Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Al Mubahalah)

Ayat Al Mubahalah
“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu , maka katakanlah : “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S.Ali Imran : 61)

Beliau penulis menyebutkan

Kebanyakan ahli Tafsir menyatakan Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Rasulullah SAW yang bermuhabalah dengan ahlul kitab nasrani. Kemudian Rasulullah mengajak Hasan, Husen, Fatimah dan Ali dalam bermuhabalah dengan orang Nasrani tsb. ‘Anak-anak kami’ mengacu kepada Hasan dan Husein, ‘Isteri-isteri kami’ mengacu kepada Fatimah Az-Zahra, dan ‘diri kami’ mengacu kepada Ali bin Abi Thalib

Dalam hal ini saya sependapat dengan pernyataan di atas berdasarkan hadis Shahih Muslim Kitab Keutamaan para sahabat, Bab Keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib no: 2404
diriwayatkan oleh Saad bin Abi Waqqas bahwa Tatkala diturunkan ayat: Maka katakanlah kepada mereka: “Marilah kita menyeru anak-anak kami serta anak-anak kamu……(‘Ali Imran 3:61), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain lalu berdoa: “Ya Allah! Merekalah ahli keluarga Aku.”

Kemudian penulis berkata

Apakah dengan penggunaan kata ‘diri kami’ yang mengacu kepada Ali r.a berarti Rasulullah SAW menyamakan dirinya dengan Ali r.a ?

Adalah jelas bahwa diri Ali ra berbeda dengan diri Rasulullah SAW oleh karenanya penggunaan kata itu lebih bersifat kiasan betapa dekatnya Rasulullah SAW dan Ali ra ketimbang diartikan secara harfiah. Sama halnya dengan hadis Ali bagian dariKu dan Aku bagian dari Ali atau Husain bagian dariKu dan Aku bagian dari Husain.

Penulis juga mengutip Ibnu Taimiyyah yang berkata

bahwa Kata-kata DIRI dalam ayat-ayat tersebut maksudnya adalah saudara dalam nasab atau saudara dalam agama. Ibnu Taimiyyah menyandarkan pendapatnya itu pada Al Quranul Karim.

Mari kita lihat “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap DIRI MEREKA SENDIRI, dan berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (Q.S.An-Nur 12). Ayat ini berkaitan dengan peristiwa fitnah terhadap Aisyah ra dan salah seorang sahabat Nabi. Diri mereka dalam ayat ini memang merujuk pada arti saudara seagama. FirmanNya juga : “..dan bunuhlah DIRIMU..” (Q.S.Al-Baqarah 54). Ayat ini ditujukan pada bani Israil dan dirimu pada ayat ini bisa merujuk pada diri tiap orang dari bani Israil atau sesama mereka yang berarti saudara satu kaum. Dan firmanNya : “Dan ketika Kami mengambil janji dari kamu : kamu tidak akan menumpahkan darahmu , dan kamu tidak akan mengusir DIRIMU dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar sedang kamu mempersaksikannya.” (Q.S.Al-Baqarah 84). Dalam Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kata dirimu ini merujuk pada saudara satu kaum atau saudara sebangsa. Jadi seharusnya Ibnu Taimiyyah berkata dirimu dalam ayat-ayat(yang dia sebutkan) berarti saudara satu kaum atau sebangsa dan saudara seagama. Tidak ada keterangan tentang saudara senasab.

Apakah benar arti dirimu pada ayat Mubahalah merujuk pada saudara satu kaum atau saudara seagama? Jawaban saya, ketika ditujukan kepada Bani Najran maka dirimu dalam ayat ini bisa berarti diri tiap orang dari Bani Najran atau saudara sekaum dan seagama dengan mereka. Tapi bagi Rasulullah SAW dirimu ini diartikan Rasulullah SAW merujuk pada Beliau SAW sendiri dan Ali bin Abi Thalib ra karena nash yang shahih berkata demikian(lihat hadis Shahih Muslim di atas). Seandainya diri kamu bagi Rasulullah SAW diartikan kepada saudara sebangsa atau seagama maka adalah jelas bahwa Rasulullah SAW akan mengajak para Sahabat yang lain beserta anak dan isteri mereka, tetapi sayangnya tidak ada dalil yang menyatakan demikian. Seperti yang dikatakan penulis kebanyakan ahli tafsir Sunni menyatakan ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW menyeru Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Saudara Ja’far kemudian berkata

Rasulullah SAW mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husein bermuhabalah dengan ahlul kitab Nasrani tsb karena merekalah yang terdekat bagi Rasulullah SAW. Serupa dengan hadis penyelimutan Nabi SAW kepada mereka bukan kepada istri-istrinya Nabi SAW yang menunjukkan bahwa mereka lebih dekat kepada Rasulullah SAW dari pada istri-istri Nabi SAW.

