Daftar Kedunguan Troll Yang Pendengki

Daftar Kedunguan Troll Yang Pendengki

Yang kami maksud dengan troll pendengki adalah orang yang suka berbicara kotor [entah apa agama yang dianutnya] dan sangat membenci blog ini. Begitu sakit hatinya sampai ia rela datang berkali-kali menyampaikan spam dan komentar sampah. Alhamdulillah, sampah-sampah itu bisa dimoderasi sehingga para pembaca tidak perlu membacanya.

Kami membuat tulisan ini sebagai bantahan ilmiah atas klaim palsu alias dusta [talbis] yang dibuat oleh Troll tersebut. Agak aneh, entah mengapa kali ini kami bersedia meluangkan waktu untuk membantah tulisannya padahal yang namanya Troll bisanya cuma makan sampah walaupun dikasih makanan baik tetap saja suka sampah. Troll tersebut berkali-kali menghina kami dan berbicara kotor yang tidak enak dibaca dan didengar, hal yang membuktikan bahwa dirinya sangat suka sampah [kata-kata kotor]. Cukup basa-basinya kami akan langsung menanggapi komentarnya. [seperti biasa komentar yang kami tanggapi akan kami blockquote]

.

.

Sebelum kami membuat tulisan ini, kami telah memberikan sedikit bantahan atas tulisannya. Dalam tulisannya ia melemahkan Rauh bin Abdul Mu’min dengan mengatasnamakan Abu Zur’ah dan Al Uqaili. Kami katakan ini adalah dusta. Abu Zur’ah tidak pernah melemahkan Rauh bin Abdul Mu’min, nama Rauh memang disebutkan dalam kitab Adh Dhu’afa Abu Zur’ah tetapi itu bukan bagian dari daftar perawi dhaif menurut Abu Zur’ah melainkan daftar nama guru Abu Zur’ah. Hal ini adalah kesalahan yang bodoh sekali, jika memang ia membaca kitab tersebut dan paham bahasa arab maka sangat tidak mungkin kesalahan ini terjadi. Lucunya dengan kesalahan itu ia bersemangat mencaci dan membantah. Berlagak seperti ulama bertingkah seperti orang jahil.

Ia juga mengutip bahwa Al Uqaili melemahkan Rauh bin Abdul Mu’min. Ini juga adalah dusta. Kami tidak menemukan dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqaili bahwa ia melemahkan Rauh bin Abdul Mu’min.

.

.

Rauh bin Abdul Mu’min adalah perawi tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ia adalah salah satu guru Abu Hatim, dimana Abu Hatim berkata tentangnya “shaduq”. Abu Hatim termasuk ulama yang mutasyaddud sehingga perawi yang ia nyatakan shaduq sebenarnya kedudukannya tsiqat. Hal ini dinyatakan Al Muallimiy dalam At Tankil 1/350. Pernyataan ini memang memiliki dasar dari pernyataan Abu Hatim

أحمد بن إسماعيل بن أبي ضرار الرازي روى عن : أبي تميلة , وعبد الرزاق  وقدامه بن محمد المديني , والحكم بن بشير بن سلمان , ويحيى بن الضريس  روى عنه أبي , وقال : هو ثقة مأمون , سئل أبي عنه , فقال : صدوق

Ahmad bin Ismaiil bin Abi Dhiraar Ar Raaziy meriwayatkan dari Abi Tamiilah, ‘Abdurrazaq, Qudaamah bin Muhammad Al Madiniy, Al Hakam bin Basyiir bin Salman dan Yahya bin Dhurais. Telah meriwayatkan darinya ayahku dan berkata “ia tsiqat ma’mun”. Aku bertanya kepada ayahku tentangnya, Beliau berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 2/41 no 10]

Contoh di atas menunjukkan bahwa perawi yang dikatakan shaduq oleh Abu Hatim sebenarnya orang itu tsiqat ma’mun. Ada contoh lain yaitu ketika menyebutkan biografi Abdul Warits bin Sa’id Abu Ubaidah At Tamimiy

نا عبد الرحمن قال سألت ابى عن عبد الوارث فقال ثقة هو اثبت من حماد بن سلمة، نا عبد الرحمن قال سئل أبو زرعة عن عبد الوارث فقال ثقة، ثنا عبد الرحمن قال سمعت ابى يقول عبد الوارث صدوق

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku bertanya pada ayahku tentang ‘Abdul Waarits, ia berkata “tsiqat dan ia lebih tsabit dari Hammaad bin Salamah”. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata ditanya Abu Zur’ah tentang ‘Abdul Waarits, ia berkata “tsiqat”. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku mendengar ayahku mengatakan ‘Abdul Waarits shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 6/76 no 386]

Tentu tak dipungkiri bahwa terdapat juga perawi shaduq yang dikatakan Abu Hatim tidak bisa dijadikan hujjah atau shaduq banyak salahnya atau shaduq memiliki hadis mungkar. Hanya saja adanya perawi dengan kedudukan seperti itu bukan berarti semua perawi yang dinyatakan shaduq oleh Abu Hatim harus ikut dilemahkan. Seolah-olah lafaz shaduq itu menjadi tidak ada artinya. Pada prinsipnya lafaz “shaduq” disisi Abu Hatim adalah tautsiq mutlak kecuali jika Abu Hatim menyebutkan jarh bersama lafaz tersebut misalnya “shaduq tetapi tidak bisa dijadikan hujjah” atau “shaduq tetapi banyak salahnya” atau “shaduq dan memiliki hadis-hadis mungkar”.

Jadi contoh perawi yang bernama Yaman bin Adiy Al Himshiy dimana Abu Hatim menyatakan ia syaikh shaduq tetapi hadisnya mungkar tidaklah mengurangi sedikitpun kedudukan shaduq Rauh bin Abdul Mu’min. Abu Hatim tidak mensifatinya dengan jarh dan tidak pernah menyatakan kalau hadis Rauh mungkar. Apalagi Rauh bin Abdul Mu’min termasuk gurunya Abu Hatim dimana Abu Hatim telah meriwayatkan darinya maka lafaz “shaduq” disini menunjukkan bahwa Rauh bin ‘Abdul Mu’min tsiqat.

