Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah Dalam Mazhab Syi’ah

Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah Dalam Mazhab Syi’ah

Tulisan ini dibuat dengan tujuan memaparkan kepada para pembaca yang ingin mengenal mazhab Syi’ah secara objektif. Mengapa Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah?. Jawaban mereka adalah Al Qur’an dan hadis Ahlul Bait telah menghalalkannya. Kalau kita tanya ayat Al Qur’an mana yang menyatakan tentang nikah mut’ah maka mereka akan menjawab ayat berikut

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan [diharamkan juga bagi kamu menikahi] wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS An Nisaa’ : 24]

Sebelumnya dalam salah satu tulisan disini, kami sudah menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat dalil shahih dalam kitab Ahlus Sunnah bahwa An Nisa ayat 24 di atas yaitu lafaz “maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka” merujuk pada nikah mut’ah. Silakan lihat selengkapnya disini.

Menurut kami, agak rancu jika pengikut Syi’ah ketika berdalil dengan ayat Nikah mut’ah di atas mengambil hujjah dengan riwayat shahih Ibnu ‘Abbaas yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah. Mengapa kami katakan rancu karena hadis ahlus sunnah tidaklah menjadi pegangan bagi kaum Syi’ah begitupun sebaliknya. Untuk perkara diskusi dengan pengikut Ahlus Sunnah memang sangat baik jika Syi’ah berhujjah dengan hadis Ahlus Sunnah tetapi ketika diminta dalil di sisi mereka soal Ayat Nikah Mut’ah maka hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidak bisa dijadikan hujjah

Seharusnya yang mereka lakukan adalah membawakan riwayat ahlul bait dalam mazhab Syi’ah sendiri yang menjelaskan kalau ayat tersebut memang tentang Nikah Mut’ah. Begitu banyaknya dari pengikut Syi’ah yang menukil riwayat Ibnu ‘Abbas sehingga berkesan seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada keterangan tentang itu. Oleh karena itu kami berusaha meneliti secara objektif adakah dalil tentang ayat nikah mut’ah di atas dalam kitab hadis Syi’ah.

.

.

عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن أبي نجران، عن عاصم بن حميد، عن أبي بصير قال سألت أبا جعفر (عليه السلام) عن المتعة، فقال نزلت في القرآن فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فلا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة

Dari sekelompok sahabat kami dari Sahl bin Ziyaad. Dan dari ‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya, keduanya [Sahl bin Ziyaad dan Ayahnya Aliy bin Ibrahim] dari ‘Ibnu Abi Najraan dari ‘Aashim bin Humaid dari Abi Bashiir yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah?. Beliau berkata telah turun dalam Al Qur’an “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/448]

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  3. ‘Abdurrahman bin ‘Abi Najraan Abu Fadhl seorang yang tsiqat tsiqat mu’tamad apa yang ia riwayatkan [Rijal An Najasyiy hal 235 no 622]
  4. ‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821]
  5. Abu Bashiir adalah Laits bin Bakhtariy Al Muradiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 476]

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن الحسن بن رباط، عن حريز، عن عبد الرحمن بن أبي عبد الله قال سمعت أبا حنيفة يسأل أبا عبد الله (عليه السلام) عن المتعة فقال أي المتعتين تسأل قال سألتك عن متعة الحج فأنبئني عن متعة النساء أحق هي فقال سبحان الله أما قرأت كتاب الله عز وجل؟ فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فقال أبو حنيفة والله فكأنها آية لم أقرأها قط

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu ‘Abi Umair dari Aliy bin Hasan bin Rabaath dari Hariiz dari ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah yang berkata aku mendengar Abu Hanifah bertanya kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah. Maka Beliau berkata “apakah engkau bertanya tentang dua Mut’ah?”. [Abu Haniifah] berkata “aku telah bertanya kepadamu tentang Mut’ah haji maka kabarkanlah kepadaku tentang Nikah Mut’ah apakah itu benar?. Beliau berkata “Maha suci Allah, tidakkah engkau membaca Kitab Allah ‘azza wajalla “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban”. Abu Haniifah berkata “demi Allah seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/449-450]

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
  4. Aliy bin Hasan bin Rabaath Abu Hasan Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 251 no 659]
  5. Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]
  6. ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah adalah seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 30 no 62 biografi Ismail bin Hamaam cucu ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah]

Kedua riwayat shahih dalam kitab Syi’ah di atas membuktikan bahwa dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalil kalau ayat An Nisa 24 tersebut adalah berkenaan dengan Nikah Mut’ah.

.

.

.

Syubhat Atas Dalil

Ada syubhat yang disebarkan oleh para pembenci Syi’ah dimana mereka mengatakan bahwa dalam mazhab Syi’ah orang yang menikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan atau ia bukan termasuk muhshan padahal ayat di atas jelas menggunakan lafal muhshiniin. Berikut dalil dalam kitab Syi’ah yang dimaksud

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام، وحفص بن البختري عمن ذكره، عن أبي عبد الله عليه السلام في الرجل يتزوج المتعة أتحصنه؟ قال: لا إنما ذاك على الشئ الدائم عنده

‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam dan Hafsh bin Bakhtariy dari orang yang menyebutkannya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang nikah mut’ah apakah itu membuatnya ihshan?. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya hal itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178]

Riwayat di atas dhaif sesuai standar Ilmu Rijal Syi’ah karena di dalam sanadnya terdapat perawi majhul yang tidak disebutkan siapa dia.

أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن إسحاق بن عمار قال: سألت أبا إبراهيم عليه السلام عن رجل إذا هو زنى وعنده السرية والأمة يطأها تحصنها الأمة وتكون عنده؟ فقال: نعم إنما ذلك لان عنده ما يغنيه عن الزنى، قلت: فان كانت عنده أمة زعم أنه لا يطأها فقال: لا يصدق، قلت: فإن كانت عنده امرأة متعة أتحصنه؟ قال لا إنما هو على الشئ الدائم عنده

Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Ishaaq bin ‘Ammaar yang berkata aku bertanya kepada Abu Ibrahim [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang berzina sedangkan di sisinya terdapat budak wanita yang sudah digaulinya, apakah membuat ihshan, budak wanita yang ada di sisinya?. Beliau berkata “benar, sesungguhnya hal itu karena di sisinya terdapat hal yang mencukupkannya dari zina”. Aku berkata “maka jika di sisinya terdapat budak yang ia mengaku bahwa ia tidak menggaulinya”. Beliau berkata “itu tidak dibenarkan”. Aku berkata “maka jika di sisinya ada istri mut’ah apakah itu membuatnya ihshan”. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178]

Riwayat ini sanadny muwatstsaq berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Para perawinya tsiqat termasuk Ishaq bin ‘Ammaar hanya saja ia bermazhab menyimpang Fathahiy. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228
  2. Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391
  3. Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
  4. Ishaaq bin ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqat tetapi bermazhab Fathahiy [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 54]

Ihshan yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah sesuatu yang disifatkan pada seseorang untuk menentukan hukuman yang akan ia peroleh jika ia berzina, kalau disifatkan dengan ihshan maka hukumannya rajam kalau tidak disifatkan dengan ihshan maka hukumannya cambuk. Maka ihshan disini adalah istilah khusus yang memiliki kategori-kategori tertentu yang bisa dilihat dalam berbagai riwayat shahih mazhab Syi’ah.

Terdapat dua pendapat dalam mazhab Syi’ah mengenai apakah status nikah mut’ah itu membuat seseorang disifatkan ihshan atau tidak.

  1. Pertama dan ini yang masyhur dari para ulama Syi’ah adalah menyatakan secara mutlak bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan ihshan. Dalilnya berdasarkan riwayat di atas dimana mereka memahami lafaz “da’im di sisinya” dengan makna nikah da’im.
  2. Kedua yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah juga disifatkan dengan ihshan jika istrinya tersebut menetap bersamanya masih bersamanya sebagai istri dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Dalilnya adalah hadis yang menetapkan kriteria muhshan sebagai orang yang di sisinya terdapat wanita yang mencukupkannya dari zina dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Termasuk hadis di atas menjadi dalil, dimana lafaz “da’im di sisinya” ditafsirkan dengan makna menetap bersamanya.

Dalam tulisan ini kami tidak akan membahas secara lebih rinci pendapat mana yang lebih rajih berdasarkan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Kami akan kembali memfokuskan pada syubhat yang dilontarkan oleh para pembenci Syi’ah.

.

.

Syubhat mereka adalah dengan adanya riwayat di atas bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan maka hal ini bertentangan dengan An Nisaa’ ayat 24 yang menyebutkan pernikahan tersebut dengan lafaz muhshiniin. Oleh karena itu An Nisaa’ ayat 24 bukan berbicara tentang Nikah Mut’ah.

