Analisis Hadis Tanduk Setan : Najd Bukan Iraq

Analisis Hadis Tanduk Setan : Najd Bukan Iraq

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, yang akan membahas lebih rinci bahwa tempat yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah Najd bukan Iraq. Tulisan ini juga akan membahas lebih rinci mengenai hadis Iraq yang sering dijadikan hujjah oleh salafiyun.

وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب عن سالم بن عبدالله عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال وهو مستقبل المشرق ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata dan Beliau menghadap kearah timur “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, dari arah munculnya tanduk setan” [Shahih Muslim 4/2228 no 2905]

Hadis ini juga diriwayatkan dalam Shahih Bukhari 4/181 no 3511 dan Sunan Tirmidzi 4/530 no 2268 dengan jalan dari Ibnu Syihab Az Zuhri dari Salim dari ayahnya secara marfu’. Az Zuhri memiliki mutaba’ah yaitu Hanzalah bin ‘Abi Sufyan sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim 4/2228 no 2905 dan Musnad Ahmad 2/40 no 2980 dengan jalan dari Ishaq bin Sulaiman dari Hanzalah dari Salim dari ayahnya secara marfu’.

Kemudian Az Zuhri juga memiliki mutaba’ah dari Fudhail bin Ghazwan dari Salim dari ayahnya secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan dalam Musnad Abu Ya’la 9/383 no 5511 dengan sanad yang shahih. Dan dari Ikrimah bin ‘Ammar dari Salim dari ayahnya Ibnu Umar secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim 4/2228 no 2905. Dan dari Umar bin Muhammad bin Zaid Al Madini dari Salim dari ayahnya secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan dalam Musnad Abdu bin Humaid 1/241 no 739 dengan sanad yang shahih. Az Zuhri, Ikrimah bin ‘Ammar, Hanzalah, Fudhail dan Umar bin Muhammad semuanya meriwayatkan dari Salim dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lafaz bahwa fitnah tersebut datang dari Timur.

Salim bin ‘Abdullah bin Umar memiliki mutaba’aah dari Nafi’ dan ‘Abdullah bin Dinar. Diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim 4/2228 no 2905, Musnad Ahmad 2/18 no 4679 dan Musnad Ahmad 2/91 no 5659.

حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا ليث ح وحدثني محمد بن رمح أخبرنا الليث عن نافع عن ابن عمر أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو مستقبل المشرق يقول ألا إن الفتنة ههنا ألا إن الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata menceritakan kepada kami Laits. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh yang berkata telah mengabarkan kepada kami Laits dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Beliau menghadap ke Timur seraya bersabda “dari sini fitnah, dari sini fitnah dari arah munculnya tanduk setan” [Shahih Muslim 4/2228 no 2905]

Diriwayatkan dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan dalam Al Muwatta 2/975 no 1757, Musnad Ahmad 2/73 no 5428, Shahih Ibnu Hibban 15/24 no 6648 dan Shahih Bukhari 4/123 no 3279

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشِيرُ إِلَى الْمَشْرِقِ فَقَالَ هَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَا مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin Umar radiallahu ‘anhuma yang berkata aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan tangannya ke timur dan berkata “fitnah akan datang dari sini, fitnah akan datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan” [Shahih Bukhari 4/123 no 3279]

Sebagaimana yang terlihat Salim bin ‘Abdullah, Nafi’ dan Abdullah bin Dinar semuanya meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lafaz bahwa fitnah tersebut datang dari timur dari arah munculnya tanduk setan. Secara zahir jelas arah yang dimaksud adalah tepat arah timur Madinah yaitu arah matahari terbit karena dari arah itulah munculnya tanduk setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda

قال صل صلاة الصبح ثم أقصر عن الصلاة حتى تطلع الشمس حتى ترتفع فإنها تطلع حين تطلع بين قرني شيطان

[Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “kerjakanlah shalat shubuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit diantara dua tanduk setan. [Shahih Muslim 1/569 no 832]

Hal ini juga selaras dengan hadis shahih yang menyebutkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kearah matahari terbit seraya mengucapkan “fitnah datang dari sini”. Hadis tersebut telah diriwayatkan dengan jalan yang shahih dari Uqbah bin Abi Shahba’ dari Salim dari ayahnya secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan dalam Musnad Ahmad 2/72 no 5410

حدثنا عبد الله ثنا أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا عقبة بن أبي الصهباء ثنا سالم عن عبد الله بن عمر قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم الفجر ثم سلم فاستقبل مطلع الشمس فقال ألا ان الفتنة ههنا ألا ان الفتنة ههنا حيث يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Abi Shahba’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Salim dari ‘Abdullah bin Umar yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat fajar kemudian mengucapkan salam dan menghadap kearah matahari terbit seraya bersabda “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan” [Musnad Ahmad 2/72 no 5410]

Hadis ini sanadnya shahih. Telah diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat [terpercaya]. Abu Sa’id mawla bani hasyim adalah Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ubaid Al Bashri. Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, Ath Thabrani, Al Baghawi, Daruquthni dan Ibnu Syahin menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 429]. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang yang hafizh dan tsiqat [Al Kasyf no 3238]. Uqbah bin Abi Shahba’ telah dinyatakan Ahmad bin Hanbal sebagai seorang syaikh yang shalih. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat dan Abu Hatim berkata “tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/312 no 1738]. Hadis ini dengan jelas menyebutkan kalau arah yang dimaksud adalah arah timur yaitu arah matahari terbit.

.

.

.

Hadis Dengan Lafaz Najd

Kemudian telah disebutkan dengan sanad yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kalau tempat yang dimaksud adalah Najd. Diriwayatkan dari Husain bin Hasan dari Ibnu ‘Aun dari Nafi dari Ibnu Umar secara marfu’ [Shahih Bukhari 2/33 no 1037] dan dari Azhar bin Sa’d dari Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’ [Shahih Bukhari 9/54 no 7094]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ هُنَاكَ الزَّلَازِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata [Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Ya Allah berilah keberkatan kepada kami, pada Syam kami dan pada Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”. Beliau bersabda “disana muncul kegoncangan dan fitnah, dan disanalah muncul tanduk setan” [Shahih Bukhari 2/33 no 1037]

Hadis ini menjelaskan kalau tempat munculnya fitnah yang dimaksud adalah Najd dan Najd memang terletak tepat di timur Madinah pada arah matahari terbit dari Madinah. Najd yang dimaksud dalam hadis ini adalah Najd yang memang sudah ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dalam salah satu hadis shahih bahwa Yamamah termasuk Najd dan penduduknya dari bani hanifah termasuk penduduk Najd.

أخبرنا قتيبة حدثنا الليث عن سعيد بن أبي سعيد أنه سمع أبا هريرة يقول بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم خيلا قبل نجد فجاءت برجل من بني حنيفة يقال له ثمامة بن آثال سيد أهل اليمامة فربط بسارية من سواري المسجد مختصر

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Sa’id bin Abi Sa’id yang mendengar Abu Hurairah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus pasukan berkuda ke Najd kemudian pasukan ini datang dengan membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal pemimpin penduduk Yamamah kemudian diikat di salang satu tiang masjid, demikian secara ringkas. [Shahih Sunan Nasa’i Syaikh Al Albani no 712]

Salafy merasa sangat keberatan kalau Najd yang dimaksud dalam hadis tanduk setan tersebut adalah Najd yang terletak tepat di timur Madinah. Salafy melakukan pembelaan dengan mencatut hadis-hadis yang menunjukkan bahwa tempat yang dimaksud adalah Iraq. Secara zahir, Iraq tidak terletak di arah timur Madinah. Iraq tidak terletak di arah matahari terbit dari Madinah. Dari Madinah, Iraq terletak di arah timur laut yang lebih dekat ke utara. Jadi dari segi matan sudah jelas hadis Iraq bermatan mungkar karena bertentangan dengan dalil shahih dan fakta yang ada.

Salafy berapologi kalau Iraq juga termasuk timur Madinah karena pada zaman dulu orang arab tidak mengenal arah timur laut yang ada pada zaman dulu hanya arah timur dan barat. Pernyataan ini jelas tidak bisa dijadikan hujjah karena telah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa arah timur yang dimaksud adalah arah matahari terbit dan telah disebutkan dalam dalil shahih bahwa arah munculnya tanduk setan adalah pada arah matahari terbit. Arah matahari terbit adalah tepat di arah timur dan Iraq tidak terletak di arah ini dari Madinah.

Selain itu tidak jarang salafy mencatut para ulama seperti Al Khattabi, Al Kirmany dan Syaikh Mahmud Syukri Al Alusy. Kami katakan pendapat ulama tidak menjadi hujjah jika bertentangan dengan dalil yang shahih. Ditambah lagi terdapat ulama yang justru menyatakan bahwa arah timur yang dimaksud terletak tepat di timur Madinah, Ibnu Hibban setelah mengutip hadis tanduk setan tersebut menyebutkan kalau timur yang dimaksud adalah timur madinah yaitu bahrain tempat keluarnya Musailamah yang pertama kali membuat bid’ah di dalam islam dengan mengaku sebagai Nabi [Shahih Ibnu Hibban 15/24 no 6648]. Tidak diragukan lagi tempat keluarnya Musailamah ini adalah Najd dan ia sendiri termasuk penduduk Najd.

.

.

.

Hadis Dengan Lafaz Iraq

Selain memiliki matan yang mungkar, hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh salafy tersebut tidaklah shahih dan mengandung illat [cacat] pada sanadnya. Berikut adalah hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh salafy.

حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في الثالثة أو الرابعة، قالوا يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال إنّ بها الزلازل والفتن، وبها يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-Ma’mariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaail bin Mas’ud yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun dari ayahnya, dari Naafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan pada Yamaan kami”. Beliau [shallallaahu ‘alaihi wa sallam ] mengatakannya beberapa kali. Ketika beliau mengatakan yang ketiga kali atau yang keempat, para shahabat berkata “Wahai Rasulullah, dan juga Iraq kami?”. Beliau bersabda  “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan” [Mu’jam Al Kabiir Ath Thabrani 12/384 no 13422].

Hadis ini tidak shahih. Hadis ini mengandung illat [cacat] Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Aun dalam periwayatan dari Ibnu ‘Aun telah menyelisihi para perawi tsiqat yaitu Husain bin Hasan [At Taqrib 1/214] dan ‘Azhar bin Sa’d [At Taqrib 1/74]. Kedua perawi tsiqat ini menyebutkan lafaz Najd sedangkan Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Aun menyebutkan lafaz Iraq. Ubaidillah bukan seorang yang tsiqat, Bukhari berkata “dikenal hadisnya” [Tarikh Al Kabir juz 5 no 1247], Abu Hatim berkata “shalih al hadits” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/322 no 1531] dimana perkataan shalih al hadits dari Abu Hatim berarti hadisnya dapat dijadikan i’tibar tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Jika perawi seperti Ubadilillah ini menyelisihi perawi yang tsiqat maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dan mesti ditolak.

Pernyataan bahwa hadis Ubadilillah tidak bertentangan melainkan menafsirkan hadis Najd sehingga Najd yang dimaksud adalah Iraq merupakan pernyataan yang bathil. Najd adalah Najd sedangkan Iraq adalah Iraq. Najd yang dimaksud dalam hadis tanduk setan adalah nama suatu negeri yang memang sudah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, oleh karena itu para sahabat menyebutnya “Najd kami”. Lihat saja matan hadisnya yang dengan jelas menyebutkan Negeri Syam dan Yaman kemudian sahabat bertanya bagaimana dengan Najd kami, jadi Najd disini adalah nama suatu negeri. Pada zaman itu tidak ada yang menyebut Iraq sebagai Najd bahkan telah terbukti dengan dalil shahih bahwa Najd dan Iraq adalah dua tempat yang berbeda. Jadi menyatakan Najd adalah Iraq jelas tidak berdasar sama sekali.

حدثنا علي بن سعيد قال نا حماد بن إسماعيل بن علية قال نا ابي قال نا زياد بن بيان قال نا سالم بن عبد الله بن عمر عن ابيه قال صلى النبي صلى الله عليه و سلم صلاة الفجر ثم انفتل فأقبل على  القوم فقال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله فسكت ثم قال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في حرمنا وبارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله قال من ثم يطلع قرن الشيطان وتهيج الفتن

Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id yang berkata telah menceritkankepada kami Hammaad bin Ismaa’iil bin ‘Ulayyah yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah mencertakan kepada kami Ziyaad bin Bayaan yangberkata telah menceritakan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ayahnya yang berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat shubuh, kemudian berdoa, lalu menghadap kepada orang-orang. Beliau bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata “dan ‘Iraq, wahai Rasulullah ?”. Beliau diam, lalu bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada tanah Haram kami, dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata “dan ‘Iraq, wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda “dari sana akan muncul tanduk setan dan bermunculan fitnah” [Mu’jam Al Awsath Ath Thabraani 4/245 no 4098].

Hadis ini tidak shahih. Hadis ini juga mengandung illat [cacat]. Ziyaad bin Bayaan dikatakan oleh Adz Dzahabi “tidak shahih hadisnya”. Bukhari berkata “dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali” [Al Mizan juz 2 no 2927] ia telah dimasukkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 2222 Al Uqaili juga memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa Al Kabir 2/75-76 no 522. Perawi dengan kedudukan seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah apalagi jika ia meriwayatkan kabar yang menyelisihi kabar shahih kalau daerah yang dimaksud adalah Najd bukan Iraq sebagaimana yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Nafi’.

حدثنا محمد بن عبد العزيز الرملي حدثنا ضمرة بن ربيعة عن ابن شوذب عن توبة العنبري عن سالم عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم بارك لنا في مدينتنا وفي صاعنا، وفي مدِّنا وفي يمننا وفي شامنا. فقال الرجل يا رسول الله وفي عراقنا ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم بها الزلازل والفتن، ومنها يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdul Aziiz Ar Ramliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Dhamrah bin Rabi’ah dari Ibnu Syaudzab dari Taubah Al Anbariy dari Salim dari Ibnu ‘Umar yang berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, dan pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [ Ma’rifah Wal Tarikh Yaqub Al Fasawiy 2/746-747]

Pada tulisan sebelumnya kami menganggap tidak ada masalah pada sanad hadis ini kecuali Taubah Al Anbary yang dikenal tsiqat tetapi dinyatakan mungkar al hadits oleh Al Azdy. Setelah kami teliti kembali ternyata hadis ini juga mengandung illat [cacat] yaitu Ibnu Syaudzab tidak mendengar hadis ini dari Taubah Al Anbary, ia melakukan tadlis yaitu menghilangkan nama gurunya yang meriwayatkan dari Taubah Al Anbary.

Hadis dengan matan seperti di atas diriwayatkan juga dari Walid bin Mazyad Al Udzriy Al Bayruuti dari Abdullah bin Syaudzaab dari Abdullah bin Qasim, Mathr, Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbary dari Salim dari ayahnya secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Al Fasawi dalam Ma’rifat Wal Tarikh 2/747, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin 2/246 no 1276, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 1/130-131 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 6/133.

حدثنا عبد الله بن العباس بن الوليد بن مزيد البيروتي حدثني أبي أخبرني أبي حدثني عبد الله بن شوذب حدثني عبد الله بن القاسم ومطر الوراق وكثير أبو سهل عن توبة العنبري عن سالم بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اللهم بارك في مكتنا وبارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا اللهم بارك لنا في صاعنا وبارك لنا في مدنا فقال رجل يا رسول الله وعراقنا فأعرض عنه فرددها ثلاثا وكان ذلك الرجل يقول وعراقنا فيعرض عنه ثم قال بها الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin ‘Abbas bin Walid bin Mazyad Al Bayruutiy yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Syawdzab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbariy dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada Mekkah kami, dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, dan pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [Musnad Asy Syamiyyin Thabrani 2/246 no 1276]

Dengan mengumpulkan semua hadis riwayat Ibnu Syaudzab maka diketahui kalau Ibnu Syaudzab terbukti melakukan tadlis. Riwayatnya dari Taubah Al Anbary dengan ‘an ‘anah ternyata ia dengar dari Syaikhnya Abdullah bin Qasim, Mathr dan Katsir Abu Sahl. Ada sedikit perbedaan lafaz antara riwayat Ibnu Syawdzab dari Taubah Al Anbary dan riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikhnya dari Taubah Al Anbary yaitu pada riwayat dimana Ibnu Syawdzab menyebutkan mendengar langsung dari Syaikhnya terdapat lafaz “ya Allah berilah keberkatan pada Mekkah kami” sedangkan pada riwayat an ‘an ah Ibnu Syaudzab dari Taubah Al Anbary tidak terdapat lafaz tersebut.