Hal ini seperti yang dinyatakan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf bahwa Rauh bin ‘Abdul Mu’min tsiqat [Al Kasyf no 1594]. Adz Dzahabi juga berkata “mutqin” [Ma’rifat Al Qurra’ 1/214 no 109]. Ibnu Jazari berkata tentang Rauh bin Abdul Mu’min “tsiqat dhabit masyhur” [Ghayatul Nihayah Thabaqat Al Qurra’ 1/125]

.

.

Ada kejahilan yang luar biasa konyol datang dari pendengki tersebut berkaitan dengan “Abu Hatim”. Ia menganggap bahwa kitab Al Ilal dan kitab Al Jarh Wat Ta’dil ditulis oleh Abu Hatim. Hal ini jelas konyol bagi orang yang biasa belajar ilmu hadis dan membaca kitab rijal. Lihat buktinya, pendengki itu berkata

Terlebih yang Abu Hatim dengar dari ayahnya dalam Jarh wa Ta’dilnya hanya menyatakan Ruh bin Abdul mu’min ini statusnya : Shaduq

Bolehlah kita bertanya pada pendengki itu, siapakah ayahnya Abu Hatim yang ia maksud? Dan bagaimana kredibilitas ayahnya Abu Hatim yang menurut pendengki itu, menyatakan Rauh shaduq.

وسألتُ أَبِي عن حديثٍ رواه اليَمَان ابن عَدِيٍّ الحِمْصي الحَضْرَمي ، عَنْ مُحَمَّدِ ابن زِيَادٍ، عَنْ أَبِي أُمَامة؛ قَالَ: قال رسولُ الله (ص) : إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ جُرْمًا يَوْمَ القِيَامَةِ: رَجُلٌ حَزَّز ظَهْرَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ فسمعتُ أَبِي يقولُ: هَذَا حديثٌ مُنكَرٌ ، واليَمَانُ شيخٌ صدوق.
Abu bertanya pada ayahku tentang hadis riwayat Al-Yaman bin Adi Al-Himsi Al-Hadrami dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Umamah: Rasulullah bersabda: sesungguhnya manusia yang paling bejat pada hari kiamat adalah seseorang yang suka menikam seorang muslim dari belakang tanpa alasan yang jelas. Aku dengar ayahku berkata: Hadis ini Mungkar namun Al-Yaman adalah syaikh yang shaduq! (Ilalul Hadits Ibnu Abi Hatim, juz IV/ 219. no 1379)

Coba Anda semua perhatikan Ruh bin Abdul Mukmin oleh ayah Abu Hatim dikatakan Shaduq begitupun Al-Yaman di atas, namun apakah riwayatnya Ruh dengan serta merta bisa diterima?

Pendengki itu menganggap Abu Hatim yang bertanya pada ayahnya padahal yang sebenarnya adalah Ibnu Abi Hatim sedang bertanya pada ayahnya yaitu Abu Hatim. Abu Hatim adalah Muhammad bin Idris Abu Muhammad Ar Raziy At Tamimiy sedangkan Ibnu Abi Hatim adalah Abdurrahman bin Abu Hatim, ia lah yang dinyatakan sebagai penulis kitab Al Jarh Wat Ta’dil dan kitab Al Ilal. Lucunya ada pengikut pendengki [atau mungkin sebenarnya itu dirinya sendiri] berkomentar bahwa kami melakukan kesalahan pengutipan

2. Kesalahan pengutipan jilid 1
SP: Abu Hatim berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 2259].
SPz merevisi: yang mengatakannya sebenarnya bukan Abu Hatim tapi ayah Abu Hatim . Abu Hatim hanya menukil. Silahkan cek ulang kalau ngga percaya! kesalahan seperti ini oleh Spz dianggap biasa dan tidak dibesar-besarkan Spz. Wah Spz emang baik hati ama orang kampung

Begitulah kalau orang-orang jahil pada berkumpul, bicaranya kegedean tanpa dasar ilmu. Betapa malasnya orang-orang jahil ini, kalau memang mereka punya kitab-kitab tersebut kan tinggal dibaca siapa penulisnya yang tercantum dalam sampul atau muqaddimah kitab tersebut. Entah keburu nafsu atau kebanyakan bicara kotor jadi dibutakan mata dan akal pikirannya.

.

.

Kedunguan berikutnya adalah ucapan pendengki itu bahwa riwayat Rauh bin ‘Abdul Mu’min itu mungkar karena tidak ada satupun diantara murid-murid Sulaiman yang meriwayatkan kisah ini. Kaidah dari mana ini?. Ini contoh orang yang tidak pernah belajar ilmu hadis. Rauh ini adalah seorang yang tsiqat jadi walaupun ia sendiri yang meriwayatkan maka tetap saja riwayatnya diterima.

Perkara seperti ini ma’ruf dalam ilmu hadis. Contohnya cukup sering hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja. Padahal ada berapa banyak para sahabat yang merupakan murid Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Contoh fenomenal adalah hadis Umar bin Khaththab berikut

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ ، قَالَ : سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ ، يَقُولُ : أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ ، يَقُولُ : سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahhaab yang berkata aku mendengar Yahya bin Sa’id mengatakan telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwasanya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqaash Al Laitsiy yang mengatakan aku mendengar Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] mengatakan aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan sesungguhnya setiap amal tergantung dengan niat, setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraihnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya [Shahih Bukhari no 6225]

Ada berapa banyak sahabat? Ratusan, ribuan atau lebih tetapi cuma Umar bin Khaththab yang meriwayatkan hadis ini. Ada berapa banyak murid Umar? Dalam Tahdzib Al Kamal disebutkan ada 153 orang yang meriwayatkan darinya tetapi Cuma Alqamah bin Waqqaash yang meriwayatkan hadis ini. Ada berapa banyak murid Alqamah bin Waqqaash? Dalam Tahdzib Al Kamal disebutkan ada 7 orang muridnya tetapi hanya Muhammad bin Ibrahim bin Al Haarits yang meriwayatkan hadis ini. Ada berapa banyak murid Muhammad bin Ibrahim?. Dalam Tahdzib Al Kamal disebutkan bahwa ada 19 murid Muhammad bin Ibrahim tetapi hanya Yahya bin Sa’id yang meriwayatkan hadis itu?.

Mengapa tidak ternukil riwayat ini dari sahabat selain Umar? Apakah hadis Umar menjadi mungkar?. Mengapa tidak ternukil riwayat ini dari murid-murid Umar selain Alqamah?. Apakah hadis Alqamah menjadi mungkar?. Mengapa tidak ternukil riwayat ini dari murid-murid Alqamah selain Muhammad bin Ibrahim?. Apa hadis Muhammad bin Ibrahim menjadi mungkar?. Mengapa tidak ternukil riwayat ini dari murid-murid Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa’id?. Apakah hadis Yahya bin Sa’id menjadi mungkar?