Syubhat ini jika dianalisis dengan objektif akan tampak tidak nyambung. Sebenarnya mereka mempertentangkan pikiran mereka sendiri. Mereka hanya melihat kesamaan lafaz tanpa memahami bahwa maksud sebenarnya yang diinginkan oleh setiap lafaz itu berbeda. Lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 itu bermakna orang yang menjaga diri dengan pernikahan. Artinya setiap muslim yang menikah baik itu dengan nikah da’im atau nikah mut’ah maka ia masuk dalam kategori muhshiniin. Apalagi dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalilnya bahwa nikah mut’ah masuk kedalam kategori muhshiniin An Nisaa’ ayat 24 sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya.

Adapun lafaz ihshan dalam riwayat di atas terkait istilah yang berkaitan dengan hukum rajam. Lafaz ini memiliki kriteria atau persyaratan sendiri. Dalam mazhab Syi’ah berdasarkan riwayat-riwayat  shahih maka tidak semua yang masuk kategori muhshiniin jika berzina disebut ihshan

Bahkan orang yang tidak menikah tetapi memiliki budak wanita yang bisa digaulinya maka ia masuk dalam kategori ihshan berdasarkan riwayat shahih mazhab Syi’ah di atas, walaupun berdasarkan An Nisaa’ ayat 24 dia belum masuk kategori muhshiniin karena belum menikah. Dan orang yang menikah walaupun dengan nikah da’im [masuk dalam kategori muhshiniin] bisa saja dikatakan bukan ihshan berdasarkan riwayat berikut

عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن فضالة بن أيوب، عن رفاعة، قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن رجل يزني قبل أن يدخل بأهله أيرجم؟ قال: لا

Dari sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Fadhalah bin Ayuub dari Rifa’ah yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seseorang yang berzina sebelum ia menyetubuhi istrinya, apakah dirajam?. Beliau berkata “tidak” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/179]

Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul sebagaimana yang dinukil An Najasyiy

وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم

Abu Ja’far Al Kulainiy berkata “setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]

Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim seorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
  4. Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]
  5. Rifa’ah bin Muusa Al Asdiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah, seorang yang tsiqat dalam hadisnya [Rijal An Najasyiy hal 166 no 438]

.

Kesimpulannya adalah lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut bukan berarti bermakna ihshaan yang mengharuskan hukuman rajam. Kalau kita melihat ke dalam fiqih ahlus sunnah maka hal serupa ini juga ada yaitu orang yang masuk dalam kategori muhshiniin dengan dasar pernikahan tetapi tidak ditetapkan ihshan. Imam Syafi’i pernah berkata

وإن أصابها في الدبر لم يحصنها

Dan sesungguhnya menggaulinya [istri] di dubur tidak disifatkan ihshan [Al Umm Asy Syafi’i 8/276]

Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i adalah seorang laki-laki yang baru menikah dan menggauli istrinya bukan pada kemaluan tetapi pada duburnya kemudian ia berzina maka laki-laki tersebut tidak disifatkan ihshan. Bukankah kondisi ini serupa dengan Nikah Mut’ah yaitu masuk dalam kategori muhshiniin tetapi tidak disifatkan dengan ihshan [berdasarkan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syi’ah].

Contoh lain sebenarnya dapat dilihat dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut. Dalam ayat tersebut digunakan lafaz Istimta’ dan lafaz ini dalam banyak hadis shahih bermakna Nikah Mut’ah. Kemudian bagaimana tanggapan dari sebagian ulama ahlus sunnah. Mereka membantah bahwa lafaz istimta’ disana bermakna nikah mut’ah. Menurut mereka lafaz istimta’ bermakna bersenang-senang atau mencari kenikmatan dan ini juga berlaku pada nikah da’im.

Jadi dengan kata lain mereka mengatakan bahwa Istimta’ di ayat tersebut adalah nikah da’im bukan nikah mut’ah dan menurut mereka, hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang menggunakan lafaz istimta’ sebagai nikah mut’ah. Bukankah disini mereka sendiri beranggapan bahwa lafaz yang sama antara Al Qur’an dan Hadis tidak selalu menunjukkan arti yang sama. Jadi sebenarnya para pembenci Syi’ah tersebut ketika menyebarkan syubhat di atas mereka secara tidak sadar malah menentang diri mereka sendiri.

.

.

Penutup

Dalam tulisan ini kami tidak sedang menyatakan nikah mut’ah sebagai perkara yang halal secara mutlak sebagaimana yang ada dalam mazhab Syi’ah. Kami hanya menunjukkan kepada para pembaca bahwa dalam mazhab Syi’ah dalil nikah mut’ah tersebut ada dan shahih sesuai dengan standar keilmuan mazhab mereka. Kedudukan pengikut Syi’ah dalam hal ini hanya mengikuti pedoman shahih mereka sama seperti kedudukan pengikut Ahlus sunnah yang mengharamkan nikah mut’ah berdasarkan dalil dalam kitab Ahlus Sunnah.

30 Tanggapan

  1. hmm, semoga ayat dan hadist yang berhubungan dengan nikah mutah kemudian tidak digunakan dengan syarat2 yang mudah dan hanya untuk kesenangan dunia sahaj.

  2. @setiadharma
    Mas setia, dengan niat mencari kesenangan dunia tidak perlu repot2 pakai ayat mut’ah. Sangat naif menyalahkan dalil mut’ah hanya karena bisa disalahgunakan. Tidak sedikit hukum yang bisa dipermainkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan diri.
    Sampai sekarang saya belum menemukan dalil dari sunni yang valid yang menggugurkan keabsahan mut’ah, yang ada hanyalah sentimen sunni syiah. Karena mut’ah khas syiah, maka sunni berusaha dengan segala cara menggugurkan keabsahan mut’ah.
    salam damai

  3. @TS08

    Perkara mutah memang merupakan sifat khas dari Syiah, dan tampaknya sering digunakan oleh mereka2 yg tertutup pandangannya untuk dijadikan salah satu alasan bahwa Syiah Ahlul Bayt adalah sesat lagi menyimpang dalam hal agama.

    Mereka2 yang tertutup pandangannya memandang nikah mut’ah seolah tanpa harus disertai dengan syarat2 yang menyertai. Kerananya saya berharap artikel SP dibaca dengan kehati2.

    Saya teringat ketika di awal2 kuliah dahulu, saya mempunyai seorang teman yang atheist sebenarnya. Dalam benak atheisnya semua laki2 Sunni 100% PASTI memiliki istri lebih dari satu. Sehingga seolah tidak ada lagi kebaikan2 dalam beragama. Hal itu berlaku pula bagi mereka2 yang tertutup pandangannya berkhayal bahwa semua laki2 yg bermahzab Syiah 100% PASTI melakukan mut’ah dalam setiap kesempatan. Begitulah penilaian mereka2 yg Allah tutup pandangannya

  4. sangat menarik untuk disimak, dan boleh dicoba,,,, 😀

  5. assalamu alaikum
    bagaimana pandangan sdr. SP dengan hadits berikut

    Dari Abdillah bin Sinan, dia berkata :
    Telah ditanya Aba Abdillah Rodhiyallohu ‘anhu tentang mut’ah,
    maka dia berkata : “Jangan engkau kotori jiwamu dengannya (mut’ah)” .
    [Al Bihaar Al Anwaar, Juz 100)

    Dari Hasyim bin Hakim, dari Abi Abdillah alaihi salam, dia berkata :
    “Tidaklah ada yang melakukannya (تفعلها) di sisi kami kecuali para pelacur”
    [Al Bihaar Al Anwaar, Juz 100, halaman 318].

  6. @Erya Wintim

    Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar mengutip kedua riwayat tersebut dari kitab Nawadir Ahmad bin Muhammad bin Iisa. Jika dilihat dari sanadnya maka para perawinya tsiqat [berdasarkan kaidah ilmu Rijal Syi’ah]. Hanya saja jalan sanad Al Majlisiy sampai kitab Nawadir Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak diketahui apakah shahih atau tidak. Maka menurut saya riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah [di sisi mazhab Syi’ah], apalagi jika bertentangan dengan riwayat-riwayat shahih dalam kitab Al Kafiy di atas. Tentu saja ini pendapat saya pribadi, mungkin ada para pembaca atau orang alim dari kalangan Syi’ah yang lebih mengetahui kedudukan riwayat tersebut atau pembahasan tentang riwayat tersebut. Salam

  7. @Erya Wintim

    Saya setuju dengan SP bahawa riwayat tentang halalnya mutah lebih kuat dan boleh dikatakan bahwa mutah itu adalah ciri khas dari Syiah. Bila apa2 yang ada disini belum memuaskan pertanyaan anda tentang mutah, silahkan anda mengunjungi laman Syiah, saya pikir mereka mungkin bisa menjelaskan lebih berkaitan dengan pertanyaan anda.

