pengingkar dan pendengki. Tidak dipungkiri kalau keyakinan Imamah Aliy bin Abi Thalib adalah bagian dari Aqidah Syiah tetapi kami bukanlah penganut Syiah. Pandangan kami berdasarkan analisis kami sendiri terhadap hadis-hadis yang kami pelajari sebagaimana dalam pembahasan di atas.

Kami tidak pula menetapkan Kepemimpinan dua belas Imam Syiah seperti yang telah dikenal menjadi dasar bagi Aqidah Syiah, karena kami belum menemukan dalil shahih tentang nama dua belas Imam yang dimaksud. Kami tidak pula berpandangan bahwa para sahabat yang membaiat Abu Bakr, Umar dan Utsman sebagai kafir, cukuplah kami berpandangan sebagaimana Imam Aliy yang walaupun mengakui bahwa dirinya yang paling berhak dalam masalah khalifah tetapi Beliau tidak mengkafirkan para sahabat yang menerima kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Inilah pandangan kami dan kami tidak peduli dengan lisan busuk para pengingkar yang gemar menuduh kami sebagai Syiah Rafidhah. Jika kami yang membela Ahlul Bait dikatakan Syiah Rafidhah maka mereka para penuduh itu hakikatnya adalah Nashibi.

.

.

Note : Tulisan ini merevisi tulisan sebelumnya dengan pokok bahasan yang sama. Secara keseluruhan kesimpulan tulisan di atas tidak jauh berbeda dengan tulisan sebelumnya hanya saja ada beberapa perincian yang ditambahkan.

5 Tanggapan

  1. Bagus sekali pak yai.
    Satu bahasan ini saja sudah bisa jadi satu buku.

    Jika ada waktu ke jakarta, monggo mampir ketempat saya pak yai. Daerah jakarta timur.

    Saya akan merasa terhormat menerima tamu seperti anda.

  2. […] ini sudah kami bahas takhrij-nya secara lengkap beserta kedudukannya dalam tulisan kami disini. Kesimpulannya riwayat tersebut dhaif dengan keseluruhan jalannya, sungguh tidak tsabit bahwa Imam […]

  3. […] Orang ini sok ingin membela Abul-Jauzaa padahal ia tidak memahami kesalahan Abul-Jauzaa dalam tulisannya tersebut. Bersikeras membela sesuatu yang salah hanya menunjukkan kesombongan dan kejahilan. Berikut akan kami tunjukkan betapa rusaknya bantahan tersebut. Seperti biasa bantahan dari orang tersebut akan kami blockquote. Bagi para pembaca yang ingin mengetahui tulisan kami yang dibantah blog tersebut maka silakan lihat tulisan kami Takhrij Atsar Aliy bin Abi Thalib : Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat Tentang Kepemimpinan Kepada Di… […]

  4. Catatan tambahan :

    1. Dapat ditambalnya riwayat Bakr dengan riwayat A’masy berdasarkan kepada :

    SYARAT HADITS DHOIF YANG LEMAH YANG BISA
    DIJADIKAN PENGUAT UNTUK MURSAL

    Soal no. 137 :
    Jika datang hadits yang bersambung tapi didalamnya ada dhoif
    Munjabir (yang bisa dijadikan penguat) kemudian datang hadits shohih
    tapi mursal, maka bagaimana status haditsnya ?

    Jawaban :
    Jika ada hadits dhoif yang besambung dan datang jalan lain hadits
    yang shohih mursal, maka haditsnya hasan. Akan tetapi harus dilihat
    apakah dua jalan tersebut atau satu jalan, apabila asalnya satu jalan
    maka dihukumi mana yang rojih dari jalan tersebut, atau misalnya
    ternyata salah satu jalan adalah illatnya, maka tidak bisa saling
    menguatkan. Baru jika itu adalah dua jalan yang berbeda bisa saling
    menguatkan.

    2. Status pencuri hadits, sependek pengetahuan saya adalah seorang perawi mengganti sanad milik orang lain.
    Hal ini dapat terjadi akibat buruknya hafalan si perawi akan jalur-jalur sanad masing-masing perawi, sehingga hanya tercacat dari segi ke-dhabit-annya saja.

    3. Menurut mas SP, yang dimaksud syaikh Muqbil tautsiq Ibnu Hibban adalah perawi yang hanya mendapat ta’dil Ibnu Hibban saja, ini keliru, karena sudah maklum para ulama sepakat akan diterimanya ta’dil Ibnu Hibban, akan tetapi berselisih terhadap perawi yang tercantum dalam ats tsiqat. Dan ini yang dimaksud syaikh Muqbil (hanya layak dijadikan penguat).

  5. Manusia butuh kebenaran, sekalipun ia terasa pahit dan sedikit yang taat. Rasanya tulisan ini insyaallah berisi kebenaran itu. Wallahu a’alam

Tinggalkan komentar