Hadis Umar di atas telah dishahihkan oleh para ulama termasuk oleh Bukhari sendiri dan tidak ada sedikitpun mereka menyatakan hadis tersebut mungkar. Justru kaidah bid’ah pendengki itu yang lebih layak dikatakan mungkar.

.

.

Selanjutnya pendengki itu membuat Syubhat soal lahirnya Sulaiman tahun 34 H sehingga saat peristiwa pengepungan Utsman usianya masih satu tahun. Bocah umur satu tahun tidak diterima kesaksiannya. Inilah perkataan pendengki

Kedua: khabar dari Sulaiman atas Jahjah di atas tidak bisa diterima! Sebab kalau kita melihat fakta sejarah, Sulaiman lahir tahun 34 hijriah sementara peristiwa pengepungan terjadi kurang lebih setahun setelahnya, yaitu tepat pada saat tahun kematian Utsman, yaitu tahun 35 h. kalaupun memang Sulaiman mendengar dari orang lain, maka kedudukan hadis ini munqati/terputus, karena ia tidak menyebutkan sumber berita!

Ucapannya, Sulaiman lahir tahun 34 H sebagai fakta sejarah adalah ucapan dusta yang dilandasi oleh kebodohan dan kemalasan. Kedudukan sebenarnya adalah terjadi perselisihan kapan sebenarnya Sulaiman bin Yasar lahir dan wafat.

Ibnu Sa’ad menyatakan dalam kitabnya kalau Sulaiman bin Yasar wafat tahun 107 H pada usia 73 tahun, dan tampaknya ia menukil ini dari Al Waqidi. Maka Sulaiman bin Yasar lahir tahun 34 H dan ini pula yang dikatakan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat.

Tetapi Ibnu Hibban juga menyebutkan dalam kitabnya Shahih Ibnu Hibban no 1101 ketika menyebutkan hadis Sulaiman bin Yasar dari Miqdam, ia menyatakan bahwa Miqdam wafat tahun 33 H dan Sulaiman wafat tahun 94 H, Sulaiman telah mendengar dari Miqdam dan saat itu usianya kurang lebih 10 tahun. Begitulah yang dikatakan Ibnu Hibban, oleh sebab itu Ibnu Hajar dalam At Tahdzib menukil bahwa Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya menyatakan Sulaiman lahir tahun 24 H. Al Baihaqi mengatakan bahwa Sulaiman lahir tahun 27 H atau setelahnya.

Jadi ternukil kalau Sulaiman bin Yasar lahir tahun 34 H, tahun 24 H dan tahun 27 H. Untuk mengetahui mana yang benar maka kita harus menerapkan metode tarjih. Orang yang paling mengetahui kapan Sulaiman bin Yasar lahir adalah dirinya sendiri, maka metode yang paling baik adalah adakah riwayat shahih Sulaiman bin Yasar menyatakan kapan ia lahir atau setidaknya qarinah yang menguatkan kapan ia lahir.

Nah riwayat itulah yang kami bawakan sebelumnya yaitu terdapat riwayat dimana Sulaiman bin Yasar mendengar langsung hadis dari Abu Rafi’ dan Abu Rafi’ ini wafat tahun 35 H yaitu tahun yang sama dimana terjadi pengepungan Utsman. Riwayat tersebut terdapat dalam kitab Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah

وَحَدَّثَنَا ابْنُ الأَصْبَهَانِيِّ وحامد بن يَحْيَى ، وهذا لفظ حامد ، قال : حدثنا سُفْيَانُ ، قال : حدثنا صالح بن كيسان ، أَنَّهُ سَمِعَ سُلَيْمَان بن يَسَار ، قال : أَخْبَرَنِي أبو رَافِع

Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Ashbahaniy dan Haamid bin Yahya, dan ini lafaz Haamid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami Shalih bin Kiisaan bahwasanya ia mendengar Sulaiman bin Yasar yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Raafi’ [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 1/77 no 171]

Riwayat ini sanadnya shahih para perawinya tsiqat. Riwayat ini dapat kita jadikan qarinah dalam mentarjih kapan Sulaiman bin Yasar lahir. Berdasarkan riwayat ini maka pendapat yang menyatakan Sulaiman lahir tahun 34 H adalah keliru karena kalau memang begitu usianya ketika Abu Rafi’ wafat adalah satu tahun yang tidak memungkinkan periwayatan. Jadi hanya ada dua kemungkinan, Sulaiman lahir tahun 24 H atau tahun 27 H kami lebih menguatkan bahwa Sulaiman lahir tahun 24 H karena Ibnu Hibban termasuk golongan mutaqaddimin dibanding Baihaqi.

Terlepas dari tahun berapa sebenarnya Sulaiman bin Yasar lahir, cukup shahihnya sima’ langsung Sulaiman bin Yasar dari Abu Rafi’ menunjukkan bahwa pada tahun 35 H, Sulaiman memiliki usia yang cukup sehingga riwayatnya diterima maka begitu pula kami katakan ia memiliki usia yang cukup untuk menyaksikan peristiwa pengepungan Utsman. Kesimpulannya sanad tersebut tidak munqathi’.

.

.

Ada lagi bantahan yang tidak mengena dimana pendengki itu menyatakan bahwa Ibnu Hibban dan Abu Hatim tidak menyatakan bahwa Jahjaah termasuk sahabat yang ikut membaiat di bawah pohon. Lha jawabannya sederhana, ulama yang kami kutip sebelumnya soal Jahjah termasuk yang ikut berbaiat di bawah pohon adalah Ibnu Hajar dan Adz Dzahabiy.

جهجاه بن سعيد وقيل بن قيس وقيل بن مسعود الغفاري شهد بيعة الرضوان بالحديبية

Jahjah bin Said, ada yang mengatakan Jahjah bin Qais ada yang mengatakan Jahjah bin Mas’ud Al Ghiffari, ia ikut menyaksikan Baiatur Ridwan di Hudaibiyah [Al Ishabah Ibnu Hajar 1/518 no 1247]

جهجاه بن قيس وقيل بن سعيد الغفاري، مدني، له صحبة. شهد بيعة الرضوان

Jahjah bin Qais dan ada yang mengatakan Jahjah bin Said Al Ghiffari adalah seorang Sahabat Nabi yang menyaksikan Baiatur Ridwan [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 3/560]

Walaupun Ibnu Hibban dan Abu Hatim tidak menyebutkannya, tetap saja faktanya Ibnu Hajar dan Adz Dzahabiy menyebutkannya. Para ulama itu bukanlah orang yang serba tahu, terkadang ada perkara yang diketahui oleh ulama lainnya tetapi tidak diketahui oleh ulama yang lain. Hal ini ma’ruf sekali dalam ilmu hadis.