Illat atau cacat yang ada pada riwayat Ibnu Syawdzab adalah tidak diketahui dari syaikhnya yang mana lafaz Iraq tersebut berasal. Disini terdapat kemungkinan

  • Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga Syaikhnya yaitu Abdullah bin Qasim, Mathr dan Katsir Abu Sahl dimana ketiganya memang menyebutkan lafaz “Iraq”.
  • Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga syaikhnya dimana lafaz Iraq tersebut hanya berasal dari salah satu Syaikhnya sehingga disini Ibnu Syawdzab menggabungkan sanad hadis tersebut dan matan hadis yang berlafaz Iraq berasal dari salah satu syaikhnya.

Terdapat kemungkinan kalau riwayat Ibnu Syawdzab dengan lafaz Iraq ini berasal dari Mathar bin Thahman Al Warraq dan disebutkan Ibnu Hajar kalau ia seorang yang shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan [At Taqrib 2/187]. Abu Nu’aim ketika membawakan riwayat Ibnu Syawdzab dari Taubah Al Anbary, ia berkata

كذا رواه ضمرة عن ابن شوذب عن توبة  ورواه الوليد بن مزيد عن ابن شوذب عن مطر عن توبة

Begitulah riwayat Dhamrah dari Ibnu Syawdzab dari Taubah dan telah meriwayatkan Walid bin Mazyad dari Ibnu Syawdzab dari Mathr dari Tawbah [Hilyatul Auliya 6/133]

Setelah itu Abu Nu’aim mengutip riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikhnya di atas. Jadi kemungkinan besar lafaz Iraq pada hadis ini berasal dari Mathr bin Thahman. Dan telah ditunjukkan bahwa riwayat yang tsabit sanadnya adalah riwayat shahih dari Nafi’ dengan lafaz Najd. Oleh karena itu matan hadis ini mungkar lafaz yang benar hadis ini adalah Najd dan lafaz Iraq kemungkinan berasal dari kesalahan perawinya yaitu Mathr bin Thahman syaikhnya Ibnu Syawdzab.

.

.

.

Peringatan Salim Terhadap Penduduk Iraq

Ada hadis lain yang dijadikan hujjah salafy untuk menyatakan kalau tempat tanduk setan yang dimaksud adalah Iraq yaitu hadis Salim bin Abdullah bin Umar berikut

حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر الوكيعي ( واللفظ لابن أبان ) قالوا حدثنا ابن فضيل عن أبيه قال سمعت سالم بن عبدالله بن عمر يقول يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة سمعت أبي عبدالله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إن الفتنة تجئ من ههنا وأومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض وإنما قتل موسى الذي قتل من آل فرعون خطأ فقال الله عز و جل له { وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا } [ 20 / طه / 40 ] قال أحمد بن عمر في روايته عن سالم لم يقل سمعت

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdul A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al Wakii’iy [dan lafaznya adalah lafaz Ibnu Abaan] ketiganya berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya yang berkata Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan.” [Thaahaa: 40]”. Berkata Ahmad bin Umar dalam riwayatnya dari Salim tanpa mengatakan “aku mendengar”[Shahih Muslim 4/2228 no 2905].

Jika dilihat baik-baik tidak ada penunjukkan bahwa timur yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Iraq. Disini Salim bin Abdullah bin Umar mengingatkan penduduk Iraq bahwa terdapat hadis Nabi akan ada fitnah yang datang dari arah timur.  Oleh karena itu Salim memberi peringatan kepada penduduk Iraq agar mereka tidak menjadi fitnah yang dimaksud dalam hadis tersebut. Telah lazim kalau mengingatkan seseorang bukan berarti menuduh orang tersebut. Lagipula perkataan seorang tabiin tidaklah menjadi hujjah jika telah jelas dalil shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bisa jadi Salim tidak mengetahui hadis shahih dari Ibnu Umar kalau tempat yang dimaksud adalah Najd sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Nafi’.

Hadis ini juga menjadi bukti kelemahan hadis Ibnu Syawdzab dari Taubah Al Anbary. Perhatikanlah hadis riwayat Muslim tersebut ia menggabungkan sanad hadis dimana ia mengambil hadis tersebut dari ketiga syaikhnya yaitu Abdullah bin Umar bin Aban, Washil bin Abdul A’la dan Ahmad bin Umar. kemudian meriwayatkan dengan satu matan yang ada lafaz “wahai penduduk Iraq”. Lafaz ini berasal dari Abdullah bin Umar bin Aban sedangkan pada riwayat Washil bin Abdul A’la tidak ada lafaz tersebut.

حدثنا واصل بن عبد الأعلى الكوفي حدثنا ابن فصيل عن ابيه عن سالم عن ابن عمر قال سمعت رسول الله  صلى الله عليه و سلم – يقول : إن الفتنة تجيء من ها هنا وأومأ بيده نحو المشرق حيث يطلع قرن الشيطان وأنتم يضرب بعضكم بعض رقاب بعض وإنما قتل موسى الذي قتل من آل فرعون خطأ قال الله له : { وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا }

Telah menceritakan kepada kami Washil bin Abdul A’la Al Kufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari ayahnya dari Salim dari Ibnu Umar yang berkata aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan.” [Musnad Abu Ya’la 9/383 no 5511 dishahihkan oleh Husain Salim Asad]

Jadi perkara perawi menggabungkan sanad para syaikh-nya dengan mengambil satu matan saja dari salah satu syaikh-nya adalah perkara yang ma’ruf dalam ilmu hadis. Jika semua syaikh-nya itu perawi yang tsiqat tsabit maka tidak ada masalah tetapi jika salah satu syaikh-nya dhaif atau banyak melakukan kesalahan maka lafaz matan tersebut mengandung kemungkinan dhaif. Inilah illat [cacat] yang ada pada riwayat Ibnu Syawdzab.

Selain itu bukti kalau hadis dengan lafaz Iraq [riwayat Ibnu Syawdzab] tidak tsabit sampai ke Salim bin ‘Abdullah dapat dilihat dalam hadis Muslim di atas dimana ketika Salim mengingatkan penduduk Iraq, ia malah membawakan hadis tanduk setan dengan lafaz timur. Kalau memang terdapat hadis tanduk setan dengan lafaz Iraq maka mengapa pada saat itu Salim bin Abdullah bin Umar tidak menyebutkan hadis itu, ia malah menyebutkan hadis tanduk setan dengan lafaz timur. Bukankah sangat cocok kalau mau mengingatkan penduduk Iraq dengan hadis yang memang mengandung lafaz Iraq?. Jadi Salim sendiri tidak mengetahui adanya hadis tanduk setan dengan lafaz Iraq sehingga ketika ia mengingatkan penduduk Iraq, ia malah mengutip hadis tanduk setan dengan lafaz timur.

.

.

.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas maka tempat yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat munculnya atau datangnya fitnah adalah Najd di sebelah timur Madinah. Hadis Najd telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih lagi tsabit sedangkan hadis Iraq diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih dan mengandung illat [cacat]. Dengan menerapkan metode tarjih maka Hadis Najd lebih layak dijadikan pegangan sedangkan hadis Iraq tertolak dan matannya dinilai mungkar. Salam Damai

45 Tanggapan

  1. Pertamax….like this :mrgreen:

  2. huaaaa……curang…knp penulisnya…koment duluan….
    ini menjawab tekateki knp Najd berubah nama..yah….wakakak

  3. Wah telat…. like this too :mrgreen:

  4. Kalo kata najd menjadi “JADah” sih mending agak nyambung sama² ada kata j a d nya. Tapi kalo najd berubah jadi IRAQ maka ini babar blas gax nyambung,
    Nyambungnya dari Hongkong kalee he..he..he..

  5. sip jos.

    mas, buat tulisan untuk mengkritisi pemikiran hizbut tahrir donk. masa cuman salafy/wahabi aja sih?

  6. gak usah bingung kalo ingin tau wajah Najd lihatlah sekarang wajah Saudi Arabia.

  7. Emang kenapa sih wahabiers ngotot menolak Najd sebagai tempat munculnya tanduk setan? Kan ga ada kepentingan apa-apa? Asalnya Islam bukan. Lahirnya Nabi bukan. Lahirnya nenek moyang wahaby jg bukan. Tempat lahirnya pentolan wahaby jg bukan. Tempat lahirnya ulama2 wahaby jg bukan. Lantas apa dong?

    Salam

  8. Logikanya mereka nyadar kalo manhaj mereka di atas tanduk syaithon jadi deh mereka ngebelain abis-abisan.
    Tersinggung gitu loh he..he..he..

  9. Sangat mengherankan ketika anda klik kata wahabbi di halaman wikipedia indonesia , halaman itu kosong..dihapus. tapi kalo kita search di edisi inggrisnya…disitu ditemukan…lengkap beserta penjelasan bahwa….GERAKAN WAHABBIYAH ITU MUNCUL DI NAJD, YANG SECARA POLITIK MEMBERONTAK DARI KESUTANAN OTOMAN TURKI DAN MENDIRIKAN KERJAAN ARAB SAUDI, DAN AKAN ANDA TEMUKAN SECARA AJARAN WAHABBIYAH BERGESER MENJADI ‘SALAFY’ MESKI MEREKA MENOLAKNYA, TIDAK ADA BEDANYA.”……

    silakan di coba…di search

  10. @ Armand

    dah aku tulis tuh….coba di serch sendiri…..he he he itu jawabannya kenapa mereka ngotot Bung…..

  11. (Kritikan Ilmiah untuk Penentang Dakwah Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) (Menjawab Fitnah Nejd)
    disusun oleh:

    Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
    .
    Sesungguhnya Alloh telah berjanji menjaga kemurnian agama-Nya, dengan membangkitkan sebagian hamba-Nya untuk berjuang membela agama dan membantah ahli bid’ah, para pengekor hawa nafsu, yang seringkali menyemarakkan agama dengan kebid’ahan dan mempermainkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah seperti anak kecil mempermainkan tali mainannya. Mereka memahami nash-nash dengan pemahaman yang keliru dan lucu. Hal itu karena mereka memaksakan dalil agar sesuai dengan selera hawa nafsu.
    Bila anda ingin bukti, terlalu banyak, tetapi contoh berikut ini mungkin dapat mewakili.

    Dalam sebuah majalah bulanan yang terbit di salah satu kota Jawa timur, seorang yang menamakan dirinya ”Masun Said Alwy” menulis sebuah artikel sekitar sepuluh halaman berjudul

    ”Membongkar Kedok Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan”.

    Setelah penulis mencoba membaca tulisan tersebut, ternyata hanya keheranan yang saya dapati. Bagaimana tidak? Tulisan tersebut tiada berisi melainkan kebohongan dan kedustaan, sampai-sampai betapa hati ini ingin sekali berkata kepada penulis makalah tersebut, ”Alangkah beraninya anda berdusta! Tidakkah anda takut siksa?!”
    Sungguh banyak sekali kebohongan yang kudapati([1]), namun yang menarik perhatian kita untuk menjadi topik bahasan rubrik hadits adalah ucapannya yang berkaitan tentang “hadits” sebagai berikut:

    ”Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih Bukhari & Muslim dan lainnya”. Di antaranya:

    الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى الْمَشْرِقِ
    Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana, sambil menunjuk ke arah timur (Nejed). HR. Muslim dalam Kitabul Fitan

    يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ الْمَشْرِقِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يَعُوْدُوْنَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فَوْقِهِ سِيْمَاهُمْ التَّحْلِيْقُ. رواه البخاري
    Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak anah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ke tempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur. HR. Bukhari no 7123, Juz 6 hal 20748. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban.

    Nabi SAW pernah berdoa

    اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا
    Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman.
    Para sahabat bertanya: Dan dari Nejed wahai Rasulullah, beliau berdoa: Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW bersabda:
    هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ وَفِيْ رِوَايَةٍ قَرْنَا الشَّيْطَانِ
    Di sana (Nejed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk Syetan. Dalam riwayat lain: Dua tanduk Syetan.

    Bani Hanifah adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Su’ud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid Alwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahhab…”.
    Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya seperti yang dikatakan oleh Sayyid Abdur Rahman al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahhab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah SAW itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian”.
    Al Allamah Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah Al-Haddad menyebutkan dalam kitabnya “Jala’udz Dzolam” sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi SAW:
    سَيَخْرُجُ فِيْ ثَانِيْ عَشَرَ قَرْنًا فِيْ وَادِيْ بَنِيْ حَنِيْفَةَ رَجُلٌ كَهَيْئَةِ الثَّوْرِ لاَيَزَالُُ يَلْعَقُ بَرَاطِمَهُ يَكْثُرُ فِيْ زَمَانِهِ الْهَرَجُ وَالْمَرَجُ يَسْتَحِلُّوْنَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَيَتَّخِذُوْنَهَا بَيْنَهُمْ مَتْجَرًا وَيَسْتَحِلُّوْنَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ
    Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah Bani Hanifah seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin”. Al-Hadits.

    INILAH JAWABANNYA

    Demikianlah teks ucapannya sebagaimana termuat dalam Majalah ”Cahaya Nabawiy” Edisi 33 Th. III Sya’ban 1426 H (September 2005 M) hal. 15-17 tanpa saya kurangi atau tambahi (adapun penulisan cetak tebal dalam beberapa kata atau kalimat adalah dari admin blog). Ucapan di atas mendorong penulis menanggapinya dalam tiga point pembahasan:

    I. Pertama: Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab Adalah Fitnah Nejed?([2])

    Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara Masun Said Alwy di atas bukanlah hal baru melainkan hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, semisal al-Haddad dalam Mishbahul Anam hal. 5-7, al-A’jili dalam Kasyful Irtiyab hal. 120, Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah hal. 54([3]), Muhammad Hasan al-Musawi dalam al-Barahin al-Jaliyyah hal. 71, an-Nabhani dalam ar-Raiyah ash-Sughra hal. 27, dan lain-lain dari orang-orang yang hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud ”Nejed” dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz (Saudi Arabia sekarang) dan maksud fitnah yang terjadi adalah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!
    Kebohongan ini sangat jelas bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi:

    A. Hadits itu saling menafsirkan

    Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi baginya penafsiran makna Nejed yang benar dalam hadits ini. Dalam lafazh yang dikeluarkan Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 12/384 no.13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud: Menceritakan kami Ubaidullah bin Abdullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari Ibnu Umar – dengan lafazh:

    اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا. فَقَالَهَا مِرَارًا, فَلَمَّا كَانَ فِيْ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ: إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

    Wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, wahai Alloh berkahi kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami?” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”

    • Sanad hadits ini bagus. Ubaidullah seorang yang dikenal haditsnya, sebagaimana kata Imam Bukhari dalam Tarikh al-Kabir 5/388/1247. Ibnu Abi Hatim berkata dalam al-Jarh wat Ta’dil 5/322 dari ayahnya, ”Shalih (bagus) haditsnya.”