    Tapi menurut saya semua yang ditulis oleh SP disini telah mencakup sebagian pokok dasar dari pembahasan tidak tertolaknya mutah di sisi Syiah. Saya pikir dengan membaca tulisan SP anda dapat mengambil tema dasarnya

    Berkaitan dengan pertanyaan anda tentang adanya penolakan dari Imam Jakfar (as) tentang nikah mutah, sepanjang ingatan saya guru saya pernah menemukan koleksi kitab Syiah Ismailiy dengan redaksi yang sama. Entahlah mungkin saya salah, saya harus memastikannya kembali

    Sedikit catatan…jangalah anda kemudian memandang mutah dengan bermudah2 saja

  8. Sudah 9 bulan:

    Apakah kamu suka untuk menyerahkan anak perempuan kamu kepada orang luar yang datang meminta untuk dinikahinya dengan nikah muta’h, untuk dikotorinya dalam tempoh yg tidak lama, lalu membuang dia?

    [kami tidak sedang menyatakan nikah mut’ah sebagai perkara yang halal secara mutlak]
    Ketentuan yang manakah yang kamu suka, yang adil untuk kamu dan anak perempuan kamu? Yang samar atau yang jelas?

  9. @ares

    Maaf itu nanya sama saya ya, apa maksudnya 9 bulan? apa maksudnya anda sedang hamil 9 bulan kah, kalau benar begitu maka saya doakan agar anda bisa melahirkan dengan selamat dan sehat.

    Apakah kamu suka untuk menyerahkan anak perempuan kamu kepada orang luar yang datang meminta untuk dinikahinya dengan nikah muta’h, untuk dikotorinya dalam tempoh yg tidak lama, lalu membuang dia?

    Jawabannya adalah sekarang saya tidak punya anak perempuan. Sebenarnya saya paham maksud anda mengajukan pertanyaan aneh seperti itu. Soal nikah mut’ah itu harus dipandang sebagai salah satu hukum syari’at dalam islam. Bagi mereka yang berkeyakinan hukumnya haram maka sudah jelas tidak akan mengizinkan anak perempuannya nikah mut’ah. Bagi mereka yang berkeyakinan hukumnya boleh maka silakan bagi mereka yang mau untuk melakukannya atau mengizinkan anak perempuannya nikah mut’ah. Apa yang harus dipermasalahkan?.

    Ahlus sunnah juga membolehkan poligami maka bukan berarti setiap laki-laki harus poligami atau anak perempuannya harus dipoligami, kalau tidak mau ya tidak usah dilakukan. Nah nikah mut’ah juga seperti itu [bagi mereka yang menganggap halal] kalau mau ya silakan kalau ndak mau ya tidak usah. Bagaimana kalau dikatakan kepada anda pertanyaan seperti ini “Apakah kamu suka untuk menyerahkan anak perempuan kamu kepada orang luar yang datang meminta untuk dipoligami [sebagai istri keempat]?”

    Berpikir yang sehat bung, anda harus belajar soal apa itu keadilan sebelum bicara tentang keadilan. Apakah anda pikir Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika membolehkan nikah mut’ah pada saat para sahabat berperang telah melakukan ketidakadilan?. Bukankah wanita yang dinikahi mut’ah oleh para sahabat itu adalah putri dari orang tuanya. Apakah dengan begitu orang tuanya diperlakukan tidak adil?. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah berlaku tidak adil pada orang tua wanita tersebut?. Silakan dipikirkan dengan baik wahai orang yang berkata “sudah 9 bulan”

    Terakhir tolong biasakanlah gunakan bahasa yang baik, pertanyaan anda soal nikah mut’ah yang mengandung kata-kata “untuk dikotorinya dalam tempoh yg tidak lama, lalu membuang dia” menunjukkan anda tidak punya pemahaman yang baik. Apakah ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan para sahabat melakukan nikah mut’ah itu berarti Beliau mengizinkan para sahabat mengotori wanita dalam tempo yang tidak lama lalu membuangnya?. Betapa menyedihkan karena anda tidak suka dengan syi’ah dan nikah mut’ah anda malah menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]

  10. apa maksudnya 9 bulan?

    Terima kasih karena mengejek saya. Sebenarnya 9 bulan dahulu saya ada bertanyakan soalan yang sama tapi kalian diam-diam aja. 🙂

    [sekarang saya tidak punya anak perempuan.]
    Ooohhh.., begitu rupanya, saudara tidak punya naluri rasa sayang kepada anak-anak perempuan rupanya.

    Sebab itulah soalan ini tidak terkesan dalam hati saudara. Bagaimana pula dengan pengikut2 mu yang punya anak perempuan? Tanyalah dan mintalah mereka dengan mulut kamu. karena Soalan ini bukanlah untuk kamu seorang.
    Apakah bapak Musang bisa mengerti perasaan ibubapa ayam?

    Soal nikah mut’ah itu harus dipandang sebagai salah satu hukum syari’at dalam Islam?
    Maaf, halalnya ia tidak termasuk dalam kepercayaan kami. Rasulullah saw telah mengharamkannya, itu telah diyakini oleh kami.
    Kamu suka memilih yang samar, jika kamu merasakan ia lebih adil dan lebih baik, maka terpulanglah kepada kamu. Yang samar itu terlalu banyak hujah dan omongnya. Full stop.

    “Apakah kamu suka untuk menyerahkan anak perempuan kamu kepada orang luar yang datang meminta untuk dipoligami [sebagai istri keempat]?”
    Saya izinkan jika lelaki itu beriman, ikhlas, jujur dan bertanggung jawab. Kalau anak perempuan saya cintakan dia, maka pilih aja. Pokoknya mudah aja: Asal bukan dgn orang2 yg bermazhab syiah.

    Walaupun dia dipoligamikan, dia terjamin dengan nikah daim. Ada segala hak-hak dan perwarisan. Cucu ku juga terjamin “BIN” nya. Syukur kpd Allah akan ketetapannya menjamin hak anak-anak perempuanku. Bukan seperti nikah mutaah kamu yang menjatuhkan martabat anak-anak perempuan kamu.

    Apakah ini dari agama bila hanya sedikit dari wanita2 syiah kamu itu, kamu ambil sbg istri yg dicintai dgn dia memperoleh segala hak, sedangkan sebahagian besar lagi pula kamu suka jadikan mereka sebagai nasi tambah?

    Saya pernah terbaca, Dari Abu Bashir dia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut’ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum, atau kurma.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal. 457).

    pernah saya terbaca satu laporan di Malaysia ada wanita syiah yg mengakui, pernah maharnya mut’ahnya cuma sepasang Sepatu Karet untuk satu malam.
    Ah, saya ini cuma sunni-salafi-nasibi yang nga ngerti apa-apa akan hal ini. Kalian tentu lebih arif bukan?

    [Terakhir tolong biasakanlah gunakan bahasa yang baik, pertanyaan anda soal nikah mut’ah yang mengandung kata-kata “untuk dikotorinya dalam tempoh yg tidak lama, lalu membuang dia” menunjukkan anda tidak punya pemahaman yang baik.]

    HAHAHA!, saya tertawa besar dengan kata2 akhir kamu ini. Kata-kata :” untuk dikotorinya dalam tempoh yg tidak lama, lalu membuang dia” itu sebenarnya saya petik dari jawaban seorang ulama syiah.

    Pada hari itu beliau begitu ghairah mengajarkan hikmah besarnya nikah mutaah kepada pelajarnya, tiba-tiba beliau ditanyakan soalan : “ (jika begitu besar ganjarannya) Apakah anda dan imam-imam syiah setuju untuk memberikan anak-anak perempuan mereka untuk dinikahi mutaah?”

    Perkataanya lebih teruk dari soalan saya, karena beliau menjawab :”dia akan menikah dalam satu jam, mengotori sesuciannya…”
    Rekamannnya ada di youtube. [Ulama syiah dipermalukan…]

    Akhir kata, apa yg dipaparkan, yg ditulis oleh kamu adlah teori, cerita atas kertas. soalan saya bersifat praktis.
    Maka soalan ku yang sudah 9 bulan tidak dijawab:
    Jika benar begitu, nah, apakah kamu suka anak perempuan kamu dinikahi orang dengan nikah mut’ah?