.

.

Berikutnya pendengki itu melemahkan atsar Tarikh Madinah Ibnu Syabbah dengan syubhat –syubhat murahan. Ia mengatakan Urwah bin Zubair itu masih kecil dan seumuran dengan Sulaiman bin Yasar.

Ketiga: Adapun I’tibar yang datang dari Ibnu Syabbah An-Numairi maka hampir sama dengan riwayat Sulaiman di atas dimana Urwah bin Zubair saat itu masih kecil. Bila kita bandingkan dengan Sulaiman yang lahir tahun 34 dan wafat 107 h, maka Urwah bin Zubair yang wafat tahun 97 h masih seumuran dengan Sulaiman..

Dalam ilmu hadis tidak ada larangan mutlak bahwa anak kecil tidak bisa diterima riwayatnya. Para ulama ahli hadis telah menyebutkan bahwa jika anak kecil itu telah memasuki usia mumayyiz dalam arti telah mengerti satu seruan atau pembicaraan dan dapat menjawabnya maka riwayatnya diterima.

Urwah bin Zubair disebutkan bahwa ia lahir pada masa awal pemerintahan khalifah Utsman [At Taqrib 1/671]. Awal pemerintahan khalifah Utsman yaitu tahun 24 H dan peristiwa pengepungan Utsman terjadi tahun 35 H maka saat itu usia Urwah bin Zubair lebih kurang sebelas tahun. Jelas pada usia ini sudah memasuki usia mumayyiz dan diterima riwayatnya.

.

.

Kemudian ia menyebarkan syubhat lain bahwa Ibnu Syabbah melakukan tadlis. Ini ucapan konyol bin dusta.

Ada tadlis di sini, dimana Ibnu Syabbah tidak menjelaskan siapakah Ali bin Muhammad di sini, sebab Ali bin Muhammad adalah nama yang maruf saat itu, banyak sekali yang bernama Ali bin Muhammad.

Pendengki ini tidak mengerti ilmu hadis. Umar bin Syabbah bukanlah seorang mudalis dan tidak pernah ada ulama yang menyatakan ia pernah melakukan tadlis sehingga tuduhan konyol pendengki itu sangat dusta sekali. Perkara seperti ini bukanlah tadlis, adalah hal yang ma’ruf dalam periwayatan seorang perawi hanya menyebutkan sebagian nama gurunya dan tidak secara lengkap beserta semua nasab atau gelarnya.

Ali bin Muhammad Al Mada’iniy dikenal sebagai gurunya Umar bin Syabbah. Umar bin Syabbah dengan jelas menyatakan dalam kitabnya Tarikh Al Madinah dengan lafaz “telah menceritakan kepada kami Al Mada’iniy” [Tarikh Madinah Ibnu Syabbah 2/538]. Ibnu Jarir Ath Thabariy pernah berkata dalam kitabnya “dan juga perkataan Ali bin Muhammad Al Mada’iniy, telah menceritakan kepadaku hal itu Umar bin Syabbah yang telah meriwayatkan darinya” [Tarikh Ath Thabariy 2/607]

Mengenai kredibilitas Ali bin Muhammad Al Mada’iniy maka memang benar Ibnu Adiy menyebutkan dalam kitabnya Al Kamil

علي بن محمد بن عبد الله بن أبي سيف أبو الحسن المدائني مولى عبد الرحمن بن سمرة ليس بالقوي في الحديث

‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Abi Saif Abul Hasan Al Mada’iniy maula ‘Abdurrahman bin Samarah tidak kuat dalam hadis [Al Kamil Ibnu Adiy no 1366]

Perkataan “tidak kuat dalam hadis” bukanlah jarh yang menjatuhkan apalagi jika perawi tersebut telah dita’dilkan oleh ulama lain. Maka maksud perkataan Ibnu Adiy disini kedudukan Al Mada’iniy dalam hadis tidaklah mencapai derajat shahih atau kedudukan hadisnya adalah hasan. Tentu saja ini pendapat Ibnu Adiy. Seperti yang kami kutip sebelumnya Ibnu Ma’in telah berkata tentangnya “tsiqat tsiqat tsiqat”. Adz Dzahabi berkata tentangnya “hafizh shaduq”. Tetapi pendengki itu menyebarkan syubhat murahan

Status Ali bin Muhammad ini sendiri menurut Al-Jurjani tidak kuat hadisnya (Al-Kamil fi Dhuafa Rijal, VI/364, no: 1366) adapun ta’dil adz-Dzahabi hanya datang 400 tahun kemudian, tidak bisa mengalahkan jarh dari Al-Jurjani.

Baik Ibnu Adiy dan Adz Dzahabi keduanya bukanlah ulama yang bertemu dengan Al Mada’iniy. Al Mada’iniy wafat tahun 224 H sedangkan Ibnu Adiy lahir 277 H. Jadi jarh Ibnu Adiy pun datang lebih dari 50 tahun kemudian. Telah disebutkan kalau jarh “tidak kuat dalam hadis” bukanlah jarh yang menjatuhkan dan bisa saja ia seorang yang hadisnya hasan, ini tidaklah bertentangan dengan pernyataan Adz Dzahabi bahwa Al Mada’iniy seorang hafizh yang shaduq.

Mengenai tautsiq tiga kali (tsiqah tsiqah tsiqah) dari Ibnu Main yang diriwayatkan dari Ahmad bin Abi Khaitsamah maka saya katakan tautsiq ini sifatnya munqathi/terputus sebab antara adz-Dzahabi dengan Ahmad bin Khaitsamah terbentang jarak sekitar 400 tahunan, lalu darimana adz-Dzahabi mengambil riwayat ini?