    • Dan dikuatkan dalam riwayat Ya’qub al-Fasawi dalam al-Ma’rifah 2/746-748, al-Mukhallish dalam al-Fawa’id al-Muntaqah 7/2-3, al-Jurjani dalam al-Fawa’id 2/164, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 6/133, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimsyaq 1/120 dari jalur Taubah al-‘Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dengan lafazh:
    اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَكَّتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَأَعْرَضَ عَنْهُ, فَرَدَّدَهَا ثَلاَثًا, كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ الرَّجُلُ: وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَيُعْرِضُ عَنْهُ, فَقَالَ: بِهَا الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

    Wahai Alloh berkahilah kami dalam Makkah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Madinah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami. Wahai Alloh, berkahilah kami dalam sha’ kami dan berkahilah kami dalam mudd kami. Seorang bertanya, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan mengulangi tiga kali. Namun tetap saja orang tersebut mengatakan, ”Dalam Iraq kami.” Nabi pun berpaling darinya seraya bersabda, ”Di sanalah kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.” (Sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim)

    • Imam Muslim dalam Shahihnya 2905 meriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari ayahnya, dia berkata, ”Saya mendengar ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata:

    يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيْرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ عَنِ الْكَبِيْرَةِ, سَمِعْتُ أَبِيْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيْئُ مِنْ هَا هُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

    Wahai penduduk Iraq! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan, ”Saya mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ’Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini –beliau sambil mengarahkan tangannya k
    e arah timur–, dari situlah muncul tanduk setan….’”
    Riwayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa maksud ”arah timur” adalah Iraq sebagaimana dipahami oleh Salim bin Abdullah bin Umar.
    • Al-Khaththabi berkata dalam I’lam Sunan 2/1274, ”Nejed: arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejednya adalah Iraq dan sekitarnya. Asli makna ’Nejed’ adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata dari ’Ghaur’ yaitu setiap tanah yang rendah seperti Tihamah (sebuah kota di Makkah–pen) dan Makkah. Fitnah itu muncul dari arah timur dan dari arah itu pula keluar Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.”
    • Demikian pula dijelaskan oleh para ulama lainnya seperti:
    1. al-‘Aini dalam Umdatul Qari 24/200,
    2. al-Kirmani dalam Syarh Shahih Bukhari 24/168,
    3. al-Qashthalani dalam Irsyad Sari 10/181,
    4. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/47,
    5. dan sebagainya.

    Hal ini dapat kita temukan juga dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab seperti al-Qamus al-Muhith oleh ar-Razi dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur, dan dalam kitab-kitab gharib hadits

    seperti an-Nihayah fi Gharib Hadits oleh Ibnu Atsir.
    Dengan sedikit keterangan di atas, jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan, bahwa maksud ”Nejed” dalam riwayat hadits di atas bukanlah nama negeri tertentu, tetapi untuk setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Dengan demikian maka Nejed yang dikenal oleh dunia Arab banyak sekali jumlahnya. (lihat Mu’jam al-Buldan 5/265, Taj al-Arus 2/509, Mu’jam al-Mufahras li Alfazh Hadits 8/339)

    • Jadi, Nejed yang merupakan tempat munculnya tanduk setan dan sumber kerusakan (fitnah) adalah arah Iraq. Karena itulah timur kota Madinah Nabawiyah. Maka seluruh riwayat dan lafazh hadits ini kalau digabungkan, ternyata saling menafsirkan antara satu dengan lainnya, sebagaimana hal ini juga dikuatkan oleh penafsiran para ulama –yang terdepan adalah Salim, anak Ibnu Umar-radhiyallahu a’nhu- dan para pakar ahli bahasa.
    .
    (2) Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi n/ di atas. Benarlah, Iraq adalah sumber fitnah([4]), baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Seperti:

    1. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj,
    2. Perang Jamal,
    3. Perang Shifin,
    4. Fitnah Karbala’,
    5. Tragedi Tatar.
    6. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti
    • Khawarij yang muncul di kota Harura’ –kota dekat Kufah–,
    • Rafidhah (Syi’ah) –hingga kini masih kuat–,
    • Mu’tazilah,
    • Jahmiyah, dan
    • Qadariyah.

    Awal kemunculan mereka di Iraq, sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.

    Dan kenyataan yang kita saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di Iraq terasa begitu mahal. Banyak peperangan dan pertumpahan darah, serta andil (campur tangan) orang-orang kafir dalam menguasai Iraq. Kita berdo’a kepada Alloh agar memperbaiki keadaan di Iraq, menetapkan langkah para mujahidin di Iraq dan menyatukan barisan mereka. Amiin.

    • Ibnu Abdil Barr berkata dalam al-Istidzkar (27/248), ”Rasulullah mengkhabarkan datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar secara nyata bahwa kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana. Seperti perang Jamal, perang Shifin, terbunuhnya al-Husain, dan lain sebagainya dari fitnah yang terjadi di Iraq dan Khurasan semenjak dahulu hingga sekarang. Akan sangat panjang kalau mau diuraikan. Memang, fitnah terjadi di setiap penjuru kota Islam, namun terjadinya dari arah timur jauh lebih banyak.”

    • Syaikh Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il (4/264-265), ”Telah terjadi di Iraq beberapa fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah terjadi di Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh seorang yang menelaah sejarah, seperti keluarnya Khawarij, pembunuhan al-Husain, fitnah Ibnu Asy’ats, fitnah Mukhtar yang mengaku sebagi nabi … dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan Hajjaj berupa pertumpahan darah, sangat panjang kalau mau diuaraikan.”

    • Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi al-Iraqi berkata dalam Ghayatul Amani (2/180), ”Tidak aneh, Iraq memang pusat fitnah dan musibah. Penduduk Islam di sana selalu dihantam fitnah satu demi satu. Tidak samar lagi bagi kita, fitnah ahli Harura’ (kelompok Khawarij–pen) yang mencemarkan Islam. Fitnah Jahmiyah yang banyak dikafirkan oleh mayoritas ulama salaf juga muncul dan berkembang di Iraq. Fitnah Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan al-Bashri serta lima pokok ajaran mereka yang berseberangan dengan paham Ahli Sunnah begitu masyhur. Fitnah ahli bid’ah kaum sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang berkembang di Bashrah. Dan fitnah kaum Rafidhah dan Syi’ah serta perbuatan ghuluw (berlebihan) mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin Abu Thalib-radhiyallahu a’nhu- serta celaan terhadap pembesar para sahabat, merupakan hal yang sangat masyhur juga.”
    .
    (3) Anggaplah bahwa ”Nejed” yang dimaksud hadits di atas adalah Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya mengkhabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak menvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya suatu fitnah di suatu tempat, tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut.

    • Bukankah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga mengkhabarkan akan terjadi fitnah di kota Madinah Nabawiyah?! Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat pasti mengakibatkan setiap penduduknya tercela, maka itu artinya seluruh penduduk Madinah tercela, padahal tak seorangpun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada suatu tempat pun di dunia ini –baik telah terjadi maupun belum– kecuali akan terjadi fitnah di dalamnya. Lantas akankah seseorang berani mencela seluruh kaum muslimin seantero dunia?! Jadi, timbangan celaan seorang bukanlah karena dia lahir di tempat ini atau itu. Tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus fitnah berupa kekufuran, kesyirikan, dan kebid’ahan. (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 498-500 oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi)
    • Syaikh Abdur Rahman bin Hasan mengatakan, ”Bagaimanapun juga, celaan itu silih berganti waktu tergantung kepada penduduknya, sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat keutamaannya. Tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat ketaatan di waktu lain, demikian pula sebaliknya.

    • Seandainya Nejed tercela karena Musailamah (al-Kadzdzab) setelah kemusnahannya bersama para pengikutnya, niscaya Yaman juga tercela karena Aswad al-Ansiy yang mengaku nabi….
    • Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum Yahudi tinggal di sana dan kota Makkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya dahulu mendustakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan memusuhi dakwahnya.” (Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il 4/265).
    Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis hal. 92,
    ”Timbangan keutamaan itu tergantung pada penduduknya, berbeda dan berpindah bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang paling utama di setiap waktu adalah yang paling banyak ilmu dan sunnahnya, dan sejelek-jelek kota adalah yang paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan, kebid’ahan, dan kesyirikan, paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak salafush shalih. Jadi, keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan orangnya.”
    Sebagai kesimpulan, penulis ingin menurunkan ucapan berharga dari penjelasan ahli hadits abad ini, Muhammad Nashiruddin al-Albani yang telah menepis salah paham hadits ini dalam berbagai kesempatan. Beliau berkata setelah takhrij hadits yang panjang,
    ”Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
    Mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa hal itu bukanlah yang dimaksud oleh hadits ini, namun yang dimaksud adalah Iraq sebagaimana dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini. Demikianlah yang ditegaskan oleh para ulama semenjak dahulu seperti Imam Khaththabi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan sebagainya.
    Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang berasal dari negeri tercela tidaklah otomatis dia tercela kalau memang dia orang yang shalih. Demikian pula sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan fasik di Makkah, Madinah, dan Syam. Dan betapa banyak orang alim dan shalih di Iraq([5])? Alangkah bagusnya ucapan Salman al-Farisi kepada Abu Darda’ tatkala mengajak dirinya hijrah dari Iraq ke Syam, ”Amma ba’du, sesungguhnya negeri yang mulia tidaklah membuat seorang pun menjadi mulia, namun yang membuat mulia ialah amal perbuatannya.”
    (Silsilah Ahadits Shahihah 5/305)
    Beliau juga berkata,
    ”Jalur-jalur hadits ini menguatkan bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi adalah arah timur, yang tepatnya adalah Iraq, sebagaimana anda lihat secara jelas dalam sebagian riwayat. Hadits ini merupakan tanda diantara tanda-tanda kenabian, sebab awal fitnah adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab perpecahan di tengah kaum muslimin, demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari arah yang sama, seperti bid’ah Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Imam Bukhari 7/77 dan Ahmad 2/85, 153 meriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’min, bahwasanya dia menyaksikan Ibnu Umar -radhiyallahu a’nhu- ketika ditanya oleh seorang dari Iraq tentang hukum membunuh lalat bagi muhrim (orang yang sedang ihram). Maka berkata Ibnu Umar,
    ’Wahai penduduk Iraq! Kalian bertanya kepadaku tentang orang muhrim membunuh lalat, padahal kalian telah membunuh anak putri-Rasulullah, sedangkan beliau (Nabi) sendiri bersabda: Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah kesayanganku di dunia.’”
    (Silsilah Ahadits Shahihah 5/655-656)
    Beliau juga berkata,

    ”Apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah terbukti. Sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Iraq, seperti peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, antara Ali dan Khawarij, antara Ali dan Aisyah, dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits ini merupakan salah satu mu’jizat dan tanda-tanda kenabiannya.”
    (Takhrij Ahadits Fadha’il Syam wa Dimsyaq, hal. 26-27)
    .
    II. Kedua: Muhammad bin Abdul Wahhab dan cukur rambut([6])
    Adapun tudingan saudara Masun Said Alwy bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya dan ini termasuk dalam hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ”Tanda mereka adalah cukur rambut.”
    • Kebohongan ini pun bukanlah hal yang baru. Ini hanya daur ulang dari para pembohong sebelumnya seperti:
    1. Jamil az-Zuhawi al-Iraqi dalam al-Fajr ash-Shadiq dan
    2. Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah,
    3. dan lain-lain.
    Tuduhan ini sangat mentah. Tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada beberapa point untuk mendustakan tuduhan ini:
    (1) Mereka mendustakan tuduhan bohong ini
    • Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak mencukur rambut kepalanya, ”Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan kepada kami. Seorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini. Karena kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang maklum bi dharurah (diketahui oleh semua). Macam-macam kekufuran, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk di antaranya (kekufuran atau kemurtadan), bahkan kamipun tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan.” (Durarus Saniyyah 10/275-276, cet. kelima)
    • Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata, ”Ini termasuk kebohongan, kedustaan, kezhaliman, dan penganiayaan.” (adh-Dhiya’ asy-Syariq hal. 119)
    • Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi berkata juga, ”Ini adalah kedustaan yang sangat jelas dan kebohongan yang sangat keji.” (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 560)
    (2) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang mencukur rambut
    • Merupakan bukti yang menguatkan kebohongan tuduhan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menjelaskan pendapatnya dalam masalah mencukur rambut atau memeliharanya, yang menyelisihi tuduhan musuh-musuhnya. Beliau berkata, ”Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang yang memelihara rambutnya? Dia menjawab, ’Sunnah yang bagus, seandainya kami mampu maka kami akan melakukannya. Rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai ke bahunya.’ Dan disunnahkan sifat rambut seorang seperti sifat rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kalau panjang maka sampai ke bahu, kalau pendek maka sampai ke daun telinga.”
    • Beliau juga berkata, ”Dibencikah mencukur rambut kepala pada selain haji dan umrah? Ada dua riwayat; Pertama: Dibenci, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ’Tanda mereka adalah bercukur.’ Kedua: Tidak dibenci, berdasarkan larangannya tentang qaza’ (mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya), ’Cukurlah semua atau biarkan semua.’ (HR. Abu Dawud). Ibnu Abdil Barr berkata, ’Para ulama di setiap tempat bersepakat bolehnya bercukur.’ Cukuplah ini sebagai hujjah.” (Mukhtashar al-Inshaf wa Syarh al-Kabir, kumpulan karya Syaikh Ibnu Abdil Wahhab 1/28, cet. Jami’ah Imam)
    (3) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang Khawarij
    • Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dikategorikan termasuk hadits yang disinyalir Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, padahal beliau sendiri berlepas diri dari Khawarij. Perhatikan ucapannya, ”Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang ciri-ciri khawarij, kejelekan mereka serta anjuran memerangi mereka.” (Mukhtashar Sirah Rasul hal. 498)
    (4) Ibadah dengan mencukur gundul merupakan syi’ar Khawarij
    • Adapun ucapan saudara ”Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya”, ini merupakan kesalahan dan kejahilan. Sebab ibadah dengan cukur gundul ini adalah syi’ar aliran sesat Khawarij dan diikuti sebagian sufi.
    Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata dalam Fatawanya (hal. 347): ”Alasan para ulama membenci cukur rambut dan menganggapnya menyelisihi sunnah karena hal itu adalah syi’ar Khawarij dahulu.” (lihat pula Aridhatul Ahwadzi 7/256 oleh Ibnul Arabi dan Fathul Bari 13/669 oleh Ibnu Hajar)
    • Dan (syi’ar) ini juga diikuti oleh sebagian kelompok sufi, sebagaimana dijelaskan oleh:
    1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam: al-Istiqamah 1/256
    2. dan muridnya, Ibnul Qayyim, dalam Ahkam Ahli Dzimmah2/749.
    Maka ucapan “Hal ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya” adalah kejahilan dan kesalahan.
    .
    III. Ketiga: Berdusta atas nama hadits([7])
    Adapun hadits yang dinukil oleh saudara Masun Said Alwy dari kitab “Jala’udz Dzolam fir Raddi ‘ala Najdi Al-Ladzi Adholla Awam” oleh Sayyid Alwy al-Haddad dari Abbas bin Abdul Muthallib, maka ini adalah kebodohan di atas kebodohan. Sebab hadits ini tidak ada asal usulnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, tetapi tetap dijadikan argumen untuk mendukung hawa nafsunya.
    • Anda jangan tertipu dengan ucapan di akhirnya: “Al-Hadits”!!
    Seandainya itu diriwayatkan oleh ahli hadits, maka mengapa tidak dia sebutkan?! Apa beratnya? Lebih terkejut lagi, kalau anda tahu bahwa ucapan “Al-Hadits” ini sebenarnya bukan dari kitab aslinya, melainkan hanyalah ucapan Masun Said Alwy.
    • Seharusnya saudara Masun Said Alwy menukil takhrij lucu dari kitab aslinya. Si pengarang kitab tersebut mengatakan, ”Hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) yang mendukung maknanya, sekalipun tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya.” !!
    • Kalau memang tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya, mengapa dia berdalil dengannya?! Jadi, hadits ini hanyalah buatan orang tersebut dan yang semodel dengannya. Dia berdusta atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara terang-terangan di depan makhluk. Aduhai, alangkah rusaknya hati yang berani berbuat demikian, dan alangkah buruknya hati yang mencintai orang-orang model mereka! Mereka berdusta atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengaku cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Mungkinkah dua hal ini dapat bersatu di hati seseorang?! Sekali-kali tidak, kecuali di hati seorang ahli bid’ah dan pendusta.
    • Sungguh lucu ucapannya “Tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya”. Seandainya dia menyandarkannya kepada kitab yang tidak ada wujudnya, niscaya akan lebih laris kebohongannya di tengah-tengah orang-orang jahil, bukan bagi para ulama yang mengetahui cahaya ucapan Nabi.
    Kami harap anda jangan heran, karena berdusta dan menyebarkan hadits-hadits dusta adalah kebiasaan setiap penggemar bid’ah.
    .
    PENUTUP & NASIHAT
    Usai kita menanggapi tiga permasalahan di atas, penulis merasa perlu menyodorkan nasihat bagi kita semua dan secara khusus kepada saudara Masun Said Alwy, penulis artikel ”Membongkar Kedok Wahabi”:
    (1) Hendaknya kita mempelajari makna hadits dengan bantuan kitab-kitab syarah (penjelasan) para ulama agar tidak ngawur menafsirkannya.
    • Alangkah indahnya ucapan Sufyan bin ‘Uyainah:
    يَا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ تَعَلَّمُوْا مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ فَإِنِّيْ تَعَلَّمْتُ مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً
    Wahai penuntut ilmu hadits! Pelajarilah makna hadits, sesungguhnya saya mempelajari makna hadits selama tiga puluh tahun.
    (2) Hendaknya kita lebih selektif dan kritis dalam menerima berita, sebagaimana yang diperintahkan Alloh dalam kitab-Nya (yang artinya):
    Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. (QS. al-Hujurat: 6)
    • Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, ”Sesungguhnya telah sampai kepada para ulama India dan Yaman berita-berita tentang Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Lalu mereka membahas, memeriksa, dan meneliti sebagaimana perintah Alloh, hingga jelaslah bagi mereka bahwa para pencelanya adalah pembohong yang tidak amanah.” (Muqaddimah Syiyanatul Insan hal. 29-30)
    • Maka kepada para pendengki dakwah ini, bersikap adillah kalian dan periksalah berita yang sampai kepada kalian, niscaya kalian akan segera sadar bahwa kalian dibutakan dengan kedustaan dan tuduhan!
    (3) Seringkali kami menasehatkan kepada saudara-saudara kami agar waspada dalam menyampaikan hadits lemah dan palsu, apalagi dusta yang tidak ada asal usulnya. Ditambah lagi, apabila hal itu untuk mendukung selera hawa nafsu. Semua itu dosa yang sangat berbahaya, karena termasuk dusta atas nama Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
    • Sebagaimana kami nasehatkan juga agar kita selektif dalam menyebutkan hadits, yaitu hendaknya disertai riwayatnya, jangan hanya sekedar menyebutkan “al-Hadits” begitu saja.
    Akhirnya kita memohon kepada Alloh hidayah dan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Pemurah.
    .
    artikel: http://abiubaidah.com
    ________________________________________
    ([1]) Seperti tuduhan kejinya bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab adalah alat Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya, mengkafirkan kaum muslimin, punya keinginan mengaku nabi, merendahkan Nabi n/ dan melecehkannya, menghancurkan makam-makam bersejarah dan tuduhan-tuduhan dusta lainnya. Penulis telah berniat membongkar kebohongan-kebohongan ini secara terperinci pada edisi ini tetapi keterbatasan halaman mengurungkan niatnya. Semoga pada edisi-edisi berikutnya, Alloh memudahkan terwujudnya niat baiknya. Amiin.
    ([2]) Disadur dari kitab al-Iraq fi Ahadits wa Atsar al-Fitan oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet. Maktabah al-Furqan.
    ([3]) Telah diulas bantahannya dalam majalah AL FURQON Edisi 3 Tahun V Rubrik ”Kutub”. Silakan baca kembali.
    ([4]) Oleh karenanya, para ulama menjadikan hadits ini sebagai salah satu tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad n/. Lihat Umdatul Qari 24/200 oleh al-’Aini dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 5/655, dan Takhrij Ahadits Fadhail Syam hal. 26-27 oleh al-Albani.
    ([5]) ”Tak seorang muslim pun mengatakan tercelanya para ulama Iraq. Bagaimana tidak, para pembesar ahli hadits, fiqh, dan jarh wa ta’dil, mayoritas mereka dari Iraq.” (Mishbah Zhalam hal. 336)
    ([6]) Disadur dari risalah Sya’rus ar-Ra’si oleh Sulaiman bin Shalih al-Khurasyi.
    ([7]) Lihat Muqaddimah Hadzihi Mafahimuna oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.