  11. @Ares

    Terima kasih karena mengejek saya. Sebenarnya 9 bulan dahulu saya ada bertanyakan soalan yang sama tapi kalian diam-diam aja. 🙂

    Mengejek anda?. wah wah luar biasa, bagian mana dari perkataan saya yang anda katakan mengejek anda. Rasanya wajar-wajar saja kalau perkataan “9 bulan” yang anda bawakan itu membuat bingung orang yang membacanya. Harusnya anda lebih memperhatikan komentar yang anda tulis, apakah komentar yang anda tulis itu mengandung ejekan atau tidak. Anda supersensitif dengan kalimat orang lain tetapi anda malah bermudah-mudah dalam melepaskan lisan anda kepada orang lain.

    [sekarang saya tidak punya anak perempuan.]
    Ooohhh.., begitu rupanya, saudara tidak punya naluri rasa sayang kepada anak-anak perempuan rupanya.

    Ini bukti yang nyata kalau anda mudah sekali mengejek orang lain. Menuduh orang tidak punya naluri rasa sayang itu sudah jelas adalah ejekan atau hinaan. Sedangkan perkataan saya soal “9 bulan” anda dimana saya menyatakan kebingungan saya dan mengira apa mungkin anda sedang hamil 9 bulan [bahkan saya mendoakan anda kalau memang anda hamil 9 bulan], malah dengan mudah anda katakan saya mengejek anda. Padahal bagian mana dari perkataan tersebut yang berupa ejekan. Coba anda lihat diri anda sekali lagi, adakah yang salah dengan cara anda menilai perkataan orang lain. Saya khawatir hal yang sederhana seperti “mengejek” saja anda tidak paham apalagi hal lain yang lebih rumit pembahasannya.

    Sebab itulah soalan ini tidak terkesan dalam hati saudara. Bagaimana pula dengan pengikut2 mu yang punya anak perempuan? Tanyalah dan mintalah mereka dengan mulut kamu. karena Soalan ini bukanlah untuk kamu seorang.
    Apakah bapak Musang bisa mengerti perasaan ibubapa ayam?

    Maaf saya tidak punya pengikut seperti yang anda maksudkan. Kalau anda berasa-rasa saya punya banyak pengikut maka silakan anda saja yang tanya pada orang-orang yang anda anggap sebagai pengikut saya. Adapun pertanyaan anda soal bapak musang dan ibubapa ayam itu saya tidak paham maksudnya.

    Soal nikah mut’ah itu harus dipandang sebagai salah satu hukum syari’at dalam Islam?
    Maaf, halalnya ia tidak termasuk dalam kepercayaan kami. Rasulullah saw telah mengharamkannya, itu telah diyakini oleh kami.

    Silakan sekali, bukankah sudah saya katakan bagi mereka yang mengharamkan nikah mut’ah ya jangan dilakukan atau diizinkan untuk melakukannya. Masalahnya saya hanya secara objektif menunjukkan bahwa dalam mazhab Syi’ah pendapat yang shahih adalah hukum nikah mut’ah itu boleh. Jadi wajar dong kalau orang Syi’ah melakukannya atas dasar hukum syari’at yang mereka yakini.

    Kamu suka memilih yang samar, jika kamu merasakan ia lebih adil dan lebih baik, maka terpulanglah kepada kamu. Yang samar itu terlalu banyak hujah dan omongnya. Full stop.

    Kalau anda bicara tentang saya, maka saya katakan bahwa sebagian hadis shahih mengharamkannya dan sebagian hadis shahih membolehkannya. Sebagian sahabat mengharamkannya dan sebagian sahabat membolehkannya. Dalil shahih menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas [radiallahu ‘anhu], Jabir [radiallahu ‘anhu] dan Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] membolehkannya. Terdapat banyak pembicaraan seputar dalil masalah ini. Jadi pembahasannya tidak sesederhana yang anda bayangkan. Bukan hak saya untuk menilai suatu hukum syari’at sebagai adil atau tidak. Saya maaf tidak sembrono seperti anda yang menuduh nikah mut’ah sebagai ketidakadilan. Secara tidak langsung anda menuduh sebagian sahabat Nabi dan salafus shalih telah melakukan ketidakadilan.

    Saya heran dengan perkataan anda bahwa saya memilih yang samar. Saya tidak pernah menyatakan bahwa nikah mut’ah itu halal secara mutlak, yang saya pahami dari hadis-hadis yang saya baca adalah nikah mut’ah diizinkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika para sahabatnya berperang. Dan perselisihan yang muncul saat ini adalah sebagian sahabat mengatakan hal itu telah diharamkan dan sebagian sahabat lain mengatakan hal itu tidak pernah diharamkan. Perselisihan dalam masalah ini harus dipandang secara ilmiah yaitu tergantung dengan dalil-dalil mana yang lebih rajih.

    Adapun mazhab Syi’ah maka itu cerita lain, mereka punya hadis-hadis shahih pegangan mereka dan sampai saat ini hadis-hadis Syi’ah tidak pernah menjadi pegangan saya. Apa yang saya tulis tentang mazhab Syi’ah adalah pandangan objektif saya terhadap mazhab Syi’ah yang sebenarnya.

    “Apakah kamu suka untuk menyerahkan anak perempuan kamu kepada orang luar yang datang meminta untuk dipoligami [sebagai istri keempat]?”
    Saya izinkan jika lelaki itu beriman, ikhlas, jujur dan bertanggung jawab. Kalau anak perempuan saya cintakan dia, maka pilih aja. Pokoknya mudah aja: Asal bukan dgn orang2 yg bermazhab syiah.

    Kalau anda bisa dengan mudah menjawabnya maka saya rasa orang Syi’ah juga akan bisa dengan mudah menjawab pertanyaan anda soal nikah mut’ah yang anda tanyakan kepada saya sebelumnya. btw dan saya rasa mungkin orang Syi’ah juga tidak mau menjadi menantu anda jadi tidak ada yang perlu anda khawatirkan.

    Walaupun dia dipoligamikan, dia terjamin dengan nikah daim. Ada segala hak-hak dan perwarisan. Cucu ku juga terjamin “BIN” nya. Syukur kpd Allah akan ketetapannya menjamin hak anak-anak perempuanku. Bukan seperti nikah mutaah kamu yang menjatuhkan martabat anak-anak perempuan kamu.

    Dalam mazhab Syi’ah juga ada nikah daim, jadi toh itu kembali pada masing-masing individu mazhab Syi’ah. Kalau mereka ingin menjamin anak perempuannya seperti yang anda inginkan maka mungkin mereka akan memilih nikah daim. Adapun mengapa mereka tetap memandang nikah mut’ah boleh ya itu karena hadis shahih pegangan mereka [dan Al Qur’anul Karim, sebagaimana dalam tulisan di atas] telah membolehkannya. Jadi mereka tidak akan mengharamkan apa yang dibolehkan dalam Syari’at menurut dalil shahih dalam mazhab mereka.

    Anda berpikir nikah mut’ah menjatuhkan martabat anak-anak perempuan. Lha itu kan pikiran anda sendiri. Sama seperti sebagian orang liberal bin sekuler yang memandang poligami merendahkan martabat wanita. Nah itu pikiran mereka sendiri. Apa tolak ukurnya anda menuduh nikah mut’ah menjatuhkan martabat perempuan?.

    Apakah ini dari agama bila hanya sedikit dari wanita2 syiah kamu itu, kamu ambil sbg istri yg dicintai dgn dia memperoleh segala hak, sedangkan sebahagian besar lagi pula kamu suka jadikan mereka sebagai nasi tambah?

    Apa maksudnya perkataan anda itu?. Anda sedang membicarakan nikah mut’ah dalam mazhab Syi’ah atau anda sedang membicarakan nikah mut’ah dalam khayalan anda?. Dan maaf tidak perlu menggunakan kata-kata “kamu” dalam perkara yang anda tujukan pada orang Syi’ah. Karena saya bukan orang Syi’ah jadi komentar anda terhadap saya di atas hanya menunjukkan kejahilan saja.

    Saya pernah terbaca, Dari Abu Bashir dia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut’ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum, atau kurma.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal. 457).

    Ooh bagus sekali kalau anda sudah bisa membaca kitab Syi’ah. Boleh saya tanya apakah anda membaca dari kitab aslinya atau dari kutipan penulis lain?. Bolehkah saya tanya riwayat yang anda nukil di atas dalam mazhab Syi’ah statusnya apakah shahih atau tidak?. Ini hal yang sederhana sekali jika anda ingin membicarakan mazhab orang lain. Bukankah jika ada orang lain membicarakan mazhab anda maka anda akan menanyakan validitas dan keshahihannya. Jadi silakan jawab pertanyaan sederhana saya tersebut.

    pernah saya terbaca satu laporan di Malaysia ada wanita syiah yg mengakui, pernah maharnya mut’ahnya cuma sepasang Sepatu Karet untuk satu malam.
    Ah, saya ini cuma sunni-salafi-nasibi yang nga ngerti apa-apa akan hal ini. Kalian tentu lebih arif bukan?