Adz Dzahabi hanya menukil riwayat tersebut. Riwayat tersebut disebutkan dengan sanad yang lengkap dalam kitab Tarikh Baghdad Al Khatib 12/54-55 no 6438 biografi Al Mada’iniy dan disana Al Khatib juga menyebutkan pujian Ibnu Jarir Ath Thabariy bahwa Al Mada’iniy orang yang alim dan shaduq dalam maghaziy. Riwayat Ibnu Ma’in itu juga disebutkan oleh Abu Abdullah Al Yaziidiy dalam kitabnya Al Amaliy 1/35 dimana ia mendengar langsung dari Ibnu Abi Khaitsamah

Sekalipun adz-Dzahabi melakukan tadlis maka tetap saja tidak bisa diterima. sebab bila benar Ibnu Main mentsiqahkan Ali bin Muhammad maka Ibnu Main tentu takan menyia-nyiakan pertemuannya dengan Ali bin Muhammad dan mengambil riwayat darinya karena ketsiqahannya, namun faktanya tak satupun riwayat Ali bin Muhammad diambil oleh yahya bin Main. Silahkan datangkan hujjah bila kami keliru di sini.

Ini ucapan yang tidak berguna. Semua kutipan jarh wat ta’dil yang dibawakan Adz Dzahabi dalam kitabnya tidaklah memiliki sanad langsung sampai ke ulama yang dimaksud. Hal ini cukup ma’ruf dalam kitab-kitab rijal. Silakan lihat kitab At Tahdzib Ibnu Hajar sebagai contoh, Ibnu Hajar langsung saja mengutip para ulama yang hidup ratusan tahun sebelumnya tanpa menyebutkan sanad lengkap sampai ke ulama tersebut. Jadi sangat aneh kalau hal seperti itu dikatakan tadlis.

Pendengki itu mengatakan Ibnu Main tidak satupun mengambil riwayat dari Al Mada’iniy. Kalau begitu kita tanya padanya, dari mana anda tahu?. Bisa saja dikatakan Ibnu Main juga mengambil riwayat dari Al Mada’iniy tetapi hal itu tidak sampai dan tidak ternukil dari kitab-kitab yang ada sekarang. Atau anda punya waham hidup di zaman Ibnu Main dan melihat kalau seumur hidupnya ia tidak mengambil riwayat dari Al Mada’iniy. Namanya kemungkinan tidaklah menafikan kemungkinan lain. Jadi jangan sok bicara fakta kalau tidak tahu apa itu artinya fakta.

.

.

Pendengki itu mengkritik kami soal kredibilitas Abdullah bin Mush’ab. Sayang sekali semua kritiknya ngawur atau mengada-ada. Ia berasa sok tahu sehingga membuat aturan versinya sendiri dalam ilmu hadis.

Dan yang lucu lagi di sini adalah Abdullah bin Mush’ab ini dimasukkan oleh si kuda nil sebelah sebagai perawi tsiqat ibnu Hibban, padahal Ibnu Hibban sudah menjelaskan bahwa Ia hanya mengakui Abdullah bin Mushab baru ditsiqatkan i bila ia meriwayatkan dari Abu Hazim Salamah bin Dinar (no: 8992), Ismail bin Abdullah bin Jakfar (no: 1635) dan ngga ada tuh Ibnu Hibban mengakui an’anah hadis Abdullah bin Mushab dari Hisyam bin Urwah.

Nah ini contoh aturan ngayal yang kami maksud. Mana ada dalam ilmu hadis seseorang itu tsiqat jika meriwayatkan dari si A, atau tsiqat jika meriwayatkan dari si B dan jika ia meriwayatkan dari selain A dan B maka statusnya tidak tsiqat. Mari kita lihat no yang disebutkan oleh pendengki itu

إسماعيل بن عبد الله بن جعفر بن أبى طالب الهاشمي مدني أخو معاوية بن عبد الله بن جعفر يروى عن أبيه روى عنه عبد الله بن مصعب

Ismaiil bin ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib Al Haasyimiy orang madinah saudara Muawiyah bin ‘Abdullah bin Ja’far. Meriwayatkan dari ayahnya telah meriwayatkan darinya ‘Abdullah bin Mush’ab [Ats Tsiqat juz 4 no 1635]

Silakan lihat para pembaca apa ada dalam tulisan Ibnu Hibban itu bahwa ‘Abdullah bin Mush’ab itu tsiqat hanya jika meriwayatkan dari Ismail bin ‘Abdullah bin Ja’far?. Tidak ada, jelas si pendengki itu berdusta. Pada kitab Ibnu Hibban juz 4 no 1635 yang sedang ditsiqatkan Ibnu Hibban adalah Ismail bin ‘Abdullah bukannya ‘Abdullah bin Mush’ab. Apa mau dikatakan kalau Ismail bin ‘Abdullah itu tsiqat jika hanya meriwayatkan dari ayahnya?. Tidak ada ulama yang mengatakan demikian karena memang tidak ada aturan konyol begitu.

عبد الله بن مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير بن العوام يروى عن أبى حازم روى عنه إبراهيم بن خالد الصنعاني مؤذن مسجد صنعاء

‘Abdullah bin Mush’ab bin Tsaabit bin ‘Abdullah bin Zubair bin Al ‘Awwaam meriwayatkan dari Abu Haazim dan telah meriwayatkan darinya Ibrahim bin Khalid Ash Shan’aniy mu’adzin masjid Shan’a [At Tahdzib juz 7 no 8992].

Nah baru dalam kitab Ibnu Hibban juz 7 no 8992, Ibnu Hibban mentsiqatkan ‘Abdullah bin Mush’ab. Tidak ada dalam tulisan Ibnu Hibban itu keterangan bahwa ia tsiqat hanya jika meriwayatkan dari Abu Haazim. Ibnu Hibban jelas memasukkan nama Abdullah bin Mush’ab dalam kitabnya Ats Tsiqat tidak hanya itu, Ibnu Hibban juga berhujjah dengan hadisnya dan menshahihkan hadis Abdullah bin Mush’ab dalam kitab Shahih-nya [Shahih Ibnu Hibban no 7287].

Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban dalam kitabnya Shahih Ibnu Hibban menetapkan syarat yang lebih ketat dibanding kitabnya Ats Tsiqat. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya memasukkan hadis dari para perawi yang memiliki ‘adalah dalam agamanya dan shaduq dalam hadisnya, hal ini dinyatakan Ibnu Hibban dalam muqaddimah kitab Shahih-nya tersebut.