  12. Aqidah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Dan Apa Yang Dimaksud Dengan Wahhabiyyin

    Rabu, 12 Januari 2005 07:24:07 WIB

    SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB SOSOK PENEGAK PANJI-PANJI TAUHID

    Disusun Oleh Abu Aufa
    Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

    Keberadaan Beliau Di Negeri Dir’iyyah

    [1]. Sebab Perginya Beliau Menuju Dir’iyyah.
    Saat itu sudah menjadi suatu keharusan bagi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk segera meninggalkan negeri Uyainah, maka tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwah menurut beliau adalah negeri Dir’iyyah. Yang demikian itu dikarenakan negeri Dir’iyyah semakin hari semakin kuat dalam hal ketentaraan. Hal itu terbukti dengan direbutnya kembali kekuasaan yang selalu dirong-rong oleh Sa’d bin Muhammad pemimpin Bani Khalid [1] Di sisi lain, hubungan antara para pemimpin Dir’iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis. Maka di saat pemimpin Bani Khalid bersekongkol dengan Amir Uyainah untuk mengeluarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, di saat itu pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ingin bergabung dengan para pemimpin Dir’iyyah.

    Tapi sebab yang terpenting dari kepergian beliau menuju negeri Dir’iyyah adalah dikarenakan dakwah yang beliau sebarkan selama ini mendapat sambutan yang hangat dari para pemimpin negeri tersebut. Di antara mereka adalah keluarga Suwailin, kedua saudara Amir Dir’iyyah (Tsinyan dan Musyairi) dan juga anaknya yang bernama Abdul Aziz [2].

    [2]. Pertemuan Beliau Dengan Amir Dir’iyyah.
    Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab meninggalkan negeri Uyainnah kemudian pergi ke negeri Dir’iyyah dalam keadaan dijaga dan dikawal oleh orang-orangnya Utsman bin Ma’mar (Pemimpin Uyainah) [3].

    Nara sumber yang ada, saling berbeda dalam menentukan tahun kepindahan beliau ke negeri Dir’iyyah. Namun yang terkuat (arjah) adalah perkataan Ibnu Ghannam yang menyebutkan bahwa kepindahan Beliau dari Uyainah ke Dir’iyyah terjadi ditahun 1157H. Hal ini dikarenakan Ibnu Ghannam lebih dekat kepada Syaikh dibanding dengan yang lainnya dari kalangan mumanikhin (para ahli tarikh) [4].

    Di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berada di rumah keluarga Suwailin, datanglah Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud atas anjuran istrinya demi menyambut kedatangan Syaikh Muhammad. Yang akhirnya terwujud suatu kesepakatan bersama untuk saling beramal dalam rangka menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal mungkin. Dan kesepakatan inilah yang nantinya sebagi asas dan pondasi bagi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia).

    Sebagian dari para penulis ada yang berpendapat bahwa dari kesepakatan itu pula tercetuslah suatu pernyataan, bahwasanya urusan pemerintahan dipikul oleh Muhammad bin Sa’ud dan keturunannya, sedang urusan agama (diniyyah) di bawah pengawasan dan bimbingan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta keturunannya 5. Namun nampaknya pernyataan yang seperti ini belum pernah ada, hanya saja kebetulan keturunan Muhammad bin Sa’ud sangat berbakat dalam mengendalikan urusan pemerintahan, demikian juga keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat mumpuni untuk melanjutkan perjuangan beliau, sehingga hal ini terkesan sudah diatur sebelumnya, padahal hanya kebetulan saja [6].

    Demikianlah, Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab dan Amir Dir’iyyah masih berada diatas kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama sampai mereka pergi ke rahmatullah. Dan selanjutnya diteruskan oleh keturunan mereka masing-masing di kemudian hari.

    Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

    [1]. Apakah Yang Dimaksud Wahhabiyyin ..?
    Merupakan suatu hal yang sudah ma’ruf bahwasanya kata Wahhabiyyin adalah sebutan bagi para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam aqidah dan juga sebutan bagi orang-orang Najd yang berasaskan metode beliau dalam hal dakwah. Sebagaimana pula kata Wahhabiyin digunakan sebagai sebutan bagi aqidah beliau dan para pengikutnya.

    Merupakan suatu hal yang ma’ruf pula bahwasanya penyandaran (nisbah) kata tersebut lebih tepat kepada nama ayahnya dari pada nama beliau sendiri. Penyandaran seperti ini kalau dilihat dari segi bahasa, merupakan penyandaran yang shahih. Sebagaimana disandarkannya para pengikut Imam Ahmad kepada nama ayah beliau yaitu dengan sebutan Hanbaliyyah atau Hanabillah. Dan diantara hikmah dari digunakannya sebutan tersebut (Wahhabiyyah) adalah tidak terjadi kesamaran (iltibas) antara penyandaran kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan kepada penyandaran kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [7]. Dan tidak diragukan lagi bahwa penyebutan kata-kata Wahhabiyyin atau Wahhabiyyah ini keluar dari lisan orang-orang yang tidak senang terhadap apa-apa yang diajarkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab [8].

    Tujuan dari penyebutan kata-kata tadi agar para manusia lari dan enggan untuk menerima dakwah beliau. Dengan kata lain, bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dituduh telah menyeru kepada agama baru atau madzhab kelima[9].

    Para pendukung dakwah Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab, khususnya yang terdahulu tidak rela dengan penyebutan atau penamaan seperti itu, bahkan mereka menamai diri mereka dengan sebutan yang lain, seperti Diinul Islam, Al-Muwahhidin serta menamai dakwah yang mereka lakukan dengan sebutan Da’watut-Tauhid, Ad-Dakwah As-Salafiyah atau Ad-Dakwah saja [10].

    Dan yang tampak adalah bahwasanya mereka lebih suka untuk menggunakan sebutan Al-Muwahhidin sebagai penegas atas aqidah yang bersih yang ada pada mereka dan sebagai pembeda antara diri mereka dengan orang-orang yang sudah menyimpang dari agama Islam yang haq ini.

    Yang jelas, kerancuan penilaian manusia terhadap dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya karena disebabkan hal yang bermacam-macam diantaranya : jeleknya pemahaman segelintir orang yang menisbatkan diri kepada dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan hakekat dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab itu sendiri, dan juga banyaknya tuduhan-tuduhan yang dihembuskan oleh musuh-musuh beliau terhadap dakwah yang beliau lakukan [11].

    Dua perkara itulah sumber bagi kritik dan tuduhan yang tidak-tidak atas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya [12].

    [2]. Gencarnya Permusuhan Mereka Terhadap Syaikh Muhammad bin Abddul Wahhab Dan Para Pengikutnya.

    Para penentang dakwah beliau dari kalangan kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok.

    [a]. Sekelompok manusia dari ahlu Najd yang selalu menentang dakwah beliau tetapi hanya pada masa-masa awal dakwah beliau.
    [b]. Sekelompok manusia yang berelebihan dalam menentang dakwah beliau. Mereka berkata bhawa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku-ngaku bahwa dirinya adalah seorang nabi, tapi dia sembunyikan hal itu karena takut terhadap manusia. Dan dia tidaklah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama kecuali untuk menutup-nutupi keaiban dan tipuan saja.[13]

    Sebagai tambahan dari itu semua, mereka juga mensifati Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya dengan sebutan Al-Mubtadi’ah, Al-Malahidah dan Al-Khawarij. Namun sebutan yang terkahir inilah yang sering dipakai oleh musuh-musuh beliau. Yang demikian itu dikarenakan persangkaan mereka bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya menganggap hanya diri mereka saja yang muslimin adapun selain mereka tidak, dan juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya memerangi setiap orang yang tidak cocok terhadap apa yang mereka dakwahkan, serta mereka adalah orang-orang yang rajin dalam menjalankan ibadah sebagaimana Khawarij di zaman para shahabat dahulu.

    Adalah suatu yang ma’ruf bahwasanya sangkaan dan tuduhan yang dilancarkan oleh musuh-musuh beliau adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya sangat jauh berbeda dengan kelompok Khawarij dalam hal-hal yang sudah jelas, khususnya masalah aqidah. Dan juga berbeda sekali dalama masalah ihtiram terhadap para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya Utsman dan Ali. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat menaruh rasa ihtiram terhadap mereka, sedang orang-orang Khawarij sangat mengucilkan para shahabat bahkan mengkafiran sebagian dari mereka. Maka sikap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam masalah-masalah diatas dan juga dalam masalah Imamah (kepemimpinan) sesuai dan mengikuti manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah[14]. Perbedaan yang sangat menyolok antara Khawarij dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah bahwasanya kaum Khawarij mengkafirkan Ahlul Kabair (selain syirik), sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya dalam mensikapi ahlul kabair adalah sebagaimana madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yaitu Ashin (orang maksiat) atau fasiq tapi tidak keluar dari Islam [15].

    Diantara musuh beliau ada yang mengatakan bahwa munculnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini sama dengan tempat munculnya Musailamah al-Kadzab. Sebagaimana mereka mengatakan bahwasanya ada riwayat-riwayat yang mencela negeri Najd. Selain itu mereka juga mengatakan bahwasanya Syaikh Muhamamd bin Adbul Wahhab ini adalah keturunan Dzil Khuwaishirah yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang mereka bahwasanya nanti ada dari kalangan mereka yang keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya [16].

    Namun dengan mudahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya membantah perkataan tadi. Mereka menjawab. Sesungghnya tempat tidak pantas untuk dijadikan sebagai ukuran (mizan) terhadap sesuatu bahkan tidak didapati seorang nabi berada di suatu daerah kecuali daerah tadi adalah daerah yang sangat rusak.

    Selanjutnya mereka mengatakan : “Sesunguhnya Najd yang ada dalam hadits adalah Najdul Iraq bukan Najd Saudi, dan maksud dari apa yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya dari keturunan Dzil Khuwaishirah ada yang keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya adalah keturunan Dzil Khuwaishirah yang berada di daerah Haruriyyah yang mengadakan pemberontakan terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu [17]

    Mengingat begitu rincinya pembahasan mengenai aqidah Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab silakan membaca dan mengkaji buu-buku beliau, diantaranya :

    [1]. Kitabut Tauhid.
    Judul lengkap dari buku ini adalah Kitabut Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘alal Abiid. Menurut riwayat Ibnu Ghannam, beliau menulis buku ini ketika masih di Haryamala [18], sedangkan cucu beliau Syaikh Muhammad bin Hasan mengatakan buku ini ditulis di Bashrah [19]. Namun itu semua tidak jadi masalah, yang jelas buku ini yang pertama kali beliau tulis. Kemudian buku ini di syarah oleh kedua cucunya (Abdurrahman bin Hasan dan Sulaiman bin Abdullah) dengan judul Fathul Majid dan Taisirul Azizil Hamid.

    [2]. Kasyfusy Syubhat.
    Buku ini ditulis untuk membantah kerancuan tauhid yang dipegangi oleh musuh-musuh beliau [20]

    Buku ini ditulis di hari-hari akhir beliau di Uyainah atau setelah beliau pindah ke Dir’iyyah [21].

    [3]. Mufidul Mustafiid fii kufri Taarikit Tauhid.
    Buku ini ditulis pada tahun 1167H. Buku ini juga senada dengan buku Kasyfusy Syubhat yaitu membahas kerancuan tauhid yang dipegangi oleh musuh-musuh beliau [22].