Saya sependapat dengan hal ini dan perlu ditambahkan masalah penyelimutan itu, mengapa Nabi SAW menyelimuti Ali, Fatimah, Hasan dan Husain karena mereka lah yang dituju dalam ayat tersebut, dan kenapa Nabi SAW tidak menyelimuti istri-istri Beliau SAW karena mereka memang tidak dituju dalam ayat tersebut. Hal ini berbeda dengan pendapat penulis yang berkata

Akan tetapi, dengan tidak dilakukannya penyelimutan kepada istri-istri Nabi SAW bukanlah menunjukkan bahwa istri-istri Nabi SAW bukan Ahlul bait. Penjelasan hal ini lihat tulisan saya tentang Q.S.Al-Ahzab ayat 33.

Saya juga telah menanggapi tulisan beliau saudara Ja’far tentang ahlul bait dalam Al Ahzab ayat 33.

Kembali ke ayat Mubahalah penulis berkata

Ayat ini tidaklah dapat dijadikan pedoman bahwa Ali adalah pengganti Rasulullah SAW. Ayat ini hanyalah menunjukkan keutamaan Ali, Fatimah, Hasan dan Husein dimana mereka adalah ahlul bait nabi SAW yang termulia dan paling dekat dengan Nabi SAW.

Jawaban saya benar sekali ayat ini tidak menjadi hujjah yang nyata bahwa Ali adalah pengganti Rasulullah SAW. Ayat ini menunjukkan bahwa mereka Ahlul Bait as adalah yang termulia setelah Rasulullah SAW. Berangkat dari sini bisa dimengerti kalau Ulama Syiah berpendapat bahwa jika ada pengganti Rasulullah SAW maka pengganti tersebut adalah lebih mungkin dari Ahlul Bait Beliau SAW dan tidak dari yang lain.

7 Tanggapan

  1. kebodohan yata lagi , kalau memang pengganti Nabi adalah dari ahlul bait, kenapa begitu bodohnya para sahabat membiarkan itu terjadi, apa karena kedangkalan pemikiran anda yang katanya pecinta ahlul bait, gimana jadinya imam ali yang tidak memenuhi perintah Nabi untuk dijadikan pengganti …………. anda berargumen, kadang pakai dalil kadang pakai nafs ( contoh : Berangkat dari sini bisa dimengerti kalau Ulama Syiah berpendapat bahwa jika ada pengganti Rasulullah SAW maka pengganti tersebut adalah lebih mungkin dari Ahlul Bait Beliau SAW dan tidak dari yang lain. ) ini contoh argumen anda yang tidak sesuai dengan tuntunan, tapi hanya berdasa nafs ( seperti setan yang lebih berhak untuk tidak menyembah nabi adam )

  2. Pak “secondprince”, tidak berminat menjawab tanggapan dari “bersatu”? Ditunggu tanggapannya, Pak 🙂 Salam ‘alaykum.

  3. hai @bersatu…
    saya amati anda bukan diskusi-man (orang yang suka berdiskusi). maunya hanya melampiaskan nafsu. buktinya nyata. kalo anda tidak setuju dg pendapat SP, sejatinya anda bisa tanyakan apa latar belakang atau alasan atau dalil mengapa argumen/peryantaan itu dikeluarkan oleh SP. tapi tidak. anda serta-merta mengecam (bahwa peryataan SP itu adalah hal yg bodoh). anda juga menuduh bahwa SP menggunakan nafsu dari peryataan-peryataannya. padahal sangat logis apa yang dianalisa dan disimpulkan oleh SP. cobalah berpikir menggunakan cara pandang lawan bicara anda. paling tidak anda harus berusaha menyelami cara berpikir lawan anda agar diskusi bisa berjalan dan tidak ada prasangka dan tuduh-menuduh. jangan memaksakan cara berpikir anda. sungguh menyebalkan (garuk-garuk kepala kemudian mengelus dada).