Dalam Shahih-nya tersebut adalah riwayat Abdullah bin Mush’ab dari Qudaamah bin Ibrahim [bukan Ismail dan bukan pula Abu Haazim]. Jadi di sisi Ibnu Hibban, Abdullah bin Mush’ab ini tsiqat dan hal ini tidak tergantung pada ia meriwayatkan dari siapa. Karena secara umum pernyataan “tsiqat” atau “shaduq” itu tertuju pada ‘adalah  atau kredibilitas seorang perawi bukan dari mana ia meriwayatkan. Inilah yang ma’ruf dalam ilmu hadis.

Jauh sebelum Ibnu Hibban, Imam Bukhari dalam (Tarikh Kabirnya V/211, no: 678) menyatakan hal yang serupa. Padahal Bukhari semasa loh dengan Ibnu Syabbah dengan Tarikh Madinahnya.

Apa urusannya?, Apa yang pendengki itu maksudkan Bukhari menyatakan hal yang sama dengan Ibnu Hibban?. Inilah yang disebutkan Bukhari

عبد الله بن مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير بن العوام القرشي الأسدي عن أبي حازم سلمة روى عنه إبراهيم بن خالد اليماني والد مصعب

‘Abdullah bin Mush’ab bin Tsaabit bin ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awwaam Al Quurasy Al Asdiy meriwayatkan dari Abi Haazim Salamah dan telah meriwayatkan darinya Ibrahim bin Khalid Al Yamaaniy, ia ayah Mush’ab. [Tarikh Al Kabir juz 5 no 678]

Apakah ada Bukhari menyatakan ‘Abdullah bin Mush’ab tsiqat hanya jika ia meriwayatkan dari Abu Haazim?. Tidak ada, itu adalah kedustaan yang muncul dari kaidah konyolnya sendiri.

Abu Hatim dalam jarh wa tadilnya memang mengatakan bahwa Abdullah bin Mushab meriwayatkan dari Urwah bin Zubair namun hal tersebut diralatnya dalam kitabnya: Ilalul Hadits.

Apalagi ini, dustanya jelas sekali. Abdullah bin Mush’ab tidaklah meriwayatkan dari Urwah bin Zubair, Abu Hatim tidak pernah mengatakan hal itu. Inilah yang dikatakan Abu Hatim

عبد الله بن مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير بن العوام الاسدي والد مصعب بن عبد الله الزبيري جد الزبير بن بكار القرشى البصري روى عن ابي حازم سلمة بن دينار وهشام بن عروة وموسى ابن عقبة وقدامة بن ابراهيم واسماعيل بن عبد الله بن جعفر روى عنه هشام بن يوسف الصنعانى وابراهيم بن خالد الصنعانى وابنه مصعب الزبيري وابو حارثة كعب بن خريم الدمشقي سمعت ابي يقول ذلك

‘Abdullah bin Mush’ab bin Tsaabit bin ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awwaam Al Asdiy ayahnya Mush’ab bin ‘Abdullah Az Zubairiy kakeknya Zubair bin Bakaar Al Quraasy Al Bashriy. Meriwayatkan dari Abu Haazim Salamah bin Diinar, Hisyaam bin Urwah, Musa bin Uqbah, Qudaamah bin Ibrahim dan Ismail bin ‘Abdullah bin Ja’far. Telah meriwayatkan darinya Hisyam bin Yusuf Ash Shan’aniy dan Ibrahim bin Khaalid Ash Shan’aniy, anaknya Mush’ab Az Zubairiy dan Abu Haaritsah Ka’b bin Khuraim Ad Dimasyiq. Aku mendengar ayahku mengatakan demikian [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/178 no 883]

Dan kami tidak mengerti apa yang dimaksud pendengki itu bahwa Abu Hatim meralatnya dalam kitab Ilal Al Hadits. Selain Abu Hatim, periwayatan Abdullah bin Mush’ab dari Hisyam bin Urwah telah disebutkan juga oleh Al Khatib dalam Tarikh Baghdad [Tarikh Baghdad 10/171 no 5313]

Adapun ucapan Abu Hatim yang menyatakan dia Syaikh (sebenarnya yang bilang begitu Abu Zurah, si kuda nil saja salah paham. Dasar OON) itu maksdunya bukan pujian tapi celaan yang halus, karena antara Abu Zurah dan Abu Hatim terlibat diskusi mengenai riwayat syubhat dari Mushab bin Abdullah ini, Abu Zurah bilang Abdullah itu sudah kena waham. Lalu Abu Hatim bertanya: statusnya gimana? Abu Zurah bilang: Syaikh. (Al-Ilal, V/79, no: 1819). Syaikh di sini bukan Syaikh banyak ilmu, tapi bermakna sudah sepuh alias aki-aki jadi ngelantur (waham) kalau ngomong!

Dengan ucapan ini, sang pendengki itu menunjukkan kedunguan yang nyata. Kami mengatakan sebelumnya bahwa Abu Hatim berkata tentang ‘Abdullah bin Mush’ab “syaikh”. Pernyataan ini memang benar disebutkan Abu Hatim sebagaimana yang tercantum dalam Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/178 no 883. Dalam kitab tersebut sangat jelas Ibnu Abi Hatim bertanya pada ayahnya yaitu Abu Hatim.

.

.

Memang benar Abu Zur’ah juga menyatakan ‘Abdullah bin Mush’ab “syaikh”. Hal ini juga disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya Al Ilal no 1819.

وَسَأَلْتُ أَبِي ، وَأَبَا زُرْعَةَ ، عَنْ حَدِيثٍ ؛ رَوَاهُ مُصْعَبُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الزُّبَيْرِيُّ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ ، عَنْ جَابِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : أَلا أُخْبِرُكُمْ عَلَى مَنْ تَحْرُمُ النَّارُ غَدًا ، عَلَى كُلِّ هَيِّنٍ سَهْلٍ قَرِيبٍ قَالا : هَذَا خَطَأٌ ، رَوَاهُ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ ، وَعَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو الأَوْدِيِّ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وهَذَا هُوَ الصَّحِيح قُلْتُ لأَبِي زُرْعَةَ : الوهم ممن هو قَالَ : من عَبْد اللَّه بْن مُصْعَب قُلْتُ : ما حال عَبْد اللَّه بْن مُصْعَب قَالَ : شيخ