    [4]. Al Ushulul Tsalatsah wa Adillatuhaa.
    Buku ini termasuk buku tipis, karena beliau tidak begitu memakan waktu dalam menyelesaikan tulisan tersebut. Basyar menyebutkan bahwa buku ini ditulis sebelum beliau pindah ke Dir’iyyah.
    [5]. Kalimat fii bayani syahadati an laa ilaaha illallah wa bayani tauhid.
    [6]. Arba’u Qawaaid liddin.
    [7]. Kalimatun fii ma’rifati syahaadati an laa ilaaha illallah wa anna muhammada rasulullah.
    [8]. Arba’u qawaa’idin dzakarahallahu fii muhkami kitabihi.
    [9]. Almasaailul khamsu alwaajibu ma’rifatuha.
    [10]. Tafsiiru kalimatit tauhid.
    [11]. Sittatu ushulin ‘adliimatin.
    [12]. Sittatu mawaadhi manqulatun minas sirah an nabawiyyah.
    [13]. Qishashul Anbiyaa’
    [14]. Masailul jaahiliyyah
    [15]. Mukhtashar siiratur rasul
    [16]. Mukhtashar zaadul ma’ad.
    [17]. Attafsiir ‘alaa ba’dhi suaril qur’an
    [18]. Ushul Iman
    [19]. Fadhul Islam
    [20]. Kitaabul Kabaa’ir
    [21]. Nahiihatul muslimin bi ahaadiitsi khatamil mursalin.
    [22]. Kitabul fadhailil qur’an
    [23]. Ahaadits fi fitani walhaadits
    [24]. Ahkamu tammannilmaut
    [25]. Hukmul ghibati wannamimah
    [26]. Hukmu katmil ghaidi wal hilmi
    [27]. Majmuu’ul hadiits ‘alaa abwaabil fiqhi.
    [28]. Aadaabul masyi ilash shalati
    [29]. Ibthaalu waqfil janat wal itsmi
    [30]. Ahkamush shalaati
    [31]. Mukhtasharul inshafi wasy syarhu kabir
    [32]. Khuthabusy Syaikh
    [33]. Mukaatabaatusy Syaikh
    [34]. Fataawasy Syaikh
    [35]. Kitaabaatun ukhra massuubatun ilas Syaikh

    [Diterjemahkan dan dinukil dari buku : Al-Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Da’watuhu Wasiiratuhu, Lisamahatisy Asyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Hayaatuhu Wafikruhu, Ta’lif Dr.Abdullah Ash-Shalih Al-‘Utsaimin, Penyusun Abu Aufa, dan disalin ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/1/1415-1994]
    __________
    Foote Note.
    [1]. Unwaanul Majdi Fii Taarikhin Najd karya Utsman bin Basyar juz 2, hal. 233
    [2]. Raudhah karya Hushain bin Ghannam juz 1 hal.31,222
    [3]. Unwaanul Majdi Fii Taarikhin Najd karya Utsman bin Basyar juz 1, hal.23
    [4]. Raudhah karya Ibnu Ghannam juz 2 hal.8 ‘Unwaanul Majdi fii Tarikhin Najd juz 1 hal. 32 Hawadits karya Ibrahim bin Isa hal.108.
    [5]. Lam’usy Syihab hal. 30,35
    [6]. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu karya Abdullah bin Ash-Shalih al-‘Utsaimin hal.55-56.
    [7]. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu karya Asy-Syaikh Abdullah bin Ash-Shalih Al-Utsaimin hal. 101
    [8]. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu karya Asy-Syaikh Abdullah binAsh-Shalih Al-Utsaimin hal. 101.
    [9]. Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal. 139.
    [10]. Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal 31, Al-Hadiyyah Assunniyah Wattuhfah Al-Wahhabiyyah An-Najdiyyah disusun oleh Sulaiman bin Sahman hal. 27, Ulama’ud Dakwah karya Abdir Rahman Ali Syaikh.
    [11] Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal.12,115, Al-Hidayyah karya Sulaiman bin Sahman hal. 31.
    [12]. Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal. 158, Al-Hidayyah hal. 31.
    [13]. Misbahul Anaam hal. 3, Ad-Daur hal. 47 dan Al-Asinnah hal. 12.
    [14]. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu, Ta’lif Asy-Syaikh Abdullah Ash-Sholih Al-Utsaimin hal. 105 Rasail juz 4 hal. 59-62.
    [15]. Ibnu Taimiyyah karya Abi Zahroh hal. 166, Al-Islam karya Fadhlurrahman hal. 86.
    [16]. Shawaiq karya Sulaiman bin Abdul Wahhab hal. 30-35.
    [17]. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu, Ta’lif Asy-Syaikh Abdullah Ash-Sholih Al-Utsaimin hal. 107.
    [18]. Lihat Raudhah juz 1 hal.30.
    [19]. Lihat Al-Ajwibah juz 9 hal. 215
    [20]. Raudhah karya Ibnu Ghannam juz 1 hal.61
    [21]. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu hal. 77-79.
    [22]. yaikh Mihammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu hal. 77-79.

    Bermadzhab Salafi Adalah Bid’ah ?
    Sabtu, 9 September 2006 15:33:02 WIB

    BERMADZHAB SALAFI ADALAH BID’AH ?

    Oleh
    Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

    Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya “As-Salafiyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokah Laa Mazhabun Islaamiyun” menulis di halaman 236 dengan judul : “Bermadzhab salafi adalah bid’ah”.

    Jawaban
    Perkataan ini mengherankan dan mengagetkan sekali, bagaimana mungkin bermadzhab salafi itu bid’ah dan sesat? Bagaimana mungkin dinyatakan bid’ah padahal ia mengikuti madzhab salaf, sementara mengikuti madzhab mereka adalah wajib sebagaimana dijelaskan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ia juga haq dan huda ?

    Allah berfirman.

    “Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah” [At-Taubah : 100]

    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

    “Artinya : Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin”

    Dengan demikian bermadzhab salaf itu tidak bid’ah tapi sunnah, dan justru bermadzhab dengan selain salaf adalah bid’ah.

    Jika yang dimaksud penulis adalah penamaan dengan nama ini adalah baru sebagaimana terlihat dari perkataannya dan sebelumnya istilah ini tidak popular maka ia adalah bid’ah (atas dasar ini), maka permasalahan nama itu tidak sulit dan kesalahan dalam hal penamaan itu tidaklah sampai pada derajat bid’ah, sekalipun yang dimaksud adalah ada pada sebagian orang-orang yang menamakan dengan nama ini, telah melahirkan kesalahan-kesalahan yang menentang madzhab salaf. Seharusnya penulis menjelaskan hal ini (kesalahannya) , tanpa membawa (madzhab) salafiyah, dan penamaan salafiyah. Jika yang dimaksud penulis adalah berpegang teguh dengan madzhab salaf, menolak bid’ah dan khurafat maka ini terpuji dan sangat baik. Sebagaimana penulis menyatakan di halaman 233 ketika ia berkata tentang gerakan Jamalauddin Al-Afghani dan Muhamamd Abduh dan dinamakan dengan gerakan Salafiyah ; dan syiar yang diusung pemimpin gerakan reformasi ini adalah As-Salafiyah. Ia adalah dakwah (ajakan) menolak semua kesalahan-kesalahan ini yang telah mengotori kesucian Islam.

    Inilah yang dikatakan penulis tentang gerakan itu dan penamannya dengan salafiyah, namun ia tidak mempermasalahkan nama karena tujuannya bagus. Sekarang kita bertanya pada penulis : “Apakah salafiyah hari ini tidak demikian ?

    MEMBOLEHKAN MENYALAHI SALAF DALAM SIFAT-SIFAT ATAS HAKIKATNYA

    Di halaman 138, Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi membolehkan untuk menyalahi salaf dalam menetapkan sifat-sifat atas hakikatNya, kemudian ia berkata : “Bahkan sekiranya ada seseorang dari salaf tidak membolehkan bagi dirinya, kecuali menetapkan hal itu sebagaimana Allah telah tetapkan dan menyerahkan ilmu dan perincian mengenai maksud dibelakang makna itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka pendapat seperti itu bukanlah hujjah atas haramnya menyalahi mereka dalam mensikapi sifat-sifat dan hakikatNya dengan pengharaman secara mutlak”.

    Jawaban.
    Subhanallah mudah-mudahan kita tidak lancang terhadap orang-orang salaf. Bukankah menyalahi mereka yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar serta Khulafaur Rasyidin dan para sahabat yang lainnya Radhiyallahu ‘anhum sebagai fase yang paling utama ? Dan bukankah menyalahi mereka dalam masalah akidah itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan sebagaimana sabdanya.

    “Artinya : Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk, berpeganglah dengan itu dan gigitlah dengan taringmu, hati-hatilah dengan masalah-masalah yang baru karena setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

    “Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajarin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah” [At-Taubah : 100]

    Allah Subhanahu wa Ta’ala rida bagi orang yang datang setelah mereka dalam mengikuti Muhajirin dan Anshar dengan kata “ihsan” (baik), dan penulis (Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi) berkata “Tidaklah haram untuk menyalahi mereka (salaf) dalam hal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla” Hanya saja bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghabarkan, bahwa fase mereka sebagai sebaik-baik fase ? Ini artinya bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk selalu mengikuti mereka dan melarang menyalahinya terutama dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama). Oleh karena itu pantaskah kita menyelisihi mereka dalam usrusan akidah ? Bukankah masalah akidah itu taufiqiyyah yang tidak ada tempat untuk berijtihad dan berikhtilaf?

    TENTANG SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

    Di halaman 236 dan 237, Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menyatakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –yarhamuhullah- sebagai madzhab wahabi dan berkata : “Sesungguhnya kelompok Wahabiyah menolak untuk dinyatakan dengan sebutan ini, karena sebutan ini mengisyaratkan, bahwa sumber madzhab ini dengan segala kelebihan dan kekhususannya bermuara pada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka hal ini memaksa mereka untuk mengganti sebutan Wahabiyah dengan sebutan Salafiyah …” dan seterusnya.

    Jawaban
    Kita jawab ; “Sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak memiliki madzhab tertentu sehingga disebut Wahhabiyah, karena dalam manhaj aqidahnya adalah merujuk kepada Salaf. Sedangkan dalam masalah furu merujuk kepada madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang dijadikan pegangan oleh ulama Nejed sebelumnya dan pada masa hidupnya serta setelah wafatnya Syaikh. Sementara pengikutnya menyeru kepada madzhab Salaf dan berjalan di atas manhajnya, dan saya meminta keterangan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hadir membawa madzhab baru yang dinisbatkan kepadanya, dan jika penulis tidak membawakannya –dan tidak akan mendapatkannya- maka ia telah berdusta atas nama Syaikh dan pengikutnya dan Allah akan membalas kepada semua pendusta.

    [Disalin dari buku Salafi Digugat Salafi Menjawab, DR Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M. Tasdiq, Lc, Rudy Hartono Lc, Penerbit Pustaka As-Sunnah]

  13. .

    FSMs- Forum Shilaturahmi Mahasiswa as-Sunnah

    Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut

    Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.

    Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:

    وَآَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُ  وا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

    “Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)

    Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.

    Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim:

    “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:

    • Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
    • Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
    • Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
    • Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
    • Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
    • Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    • Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
    • Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
    • Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
    • Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah:

    sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَآُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

    “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.”
    (QS. al-Hujuraat: 6)

    (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut,

    1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum,
    2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)

    Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang Dicap Sebagai Wahabi

    Pokok landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3).

    Dalam sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut:

    “Saya bersaksi kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:

    • Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.

    • Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))

    • Saya berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

    • Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.

    • Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.

    • Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    • Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.

    • Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

    • Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.

    • Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.

    • Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)

    • Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.

    • Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)

    • Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)

    • Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))

    • Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada Allah.

    • Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

  14. Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab
    (1115-1206H/1701-1793M)

    Nama Lengkapnya
    BELIAU adalah Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.

    Tempat dan Tarikh Lahirnya
    Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung ‘Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang.
    Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jabatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi .

    Pendidikan dan Pengalamannya
    Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab berkembang dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah ketua jabatan agama setempat. Sedangkan datuknya adalah seorang qadhi (mupeti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Oleh karena itu, kita tidaklah heran apabila kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar seperti datuknya.
    Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dan ditempa jiwanya dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Tuan Syeikh ‘Abdul Wahab.
    Sejak kecil lagi Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab sudah kelihatan tanda-tanda kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa dengan sia-sia seperti kebiasaan tingkahlaku kebanyakan kanak-kanak lain yang sebaya dengannya.
    Berkat bimbingan kedua ibu bapanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab telah berjaya menghafaz al-Qur’an 30 juz sebelum berusia sepuluh tahun.
    Setelah beliau belajar pada ibu bapanya tentang beberapa bidang pengajian dasar yang meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh ibu bapanya kepada para ulama setempat sebelum dikirim oleh ibu bapanya ke luar daerah.
    Tentang ketajaman fikirannya, saudaranya Sulaiman bin ‘Abdul Wahab pernah menceritakan begini:
    “Bahwa ayah mereka, Syeikh ‘Abdul Wahab merasa sangat kagum atas kecerdasan Muhammad, padahal ia masih di bawah umur. Beliau berkata: ‘Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh.'”
    Syeikh Muhammad mempunyai daya kecerdasan dan ingatan yang kuat, sehingga apa saja yang dipelajarinya dapat difahaminya dengan cepat sekali, kemudian apa yang telah dihafalnya tidak mudah pula hilang dalam ingatannya.
    Demikianlah keadaannya, sehingga kawan-kawan sepersekolahannya kagum dan heran kepadanya.

    Belajar di Makkah, Madinah dan Basrah
    Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima – mengerjakan haji di Baitullah. Dan manakala telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya terus kembali ke kampung halamannya. Adapun Muhammad, ia tidak pulang, tetapi terus tinggal di Mekah selama beberapa waktu, kemudian berpindah pula ke Madinah untuk melanjutkan pengajiannya di sana. Di Madinah, beliau berguru pada dua orang ulama besar dan termasyhur di waktu itu. Kedua-dua ulama tersebut sangat berjasa dalam membentuk pemikirannya, yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
    Selama berada di Madinah, beliau sangat prihatin menyaksikan ramai umat Islam setempat maupun penziarah dari luar kota Madinah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak senonoh dan tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya Muslim. Beliau melihat ramai umat yang berziarah ke maqam Nabi maupun ke maqam-maqam lainnya untuk memohon syafaat, bahkan meminta sesuatu hajat pada kuburan maupun penghuninya, yang mana hal ini sama sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam. Apa yang disaksikannya itu menurut Syeikh Muhammad adalah sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
    Kesemua inilah yang semakin mendorong Syeikh Muhammad untuk lebih mendalami pengkajiannya tentang ilmu ketauhidan yang murni, yakni, aqidah salafiyah. Bersamaan dengan itu beliau berjanji pada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika nanti, beliau akan mengadakan perbaikan (islah) dan pembaharuan (tajdid) dalam masalah yang berkaitan dengan ketauhidan, yaitu mengembalikan aqidah umat kepada sebersih-bersihnya tauhid yang jauh dari khurafat, tahyul dan bid’ah. Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
    Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
    Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu ‘Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
    Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.
    Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui self-study (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.

    Mulai Berdakwah
    Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang berjaya, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
    Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebahagian ulama su’, yaitu ulama jahat yang memusuhi dakwahnya di sana; kedua-dua mereka diancam akan dibunuh. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk memperluaskan ilmu dan pengalamannya.
    Di samping mempelajari keadaan negeri-negeri Islam yang berjiran, demi kepentingan dakwahnya di masa akan datang, dan setelah menjelajahi beberapa negeri Islam, beliau lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin ‘Abd Latif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat didalaminya.
    Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian beliau kembali ke kampung asalnya Uyainah, tetapi tidak lama kemudian beliau menyusul orang tuanya yang merupakan bekas ketua jabatan urusan agama Uyainah ke Haryamla, yaitu suatu tempat di daerah Uyainah juga.
    Adalah dikatakan bahwa di antara orang tua Syeikh Muhammad dan pihak berkuasa Uyainah berlaku perselisihan pendapat, yang oleh karena itulah orang tua Syeikh Muhammad terpaksa berhijrah ke Haryamla pada tahun 1139.
    Setelah perpindahan ayahnya ke Haryamla kira-kira setahun, barulah Syeikh Muhammad menyusulnya pada tahun 1140 H. Kemudian, beliau bersama bapanya itu mengembangkan ilmu dan mengajar serta berdakwah selama lebih kurang 13 tahun lamanya, sehingga bapanya meninggal dunia di sana pada tahun 1153.
    Setelah tiga belas tahun menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar di Haryamla, beliau mengajak pihak berkuasa setempat untuk bertindak tegas terhadap kumpulan penjahat yang selalu melakukan rusuhan, rampasan, rompakan serta pembunuhan. Maka kumpulan tersebut tidak senang kepada Syeikh Muhammad, lalu mereka mengancam hendak membunuhnya. Syeikh Muhammad terpaksa meninggalkan Haryamla, berhijrah ke Uyainah tempat bapanya dan beliau sendiri dilahirkan.