    Maaf gosip murahan tidak laku disini jadi tidak perlu dibawa-bawa. Kalau anda menjadikan gosip sebagai hujjah maka saya tidak heran dengan kualitas diri anda. btw baru kali ini saya lihat ada orang yang mengaku sunni salafi nasibi, dan sepertinya anda begitu bangga menjadi nasibi.

    HAHAHA!, saya tertawa besar dengan kata2 akhir kamu ini. Kata-kata :” untuk dikotorinya dalam tempoh yg tidak lama, lalu membuang dia” itu sebenarnya saya petik dari jawaban seorang ulama syiah.
    Pada hari itu beliau begitu ghairah mengajarkan hikmah besarnya nikah mutaah kepada pelajarnya, tiba-tiba beliau ditanyakan soalan : “ (jika begitu besar ganjarannya) Apakah anda dan imam-imam syiah setuju untuk memberikan anak-anak perempuan mereka untuk dinikahi mutaah?”
    Perkataanya lebih teruk dari soalan saya, karena beliau menjawab :”dia akan menikah dalam satu jam, mengotori sesuciannya…”
    Rekamannnya ada di youtube. [Ulama syiah dipermalukan…]

    boleh saya tahu siapa nama ulama Syi’ah yang anda maksud?, dan maaf anda menonton video dalam bahasa aslinya atau dengan editan translate dari fulan bin fulan yang tidak anda kenal?. Maaf saya agak ragu dengan kualitas hujjah yang anda punya, karena gosip murahan pun bisa anda jadikan hujjah

    Akhir kata, apa yg dipaparkan, yg ditulis oleh kamu adlah teori, cerita atas kertas. soalan saya bersifat praktis.

    Yah soal teori dan praktis itu kembali pada orangnya masing-masing. Seperti yang saya katakan nikah mut’ah itu tidak wajib dalam mazhab Syi’ah jadi orang Syi’ah bisa memilih mau nikah daim atau nikah mut’ah sesuai dengan keperluan mereka karena syari’at shahih dalam mazhab mereka telah mengizinkan mereka untuk melakukannya.

    Maka soalan ku yang sudah 9 bulan tidak dijawab:
    Jika benar begitu, nah, apakah kamu suka anak perempuan kamu dinikahi orang dengan nikah mut’ah?

    Jawabannya sederhana kalau memang saya punya anak perempuan maka saya tidak suka anak saya nikah mut’ah dan saya juga tidak suka anak saya dipoligami. Saya lebih suka ia nikah daim dengan laki-laki beriman yang akan menjadikan ia sebagai satu-satunya istri baginya. Sangat wajar jika orang tua menginginkan perkara yang terbaik bagi anaknya. Oh iya harusnya saya tanyakan ini kepada anda sebelumnya

    Apakah kamu suka anak perempuan kamu ditalaq oleh suaminya yang telah menikah daim dengannya?. Tidak perlu saya ingatkan ya kalau hukum talaq dalam islam itu boleh. Silakan tuh dijawab, jangan cuma anda saja yang sok nanya-nanya saya.

    Note : maaf kalau komentar anda diblokir oleh wordpress, saya tidak tahu apa masalahnya, mungkin karena email anda yang mirip dengan email spam kali ya. Coba pakai email yang wajar-wajar sajalah

  12. Ada orang wahabi yang bangga menyebut dirinya nashibi? Luar biasa, saya ucapkan selamat atas kejujuran anda; anda telah membantu diri anda sendiri dengan menyatakannya secara terbuka. It feels good right…coming out of the closet…sekali lagi saya ucapkan selamat kepada anda. Saya hanya bisa membayangkan betapa tersiksanya diri anda sebelumnya harus menyimpan kenashibian anda rapat-rapat. Saat ini ada dapat terbang bebas seperti burung…….up….up…and awaaay

  13. 9 bulan dahulu:

    [ares, on Februari 10, 2014 at 1:52 pm said:]

    kali kedua, bolehkah saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah untuk satu malam?

    [adam, on Februari 14, 2014 at 4:57 pm said:]

    oh ares ..otak apa kamu ni…asyik mau seks aja..kamu x ble mutaah krn x faham apa itu syiah..klu mau jga, mutaah aja dgn mak kamu..guna pakai kaedah kamu sendiri.

    [ares, on Februari 20, 2014 at 2:39 pm said:]

    @adam.
    Saya bertanya ini bukan untuk main-main. Ternyata benar syiah selalu mempromosikan nikah mut’ah. apa yg dipaparkan di atas itu adlah teori. soalan saya bersifat praktis. nah, kalau besar sangat dosa Umar, sesat sangat ahlul Sunnah, silalah.Tapi nampaknya mereka diam aja…

    {ASYIK MAU SEKS AJA..kamu x ble mutaah krn x FAHAM apa itu syiah}

    Terima kasih karena mencela saya. Tentu orang macam kamu lebih F-A-H-A-M apa tujuan mut’ah. rupa-rupanya begitu lintasan pertama dalam pikiranmu ya.

    Nah, apakah kamu suka anak perempuan kamu dinikahi orang dengan nikah mut’ah?

    [ares, on Februari 21, 2014 at 9:28 am said:]

    wah, komentarku sedang menunggu moderasi.
    kapan, sampai bila??

    —– 🙂 ———-

    [Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah berlaku tidak adil pada orang tua wanita tersebut?. Silakan dipikirkan dengan baik wahai orang yang berkata “sudah 9 bulan”]

    Saya tidak berpikiran seperti yang kamu pikirin.

    Tidaklah sama semasa sebelum dan selepas Allah dan Rasulnya mengharamkankan sesuatu. Semasa ia masih dibolehkan, Allah melindungi urusan dari kemudaratan tetapi apabila ia sudah diharamkan, Allah menetapkan segala keburukan dan dosa akan muncul darinya.

    Samalah seperti arak semasa diperbolehkan dan selepas ia diharamkan. yg sebelum itu telah diampunkan.

    Semasa Rasulullah saw memperbolehkannya nikah mutaah dahulu, ia satu kemudahan. Dan kemudian apabila Rasulullah saw mengharamkan nikah mutaah itu, maka baginda telah pun melakukan keadilan. Mudharatlah kepada sesiapa yg tidak mahu mengikutnnya. Hal2 yg berlaku di Iran dan Irak bukan lagi rahsia dong.

    ———————–

    [Jawabannya sederhana kalau memang saya punya anak perempuan maka saya TIDAK SUKA anak saya nikah mut’ah dan saya juga tidak suka anak saya dipoligami. Saya lebih suka ia nikah daim dengan laki-laki beriman yang akan menjadikan ia sebagai satu-satunya istri baginya. Sangat wajar jika orang tua menginginkan perkara yang terbaik bagi anaknya. Oh iya harusnya saya tanyakan ini kepada anda sebelumnya]

    TIDAK SUKA – syabas, jawaban yang baik. Tapi apa kena mengena pula dengan poligami? saya tidak tanya pun kpada kamu tentang poligami.

    BENAR, SANGAT SETUJU. Sangat wajar jika orang tua menginginkan perkara yang terbaik bagi anaknya.

    Terus? mengapa diperjuangkan nikah mutaah?? apakah ini caranya kamu menjaga anak-anak perempuan?

    [ Saya lebih suka ia nikah daim dengan laki-laki beriman yang akan menjadikan ia sebagai satu-satunya( LOL) istri baginya. ] -iya, iya, jikalau ia tidak mencari nikah mutaah.

    ———————————-

    [Apakah kamu suka anak perempuan kamu ditalaq oleh suaminya yang telah menikah daim dengannya?. Tidak perlu saya ingatkan ya kalau hukum talaq dalam islam itu boleh. Silakan tuh dijawab, jangan cuma anda saja yang sok nanya-nanya saya.]

    Istri yg ditalaq nikah daim punya hak atas nafkah dan pemberian dari suaminya selama tempoh talaq. Itulah peraturan yg Allah jelas tetapkan.

    Penceraian itu tidak disukai tapi jika tidak dapat dielak, atau lebih baik cerai, maka terpaksalah. Bukan semua perkahwinan kekal. Allah swt paham akan hal ini, maka DIA sediakan peraturanNya.
    Bukan seperti nikah mutaah yg pastinya semua tahu ianya sementara.