Aku bertanya kepada Ayahku dan Abu Zur’ah tentang hadis riwayat Mush’ab bin ‘Abdullah Az Zubairiy dari ayahnya dari Hisyaam bin Urwah dari Muhammad bin Munkadir dari Jabir dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang diharamkan neraka untuknya?. Yaitu semua orang yang lembut, mudah dan dekat”. Keduanya berkata “ini keliru, Laits bin Sa’d dan ‘Abdah bin Sulaiman meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari Musa bin Uqbah dari Abdullah bin ‘Amru Al Awdiy dari Ibnu Mas’ud dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], dan ini shahih”. Aku berkata kepada Abu Zur’ah “kesalahan ini berasal dari siapa?”. Abu Zur’ah “dari Abdullah bin Mush’ab”. Aku berkata “bagaimana status Abdullah bin Mush’ab?’. Abu Zur’ah berkata “syaikh” [Al Ilal Ibnu Abi Hatim 4/114 no 1819]

Dalam kitabnya tersebut Ibnu Abi Hatim bertanya kepada dua orang yaitu kepada ayahnya [Abu Hatim] dan kepada Abu Zur’ah tentang salah satu hadis Nabi yaitu riwayat Mush’ab bin Abdullah dari ayahnya dari Hisyam bin Urwah dari Muhammad bin Munkadir dari Jabir [radiallahu ‘anhu]. Keduanya berkata “hadis tersebut keliru” karena yang shahih adalah riwayat Laits bin Sa’ad dan ‘Abdah bin Sulaiman yang meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari Musa bin Uqbah dari Muhammad bin ‘Amru Al Awdiy dari Ibnu Mas’ud.

Jadi maksudnya dalam hadis tersebut Abdullah bin Mush’ab telah menyelisihi Laits bin Sa’ad dan ‘Abdah bin Sulaiman makanya dikatakan keliru. Memang keduanya lebih tsabit dan tsiqat dibanding Abdullah bin Mush’ab. Kemudian Ibnu Abi Hatim berkata kepada Abu Zur’ah “dari mana asalnya waham [kesalahan] ini?”.

Yang dimaksud waham disini adalah kekeliruan hadis tersebut, bukankah sebelumnya Abu Zur’ah menyatakan keliru nah dari mana asalnya kekeliruan tersebut. Jadi waham disini bermakna khata’. Abu Zur’ah menjawab “dari Abdullah bin Mush’ab”. Ada contoh lain dari kitab Al Ilal bahwa maksud dari “wahm” yang ditanyakan Ibnu Abi Hatim adalah keliru

وَسَأَلْتُ أَبِي ، وَأَبَا زُرْعَةَ ، عَنْ حَدِيثٍ ؛ رَوَاهُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ ، عَنْ أَنَسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، فِي لَيْلَةِ الْقَدْر ِفَقَالا : إِنَّمَا هُوَ عَنْ أَنَسٍ ، عَنْ عُبَادَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قُلْتُ لَهُمَا : الْوَهْمُ مِمَّنْ هُوَ ؟ قَالا : مِنْ مَالِكٍ

Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang hadis riwayat Malik bin Anas dari Humaid Ath Thawiil dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang lailatul qadar. Keduanya berkata “sesungguhnya itu dari Anas dari Ubadah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Aku berkata kepada keduanya “kesalahan itu berasal dari siapa”?. Keduanya berkata “dari Malik” [Al Ilal Ibnu Abi Hatim 2/128 no 696]

Jadi “wahm” yang dimaksud Ibnu Abi Hatim adalah kekeliruan dalam hadis tersebut. Ini tidak ada kaitannya dengan usia tua atau kata pendengki itu aki-aki. Si Pendengki itu memahami lafaz tersebut hanya dengan khayalannya sendiri bukan dengan yang dimaksudkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Kembali kepada Abdullah bin Mush’ab, kemudian Ibnu Abi Hatim berkata kepada Abu Zur’ah “bagaimana statusnya Abdullah bin Mush’ab?”. Abu Zur’ah menjawab “Syaikh”. Pendengki itu mengira bahwa “Syaikh” yang dimaksud adalah seorang yang sudah tua alias aki-aki yang suka ngelantur. Nah ini adalah khayalan pendengki itu sendiri. Syaikh yang dimaksud disini adalah bagian dari kedudukan perawi. Dalam ilmu hadis lafaz “syaikh” itu terletak pada klasifikasi lafaz ta’dil tetapi pada tingkatan yang rendah.

Artinya perawi dengan lafaz “syaikh” maka ia tidak kuat dalam dhabitnya, hadisnya ditulis tetapi tidak dijadikan hujjah dan tentu saja jika menyelisihi perawi tsiqat maka hadisnya tertolak. Dalam muqaddimah kitab Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim disebutkan kalau lafaz “syaikh” ini berada pada tingkatan ketiga lafaz ta’dil. Ada contoh lain perawi yang dikatakan “syaikh”

نا عبد الرحمن قال سألت ابى وابا زرعة عن مغيرة بن زياد فقالا: شيخ، قلت يحتج بحديثه ؟ قالا: لا وقال ابى: هو صالح صدوق ليس بذلك القوى بابة مجالد، وأدخله البخاري في كتاب الضعفاء. فسمعت ابى يقول يحول اسمه من كتاب الضعفاء

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku bertanya pada ayahku dan Abu Zur’ah tentang Mughirah bin Ziyad, keduanya berkata “Syaikh”. Aku berkata “apakah hadisnya bisa dijadikan hujjah?”. Keduanya berkata “tidak” dan berkata ayahku “ia shalih shaduq tidaklah begitu kuat, ia seperti Mujalid dan Bukhari telah memasukkannya dalam kitab Adh Dhu’afa” maka aku mendengar ayahku mengatakan “ia harus mengeluarkan namanya dari kitab Adh Dhu’afa” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/222 no 998]

Faedah yang diambil dari sini adalah perawi dengan lafaz “syaikh” tidaklah kuat hadisnya untuk dijadikan hujjah tetapi tidak pula ia dimasukkan ke dalam perawi dhaif sebagaimana terlihat Abu Hatim membantah Bukhari yang memasukkannya dalam Adh Dhu’afa. Maka dari Itu Ibnu Abi Hatim sebagai murid Abu Hatim dan Abu Zur’ah tetap memasukkan lafaz “syaikh” dalam kitabnya sebagai lafaz ta’dil pada tingkatan yang rendah. Tentu saja dikecualikan kaidah ini jika lafaz “syaikh” tersebut diikuti dengan lafaz “ta’dil” yang kuat atau diiringi dengan lafaz “jarh”. Misalnya lafaz “syaikh tsiqat” atau “syaikh shaduq” atau “syaikh dhaif”.