    Keadaan Negeri Najd, Hijaz dan Sekitarnya
    KEADAAN negeri Najd, Hijaz dan sekitarnya semasa awal pergerakan tauhid amatlah buruknya. Krisis aqidah dan akhlak serta merosotnya tata nilai sosial, ekonomi dan politik sudah mencapai titik kemuncak. Semua itu adalah akibat penjajahan bangsa Turki yang berpanjangan terhadap bangsa dan Jazirah Arab, di mana tanah Najd dan Hijaz adalah termasuk jajahannya, di bawah penguasaan Sultan Muhammad Ali Pasya yang dilantik oleh Khalifah di Turki (Istanbul) sebagai gabenur jendral untuk daerah koloni di kawasan Timur Tengah, yang berkedudukan di Mesir.
    Pemerintahan Turki Raya pada waktu itu mempunyai daerah kekuasaan yang cukup luas. Pemerintahannya berpusat di Istanbul (Turki), yang begitu jauh dari daerah jajahannya.
    Kekuasaan dan pengendalian khalifah maupun sultan-sultannya untuk daerah yang jauh dari pusat, sudah mulai lemah dan kendur disebabkan oleh kekacauan di dalam negeri dan kelemahan di pihak khalifah dan para sultannya. Di samping itu, adanya cita-cita dari amir-amir di negeri Arab untuk melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah pusat yang berkedudukan di Turki. Ditambah lagi dengan hasutan dari bangsa Barat, terutama penjajah tua yaitu British dan Perancis yang menghasut bangsa Arab dan umat Islam supaya berjuang merebut kemerdekaan dari bangsa Turki, hal mana sebenarnya hanyalah tipudaya untuk memudahkan kaum penjajah tersebut menanamkan pengaruhnya di kawasan itu, kemudian mencengkamkan kuku penjajahannya di dalam segala lapangan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan dan aqidah.
    Kemerosotan dari sektor agama, terutama yang menyangkut aqidah sudah begitu memuncak. Kebudayaan jahiliyah dahulu seperti taqarrub (mendekatkan diri) pada kuburan (maqam) keramat, memohon syafaat dan meminta berkat serta meminta diampuni dosa dan disampaikan hajat, sudah menjadi ibadah mereka yang paling utama sekali, sedangkan ibadah-ibadah menurut syariat yang sebenarnya pula dijadikan perkara kedua. Di mana ada maqam wali, orang-orang soleh, penuh dibanjiri oleh penziarah-penziarah untuk meminta sesuatu hajat keperluannya. Seperti misalnya pada maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani, dan maqam-maqam wali lainnya. Hal ini terjadi bukan hanya di tanah Arab saja, tetapi juga di mana-mana, di seluruh pelosok dunia sehingga suasana di negeri Islam waktu itu seolah-olah sudah berbalik menjadi jahiliyah seperti pada waktu pra Islam menjelang kebangkitan Nabi Muhammad SAW.
    Masyarakat Muslim lebih banyak berziarah ke kuburan atau maqam-maqam keramat dengan segala macam munajat dan tawasul, serta pelbagai doa dialamatkan kepada maqam dan penghuninya, dibandingkan dengan mereka yang datang ke masjid untuk sholat dan munajat kepada Allah SWT. Demikianlah kebodohan umat Islam hampir merata di seluruh negeri, sehingga di mana-mana maqam yang dianggap keramat, maqam itu dibina bagaikan bangunan masjid, malah lebih mewah daripada masjid, karena dengan mudah saja dana mengalir dari mana-mana, terutama biaya yang diperolehi dari setiap pengunjung yang berziarah ke sana, atau memang adanya tajaan dari orang yang membiayainya di belakang tabir, dengan maksud-maksud tertentu. Seperti dari imperalis British yang berdiri di belakang tabir maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani di India misalnya.
    Di tengah-tengah keadaan yang sedemikian rupa, maka Allah melahirkan seorang muslih kabir (pembaharuan besar) Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab (al-Wahabi) dari ‘Uyainah (Najd) sebagai mujaddid Islam terbesar abad ke 12 Hijriyah, setelah Ibnu Taimiyah, mujaddid abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal itu.
    Bidang pentajdidan kedua mujaddid besar ini adalah sama, yaitu mengadakan pentajdidan dalam aspek aqidah, walau masanya berbeda, yaitu kedua-duanya tampil untuk memperbaharui agama Islam yang sudah mulai tercemar dengan bid’ah, khurafat dan tahyul yang sedang melanda Islam dan kaum Muslimin. Menghadapi hal ini Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab telah menyusun barisan Muwahhidin yang berpegang kepada pemurnian tauhid. Bagi para lawannya, pergerakan ini mereka sebut Wahabiyin yaitu gerakan Wahabiyah.
    Dalam pergerakan tersebut tidak sedikit rintangan dan halangan yang dilalui. Kadangkala Tuan Syeikh terpaksa melakukan tindakan kekerasan apabila tidak boleh dengan cara yang lembut. Tujuannya tidak lain melainkan untuk mengembalikan Islam kepada kedudukannya yang sebenarnya, yaitu dengan memurnikan kembali aqidah umat Islam seperti yang diajarkan oleh Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.
    Setelah perjuangan yang tidak mengenal penat lelah itu, akhirnya niat yang ikhlas itu disampaikan Allah, sesuai dengan firmanNya:
    “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolongmu dan menetapkan pendirianmu.” (Muhammad: 7)

  15. Salah Faham tentang Wahabi
    Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
    Penanya : Seseorang bertanya, ” kami sering mendengar tentang wahabiyah/wahabi dan kami mendengar pula bahwa para pengikut wahabiyah membenci shalawat atas Nabi Shollalallaahu ‘alaihi wasallam dan tidak mau menziarahi makan Rosulullaah. Lalu sebagian syeikh mengatakan sesungguhnya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan keadaan mereka ini saat beliau bersabda, “najed adalah tanduk Syeitan.” Bagaimanakah jawaban anda mengenai hal ini ?
    Syaikh Al-Albanie : Pada hakikatnya pertanyaan ini, sangat disayangkan, sangat mengakar dan mempengaruhi kaum muslimin. Adapun iklim yang telah menunjang tumbuhnya opini seperti ini dahulu adalah faktor politik, namun masa bagi faktor tsb telah lama berlalu dan berakhir. Sebab, ia hanyalah manufer politik yang sengaja dilancarkan oleh daulah Attaturk (kerajaan Turki) tanpa landasan sama sekali, tapi sekedar mengalihkan perhatian.
    Politik tersebut diciptakan oleh daulah attaturk pada saat munculnya seorang ahli ilmu dan tokoh pembaharu yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab, yang berasal dari bagian negeri Najed. Tokoh tersebut mengajak orang-orang disekitarnya kepada keikhlasan, beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Di antara fenomena kesyirikan itu, sangat disayangkan, masih saja ditemukan di sebagian negeri Islam, berbeda dengan negeri tempat munculnya sang pembaharu Muhammad bin Abdul Wahhab. Negeri tersebut hingga saat ini, Alhamdulillah, tidak ditemukan padanya salah satu jenis syirik. Sementara fenomena syirik demikian marak di sebagian besar negeri Islam yang lain, Sebagai contoh, figur Khomaini dan saat meninggalnya serta pengumuman penunjukan makan beliau sebagai Ka’bah (tempat menunaikan haji) bagi penduduk Iran, ini merupakan bukti nyata dan berita tentang hal ini masih hangat bagi kalian.
    Sang tokoh, Muhammad bin Abdul Wahhab, ketika naik ke permukaan dalam rangka berdakwah untuk beribadah hanya kepada Allah, sangat bertepatan dengan hikmah yang dikehendaki Allah. Pada saat itu, di negeri tersebut terdapat seorang pemimpin di antara sekian pemimpin negeri Najed,beliau adalah Su’ud leluhur keluarga yang saat ini sedang memerintah Saudi. Akhirnya syaikh dan pemimpin tersebut bekerja sama, ilmu dan pedang pun saling membantu. Mereka mulai menyebarkan dakwah tauhid di negeri Najed, mengajak manusia sekali waktu dengan lisan dan di waktu yang lain dengan pedang. Siap yang menyambut ajakan, maka itulah yang diharapkan. Sedang bila tidak demikian, maka tidak ada jalan lain kecuali menggunakan kekuatan.
    Dakwah tersebut berhasil menyebar hingga sampai ke negeri-negeri yang lain. Sementara perlu diketahui bahwa saat itu negeri Najed serta wilayah sekitarnya seperti Irak, Yordan, dan wilayah-wilayah lain berada di bawah kekuasaan Attaturk sebagai khilafah turun-temurun. Kemudian tokoh ini dengan ilmunya serta pemimpin tersebut dengan kepemimpinannya mulai populer. Dari sini, penguasa Attaturk merasa khawatir jika muncul di dunia Islam satu kekuatan yang mampun menyaingi kekuasaan Daulah Attaturk. Maka, mereka berkehendak membabat habis dakwah ini sebelum sempat beranjak dari negeri kelahirannya. Hal itu mereka tempuh dengan cara menggencarkan propaganda bohong mengenai dakwah tersebut, sebagaimana terungkap dalam pertanyaan di atas ataupun pernyataan serupa yang sering kita dengar.
    Di atas telah aku katakan,bahwa faktor utamanya adalah konflik politik, akan tetapi konflik politik tersebut telah berakhir dan bukan tujuan kami hendak membahas sejarah. Adapun faktor lain yang turut andil bagi tersebarnya opini tidak benar terhadap dakwah ini adalah ketidaktahuan sebagian orang terhadap hakikat dakwah ini. Hal ini mengingatkan ku akan suatu cerita yang pernah aku baca di sebuah majalah, yaitu bahwa dua orang laki-laki sedang bertukar pikiran mengenai jalan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab yang mereka cap dengan sebutan Wahabiyah. Kalau saja manusia mau memikirkan apa yang akan mereka katakan, niscaya pemberian cap ini saja sudah cukup membuktikan kesalahan mereka dalam menyikapi dakwah ini. Sebab kata Wahabiyah bila ditelusuri merupakan pecahan dari kata dasar Wahab. Lalu siapakah Al-Wahab itu ? tidak lain adalah Allah Tabaraka Wata’ala.
    Kalau begitu, pemberian cap bagi dakwah ini dengan sebutan Wahabiyah justru menjadikannya mulia dan bukan malah meruntuhkannya. Akan tetapi sebutan itu sama seperti apa yang mereka katakan tentang kami di Suriah, “Di telinga mereka, hal itu adalah sesuatu yang menakutkan sekali”. Begitu juga perkataan “Wahabiyah tidak memiliki keyakinan terhadap Rosul, atau mereka tidak beriman kepada Allah Ta’ala.
    Pembahasan ini telah mengingatkanku akan dua orang yang bertukar pikiran tsb. Seorang yang bodoh mengklaim bahwa golongan Wahabiyah hanya beriman kepada Allah, adapun Muhammad Rosulullaah tidak menjadi bagian keyakinan mereka. Tidak ada yang mereka ucapkan kecuali “Laa Ilaha Illallaah (Tidak ada sembahan yang hak kecuali Allah).
    Sehubungan dengan ini, di Negeri Syam ada cerita yang mesti aku sampaikan. Mereka biasa mengatakan “Mobil duta besar Saudi lewat dan ternyata diiringi oleh bendera melambai-lambai bertuliskan Laa Ilaha Illallaah wa Muhammad Rosulullaah. Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah. Bagaimana kalian mengatakan terhadap orang-orang itu bahwa mereka tidak beriman kecuali hanya kepada Allah, sementara bendera mereka merupakan satu-satunya bendera di dunia yang bertuliskan simbol Tauhid, dimana Rosulullaah telah bersabda tentang hal itu, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rosulullaah. Apabila mereka mengatakan hal itu, sungguh telah terlindung dariku harta dan darah mereka. Adapun Hisab (perhitungan amalan) mereka terserah kepada Allah”. Mengapa kalian melancarkan tuduhan dusta kepada mereka ? Lihatlah, bendera mereka ini menjulang tinggi untuk mengungkapkan keimanan yang ada dihati mereka.
    Ini dari satu sisi, sementara dari sisi lain yang lebih besar dan lebih penting, “Mungkin saja dikatakan bahwa bendera tsb hanyalah kepalsuan, yakni sekedar propaganda yang memiliki maksud tersendiri..dan seterusnya”, Akan tetapi, tidaklah mereka perhatikan bagaimana hingga saat ini manusia melaksanakan haji setiap waktu dengan nyaman dan aman. Keadaan seperti ini tidak pernah dinikmati (setelah masa Rosulullah dan beberapa Khalifah terdahulu = tambahan saya sendiri), pada masa Attaturk yang telah melancarkan tuduhan dusta untuk merusak citra dakwah ini. Kalian semua mengetahui bahwa seringkali terjadi pada bapak-bapak kita, terlebih kakek-kakek kita, bila hendak berangkat menunaikan haji harus menyertakan pasukan bersenjata demi untuk mengamankan jamaah haji tsb dari para penyamun dan perampok.
    Maha suci Allah, kondisi ini telah berakhir. Namun dengan sebab apa? Tentu saja dengan sebab politik yang diterapkan oleh jamaah yang mereka namakan golongan wahabiyah hingga saat ini.
    Seandainya bendera yang melambaikan keimanan shahih dan tauhid yang benar disertai keimanan bahwa Muhammad adalah Rosulullah itu hanyalah pernyataan palsu dan kedustaan belaka, namun tidakkah kalian perhatikan bagaimana mereka demikian tekunnya di dalam Masjid untuk beribadah kepada Allah Ta’ ala. Mereka mengumandangkan adzan sebagaimana adzan yang dikumandangkan di seluruh negeri Islam lainnya. Demi Allah, kecuali tambahan yang biasa diucapkan pada bagian awal dan akhir adzan seperti yang terdapat di berbagai negeri Islam lain. Sesungguhnya tambahan ini tidaklah ditemukan di
    sana (Saudi). Hal itu mereka lakukan dalam rangka menerapkan Sunnah, bukan sebagai fenomena pengingkaran terhadap Rosul Islam serta Rosul bagi manusia secara keseluruhan. Akan tetapi semata-mata hanyalah untuk mengikuti generasi salaf. Semua kebaikan adalah dengan mengikuti golongan salaf, sementara segala keburukan terdapat pada bid’ah dan kaum khalaf.
    Hingga saat ini, manusia menunaikan ibadah haji dan mendengarkan adzan dengan kalimat persaksian akan keesaan Allah serta persaksian terhadap Nabi-Nya sebagai pengemban Risalah. Kemudian mereka sholat seperti sholat yang kita lakukan, dan bersholawat terhadap Rosul setiap kali namanya disebut. Barangkali mereka lebih banyak bersholawat dibandingkan orang-orang yang menuduh bahwa mereka tidak mencintai dan tidak mau bersholawat atas Rosul.
    Wahai jamaah sekalian, takutlah kalian kepada Allah. Kedustaan yang digemborkan ini telah dibantah oleh kenyataan kondisi mereka. Sebab tidak mungkin bagi mereka memperturuti keinginan orang-orang yang berada di negeri mereka. Akan tetapi yang mereka tampilkan tidak lain lahir dari lubuk hati, keimanan terhadap kalimat “Laa ilaha Illallaah wa anna Muhammad Rosulullaah” serta semangat untuk mengikuti manhaj Rosulullaah shollallaahu ‘alaihi wasallam tanpa menambah, tidak tidak aku katakan tidak mengurangi. Sebab kekurangan adalah tabiat manusia, tidak ada manusia yang mampu untuk menghindar darinya. Akan tetapi dari segi Akidah tidk dilebihkan dan tidak dikurangi dari yang semestinya. Sedangkan dari segi ibadah tidak dilebihkan namun bisa saja kurang dari yang semestinya. Misalnya sebagian mereka tidak melakukan sholat di waktu malam di saat manusia tertidur, dan ini adalah kekurangan. Namun kekurangan ini tidak mempengaruhi akidah serta tidak mengurangi nilai keislaman yang dimiliki. Kalimat Wahabiyah masih saja dijadikan bahan untuk melakukan tuduhan suatu kelompok masyarakat mengenai perkara-perkara yang mereka berlepas dari darinya sebagaimana dikatakan “terbebasnya serigala dari darah putra Ya’qub.
    Wallaahu a’lam bisshowab
    Sumber : Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani wa Muqaranatuha bi fatawa Al-’Ulama.
    Penyusun : Ukasyah Abdul Manan Athaiby, cetakan kedua 1995
    Penerbit : Maktabah Ats-Tsurats Al-Islami,
    Cairo

  16. Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia
    Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *

    Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
    Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
    Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.
    Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut ini:
    • Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.

    • Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
    • Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
    • Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

    • Ringkasan dan penutup.

    Keadaan Yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi
    Para hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.
    Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

    Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.
    Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.

    Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal.

    Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.
    Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.
    Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya”. Dalilnya firman Allah:
    فَإِذَا رَآِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِآُونَ
    “Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
    Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.
    Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.
    Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
    إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ آُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا » «
    “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya“. (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)

    Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.

    Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)
    tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan dakwah.
    Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:
    فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاآُمْ
    “Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.
    Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha
    dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.
    Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut
    Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.
    Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:
    وَآَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُ  وا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
    “Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)
    Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.
    Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:
    • Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
    • Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
    • Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
    • Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana

    • Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
    • Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    • Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
    • Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
    • Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
    • Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَآُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
    “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)

    Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang Dicap Sebagai Wahabi
    Pokok landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3).
    Dalam sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut: “Saya bersaksi kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:
    • Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.
    • Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))
    • Saya berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

    • Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.
    • Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.
    • Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    • Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.
    • Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
    • Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.
    • Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.
    • Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)
    • Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.
    • Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)
    • Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)
    • Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))
    • Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada Allah.
    • Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

    Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah

    Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.
    Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.
    Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.
    Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata: “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)
    Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.

    Syaikh Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya: “Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua”. (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)
    Begitu pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata: “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdu Wahhab adalah penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhluum, hal: 165)
    Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”: “Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)
    Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.
    • Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanah“ karangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.

    • Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
    • Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.
    • Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam” karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.
    Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah kepada kita:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَآُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
    “Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan”.
    Karena buku-buku Syaikh• Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.
    • Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.
    • Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
    • Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
    • Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.
    Penutup
    Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.
    وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
    سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك .
    *) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur

  17. ISU WAHABI: TINGKAP YANG DISANGKA PINTU!

    Assalamualaikum WBT.

    Saya minta maaf kerana tidak bersuara dan tidak memberikan apa-apa komen berkenaan dengan tajuk Wahabi. Tetapi setiap email yang dikirim, saya membacanya. Minggu lepas, cermin mata saya patah. Sedangkan sekarang ni saya berbelas jam sehari mengadap komputer untuk menyiapkan buku yang bakal dikeluarkan oleh syarikat tempat saya bekerja. Apabila sudah teruk sangat mengadap skrin, saya diserang migrane yang paling teruk saya pernah alami. Hingga nak buka mata pun susah. Dengar bunyi jarum jam tangan berdetik pun sakit kepala dibuatnya. Alhamdulillah, gaji sudah masuk dan sudah buat cermin mata baru. Lega rasanya… boleh meneruskan perjuangan di medan penulisan ini semula.

    Saya rasa ulasan tentang Wahabi itu sudah banyak, dan boleh dikatakan keseluruhannya baik, Insya Allah. Saya sebenarnya sentiasa avoid untuk tersentuh semula bab ni sebab saya rasa, pengalaman lepas sudah cukup memeritkan, terutamanya semasa melihat adik-adik di Jordan berperang sesama sendiri, tidak bertegur sapa dan macam-macam lagi insiden yang memalukan, semata-mata atas isu ini. Malah, semasa di UK dan Ireland pun keadaannya sama. Pendek kata, apabila bincang bab Wahabi ni, banyak sungguh masa terbuang. Sebab tu kalau nak bincang pun, saya cuba mencari sudut yang belum pernah saya sentuh.

    Anyway, saya terkenang semasa di Ireland, saya ada seorang housemate berbangsa Perancis yang pada masa itu baru 9 bulan masuk Islam. Dia masuk Islam selepas beberapa ketika terpikat dengan falsafah, dan keindahan syair-syair Jalaluddin ar-Rumi. Jadi, orangnya agak ‘sufi’ dan jiwanya halus. Malang sekali, dalam usia Islamnya yang begitu muda, dia telah menerima suntikan maklumat supaya berhati-hati mempelajari Islam sebab jika tersilap, akan terjebak ke belenggu Wahabi!

    Suatu hari, dia bersembang dengan saya secara personal. “Hasrizal, I have a good news but it is not that good!”. Hairan saya mendengarnya lalu saya bertanya, “what sort of statement is this? I can’t see what you are trying to tell me”. Katanya, “my wife is pregnant and I’m gonna be a daddy!” Wow, ini sepatutnya menjadi berita gembira. Saya tanya dia, kenapa pulak awak tak begitu gembira dengan berita ni? Dan jawapannya amat mengejutkan saya.

    Dia gembira apabila mendapat tahu isterinya mengandung. Tetapi dia dihantui rasa bimbang hingga paranoid. Katanya, dia orang sufi, suka kepada zikir-zikir dan meminati Jalaluddin ar-Rumi. Dia takut apabila anaknya dah dewasa, anaknya akan jadi Wahabi dan mengkafirkan dia kerana sufinya dia! Ya Allah, rasa nak putus jantung saya dibuatnya.

    “What are you talking about, mate? All these are nonsense!”, rasa nak mengamuk saya dibuatnya. Itulah kali pertama dia sebut tentang Wahabi kepada saya dan apabila saya siasat, rupa-rupanya dia telah diberikan berbelas keping artikel tentang bahaya Wahabi sedangkan, dia baru sahaja belajar bertatih di dalam ilmu Fardhu Ainnya.

    Ya, itu satu kenangan silam saya tentang Wahabi.

    ERA PRA KEMBARA ILMU

    Semasa di Malaysia kira-kira pada tahun 1992, saya pernah membaca sebuah buku kecil di dalam Perpustakaan Tun Datu Haji Mustafa, iaitu perpustakaan sekolah saya (SMA Izzuddin Shah, Ipoh). Buku tu telah menyenaraikan Wahabi sebagai salah satu ajaran yang bertentangan dengan Ahli Sunnah wal Jamaah. Emm, saya terima sahaja benda tu dan saya tidak nampak apa signifikasinya. Apabila saya berangkat ke Jordan dan memulakan pengajian, pada kepala saya mudah sahaja. Saya Syafie di dalam Fiqh, saya Asyairah di dalam Aqidah, Wahabi pula terkeluar dari Ahli Sunnah wal Jamaah. Itu semacam satu kepercayaan by default yang kita dapat dari Malaysia. Tetapi syukur, saya tak pernah kunci mana-mana pintu untuk menilai pandangan kedua.

    Satu perkara yang saya sayang tentang Jordan (I can’t believe that Im actually saying this), ialah pengajian di Jordan bersifat comparative. Kita sentiasa digalakkan meluaskan kajian, pembacaan, membuat perbandingan pendapat, dan jika boleh, membuat Tarjih. Tetapi yang paling penting, Jordan mewajibkan pelajarnya hadir kelas. Kalau 6 kali tidak datang kelas, mahrum (diharamkan) masuk ke final exam. Jadi, apabila kita konsisten masuk kelas, pemikiran kita sentiasa dididik agar bermanhaj. Saya masih ingat, semasa di dalam subjek Hadith Ahkam, kami berbalah dengan pensyarah tentang sejauh mana argument para Fuqaha’ tentang masalah kewajipan suci daripada kedua-kedua hadath apabila hendak memegang mushaf al-Quran. Akhirnya kami sekelas diberi masa seminggu untuk pergi ke perpustakaan dan mengumpulkan semua dalil yang diguna pakai oleh ulama semua mazhab di dalam bab ini. Sama ada dalil al-Quran, Hadith, Usul Fiqh atau apa sahaja. Benda-benda seperti ini sangat baik. Ia mengajar kita untuk bersikap adil terhadap ilmu, Insya Allah. Syaratnya, anda ke kelas!

    Sebahagian daripada tuntutan silibus pengajian di Jordan, saya dikehendaki membaca buku daripada pelbagai aliran. Saya baca kulit ke kulit buku Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah oleh Dr. Al-Buthi, saya baca Maqalaat al-Islamiyeen oleh Imam Abu al-Hasan Ashaari, dan dalam masa yang sama, saya juga dikehendaki membaca, memahami dan boleh membahaskan buku-buku karangan ulama yang dilabelkan Wahabi (walaupun mereka lahir, hidup dan mati beratus tahun sebelum kemunculan Muhammad bin Abdul Wahab) seperti Ibn Taimiyyah dengan bukunya Al-Ubudiyyah, Al-Fatwa Al-Humawiyah Al-Kubra dll, Ibn Qayyim, malah tulisan-tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri. Hmm, dengan fikiran saya yang saya yakin ia waras, sedar, ada manhaj sedikit sebanyak, dan adil dalam menilai sesuatu, demi Allah, saya tidak nampak dari sudut manakah, kesemua buku yang saya sebutkan tadi (sama ada aliran Salaf mahu pun Khalaf), yang membolehkan saya menghukum Wahabi atau Ashaari atau Maturidi terkeluar daripada Ahli Sunnah Wal Jamaah.

    KESIMPULAN YANG SIHAT

    Saya amat selesa dengan nasihat Dr Abdullah Fawwaz semasa di Jordan. Katanya, “sama ada kamu memilih aliran Salaf, mahu pun Khalaf, mana-mana yang membawa kamu kepada beriman dengan Yakin kepada Allah, maka teruskan sahaja dengan manhaj itu!”. Saranan yang sama saya dapat daripada Hasan al-Banna dan ramai lagi tokoh yang berjiwa Da’ie.

    Semasa di UK juga, jika saya diminta membentangkan kertas kerja berkaitan isu pertembungan Salaf dan Khalaf, saya suka mengambil pendekatan Hasan al-Banna yang sentiasa mengenengahkan titik-titik persamaan dan bukannya berkasar dengan perbezaan. Mudah-mudahan cara ini adalah cara paling baik, khususnya di dalam usaha pembaikan umat.

    CINTA OTHMANIYYAH BENCI WAHABI?

    Saya juga seorang pengkaji Sejarah Khilafah Othmaniyyah. Bukan kaji main-main, tapi sampai belajar Bahasa Turki, belajar Bahasa Othmaniyyah, belajar cara baca manuskrip Othmaniyyah, berpuluh kali berulang ke Turki, berkeluarga angkat bangsa Turki, tinggal serumah dengan kawan-kawan Turki, memasak masakan Turki, mengigau di dalam Bahasa Turki… cuma kahwin dengan orang Turki sahaja yang saya tidak buat! (isteri saya mesti berbangga dengan sambal belacannya). Saya cintakan Sejarah Othmaniyyah, saya serahkan diri kepada bidang ini secara bersungguh-sungguh terutamanya selepas melihat gambar Sultan Abdul Hamid II dibaling dengan batu oleh puak sekular di Istanbul. Terutamanya selepas saya bertemu dengan catatan Sultan Abdul Hamid II “I am sure that the historians will vindicate me, and even if the Turkish historians do not do so, I am certain that some foreign historians will do me justice”. Apabila saya banyak menghabiskan masa membaca karangan-karangan ulama di zaman mutakhir kerajaan Othmaniyyah, saya dibebankan dengan timbunan penulisan mereka yang mencela dan mencaci Muhammad bin Abdul Wahhab, khususnya melalui buku-buku yang diedarkan secara percuma oleh Ihlas Vakfi di Fatih, Istanbul.

    Ya lazimnya, kalau mahu cinta kepada Othmaniyyah, perlulah bermusuh dengan Wahabi.

    Tetapi saya bukan jenis begitu… dan saya puji Allah yang telah memimpin saya di dalam pencarian ilmu. Saya boleh cinta kepada Othmaniyyah tetapi cinta saya bukan buta. Saya bersedia untuk mengiktiraf sudut-sudut hitam Sejarah Othmaniyyah, termasuklah kelakuan-kelakuan buruk Gabenor Othmaniyyah yang bertugas di tanah Hijaz. Saya bersedia untuk menahan pedih hati dan jiwa menganalisa penyebaran fahaman Turanisma (nasionalis Turki) yang menular di seratus dua ratus tahun terakhir umur kerajaan Othmaniyyah.

    Di dalam masa yang sama, saya terus membaca tulisan-tulisan Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya saya rasa adil untuk saya sebut “untuk sekumpulan manusia yang Aqidah dan Fikahnya sejahtera, membuat pembacaan politik yang salah, ia adalah sesuatu yang boleh diterima akal”. Pada saya, Muhammad bin Abdul Wahab serta pengikutnya, sama ada mahu dipanggil Wahabi atau Muwahhidin atau apa sahaja, mempunyai pegangan Aqidah dan Fiqh yang sejahtera. Tetapi ia bukan jaminan untuk mereka membuat bacaan politik dan pendekatan siasah yang betul. Maka permusuhan Muhammad bin Abdul Wahab dengan Khilafah Othmaniyyah, pada kiraan saya adalah soal ijtihad yang betul dari sudut menentang kemungkaran, tetapi salah dari segi tidak membezakan kelakuan gabenor Turki yang goblok dengan polisi sebenar Khilafah Othmaniyyah yang Islam. Saya tidak bersetuju dengan bentuk penentangan Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kerajaan Othmaniyyah, tetapi atas dasar hujah. Tidak sekali-kali bantahan saya di dalam persoalan pendekatan siasah Muhammad bin Abdul Wahhab, mengheret saya untuk menolak beliau dan gerakannya secara menyeluruh. Soal Aqidah dan Fiqh adalah satu isu, soal pendekatan siasah pula adalah isu yang lain. Jika approach Muhammad bin Abdul Wahhab dianggap keterlaluan oleh masyarakat Melayu yang ‘kurang keras’, maka approach tersebut boleh ditolak. Namun jangan sampai disesatkan Aqidah dan Fiqh mereka tanpa justifikasi yang adil.

    SULTAN ABDUL HAMID II DAN GERAKAN WAHABI

    Malah saya sendiri gembira apabila Dr Muhammad Abdul Hamid Harb telah menterjemahkan sekeping manuskrip Othmaniyyah yang tersimpan di Perpustakaan Sultan Abdul Hamid (Yildiz Sarayi) tentang rekod kerajaan Othmaniyyah terhadap kemunculan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Manuskrip itu ditulis oleh Muhammad Kamil bin Nukman atau lebih dikenali sebagai Ibn Daraami al-Homsi. Manuskrip itu bertarikh 27 Ramadhan tahun 1312H, setebal 82 keping iaitu 164 muka surat. Ia ditulis atas permintaan Sultan Abdul Hamid II yang mahu mengetahui secara terpeinci tentang hal ehwal Semenanjung Tanah Arab dari segi geografinya, sosio budayanya, dan termasuklah kesan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab.

    Antara isi kandungan manuskrip tersebut ialah kisah bagaimana seorang Badwi telah kehilangan untanya. Lalu dia pergi ke kubur seorang alim bernama Saad dan meratap, “Wahai Saad, wahai Saad, pulangkanlah untaku!” Hal ini berlarutan selama beberapa hari dan akhirnya, perihal Badwi yang meratap di kubur syeikhnya itu sampai ke pengetahuan Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau telah datang pada hari ketiga kepada Badwi tersebut lalu berkata:

    “Apa masalah kamu?”

    “Aku kehilangan untaku. Sebab itu aku datang ke kubur syeikh aku. Sesungguhnya Syeikh Saad pasti boleh memulangkan kepadaku untaku yang hilang itu!”, jawab orang Badwi itu tadi.

    Muhammad bin Abdul Wahhab bertanya, “siapakah syeikh kamu yang kamu maksudkan itu?”

    Si Badwi menjawab, “inilah dia syeikh aku, yang duduk dalam kubur ni!”