  4. damai….damai

  5. kalau emang mau diskusi, silakan. Tetapi jangan sampai ada klaim kebenaran.

    Hayatilah Surat Al-Fatihah ayat 6-7. Kalau kalian memang melakukan shalat, renungkanlah makna dari ayat tersebut.

    “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang kau beri nikmat bukan jalan mereka yang kau murkai bukan pula jalan mereka yang sesat.”

    Kita aja masih meminta kepada Allah untuk ditunjukkan jalan yang benar, masa kita mau mengatakan bahwa diri kita ini paling benar?

  6. @bersatu
    Begini Mas bersatu, sepertinya Mas ini belum memahami permasalahan dengan baik. Tulisan saya di atas adalah jawaban buat blog saudara Ja’far yang menulis kritikan buat Syiah. Saya menanggapi tulisan itu dan membahas kritikan beliau dari sudut pandang ulama Syiah yang tentu disertai dengan sedikit analisis tentang paparan saudara Ja’far dan apa yang dikatakan Ulama Syiah
    Menurut saya, menampilkan apa sebenarnya yang dinyatakan ulama Syiah adalah relevan dalam membahas tulisan saudara Ja’far yang memang mengkritik syiah. Jadi gak perlulah saling menghina

    kebodohan yata lagi , kalau memang pengganti Nabi adalah dari ahlul bait, kenapa begitu bodohnya para sahabat membiarkan itu terjadi, apa karena kedangkalan pemikiran anda yang katanya pecinta ahlul bait,

    Nah yang ini juga pernah disampaikan saudara Ja’far juga, anda bisa lihat pembahasannya disini

    anda berargumen, kadang pakai dalil kadang pakai nafs ( contoh : Berangkat dari sini bisa dimengerti kalau Ulama Syiah berpendapat bahwa jika ada pengganti Rasulullah SAW maka pengganti tersebut adalah lebih mungkin dari Ahlul Bait Beliau SAW dan tidak dari yang lain. )

    Maaf Mas itu adalah deskripsi saya bagaimana Ulama Syiah berpandangan soal dalil ayat Mubahalah itu, sekali lagi saya cuma memaparkan apa yang dipahami Ulama Syiah. Tulisan di atas mengulas kritikan saudara Ja’far terhadap syiah maka apa pandangan Syiah relevan sekali ditampilkan
    kalau menurut anda keliru maka anda bisa menyampaikan dimana letak kekeliruannya 🙂

    ini contoh argumen anda yang tidak sesuai dengan tuntunan, tapi hanya berdasa nafs ( seperti setan yang lebih berhak untuk tidak menyembah nabi adam )

    Apa yang saya tulis sebisa mungkin bersikap objektif dengan menampilkan apa yang dipahami Ulama Syiah, maaf kalau anda tidak mengerti 😦

    @Badari
    Bukan tidak berminat, tapi belum sempat 🙂

    @armand
    terimaksih komennya dan salam damai 🙂

    @ressay
    Setuju sekali, mari kita sama-sama berdoa agar ditunjukkan jalan yang lurus 🙂

  7. @bersatu
    kebodohan yata lagi , kalau memang pengganti Nabi adalah dari ahlul bait, kenapa begitu bodohnya para sahabat membiarkan itu terjadi, apa karena kedangkalan pemikiran anda yang katanya pecinta ahlul bait,

    Begini ya menurut aku itu takdir “pas rasulullah wafat ali dan keluarganya serta beberapa sahabat ngurusin jenazah, sahabat yang lain malah rebutan kekuasaaan”. seolah olah kalo ga segera ada pemimpin baru maka akan runtuhlah islam.bisa difahami keadaan genting waktu itu dan saya juga bisa fahami perasaan ali dan keluarganya yang ditinggalkan/dilupakan dalam musyawarah oleh abu bakar, umar dan sahabat anshar lainnya dalam rangka suksesi kepemimpinan umat islam setelah nabi wafat. itulah menurutku awal mula adanya sunni dan syiah, hehe… dan menurutku aku ini hanya korban sejarah… hehe aku jadi sunni karena lahir di indonesia… coba lahir di iran pasti ya jadi syiah. sedih baca sejarah islam kenapa harus ada perang jamal,shiffin dan perang karbala tapi itu udah takdir Allah.

Tinggalkan komentar