    Dari segi faedah kepada anak perempuan mu, yang mana lebih baik? Talaq nikah daim atau talaq nikah mutaah?

    —————————————-
    [ nikah mut’ah itu tidak wajib dalam mazhab Syi’ah jadi orang Syi’ah bisa memilih mau nikah daim atau nikah mut’ah sesuai dengan keperluan mereka karena syari’at shahih dalam mazhab mereka telah mengizinkan mereka untuk melakukannya.]

    poligami juga tidak wajib Pak. Berapa ramai orang berpoligami dan berapa ramai orang yang nikah mutaah?

    Sudahkah kamu bermutaah?

    ——————————-

    […boleh saya tahu siapa nama ulama Syi’ah yang anda maksud?, dan maaf anda menonton video dalam bahasa aslinya atau dengan editan translate dari fulan bin fulan yang tidak anda kenal?. Maaf saya agak ragu dengan kualitas hujjah yang anda punya, karena gosip murahan pun bisa anda jadikan hujjah…]

    http://www.youtube.com/results?search_query=ulama+dipermalukan

    Tontonlah sendiri, mungkin ilmuan seperti kamu bisa paham bahasa aslinya. bukankah kamu ini pencari kebenaran?

    tapi rasanya tidak perlulah karena jawaban kamu sudah serupa dengan dia.

    ——————————-

    @zulham – kalianlah yg suka gelarkan kami nasibi. Saya hanya menyindir kesombongan kalian.

    Terus, bapak zulham, apakah kamu suka anak perempuan kamu dinikahi orang dengan nikah mutaah?

  14. -saya hanya secara objektif menunjukkan bahwa dalam mazhab Syi’ah pendapat yang -shahih adalah hukum nikah mut’ah itu boleh.
    -Saya tidak pernah menyatakan bahwa nikah mut’ah itu halal secara mutlak.
    -Apa yang saya tulis tentang mazhab Syi’ah adalah pandangan objektif saya terhadap mazhab Syi’ah yang sebenarnya.

    Jadi siapa kamu ini sebernarnya? Kamu harus bertanggung-jawab dgn apa yg kamu tulis dong. maka kebenarannya dalam kesamaran mutaah itu, saya tahu yang kamu sudah beri jawaban: tidak suka.
    maka, tanpa banyak cerita. mutaah itu halal atau haram?

  15. @Ares

    9 bulan dahulu:
    [ares, on Februari 10, 2014 at 1:52 pm said:]
    kali kedua, bolehkah saya menikahi anak perempuan kamu dengan nikah mut’ah untuk satu malam?
    [adam, on Februari 14, 2014 at 4:57 pm said:]
    oh ares ..otak apa kamu ni…asyik mau seks aja..kamu x ble mutaah krn x faham apa itu syiah..klu mau jga, mutaah aja dgn mak kamu..guna pakai kaedah kamu sendiri.
    [ares, on Februari 20, 2014 at 2:39 pm said:]
    @adam.
    Saya bertanya ini bukan untuk main-main. Ternyata benar syiah selalu mempromosikan nikah mut’ah. apa yg dipaparkan di atas itu adlah teori. soalan saya bersifat praktis. nah, kalau besar sangat dosa Umar, sesat sangat ahlul Sunnah, silalah.Tapi nampaknya mereka diam aja…
    {ASYIK MAU SEKS AJA..kamu x ble mutaah krn x FAHAM apa itu syiah}
    Terima kasih karena mencela saya. Tentu orang macam kamu lebih F-A-H-A-M apa tujuan mut’ah. rupa-rupanya begitu lintasan pertama dalam pikiranmu ya.
    Nah, apakah kamu suka anak perempuan kamu dinikahi orang dengan nikah mut’ah?
    [ares, on Februari 21, 2014 at 9:28 am said:]
    wah, komentarku sedang menunggu moderasi.
    kapan, sampai bila??

    Tidak perlu repot-repot bung, ketika anda menjelaskan dalam komentar anda sebelumnya bahwa maksud 9 bulan adalah anda sudah pernah menanyakan hal yang sama 9 bulan yang lalu, maka saya sudah menerima penjelasan anda.

    Yang saya permasalahkan adalah kok anda malah menuduh saya mengejek anda. Adakah dalam komentar saya sebelumnya saya telah mengejek anda?. Sangat jelas anda tidak paham arti kata “mengejek” dan lucunya anda terlalu sensi dengan komentar orang lain tetapi malah mudah sekali mengejek orang lain. Buktinya anda malah menuduh saya tidak punya naluri rasa sayang.

    [Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah berlaku tidak adil pada orang tua wanita tersebut?. Silakan dipikirkan dengan baik wahai orang yang berkata “sudah 9 bulan”]
    Saya tidak berpikiran seperti yang kamu pikirin.
    Tidaklah sama semasa sebelum dan selepas Allah dan Rasulnya mengharamkankan sesuatu. Semasa ia masih dibolehkan, Allah melindungi urusan dari kemudaratan tetapi apabila ia sudah diharamkan, Allah menetapkan segala keburukan dan dosa akan muncul darinya.
    Samalah seperti arak semasa diperbolehkan dan selepas ia diharamkan. yg sebelum itu telah diampunkan.
    Semasa Rasulullah saw memperbolehkannya nikah mutaah dahulu, ia satu kemudahan. Dan kemudian apabila Rasulullah saw mengharamkan nikah mutaah itu, maka baginda telah pun melakukan keadilan. Mudharatlah kepada sesiapa yg tidak mahu mengikutnnya. Hal2 yg berlaku di Iran dan Irak bukan lagi rahsia dong.

    Ya itu kan tergantung keyakinan anda yang menganggap nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebagian sahabat Nabi [sudah saya sebutkan sebelumnya] dan sebagian salafus shalih tidak menganggap nikah mut’ah diharamkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Mereka punya dalil yang shahih dari Al Qur’anul Karim seperti diriwayatkan dengan sanad shahih oleh Ibnu ‘Abbas dan terdapat juga hadis shahih dari Salamah bin Akwa [radiallahu ‘anhu] yang mengatakan kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah mengharamkan nikah mut’ah.

    Hadis-hadis yang mengharamkan nikah mut’ah bisa diperbincangkan dan saling berselisih satu sama lain. Pembahasan hal ini adalah pembahasan ilmiah dan maaf saya ragu anda bisa ikut dalam pembahasan ilmiah seperti ini. Anda cukup memperhatikan fakta bahwa sebagian sahabat tetap melakukan nikah mut’ah setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini dinyatakan dalam riwayat shahih dari Jabir [radiallahu ‘anhu]. Silakan kalau anda mau menuduh atau menjelekkan para sahabat yang dimaksud.

    [Jawabannya sederhana kalau memang saya punya anak perempuan maka saya TIDAK SUKA anak saya nikah mut’ah dan saya juga tidak suka anak saya dipoligami. Saya lebih suka ia nikah daim dengan laki-laki beriman yang akan menjadikan ia sebagai satu-satunya istri baginya. Sangat wajar jika orang tua menginginkan perkara yang terbaik bagi anaknya. Oh iya harusnya saya tanyakan ini kepada anda sebelumnya]
    TIDAK SUKA – syabas, jawaban yang baik. Tapi apa kena mengena pula dengan poligami? saya tidak tanya pun kpada kamu tentang poligami.

    Lho saya cuma tunjukkan bagaimana pandangan saya disini baik soal nikah mut’ah dan soal poligami. Saya rasa andalah yang sedang kebingungan disini. Tidak suka terhadap sesuatu bukan berarti dengan seenaknya menyatakan haram. Banyak contohnya dalam hadis shahih seperti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang tidak suka memakan bawang tetapi Beliau tidak mengharamkannya.

    BENAR, SANGAT SETUJU. Sangat wajar jika orang tua menginginkan perkara yang terbaik bagi anaknya.
    Terus? mengapa diperjuangkan nikah mutaah?? apakah ini caranya kamu menjaga anak-anak perempuan?

    Siapa yang sedang memperjuangkan nikah mut’ah. Maaf apa anda sudah gila?. Apa ada saya mengajak siapapun yang membaca blog saya untuk melakukan nikah mut’ah. Bukankah anda menganggap thalaq dalam islam itu dibolehkan dan bukankah anda tidak menyukai kalau anak perempuan anda dithalaq suaminya. Terus mengapa tidak anda haramkan saja thalaq?. Bukankah dengan mengharamkannya anda dapat menjaga anak perempuan anda seperti yang anda inginkan?.

    Orang Syi’ah membolehkan nikah mut’ah bukan atas dasar kehendak mereka tetapi atas dasar syari’at yang shahih dalam mazhab mereka. Coba pahami itu, jangan sibuk dengan pikiran anda sendiri.