Bahkan Ibnu Hajar sendiri meskipun ia angkatan belakangan tetap sependirian dengan Bukhari dan Ibnu Hibban tidak mengakui adanya periwayatan Abdullah bin Mas’ud dari Urwah.

Apa-apaan itu? Mungkin maksud pendengki itu riwayat Abdullah bin Mush’ab dari Hisyam bin Urwah bukannya Abdullah bin Mas’ud dari Urwah. Kapan Ibnu Hajar tidak mengakui adanya periwayatan Abdullah bin Mush’ab dari Hisyam bin Urwah?. Cuma klaim dusta seperti biasa. Sebagai tambahan selain Abu Hatim dan Al Khatib, Adz Dzahabi juga mengakui kalau Abdullah bin Mush’ab meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah [As Siyar Adz Dzahabiy 8/517 no 137]

Nah sekarang permasalahan klimaks di sini adalah apakah Jahjah memang benar sahabat Nabi atau bukan? Untuk menjawabnya kita tidak bisa hanya berpangku pada ta’dil ulama mutaakhhirin saja. Kalau kita melihat ke atas, jelas sekali bila Ibnu Hibban atau Abu Hatim menyebutkan bahwa Jahjah adalah sahabat Nabi. Namun…….pengakuan ini memerlukan pembuktian, dan pembuktiannya adalah pertanyaan terakhir kita di sini ini, yaitu adakah hadis shahih yang menyatakan bahwa Jahjah adalah sahabat Nabi?

Perkataan ini contoh perkataan orang yang tidak mengerti ilmu hadis. Seperti yang sudah pernah kami katakan dalam ilmu hadis tidak ada aturan mutlak bahwa seseorang disebut sebagai sahabat Nabi maka ia harus mutlak punya hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang ternukil dengan sanad shahih. Hal ini disebabkan ada seseorang yang dikenal sebagai sahabat Nabi tetapi tidak ternukil ada riwayat hadisnya dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan sanad yang shahih.

Mengapa begitu? Diantaranya disebabkan ia telah dinyatakan oleh tabiin yang tsiqat bahwa ia adalah sahabat Nabi atau dinyatakan oleh sahabat lain kalau ia termasuk sahabat Nabi. Bagaimana status Jahjah Al Ghifariy di atas?. Telah kami sebutkan bahwa tabiin tsiqat yang hidup semasa dengannya telah menyatakan bahwa Jahjaah termasuk sahabat apalagi telah ditegaskan oleh sekumpulan ulama bahwa ia adalah sahabat seperti Abu Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Hajar, Adz Dzahabi, dan Ibnu Abdil Barr. Maka tidak ada gunanya syubhat dari para pendengki yang berhati kotor. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita semua. Salam

10 Tanggapan

  1. @SP

    Bantahan anda… very suprise ! Kalau saya jadi anda, saya tidak akan pernah mau menanggapi ocehan aki-aki (syeikh) di blog sebelah itu yg hanya berisi sampah dan sampah. Tapi sekali lagi saya salut dengan anda…..

  2. @Dafa Sani
    iya kayaknya ndak ada gunanya, apa karena pengaruh cuaca kali ya *gak nyambung*. btw semoga ada pembaca yang bisa memetik sedikit ilmu dari tulisan di atas biar tulisan saya tidak sia-sia :mrgreen:

  3. Fakta, bahwa kebenaran banyak Versi dan menurut tingkatan pengetahuan/pemahaman masing2 individu, -manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untk melaksanakan kebenaran itu, sebaliknya pengetahuan dan pamahaman tentang kebenaran tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin konflik spilogis, karena d dlm kehidupan manusia sesuatu yg d lakukan harus d iringi akan kebenaran dlm jalan hidup yg d jalaninya dan manusia juga tdk akan bosan untk mencari kenyataan dlm hidupnya yg mana selalu d tunjukan oleh kebenaran… jadi KITA layak dlm menyikapi setiap persoalan dlm keARIFan,.(http://van88.wordpress.com/teori-kebenaran-filsafat).

  4. @SP: Tulisan Anda tentu tidak sia2 sama sekali. Pembaca yg sehat akalnya bisa memetik banyak ilmu & manfaat dari tulisan Anda.
    Perihal orang yg kotor lisannya, tulisan Anda menjadi penjelas bhw orang semacam itu akalnya menyimpang jadi sakit. Anda berjasa menghindarkan orang lain dari “termakan” analisa2 dusta dari orang berlisan kotor itu. Jadi, banyak pembaca yg mendapat manfaat besar dari tulisan Anda sehingga Anda tidak perlu merasa sia2 jika tulisan Anda tidak bermanfaat utk sang pencela berakal sakit & pemujanya; di dunia ini, memang ada orang2 yg “أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُون”.

  5. @SP

    Lepas dari permasalahan diatas ada yg saya minta untuk anda menanggapinya walaupun sekilas menyangkut kedudukan hadis seputar hukum bagi pelaku kemurtadan pada link berikut : http://www.ahl-alquran.com/English/show_article.php?main_id=3777

  6. maju terus. Labaika Ya Husain

  7. KALAU ADA FITNAH DIKALANGAN UMAT SEBAIKNYA DIKEMBALIKAN KEPADA PARA ULAMA YAMAN YG BERDASARKAN,

    1. Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’

    2. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’

  8. Assalamualaikum wr.wb.
    Ana ta’jub atas tiap stiap isi blog ini. Yg membuat mata hati terbuka. Ana hanya lah pencari kebenaran..
    Afwan akhi. Adakah artikel antm yg membahas tentang terjadi pertikaian antara Ali bin abi tholib Kw Dengan mu’awiyyah bin abi sufyan? Dan asal muasal tentang khawarij. Afwan merepotkan.
    Wassalam…

  9. sepakat dengan anda,.. para pendengki memang suka mencari celah kesalahan meski tak ada celah sebenarnya…

    dia berusaha mempelintir fakta ketika hujjahnya patah..

    untuk secondprince, bravo,.. terus maju,.. tulisan2 anda membawa manfaat bagi siapa saja yang mau berpikir…

  10. Kayaknya muncul kandidat Troll baru nihh…
    Atau Troll lama dengan baju baru.. 😉

Tinggalkan komentar