    Lalu Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Ya Sheikh! Kamu adalah kamu dan kamu hidup serta kamu yang hidup tak mampu mendapatkan untamu. Apa hal pula kamu minta dari syeikh kamu sedangkan dia adalah mayat yang sudah mati. Bagaimana mungkin untuk dia keluar dari kubur untuk mencarikan kamu apa yang kamu sendiri tidak mampu lakukan? Sudahlah, tinggalkanlah si mati itu, mintalah pertolongan daripada Allah dan bukannya dari si dia yang dah tertanam di bawah batu ini. Dia sudah menjadi tulang temulang. Janganlah kamu minta dari Saad, sebaliknya mintalah daripada Tuhan Saad. Jangan sebut: wahai Saad! Sebaliknya sebutlah: wahai Tuhan Saad! Sesungguhnya Dia berkuasa untuk memulangkan untamu. Ingat, bukan Saad, tapi Tuhan Saad. Dan ketahuilah bahawa Allah itu Maha Berkuasa atas segala sesuatu!” (muka surat 31)

    Ibn Daraami al-Homsi yang menulis manuskrip itu, membuat komentar untuk Sultan Abdul Hamid II dengan berkata, “sesungguhnya nasihat-nasihat Muhammad bin Abdul Wahab telah pun disebarkan kepada kabilah-kabilah Arab dan mereka menerimanya dengan baik, malah kesannya juga amat teguh. Pandangannya tersebar ke seluruh pelusuk Semenanjung Tanah Arab dari hujung ke hujung, meliputi Haramain serta Iraq, Hijaz dan bandar-bandar yang lain.” (muka surat 32) [rujuk Al-Othmaniyyun fee at-Taareekh wa al-Hadharah oleh Dr. Muhammad Abdul Hamid Harb, terbitan Darul Qalam, Dimasyq, cetakan kedua 1419 / 1999)

    Ini adalah sebahagian daripada cacatan tentang Muhammad bin Abdul Wahhab yang saya baca dari sumber sejarah Othmaniyyah. Banyak lagi yang boleh dikaji, termasuklah di dalam koleksi nasihat Snouck Hurgronje kepada Pegawai-pegawai Belanda yang berpuluh jilid di Perpustakaan Yildiz Sarayi.

    DAKWAAN DI AKHBAR UTUSAN

    Akan tetapi, saya terkasima membaca tuduhan Dr Uthman Muhammadi bahawa gerakan Wahabi telah menjatuhkan Khilafah Othmaniyyah. Saya tidak tahu apa motifnya. Apakah kenyataan ini mahu ‘memancing’ pihak kerajaan supaya menggunakan pendekatan penguatkuasaan undang-undang ke atas Wahabi di atas dasar Wahabi boleh menjatuhkan kerajaan BN sebagaimana Wahabi pernah menjatuhkan kerajaan Islam Khilafah Othmaniyyah? Pada saya, ini bukan suatu kenyataan yang ada asas. Asas sejarah tiada, asas politik pun tidak ada. Apa yang saya tahu ialah, antara gerakan yang benar-benar memainkan peranan menjatuhkan Khilafah Othmaniyyah adalah gerakan Ataturk. Dan ironinya, menurut Milner, gerakan inilah yang dikaji oleh Dato Onn Jaafar sehingga membawa kepada tercetusnya idea menubuhkan UMNO yang sekular lagi progresif. (Milner, A.C (1986), ‘ The Impact of the Turkish Revolution on Malaya, Archipel 31, Paris). Jadi, untuk mengaitkan Wahabi dengan ancaman anti establishment, saya sukar melihat sifirnya.

    GOLONGAN YANG MEMUSUHI WAHABI

    Namun yang saya pasti, golongan yang memusuhi Wahabi ini ada ramai. Pertamanya adalah Syiah. Mereka amat benci kepada Wahabi, mungkin bermula dengan kebencian mereka terhadap Ibn Taimiyah yang telah menulis kitab Minhaaj as-Sunnah yang telah meruntuhkan berhala kepercayaan mereka.

    Keduanya, Ulama-ulama di Mekah yang juga merupakan tuan-tuan guru kepada pelajar Nusantara yang menyambung pengajian di Mekah. Pelajar ini pula pulang ke Kepulauan Melayu dan menjadi tok-tok guru di pusat-pusat pengajian pondok dan pesantren. Saya masih mengkaji apakah sebenarnya isu yang timbul di antara Mufti Mekah Sheikh Zaini Dahlan dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Permusuhan antara mereka menyumbang kepada berpindahnya kecaman ke atas Wahabi ke Nusantara, generasi demi generasi.

    Golongan ketiga yang memusuhi Wahabi adalah golongan Islam Liberal. Mungkin pendekatan Wahabi yang mengetatkan pemahaman teks al-Quran dan al-Hadith telah menyesakkan dada golongan Islam Liberal yang mahu melepaskan diri daripada cengkaman tradisi Islam yang mereka anggap sebagai ‘penghalang kemajuan dan kebebasan beragama’.

    Dan terkini, yang memusuhi Wahabi adalah Amerika dan kuncu-kuncunya apabila Wahabi dikaitkan sebagai fahaman anutan Osama bin Laden serta Abu Bakar Al-Bashir. Maka sifir mereka ialah:

    Wahabi = Osama bin Laden = Abu Bakar al-Bashir = Nordin Mat Top = Dr Azahari = Terrorist!

    Sifir ini memang luar biasa, namun hanya sehari selepas Dr Uthman Muhammadi mengungkapkan kebimbangannya terhadap Wahabi di Utusan, sifir ini muncul dengan panas lantas pelbagai spekulasi luar biasa timbul.

    Entahlah, saya tidak suka untuk terjebak di dalam isu ini. Pada saya, jika anda adil terhadap ilmu, jika anda berfikiran terbuka, jika anda sudi belajar ilmu perbandingan mazhab dan aliran yang pelbagai, dan yang paling penting, jika anda rajin ke kelas sepanjang pengajian di universiti, Insya Allah anda boleh berlapang dada menerima Imam Syafie, Imam Abu al-Hasan Ashaari, Imam Maturidi, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim, Al-Ghazali, Muhammad bin Abdul Wahhab, Rashid Ridha dan sesiapa sahaja yang pandangannya baik. Dan anda juga boleh berlapang dada memaafkan kelemahan-kelemahan mereka kerana yang Maksum hanyalah seorang ialah tuan punya makam ini, bak kata Imam Malik, sambil menunjukkan tangannya ke arah makam Rasulullah S.A.W.

    PERLU DIPERJELASKAN

    Adalah amat penting untuk saya jelaskan di sini, saya bukan berusaha mempertahankan Wahabi. Jika Wahabi itu dirujuk kepada aliran Saudi oriented, atau yang asyik membid’ahkan masyarakat, atau yang menuduh liar setiap pembangkang itu adalah neo-Khawarij, apatah lagi yang mencarik-carik daging dan kulit pejuang seperti Asy-Syahid Sayyid Qutb, maka saya bukan sebahagian mereka. Apa yang saya cuba pertahankan di sini adalah soal hak kebenaran yang mesti ditunaikan. Sama ada kritikan itu ditujukan kepada Wahabi, Khalaf, Salaf atau sesiapa sahaja, ia mestilah dibuat berasaskan bukti yang sahih lagi teruji. Andaikata anda suka menjadi pendekar peluru tabur, maka saya tidak di medan anda!

    Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang seorang fasiq kepada kamu membawa berita, periksalah ia terlebih dahulu. Agar nanti jangan kamu menghukum sesuatu kaum dalam keadaan jahil (terhadap apa yang benar), lantas kamu kemudiannya menyesal atas apa yang telah kamu lakukan” (Surah Al-Hujurat 49 : 6)

    Firman-Nya lagi: “Dan janganlah kamu berpendirian di dalam sesuatu perkara yang kamu tidak ada pengetahuan mengenainya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu akan dipersoalkan (di akhirat).” (Surah Al-Isra’ 18 : 36)

    Ya Allah, celikkan mata hatiku untuk melihat kebenaran di akhir zaman. Wassalamualaikum WBT.

    ABU SAIF @ http://www.saifulislam.com
    Cheras 56000, 30 November 2005

  18. Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi, Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah

    Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.

    Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.
    Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.

    Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata:

    “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)

    Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.

    Syaikh Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya:

    “Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua”. (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)

    Begitu pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata:
    “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdu Wahhab adalah penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhluum, hal: 165)

    Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul

    “Inilah Aqidah Kami”: “

    Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)

    Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.

    • Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanah“ karangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.

    • Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
    • Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.

    • Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam” karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.

    Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah kepada kita:

    “Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan”.

    Karena buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

    Ringkasan Dan Penutup

    Ringkasan:

    • Seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.

    • Seorang da’i hendaklah memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
    • Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.

    • Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.

    • Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

    • Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

    • Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.

    Penutup

    Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.

    *) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur

  19. @nena, di/pada Oktober 12, 2010 pada 2:12 am Dikatakan: r
    ……….
    (2) Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi n/ di atas. Benarlah, Iraq adalah sumber fitnah([4]), baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Seperti:
    1. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj,
    2. Perang Jamal,
    3. Perang Shifin,
    4. Fitnah Karbala’,
    5. Tragedi Tatar.
    6. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti
    • Khawarij yang muncul di kota Harura’ –kota dekat Kufah–,
    • Rafidhah (Syi’ah) –hingga kini masih kuat–,
    • Mu’tazilah,
    • Jahmiyah, dan
    • Qadariyah.

    Awal kemunculan mereka di Iraq, sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.

    Dan kenyataan yang kita saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di Iraq terasa begitu mahal. Banyak peperangan dan pertumpahan darah, serta andil ….

    ============================================
    Kalo fitnah Iraq, cuma menimpa sebagian kaum muslimin. Coba ente bandingkan dengan fitnah yg dibuat oleh salafy/wahaby…… Salafy/wahaby telah memfitnah seluruh kaum muslimin yang bukan satu pemahaman dengan sebutan ahli bid’ah, musyrik, kafir, dan neraka …… Terus gara-gara segelintir salafy/wahaby/al-qaeda, seluruh kaum muslimin difitnah sebagai teroris…. ulama2 dituduh penjahat….. sekarang seluruh kaum muslimin selain salafy/wahaby mempunyai beban yang berat, selain mengkonter fitnah salafy/wahaby ( atas sebutan ahli bid’ah, musyrik, kafir ) kaum muslimin juga harus menghadapi fitnah salafy/wahaby yg membuat non muslim menganggap kaum muslimin sebagai teroris / penjahat….

  20. Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung ‘Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang.

    Berarti Najd di barat laut Riyadh? Bukan di Iraq tohh.?.. 🙂

    Salam damai

  21. 4 Mazhab dan syiah mengajak untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, namun tetap saja mereka disebut suatu mazhab tersendiri.
    Syafi’i tidaklah mengajak kepada suatu ajaran baru. Mereka semua (termasuk syi’ah) mengajak untuk mengikuti AQ dan Sunnah Rasul SAW. Namun dalam ajakan mereka disana ada tafsir (+ijtihad) mereka atas AQ dan sunnah tsb, sehingga mereka dikatakan membawa mazhab mereka.
    Saya pikir begitu juga dengan Wahabi (salafy) mereka mempunyai penafsiran sendri sehingga sangat wajar jika memiliki mazhab tersendiri (kenapa menjadi risih yaa?).
    Semua yang sampai kepada kita adalah teks yang mana akan muncul berbagai penafsiran atasnya.
    Di suatu saat wahabi/salafy menolak bermazhab namun di saat lain/bersamaan mengatakan bahwa mereka mazhab ahlul sunnah.

    Karena buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

    Salam damai

  22. @ts 08
    sdikit perlu diluruskan,syiah bukanlah suatu mahzab,

  23. @nena
    saya yakin anda belum ngerti benar siapa itu Muhammad bin Abdul Wahab.yang ajarannya disebarluaskan dan dibiayai oleh Saudi Arabia.coba baca sejarah berapa banyak darah muslimin Madinah, Makkah, irak yg dialirkan oleh wahabiyun atas nama pemurnian tauhid.kalau anda keberatan dengan nama Najd untuk wilayah Saudi, maka fakta berbicara bahwa negara mana yg bermesraan dengan musuh islam nomor wahid (AS dan Israel) kalo bukan Saudi Arabia.
    Coba dengarkan apa fatwa ulama saudi tentang perang hizbullah-israel dan hamas-israel, sangat memalukan dan menjijikan dan ditak pantas keluar dari mulut yg mengaku sebagai Khadimul Kharamain.
    Salam damai……..

  24. Trims atas informasinya, sehingga saya semakin mengetahui blog yg suka memutarbalikan fakta. :mrgreen:

  25. Hmmm kalo kesimpulannya gini gimana :
    Muncul tanduk setan di 2 tempat Njad Irak dan Najd Satunya :D. Gitu aja kok repot …

  26. Kesimpulan yang lebih benar adalah tanduk setan itu di Najd Arab Saudi, karena sesuai dengan hadis yang shahih dan sesuai pula dengan letak geografisnya. Hadis yang menyatakan Najd di Irak tidak benar karena hadisnya lemah dan tidak sesuai dengan letak geografisnya.

  27. […] tulisan Abu al Jauza “Najd Bukan ‘Iraq ?” yang membantah tulisan J. Algar Sebelumnya “Analisis Hadis Tanduk Setan : Najd Bukan Iraq” -Bicara […]

  28. perlu diluruskan, syiah bukanlah suatu madzhab Islam tetapi merupakan agama baru buatan Abdulloh bin Saba’ Al Yahudi…Na’udzubillah min syi’ah rofidhoh…

  29. @ibnu
    Kok anda tahu benar bahwa Syiah agama buatan Abdullah b. Saba.
    Rupanya anda keturunan Abdullah b. Saba se-tidak2nya se AGAMA dengan Abdullah b. Saba

  30. setahu gue WAHABI/SALAFI itu PENGACAU…..memalsukan hadits2, kitab2 ulama klasik,…..kalau elo elo yang ngaku WAHABI/SALAFI emang orang yg ilmiah maka elo orang mesti mikir 2000 kali utk mengikuti faham ulama yg keluar dari NAJD….lagi pula elo orang kan pada bego sok pada pinter lagi…..ashobiyah…..ulamanya dikritik rame2 pada ga terima…yang bener cuma Rasululloh…..kalo mau ikut ya ikut yang udah ada jaminan dari Rasululloh….ikut orang yg hidup di zaman sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in…..jangan ikut WAHABI/SALAFI…kalo elo para WAHABI/SALAFI emang murni memperjuangan agama….rame2 tuh lo rubah kerajaan saudi jd kekhalifahan…..elo teriak2 bid’ah….lah elo sendiri makan keyang itu kan bid’ah….ustadz2 lo aja dibayar…siaran radio aja dibayar…..

  31. pie toh.. lo pade ngeyel amat se pada ketololannya.. dah dijelasin panjang lebar masih g paham..
    @nena
    خذ العفو وأمر بالعرف و أعرض عن الجاهلين..
    maafkanlah, suruh akan kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

  32. Did you of all time get those solid foods are so cloggy in table salt that
    the economic value of the atomic number 19 is nil.
    But this gagespaper is said in many eat
    3 to 6 gms a day likewise don t have gamey blood pressure.

    How did the accurate like military service for $50!

  33. Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi/tanduk syaiton·
    Kontrol diri paham anda apa ada kemasukan yahudi wahabi….http://www.youtube.com/watch?v=shcTaLB7th8

  34. VIDIO TANDUK SETAN ASLNYA WAHABI BUATAN YAHUDI
    Kontrol diri paham anda apa ada kemasukan yahudi wahabi….http://www.youtube.com/watch?v=shcTaLB7th8

  35. terimakasih banyak atas ilmunya!

  36. Sampai kapanpun wahabi akan selalu mengingkari najd bagian wilayah dari negara arab saudi. Apalagi pendiri wahabi lahir di najd seperti abdul wahab, bin baz dan ibnu utsaimin. Konyol kalau ada orang wahabi yg hidup sekarang meyakini bahwa najd adalah wilayah dimana pendiri dan peletak dasar keyakinan wahabi dilahirkan.

  37. Yg perlu dikaji knapa nabi.SAW tdk menunjuk kearah indonesia misalnya yg menurut wahabi masy.sering melakukan hal2 yg menyimpang..

  38. […] Hadis Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Aun dengan lafaz “Iraq kami” memiliki penguat dari hadis-hadis lain dan telah kami tunjukkan dalam tulisan khusus mengenai illat [cacat] hadis-hadis tersebut. […]

  39. […] Hadis Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Aun dengan lafaz “Iraq kami” memiliki penguat dari hadis-hadis lain dan telah kami tunjukkan dalam tulisan khusus mengenai illat [cacat] hadis-hadis tersebut. […]

Tinggalkan komentar