    [ Saya lebih suka ia nikah daim dengan laki-laki beriman yang akan menjadikan ia sebagai satu-satunya( LOL) istri baginya. ] -iya, iya, jikalau ia tidak mencari nikah mutaah.

    Lha itu pun sama dengan anak perempuan anda [kalau memang anda punya]. Anda boleh saja tidak mengizinkannya nikah mut’ah dan menginginkan anak anda melakukan nikah daim. Nah itu bisa saja terjadi jikalau ia sendiri tidak mencari nikah mut’ah. Kalau ia sendiri yang mencari nikah mut’ah dan menganggapnya halal maka apa mau dikata.

    [Apakah kamu suka anak perempuan kamu ditalaq oleh suaminya yang telah menikah daim dengannya?. Tidak perlu saya ingatkan ya kalau hukum talaq dalam islam itu boleh. Silakan tuh dijawab, jangan cuma anda saja yang sok nanya-nanya saya.]
    Istri yg ditalaq nikah daim punya hak atas nafkah dan pemberian dari suaminya selama tempoh talaq. Itulah peraturan yg Allah jelas tetapkan.
    Penceraian itu tidak disukai tapi jika tidak dapat dielak, atau lebih baik cerai, maka terpaksalah. Bukan semua perkahwinan kekal. Allah swt paham akan hal ini, maka DIA sediakan peraturanNya.
    Bukan seperti nikah mutaah yg pastinya semua tahu ianya sementara.
    Dari segi faedah kepada anak perempuan mu, yang mana lebih baik? Talaq nikah daim atau talaq nikah mutaah?

    Jawaban pertanyaan saya itu sederhana, suka atau tidak suka. Gak usah panjang-panjang sok menjelaskan bahwa itu aturan Allah SWT. Bagi orang Syi’ah, nikah mut’ah itu aturan Allah jadi perkaranya sama saja dengan anda. Langsung jawab saja anda suka atau tidak suka jika anak perempuan anda diceraikan oleh suaminya?. Anda sok mengatakan “perceraian itu tidak disukai”, secara umum memang begitu. Yang saya tanya adalah apakah anda suka jika anak perempuan anda diceraikan suaminya?. Kalau anda menjawab tidak suka maka selesai urusannya, tidak suka terhadap perceraian bukan berarti anda harus mengubah hukum perceraian menjadi haram. Sama toh dengan orang Syi’ah, mereka mungkin tidak suka anak perempuannya nikah mut’ah tetapi tidak berarti mereka akan menyatakan nikah mut’ah haram karena dalil shahih di sisi mazhab mereka membolehkannya.

    [ nikah mut’ah itu tidak wajib dalam mazhab Syi’ah jadi orang Syi’ah bisa memilih mau nikah daim atau nikah mut’ah sesuai dengan keperluan mereka karena syari’at shahih dalam mazhab mereka telah mengizinkan mereka untuk melakukannya.]
    poligami juga tidak wajib Pak. Berapa ramai orang berpoligami dan berapa ramai orang yang nikah mutaah?
    Sudahkah kamu bermutaah?

    Lho kalau begitu apa gunanya pertanyaan anda sebelumnya, bukankah anda hobi sekali bertanya kepada orang Syi’ah dan kepada orang yang anda tuduh Syi’ah “sukakah kamu jika anak perempuan kamu dinikahi mut’ah?”. Apa gunanya pertanyaan itu?. Apa yang anda inginkan dari pertanyaan itu?. Apa anda menginginkan jawaban tidak suka itu menjadi alasan untuk mengharamkan nikah mut’ah?. Kedudukannya sama dengan pertanyaan “sukakah kamu jika anak perempuan kamu diceraikan oleh suaminya?”. Jawaban “tidak suka” itu tidak akan mempengaruhi kedudukan hukumnya.

    […boleh saya tahu siapa nama ulama Syi’ah yang anda maksud?, dan maaf anda menonton video dalam bahasa aslinya atau dengan editan translate dari fulan bin fulan yang tidak anda kenal?. Maaf saya agak ragu dengan kualitas hujjah yang anda punya, karena gosip murahan pun bisa anda jadikan hujjah…]
    http://www.youtube.com/results?search_query=ulama+dipermalukan
    Tontonlah sendiri, mungkin ilmuan seperti kamu bisa paham bahasa aslinya. bukankah kamu ini pencari kebenaran?
    tapi rasanya tidak perlulah karena jawaban kamu sudah serupa dengan dia.

    Anda tidak mampu menjawabnya bukan. Pertanyaan sederhana seperti itu saja tidak mampu anda jawab. Siapa nama ulama Syi’ah yang dimaksud? dan sangat jelas kok kalau link video yang anda tonton itu adalah editan translate fulan bin fulan. Saya pribadi sudah pernah melihat video itu tetapi maaf video seperti itu tidak berkualitas di sisi saya untuk diambil sebagai hujjah.

    @zulham – kalianlah yg suka gelarkan kami nasibi. Saya hanya menyindir kesombongan kalian.

    Kapan pak zulham pernah menggelarkan anda nasibi sebelumnya?. Bukankah anda sendiri yang mengaku nasibi pada komentar anda sebelumnya. Wajar kalau ada orang yang menyebut anda nasibi karena anda dengan jelas mengaku diri anda nasibi. Anggap saja ada orang menggelarkan anda nasibi, lha kalau anda tidak suka, tidak setuju ya harusnya anda mengingkari tetapi disini anda malah mengaku kalau anda nasibi

    Terus, bapak zulham, apakah kamu suka anak perempuan kamu dinikahi orang dengan nikah mutaah?

    Pertanyaan tidak penting yang selalu ditanyakan, sepertinya siapapun yang anda temui akan anda tanyakan pertanyaan seperti itu. Saya khawatir ada yang tidak beres dengan pikiran anda jika anda terus-terusan melontarkan pertanyaan seperti itu kepada siapapun yang anda temui.

  16. @ares

    Jadi siapa kamu ini sebernarnya? Kamu harus bertanggung-jawab dgn apa yg kamu tulis dong. maka kebenarannya dalam kesamaran mutaah itu,

    Siapa saya? apa maksud pertanyaan anda? saya seorang muslim dan bukan penganut mazhab Syi’ah. Saya bertanggungjawab dengan tulisan saya. Maaf anda saja yang tidak punya kemampuan untuk memahami tulisan saya. Dan saya maklum akan keterbatasan diri anda, kalau anda saja tidak mampu memahami makna dari kata “mengejek” maka wajar kalau anda tidak bisa memahami tulisan saya di atas. Silakan dibaca tulisan saya di atas, judulnya saja “Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah Dalam Mazhab Syi’ah”. Siapapun yang bisa membaca dengan benar dan bisa berpikir dengan benar akan paham bahwa inti tulisan di atas adalah saya ingin menunjukkan secara objektif bahwa dalam mazhab Syi’ah terdapat dalil shahih mengenai ayat Al Qur’an yang menjadi dasar halalnya nikah mut’ah. Kalau anda masih belum paham maka saran saya berhati-hatilah dan jangan berkomentar di luar kemampuan anda.

    saya tahu yang kamu sudah beri jawaban: tidak suka.
    maka, tanpa banyak cerita. mutaah itu halal atau haram?

    Mut’ah itu berdasarkan pendapat yang rajih di sisi saya adalah boleh dalam situasi tertentu misalnya dalam perperangan sebagaimana yang nampak dalam dalil shahih. Allah SWT dan Rasul-Nya telah membolehkannya dan disebutkan dalam dalil shahih [hadis Salamah bin Akwa] bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah mengharamkannya. Adapun dalil yang mengharamkan terdapat banyak pembicaraan tentangnya dan saling berselisihi satu sama lain sehingga tidak tsabit sebagai hujjah. Pendapat saya ini berbeda dengan apa yang ada dalam mazhab Syi’ah dimana mereka membolehkan nikah mut’ah secara mutlak

  17. @SP

    maaf kalau saya salah memahami komentar anda berikut ini

    “….Mut’ah itu berdasarkan pendapat yang rajih di sisi saya adalah boleh dalam situasi tertentu misalnya dalam perperangan sebagaimana yang nampak dalam dalil shahih….”

    lalu bagaimana dengan tulisan anda mengenai asma’ binti abu bakar yang melakukan mut’ah,
    apakah asma’ melakukan mut’ah pada situasi tertentu ?
    dan dalam situasi apakah sehingga asma’ melakukan mut’ah ?

  18. @Erya Wintim

    lalu bagaimana dengan tulisan anda mengenai asma’ binti abu bakar yang melakukan mut’ah,
    apakah asma’ melakukan mut’ah pada situasi tertentu ?
    dan dalam situasi apakah sehingga asma’ melakukan mut’ah ?

    Jawabannya tinggal dikembalikan kepada dalil shahih-nya. Adakah dalil shahih yang menyebutkan situasi apa yang menyebabkan Asma’ [radiallahu ‘anha] melakukannya?. Sejauh ini saya belum menemukan dalil shahih yang menyebutkannya maka tidak ada tempat bagi saya untuk hujjah berandai-andai. Cukup bagi saya terdapat hujjah shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkan mut’ah dan situasi tersebut pada saat perperangan. Maka dengan yakin saya bisa menyatakan mut’ah dibolehkan pada saat perperangan.

  19. @SP

    menurut sdr.secondprince…

    apakah ibnu abbas hanya membolehkan mut’ah pada saat tertentu saja seperti peperangan…?

    dan apakah ibnu abbas tidak membolehkan mut’ah selain saat situasi tertentu atau peperangan…?

  20. @Erya Wintim

    Terdapat dalil yang menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas membolehkan nikah mut’ah pada situasi tertentu tetapi tidak disebutkan secara detail situasi apa saja yang dimaksud. Seperti yang saya katakan sebelumnya saya tidak akan berbicara banyak melampaui dalil shahih yang ada.

  21. saudara SP mohon tanggapannya terhadap tulisan

    http://news.fimadani.com/read/2014/11/04/emilia-renita-az-nikah-mutah-solusi-menjaga-kesucian-wanita/

    apa benar mutah hukumnya wajib dan wanita yang sudah bersuami boleh mutah tanpa izin suaminya?

  22. saya membaca kajian tentang mutaah di shiapen…saya rasa ada bebrapa perkara menarik yang perlu dikongsi
    1. tabieen ahlu sunnah,,said b jubair dikatakan mempraktikannyaa…
    dan beliau dikata menyatakan perkara ini lebih mudah dari meminum air

    2. ada hadis menyebutkan mutaah diHARAMKAN SELAMA LAMANYA namun dihalallkan semula pada peristiwa pembukaan makkah

    3. dari jalur Jabir b adullah disebutkan 5 hadis dari jalurnnya tidah menyebutkan pengharaman mutaah kecuali himar desa, saya rasa pengkaji hadis harus membawakan hadis pengharaman mutaah dari jabir,

    4, Logika akal sihat menyebutkan mutaah disebut di haramkan semasa perang–logikkah perempuan di bawa berperang?

    5,pertelagahan semasa Zaman Abdullah b Zubair telah berlaku tentang masalah ini dan mereka dikatakan telah menanyakan Jabir

    When the younger brother of Abdullah ibn Zubayr, Urwa also chose to debate with Ibn Abbas on Mutah, he challenged Urwa to seek the counsel of his mother on Mut’ah marriage. Ibn Qayyim recorded in his book Zaad al Maad, Volume 2 page 190:

    Abdulrazaq said: Mu’amar narrated from Ayub that Urwa said to Ibn Abbas: ‘Don’t you fear Allah by permitting Mut’ah? He (Ibn Abbas) replied: ‘O Urwa, ask your mother’.
    Moreover, Imam Ibn Hajar Asqalani recorded the following Sahih tradition about Asma daughter of Abu Bakr, the mother of Ibn Zubayr in his book Talkhees al-Habeer, Volume 3 page159 Topic 1506

    Despite this the people remained unsatisfied. When the Hajj season commenced and Jabir bin Abdullah Ansari came to Mecca. A large number of Sahaba and Tabayeen gathered around him and asked him about Mut’ah. Rather then referring to it being banned on eleven occasions he told those masses the following:
    Sahih Muslim, Book 008, Number 3248:
    Ibn Uraij reported: ‘Ati’ reported that jibir b. Abdullah came to perform ‘Umra, and we (masses of Sahaba & Tabaeen) came to his abode, and the people asked him about different things, and then they made a mention of temporary marriage, whereupon he said: Yes, we had been benefiting ourselves by this temporary marriage during the lifetime of theHoly Prophet (may peace be upon him) and during the tinie of Abi! Bakr and ‘Umar.
    Sahih Muslim, Book 008, Number 3249:
    Jabir b. ‘Abdullah reported: We contracted temporary marriage giving a handful of (tales or flour as a dower during the lifetime of Allah’s Messenger (may peace be upon him) and during the time of Abu Bakr until ‘Umar forbade it in the case of ‘Amr b. Huraith.
    Sunah al Kubra by al Behaqi, Kitab al Haj, Hadith 8958:

    rujuk shiapen-

  23. dari zaman Akbar

    During the reign of Akbar, the third emperor of the Mughal Empire, debates were held regarding Muslim religious matters every Thursday. When the topic of mut’ah came up, the Shi’ite theologians in the royal court claimed that the historic Sunni scholar Malik ibn Anas supported the practice of mut’ah.[2][9] When a physical copy of Malik’s manual of jurisprudence known as Muwatta was brought, the exact opposite was shown to be true; despite this, the claim was again levied by Shi’ite theologians in a subsequent debate, and the practice of mut’ah was hence legalized during Akbar’s reign.[2][9]

    http://en.wikipedia.org/wiki/Nikah_mut%E2%80%98ah

  24. Kalo Mut’ah sudah jelas dibolehkan (Halal) ya.. jangan bikin sulit diri sendiri. Laki2 dan perempuan yg telah diikat dgn Mut’ah, ketika sama2 ridho ikhlas dijalanin, bisa sama2 enak kok, salah satu cirinya ialah sama2 bisa saling: maap gan? Orgasme. Buat yg anti Mut’ah, dikau jangan munafik, kalo dikau suka orgasme yang lain ya.. suka juga. Orgasme bikin bahagia, ‘tenanan’ ini. Yg penting mendapatkan orgasmenya sudah pake jalan yang halal.

  25. Boleh gak kalau saya komentar begini:

    Saya bukan orang Syiah…
    Setelah membaca post dan komen (debat terbuka tanpa Jury) akhirnya saya paham dengan apa yang penulis coba sampaikan..

    Dan Alhamdulillah membuat saya masih tetap yakin dengan pendirian saya bahwa saya bukanlah orang Syiah…

    Ada ayat Quran, berupa doa baik untuk Syiah dan suni dan seluruh umat Islam.

    Ihdinas sirotol Mustakim, sirotoladina an amta alaihim, ghoiril magh dubi alaihim waladzolin.

  26. Dan [diharamkan juga bagi kamu menikahi] wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.

    Bgm dgn ayat di atas yg sering dipakai oleh org2x anti Islam utk menyerang Islam, bahwa Islam boleh memperbudak wanita hasil tawanan perang dan menggaulinya walaupun dia bersuami??

    Trims

  27. Harap hati2 dengan penafsiran an-Nisa 24… Dalam ayat tersebut tidak di katakan mut’ah dan kalau pun ada apa di ayat tersebut membatasi/jangka waktu sebagaimana nikah mut’ah membatasi pernikahannya? Harap dipikirkan dengan akal logika!! Makanya sekali lagi harap hati2 dan berfikir logis dengan akal sehat menafsirkan al-quran

  28. Saya mau nanya pada saudara SP…dimanakah an nisa 24 turun?..

  29. Saya mau nanya pada saudara SP…dimanakah an nisa 24 turun?..

    Kemudian soal Asma binti Abu Bakar yg anda sebut melakukan mut’ah..yg saya tau beliau melakukan mut’ah hajj bukan farji. Riwayat ini adalah pengakuan Asma ra.ha ketika ditanya olh anaknya imbas perdebatanya dgn Ibnu Abbas soal Ibnu Abbas membolehkan ihram untuk hajji dan umrah di satukan sementara Abdullah melarangnya,sehingga Ibnu Abbas menyarankan Abdullah bertanya pada ibunya dan ibunya menjawab bahwa dia pada jaman Nabi melakukanya(mut’ah hajji).

  30. Kemudian soal Asma binti Abu Bakar yg anda sebut melakukan mut’ah..yg saya tau beliau melakukan mut’ah hajj bukan farji. Riwayat ini adalah pengakuan Asma ra.ha ketika ditanya olh anaknya imbas perdebatanya dgn Ibnu Abbas soal Ibnu Abbas membolehkan ihram untuk hajji dan umrah di satukan sementara Abdullah melarangnya,sehingga Ibnu Abbas menyarankan Abdullah bertanya pada ibunya dan ibunya menjawab bahwa dia pada jaman Nabi melakukanya(mut’ah hajji).

Tinggalkan komentar